KISAH DHAMMAPADA 1 – CAKKHUPALA THERA
Kisah Latar Syair 1
Cakkhupālatthera Vatthu
Ketika sedang menetap di hutan Jetavana di Savatthi, Buddha mengucapkan syair tersebut, merujuk kepada seorang biksu tua bernama Cakkhupala.
Pada suatu ketika, biksu Cakkhupala datang untuk menghormat kepada Buddha di biara Jetavana. Suatu malam, sambil bermeditasi jalan, sang biksu secara tidak sengaja menginjak beberapa serangga. Pagi harinya, biksu-biksu lain yang mengunjungi sang biksu tua menemukan serangga mati itu. Mereka berpikiran buruk kepada sang biksu tua dan melaporkan hal ini kepada Sang Buddha. Buddha bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat biksu tua itu membunuhnya. Ketika mereka menjawab tidak, Buddha berkata, “Sama seperti kalian yang tidak melihatnya membunuh, demikian pula dia tidak melihat serangga hidup itu. Di samping itu, sang biksu tua telah mencapai tingkat arahat sehingga ia tidak memiliki niat untuk membunuh dan dengan demikian ia tidak bersalah.” Ketika mereka mempertanyakan mengapa Cakkhupala bisa menjadi buta meskipun ia adalah seorang arahat, Buddha menyampaikan cerita berikut ini:
Pada kehidupan sebelumnya, Cakkhupāla adalah seorang tabib. Suatu ketika, ia secara sengaja telah membuat seorang pasien wanita menjadi buta. Sebelumnya, wanita itu telah berjanji bahwa ia dan anaknya akan menjadi budak dari sang tabib bila matanya dapat disembuhkan. Merasa takut bahwa ia dan anaknya benar-benar akan menjadi budak, ia pun berbohong kepada sang tabib. Ia mengatakan bahwa kondisi matanya menjadi semakin buruk setelah diobati, padahal sebenarnya matanya sudah benar-benar sembuh. Sang tabib mengetahui bahwa ia sedang dikelabui, dan sebagai pembalasan, ia memberikan wanita itu sejenis obat salep yang membuat sang wanita buta total. Sebagai akibat dari perbuatan buruknya itu, sang tabib terlahir buta dalam berbagai kelahiran berikutnya.
Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair berikut:Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair berikut:
Pikiran memelopori semua kondisi batin.
Pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk.
Jika seseorang berbicara atau bertindak dengan pikiran jahat,
maka penderitaan mengikutinya seperti roda yang mengikuti jejak kaki lembu.
Pada akhir khotbah, sejumlah 30.000 biksu mencapai tingkatan arahat bersamaan dengan pencerahan analitis (patisambhidā).
Penjelasan oleh Daw Mya Tin:
1. Manopubbaṅgamā dhamma: Pikiran memelopori semua kondisi batin dalam artian bahwa pikiran merupakan aspek yang paling dominan dan penyebab dari tiga fenomena batin lainnya, yaitu perasaan (vedanā), persepsi (saññā), dan bentukan batin (saṅkhāra). Ketiga aspek tersebut dipelopori oleh pikiran atau kesadaran (viññāṇa), karena meskipun mereka muncul bersama pikiran tetapi mereka tidak dapat muncul bila pikiran tidak muncul.
2. Manasā ce paduṭṭhena: Manasā berarti niat atau kehendak (cetana); kehendak menggiring seseorang untuk melakukan tindakan yang disengaja, baik atau buruk. Tindakan dan akibat tindakan ini merupakan karma, dan karma selalu mengikuti seseorang untuk membuahkan hasil. Kebutaan Cakkhupala merupakan akibat dari perbuatannya dengan niat jahat dalam kehidupan sebelumnya.
3. Dukkha: Pada konteks ini, dukkha berarti penderitaan, rasa sakit mental atau fisik, kemalangan, ketidakpuasan, akibat buruk, dan lain-lain, dan kelahiran kembali di alam kehidupan yang lebih rendah atau sebagai manusia dengan status sosial yang rendah bila ia terlahir di alam manusia.
Penjelasan oleh Weragoda Sarada Thero:
Seluruh pengalaman (kondisi batin) kita diawali oleh pikiran. Kata-kata dan tindakan-tindakan kita berasal dari pikiran. Jika kita berbicara atau bertindak dengan pikiran yang jahat, maka situasi dan pengalaman yang tidak menyenangkan pasti terjadi. Ke manapun kita pergi, kita menciptakan situasi buruk karena kita membawa pikiran buruk. Kita tidak dapat melepaskan diri dari penderitaan ini selama kita masih terikat dengan pikiran jahat kita. Ini sama seperti roda pedati yang mengikuti jejak langkah kaki lembu yang terikat dengan pedati. Roda pedati ini, beserta dengan isi pedatinya yang berat, terus mengikuti lembu. Hewan ini terikat pada beban yang berat dan tidak dapat meninggalkannya.
Dua syair pertama dalam Dhammapada mengungkap sebuah konsep penting dalam Buddhisme. Ketika sebagian besar agama memegang dogma penting bahwa dunia ini diciptakan oleh sosok supranatural yang disebut “Tuhan”, Buddhisme mengajarkan bahwa semua pengalaman kita (‘dunia’ dan ‘diri’) merupakan ciptaan dari pikiran, atau proses kognitif dari persepsi dan konsepsi indrawi. Hal ini juga membuktikan bahwa beberapa penulis Buddhisme telah keliru dalam menyatakan bahwa Buddha diam saja mengenai awal dari dunia. Dalam Rohitassa Sutta di dalam Aṅguttara Nikāya, Buddha menyatakan dengan jelas bahwa dunia, awal dari dunia, akhir dari dunia, dan cara dunia berakhir, semuanya berada di dalam tubuh ini beserta dengan persepsi dan konsepsinya.
Kata mano umumnya diterjemahkan sebagai ‘batin’, tetapi Buddha menggunakan sudut pandang fenomenalistis dalam kontroversi batin-jasmani yang telah membingungkan para filsuf sepanjang sejarah. Dualisme batin dan jasmani ini ditolak oleh Sang Buddha. Beliau menjelaskan dalam Sabba Sutta di dalam Saṃyutta Nikāya bahwa semua yang dapat kita ucapkan merupakan ‘pengalaman indrawi’, termasuk pemikiran atau konsepsi sebagai indra yang keenam. Istilah nama dan rupa, yang umumnya diterjemahkan sebagai ‘batin’ dan ‘jasmani’ bukanlah dua entitas yang muncul bersamaan dalam hubungan satu sama lain. Mereka hanyalah dua cara dalam melihat sebuah aktivitas tunggal yang disebut ‘pengalaman’. Nāma (penamaan) merupakan pengalaman yang dilihat secara subjektif sebagai ‘proses mental dalam mengidentifikasi objek’ (rūpa kāyē adhivācana saṃpassa).
Rupa (wujud) merupakan pengalaman yang dilihat secara objektif sebagai sebuah entitas yang dipersepsikan dan dipahami melalui proses identifikasi secara mental (nāma kāyē patigha saṃpassa). Mano merujuk kepada ‘pikiran’ atau proses konseptualisasi secara mental, yang mengintegrasikan dan menciptakan makna dari persepsi-persepsi berbeda yang dibawa melalui indra-indra yang berbeda. Pengalaman total yang bermakna ini adalah dhammā, yang dilihat secara subjektif sebagai ‘pengenalan sebuah entitas’ (nāma) dan secara objektif sebagai ‘entitas yang dikenali’ (rupa). Dhamma yang merupakan ‘keseluruhan pengalaman yang berarti’ ini secara normal dilihat sebagai keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan (loka dhamma).