Jātakamālā 9 – Viśvantarajātakam
(Kisah tentang Visvantara)
Jātakamālā 9 – Viśvantarajātakam
(Kisah tentang Visvantara)
Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer
Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti
Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei
Orang yang tidak bajik tidak akan mampu membenarkan perilaku sang Bodhisattva, apalagi meneladaninya. Ini akan diajarkan sebagai berikut.
Suatu ketika para Śibi diperintah oleh seorang raja bernama Saṁjaya, yang menjalankan tugas kerajaannya dengan cara yang benar. Setelah sepenuhnya mengendalikan pancaindranya, dan memiliki tingkat kebajikan yang tinggi dalam keberanian, kebijaksanaan, dan kerendahan hati, dia berjaya dan berkuasa. Berkat ketaatan yang konstan dan ketat terhadap para tetua, dia telah menguasai isi penting dari tiga Veda (trayi) dan metafisika. Kemampuan tata aturan peradilannya yang baik dipuji oleh rakyat-rakyatnya yang penuh cinta kasih, yang menyukai pelaksanaan perdagangan dan tugas mereka yang berbeda, dan menikmati manfaat dari keamanan serta perdamaian.
(1)
Dengan kemajuannya dalam kebajikan, dia telah memperoleh berbagai bakat dalam memerintah kerajaan yang setia padanya, bagaikan wanita yang jujur, tidak menjadi milik raja-raja lain; sama seperti sarang singa yang tidak dapat dimasuki oleh hewan lain.
(2)
Semua orang yang menghabiskan pekerjaan mereka dalam berbagai jenis pertapaan, ilmu pengetahuan atau seni, biasa mendatanginya, dan jika mereka menunjukkan jasa kebajikan mereka, mereka memperoleh penghormatan yang unggul darinya.
Penerusnya dalam hal kemuliaan, namun tidak kalah dalam hal kebajikan, adalah putranya Viśvantara sang pewaris takhta.
(3)
Meskipun masih muda, ia memiliki ketenangan pikiran yang indah layaknya seorang tetua. Meskipun dia penuh semangat, tetapi sifatnya sabar. Meskipun terpelajar, tetapi dia terbebas dari kesombongan akan pengetahuan. Meskipun perkasa dan termasyhur, tetapi dia tidak memiliki keangkuhan.
(4)
Karena tingkat dari kebajikannya terkemuka di segala wilayah dan ketenarannya menembus tiga dunia, tidak ada ruang bagi reputasi orang lain yang lemah dan remeh; sepertinya mereka tidak berani menunjukkan diri.
(5)
Dia tidak tahan dengan banyaknya malapetaka dan penyebab penderitaan lainnya di antara umat manusia. Dia mengobarkan perang dan pertempuran terhadap musuh-musuh seperti itu, menembakkan anak panah pemberian dari busur welas asihnya yang besar tanpa terhitung jumlahnya.
Setiap hari ia terbiasa menyenangkan orang miskin yang kebetulan datang kepadanya dengan pemberiannya, yang diberikan tanpa kesulitan dan lebih dari yang mereka harapkan, yang diberikan dengan rasa hormat dan ucapan-ucapan yang menyenangkan. Tetapi pada hari poṣadha, karena ia taat terhadap pengendalian diri dan ketenangan di hari poṣadha, setelah memandikan kepalanya dan mengenakan pakaian linen putih, ia menunggangi gajahnya yang unggul, terlatih dengan baik, cepat, dan kuat, yang (menurut warna dan ukurannya) dapat dibandingkan dengan puncak Gunung Salju, yang wajahnya dihiasi dengan jejak air mengalir pada musim kawin, dan yang di tubuhnya ditemukan tanda-tanda keberuntungan. Ia duduk di atas gajah tunggangan kerajaan yang wangi dan sangat terkenal itu. Ia memiliki kebiasaan membangun ruang derma, yang telah dia dirikan di semua bagian kota bagai sumur yang menyegarkan untuk para fakir miskin. Dan ketika pergi ke sana, dia mengalami kegembiraan yang meluap.
(6)
Sesungguhnya, tiada kemewahan yang dapat memberikan kegembiraan kepada orang dermawan seperti yang dihasilkannya ketika dia berdana kepada fakir miskin.
Para fakir miskin yang bersukacita menceritakan kemurahan hati sang raja ke mana-mana. Beberapa raja tetangga yang telah mendengarnya kemudian berpikir untuk menjebak pangeran muda melalui kegemarannya dalam berdana, kemudian mengerahkan beberapa Brāhmana utusannya untuk merampok gajah yang luar biasa itu. Sehingga, pada suatu hari, ketika Viśvantara sedang memeriksa aula derma ― dengan raut wajahnya yang indah memancarkan kebahagiaan yang muncul di dalam pikirannya, ― para Brāhmana tersebut menghadang jalannya, mengucapkan doa dengan tangan kanan mereka yang terangkat dan terulur. Dia menghentikan gajah unggulannya, dan dengan hormat menanyakan alasan kedatangan mereka; mereka harus mengungkapkan keinginan mereka, ucapnya. Para Brāhmana berbicara:
(7, 8)
“Baik itu kualitas yang sangat baik dari gajah milikmu ini, yang berjalan dengan anggun, maupun kesenanganmu dalam memberi, membuat kami tampak seperti pengemis.
Berikanlah kami gajah (putih) ini, yang indah bagai puncak gunung Kailāsa, dan engkau akan memenuhi dunia dengan kekaguman.”
Sang Bodhisattva, mendengarkan permintaan itu, pikirannya dipenuhi dengan kegembiraan yang tulus dan merenungi ini:
“Sungguh, setelah sekian lama kini aku melihat pengemis yang meminta hadiah besar. Tetapi, bagaimanapun juga, untuk apa para Brāhmana ini menginginkan gajahku? Tidak diragukan lagi, ini pasti tipu daya menyedihkan dari beberapa raja, yang pikirannya diliputi oleh ketamakan, kecemburuan, dan kebencian.
(9)
Tetapi raja itu, yang mengabaikan nama baiknya sendiri dan ajaran kebenaran, memberikan kesempatan untuk meningkatkan kebaikanku, [dia] tidak boleh bersedih karena merasa kecewa.”
Setelah mempertimbangkan demikian, Sang Mahātman turun dari punggung gajah yang luar biasa itu dan berdiri di depan mereka dengan kendi emas yang terangkat; lalu dia mengucapkan (dengan serius) “Terimalah.”
(10)
Setelah itu, meskipun mengetahui bahwa pengetahuan politik tidak selaras jalan kebenaran (Dharma) dan hanya sesuai dengan kepentingan material (artha), ia menyerahkan gajah utamanya. Kesenangannya pada kebenaran tidak membuatnya takut dengan kebohongan ajaran politik.
(11)
Setelah memberikan gajah itu, yang dihiasi dengan kisi-kisi kursi emas yang indah di punggungnya, menyerupai awan musim gugur yang lebat, bersinar dengan kilatan cahaya, pangeran kerajaan memperoleh kegembiraan yang luar biasa ― tetapi penduduk dilanda oleh ketakutan, karena mereka adalah pengikut ajaran politik.
Ketika para Śibi mendengar tentang pemberian gajah besar itu, menjadi marah dan murka. Para tetua Brāhmana, para menteri, para ksatria dan para kepala desa, membuat kegemparan dan pergi menghadap raja Saṁjaya.
Karena kegelisahan, kebencian, dan amarah mereka, mereka mengabaikan tata krama untuk menghormat kepada raja mereka, dan berbicara: “Mengapa Anda mengabaikan hal ini, Yang Mulia, ketika kekayaan kerajaan Anda dibawa? Yang Mulia tidak boleh mengabaikan bahwa dengan cara ini Anda memupuk kemalangan di wilayah Anda.” Ketika sang raja dengan khawatir bertanya kepada mereka apa yang mereka maksud dengan ini, mereka menjawab: “Mengapa, apakah Anda tidak mengetahui apa yang telah terjadi, Yang Mulia?
(12, 13)
Binatang yang luar biasa itu, yang wajahnya harum dengan aroma sari buah yang mengalir, memabukkan kerumunan lebah yang berkeliaran di sekitarnya, dan juga meresapi angin teduh dengan wewangiannya, sehingga mendorongnya untuk dengan senang dan mudah membersihkan bau cairan gajah angkuh lainnya; gajah perang itu, yang kekuatan cemerlangnya menundukkan daya dan kekuatan musuh-musuhmu, dan merendahkan harga diri mereka hingga tertidur tanpa bergerak ― lihat, kemenangan yang diwujudkan itu telah dilepaskan oleh Viśvantara dan sedang dibawa ke negeri luar.
(14)
Gandum, emas, pakaian, barang-barang yang dapat dimakan, itulah barang-barang yang pantas untuk diberikan kepada para Brāhmana, tetapi berpisah dengan gajah utama kita, ikrar kemenangan yang mulia, adalah sebuah pemberian yang berlebihan dan terlalu jauh.
(15)
Bagaimana mungkin keberhasilan dan kekuasaan dapat bergabung dengan pangeran yang bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebijakan negara? Dalam hal ini kesabaran dari pihak Anda tidak pada tempatnya, Yang Mulia, jangan sampai dia membuat musuh-musuh Anda bersukacita.”
Mendengar hal ini, sang raja yang menyayangi putranya tidak terlalu senang kepada mereka: tetapi ia menunjukkan tata krama dan dengan cepat berkata kepada mereka bahwa mereka benar; setelah itu dia mencoba menenangkan para Śibi. “Aku tahu,” katanya, “bahwa Viśvantara menuruti keinginannya yang tidak sepadan untuk berdana sehingga mengabaikan aturan-aturan kebijaksanaan politik, yang perilakunya tidak sesuai sebagai seseorang yang ditunjuk sebagai pejabat kerajaan. Tetapi karena dia telah menyerahkan gajahnya sendiri, seolah itu adalah lendir, siapa yang akan membawa kembali hewan itu? Aku akan mengambil tindakan sedemikian rupa sehingga Viśvantara akan mengetahui batasan dalam perbuatan dananya. Ini mungkin cukup untuk meredakan amarah kalian.
Para Śibi menjawab: “Tidak, Yang Mulia, ini tidak akan berhasil. Dalam hal ini Viśvantara bukanlah orang yang dapat diyakinkan dengan kecaman sederhana.”
Saṁjaya berbicara: “Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan?
(16)
Dia menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, dia hanya terlalu terikat lepada praktik kebajikan sehingga menjadi sebuah hasrat. Apakah kalian menganggap bahwa pemenjaraan atau kematian putraku sendiri merupakan ganti rugi yang sepadan untuk gajah itu?
Meskipun demikian, para Śibi tetap bertahan dalam amarah mereka dan berkata:
(17, 18)
“Siapa yang akan senang, wahai raja, jika putra Anda mendapatkan rasa sakit karena kematian, atau penjara, atau cambukan sebagai hukumannya? Tetapi mengabdikan diri pada tugas-tugas agamanya, Viśvantara tidak pantas menjadi pemikul tugas-tugas kerajaan yang penuh dengan beban, karena kelembutan hati dan belas kasihnya.
Biarlah takhta ini ditempati oleh pangeran yang telah terkenal karena kemampuan berperangnya dan terampil dalam seni memberikan haknya kepada ketiga anggota trivarga. Sedangkan putra Anda, sebagai akibat dari kecintaannya pada kebenaran (Dharma), tidak mengindahkan kebijakan negara (naya), adalah orang yang pantas untuk tinggal di hutan pertapaan.
(19)
Tentunya, jika para pangeran menerapkan peraturan yang salah dan buruk, akibat dari kesalahan-kesalahan itu akan jatuh pada rakyatnya. Meskipun hal-hal itu dapat ditahan oleh mereka, seperti yang sudah pernah dialami; tetapi tidak demikian halnya bagi para raja yang akar kekuatannya sedang digerogoti.
(20)
Maka, kemudian, apa lagi yang harus diucapkan? Tidak mampu bersekutu dengan keadaan hal-hal yang akan menyebabkan kehancuran Anda, para Śibi telah mengambil keputusan ini. Pangeran kerajaan harus diasingkan ke Gunung Vaṅka, kediaman para Siddha; di sana ia dapat melakukan pertapaan.
Ditegur demi kebaikannnya dengan cara yang sangat kasar oleh para pejabat itu, ― yang berbicara dengan terus terang karena tergerak oleh hormat dan rasa sayang, meramalkan bencana yang dapat muncul akibat kebijakan yang buruk ― sang raja merasa malu dengan amarah para pemimpin rakyatnya, dan dengan mata tertunduk, diliputi oleh pikiran sedih tentang perpisahan dengan putranya, dia menghela napas yang dalam dan menyedihkan, berkata kepada para Śibi: “Jika ini adalah keputusan kalian, setidaknya izinkan dia dapat menunda selama satu siang dan malam. Besok saat fajar, Viśvantara akan mewujudkan keinginanmu.”
Jawaban ini memuaskan para Śibi. Kemudian raja berkata kepada pengurus rumah tangganya: “Pergi dan beri tahu Viśvantara tentang apa yang telah terjadi.” Pengurus rumah tangga berkata dia akan melakukannya, dan, dengan wajah berlinang air mata, pergi menemui Viśvantara,yang pada saat itu berada di istananya sendiri. Karena kesedihannya, utusan kerajaan menjatuhkan dirinya ke kaki pangeran, menangis keras-keras. Kemudian Viśvantara dengan cemas menanyakan kesehatan keluarga kerajaan, yang dijawab dengan suara yang agak tidak jelas karena kesedihan:
“Oh, keluarga kerajaan baik-baik saja.” “Tapi kenapa kamu begitu gelisah?” Viśvantara bertanya. Ditanya sekali lagi, utusan yang tenggorokannya masih tercekik oleh rasa sedih, mengucapkan kata-kata ini perlahan dengan nada tersendat-sendat dan isak tangis:
(21)
“Para Śibi, digerakkan oleh amarah, dengan kasar mengabaikan perintah kerajaan, meskipun mereka menyatakannya dengan niat baik, memerintahkanmu untuk diasingkan dari kerajaan, pangeranku.”
Viśvantara berkata: “Aku… oleh para Sibi… diperintahkan untuk dibuang, digerakkan oleh amarah! Apa yang engkau katakan itu tidak masuk akal.
(22)
Aku tidak pernah melanggar peraturan, juga tidak pernah melakukan tugas-tugasku dengan ceroboh. Tindakan jahat apa yang tidak aku ketahui, yang membuat para Śibi marah kepadaku?”
Pengurus rumah tangga berkata: “Mereka tersinggung atas keluhuran pikiran Anda.
(23, 24)
Kepuasan Anda dimurnikan oleh ketidakmelakatan yang Anda alami, tetapi peminta itu bermasalah oleh keserakahannya.
Ketika Anda memberikan gajah yang paling utama itu, wahai pangeran yang mulia, kemurkaan membuat para Śibi kehilangan kesabaran dan menyebabkan mereka melanggar batas tugas mereka. Mereka sangat marah terhadap Anda. Engkau harus pergi, sungguh, mengikuti cara hidup sebagai pertapa.”
Kemudian, Bodhisattva menunjukkan kasih sayangnya yang kepada para pengemis yang sudah mengakar dalam, yang dikukuhkan oleh praktik welas asihnya yang mendalam, dan kesabarannya yang agung dan luar biasa. dia berkata:
“Sifat para Śibi tidak dapat diandalkan, dan tampaknya mereka tidak bisa memahami sifatku.
(25)
Objek indria berada di luar diri kita, berlebihan untuk mengatakan bahwa aku akan memberikan mata atau kepalaku. Aku menyokong tubuh ini demi kepentingan para makhluuk, bukan demi kepemilikan pakaian dan kendaraan.
(26)
Aku ingin menghormati permintaan para pengemis, jika perlu, dengan anggota tubuhku sendiri, sedangkan para Śibi berusaha untuk menahan diri dari berdana karena ketakutan! Mempertimbangkan ini, mereka mengungkapkan ketidakstabilan pikiran mereka yang bodoh.
(27)
Biarkan semua Śibi membunuhku atau mengusirku, aku tidak akan berhenti dari berdana karena alasan itu. Dengan pikiran ini aku siap untuk pergi ke hutan pertapaan.”
Setelah ini, Bodhisattva berkata kepada istrinya, yang menjadi pucat saat mendengar berita sedih: “Yang Mulia telah mendengar keputusan para Śibi.” Madrī menjawab: “Aku sudah mendengarnya.” Viśvantara kemudian mengatakan:
(28)
“Sekarang simpanlah, wahai yang bermata cerah, seluruh kepemilikanmu, dengan mengambil apa yang engkau dapatkan dariku dan juga dari ayahmu.”
Madrī menjawab: “Di mana aku harus meletakkan simpanannya, pangeranku?” Viśvantara menjawab:
(29, 30)
“Engkau harus memberi dengan kerelaan hati kepada orang-orang yang berperilaku baik, menghiasi kemurahan hatimu dengan ketaatan yang baik. Barang yang disimpan dengan cara ini tidak akan binasa dan akan mengikuti kita setelah kematian.
Jadilah putri yang penuh kasih bagi mertuamu, wahai ibu yang penuh perhatian terhadap anak-anak kita. Teruslah bertingkah laku bajik, berwaspadalah terhadap kelalaian; tetapi janganlah bersedih atas kepergianku.”
Atas hal ini, Madrī, menghindari apa yang dapat merusak keteguhan pikiran suaminya, menahan kesedihan mendalam yang membuat hatinya sedih, dan berkata sambil berpura-pura tenang:
(31, 32)
“Tidak benar, Yang Mulia, bahwa engkau harus pergi ke hutan sendirian. Aku juga akan pergi bersamamu kemana pun engkau harus pergi. Saat menemanimu, bahkan kematian akan menjadi sebuah kegembiaraan bagiku; tetapi hidup tanpamu terasa lebih buruk dari kematian.
Aku juga tidak berpiki bahwa kehidupan hutan itu tidak menyenangkan sama sekali. Pertimbangkanlah dengan baik.
(33)
Dijauhkan dari orang-orang jahat, didatangi oleh rusa, bergema dengan burung-burung yang berkicau, hutan pertapaan dengan anak sungai dan pepohonan, keduanya lengkap, dengan petak-petak rumput bertatahkan lantai lapis lazuli yang indah, sejauh ini lebih menyenangkan daripada taman buatan milik kita.
Sungguh, pangeranku,
(34)
Ketika melihat anak-anak ini berpakaian rapi dan dihiasi dengan karangan bunga, bermain di semak-semak liar, engkau tidak akan memikirkan keluarga kerajaanmu.
(35)
Sungai-sungai pembawa air, dilintasi oleh gubuk alami dengan keindahan yang terus diperbarui, beragam sesuai dengan pergantian musim, akan menyenangkanmu di hutan.
(36, 37)
Suara merdu dari kicauan burung yang memdambakan cinta, tarian burung merak yang terbawa oleh musim kawin, dengungan manis dan bagai pujian dari lebah pencari madu: mereka membuat perpaduan suara hutan bersama itu yang akan menggembirakan pikiranmu.
(38, 39)
Lalu, bebatuan bertebaran di malam hari dengan kain sutra cahaya bulan; angin hutan yang lembut membelai dengan aroma pepohonan berbunga; suara gumaman anak sungai, mendorong air melewati kerikil yang bergerak sehingga meniru suara sejumlah ornamen wanita yang berderak – semua ini akan menyenangkan pikiranmu di hutan.”
Permohonan istri tercintanya ini membuatnya sangat ingin pergi ke hutan. Oleh karena itu, dia bersiap untuk melimpahkan pemberian yang besar kepada orang-orang yang mengemis.
Namun di istana raja, berita tentang pengusiran yang diucapkan kepada Viśvantara menyebabkan kekhawatiran dan ratapan besar. Demikian pula para pengemis, yang diganggu oleh kesedihan dan duka cita, menjadi hampir gila, berperilaku seolah-olah mereka sedang mabuk atau kehilangan akal, dan mengucapkan banyak serta berbagai ratapan semacam ini:
(40)
“Bagaimana mungkin bumi tidak merasa malu, membiarkan kapak menebang pohon yang rindang itu, sang pemberi buah yang begitu manis? Sekarang jelas dia telah kehilangan kesadaran.
(41)
Jika tidak ada yang mencegah mereka yang akan menghancurkan sumur berisi air yang dingin, murni, dan manis itu, maka sebenarnya penjaga perempat-dunia ini salah dinamai demikian, atau sebenarnya mereka tidak ada, atau mereka hanyalah sebutan belaka.
(42)
Oh! Sungguh ketidakadilan telah bangkit dan kebenaran entah sedang tidur atau mati, karena Pangeran Viśvantara diusir dari kekuasaannya.
(43)
Siapakah yang begitu mahir dalam menimbulkan kesusahan, sehingga memiliki kekejaman yang bertujuan untuk membuat kami kelaparan, yang tidak bersalah, yang hanya hidup dengan mengemis?”
Bodhisattva kemudian melepaskan kekayaannya. Kepada para pengemis, dia melimpahkan isi dari perbendaharaannya, yang hingga bagian paling atas terisi dengan batu-batu berharga, emas, dan perak, yang bernilai ratusan ribu; gudang-gudang senjata dan lumbung-lumbung, berisi berbagai jenis barang dan biji-bijian; semua miliknya yang lain, terdiri dari budak dari kedua jenis kelamin, binatang-binatang buas, kereta, pakaian dan sejenisnya. Semuanya ini dia bagikan sesuai dengan jasa kebajikan penerima.
Setelah selesai, dia memberi penghormatan kepada ayah dan ibunya, berpamitan dengan mereka, yang diliputi kesedihan dan duka cita. Kemudian dia menaiki kereta kerajaannya bersama istri dan anak-anaknya. Dia meninggalkan ibu kota, sementara sekelompok besar orang mengucapkan ratapan, jalanan menjadi ramai seperti sedang ada perayaan; dia juga tidak berhasil dengan mudah untuk membuat keramaian berbalik, yang mengikutinya karena kasih sayang, meneteskan air mata kesedihan.
Kemudian dirinya mengambil kendali, dia mengemudi ke arah Gunung Vaṅka. Dan tanpa sedikit pun pikiran gelisah, dia meninggalkan ibu kota, dimahkotai dengan taman dan rumpun yang menawan, dan mendekati hutan, yang ditandai oleh semakin jarangnya pepohonan rindang serta manusia, pemandangan sekawanan antelop berlarian di jarak yang jauh dan kicauan jangkrik.
Secara kebetulan beberapa Brāhmana datang menemuinya, meminta kuda-kuda yang menarik keretanya kepadanya.
(44)
Dan meskipun dia dalam perjalanan banyak yojana tanpa pengiring sambil menanggung istrinya, dia memberikan keempat kudanya kepada para Brāhmana ini, menjadi gembira atas kesempatan memberi , dan tidak memikirkan masa depan.
Sekarang, ketika Bodhisattva hendak meletakkan dirinya di bawah kuk, dan sedang mengencangkan lingkar pinggangnya dengan erat, di sana muncul empat Yakṣa muda, dalam bentuk rusa merah. Seperti kuda-kuda unggul yang terlatih dengan baik, mereka meletakkan bahu mereka sendiri di bawah kuk. Saat melihat mereka, Bodhisattva berkata kepada Madrī, yang menatap mereka dengan sukacita dan keterkejutan:
(45)
“Lihatlah kekuatan luar biasa dari hutan pertapaan yang dihormati oleh kediaman para pertapa. Kebaikan mereka terhadap para tamu dalam hal ini telah mengakar dalam dada rusa yang paling utama.”
Madrī menjawab:
(46)
“Menurutku, ini lebih merupakan karena kesaktianmu. Praktik kebajikan oleh orang baik, telah mengakar dalam, tidak sama bagi semua orang.
(47)
Ketika pantulan indah bintang-bintang di air dilampaui oleh kilau tawa bunga lili malam, penyebabnya dapat ditemukan dalam sinar yang diturunkan oleh sang dewa rembulan seolah-olah karena keingintahuannya.”
Sementara mereka pergi, mengucapkan kata-kata kasih sayang satu sama lain, seorang brāhmana lain mendekat, dan meminta kereta kerajaan Bodhisattva.
(48)
Dan Sang Bodhisattva tidak mempedulikan kenyamanannya sendiri, tetapi mengasihi para pengemis seperti kerabatnya sendiri, memenuhi keinginan Brāhmana itu.
Dia dengan senang hati meminta keluarganya turun dari kereta, mempersembahkannya kepada brāhmana itu, dan membawa Jālin ― putranya ― dalam pelukannya, melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Madrī, yang juga bebas dari kesedihan, mengangkat putrinya, Kṛṣṇājinā, dalam pelukannya dan berjalan mengejar suaminya.
(49)
Kepadanya, pohon-pohon menjulurkan dahan-dahan yang ujungnya dihiasi dengan buah-buahan yang menawan, seolah-olah mengundangnya untuk menikmati keramahan mereka, dan memberi penghormatan pada kemuliaan jasa kebajikannya, membungkuk kepadanya seperti murid yang taat ketika mereka melihatnya.
(50)
Dan, di mana ia merindukan air, di tempat-tempat itu kolam teratai muncul di hadapannya, menutupi permukaannya dengan serbuk sari putih dan coklat kemerahan yang jatuh dari kepala sari teratai yang diguncang oleh kepakan sayap para angsa.
(51)
Awan menutupi dirinya dengan kanopi yang indah; di sana bertiup angin yang menyenangkan dan harum; dan jalannya diperpendek karena para Yakṣa tidak tahan melihat kerja keras dan kelelahannya.
Dengan cara ini, Bodhisattva bersama istri dan anak-anaknya mengalami kesenangan dan kegembiraan saat berjalan, tanpa merasa kelelahan, seolah-olah sedang berada di suatu taman, dan akhirnya dia melihat gunung Vaṅka. Ditunjukkan jalannya oleh beberapa penjaga hutan, dia pergi ke hutan pertapaan yang ada di gunung itu.
Hutan ini diliputi oleh berbagai pohon yang menawan, berkulit halus, yang sangat bagus, dengan ornamen ranting, bunga, dan buah-buahan; burung-burung yang bersuka ria dengan nafsu menggemakan beragam nada mereka; kelompok burung merak yang menari meningkatkan keindahannya; banyak jenis rusa tinggal di dalamnya. Bagai ikat pinggang, hutan itu dikelilingi oleh sungai yang airnya berwarna biru murni dan angin yang sepoi-sepoi di sana, membawa serbuk bunga merah.
Di hutan ini berdiri sebuah gubuk dengan dedaunan, indah untuk dilihat, dan menyenangkan di setiap musim. Viśvakarman sendiri membangunnya atas perintah Śakra. Di sanalah Bodhisattva menempati kediamannya.
(52)
Ditemani oleh istri tercintanya, dia menikmati pembicaraan yang manis dan santai bersama anak-anaknya. Tidak memikirkan urusan kerajaannya, seperti orang yang tinggal di tamannya sendiri, dia berlatih di rerimbunan hutan pertapaan yang kuat selama setengah tahun.
Suatu hari, ketika sang putri pergi mencari akar dan buah-buahan, dan pangeran sedang berada di dalam pertapaan sambil mengawasi anak-anaknya, tibalah seorang Brāhmana yang kaki dan pergelangan kakinya sudah lelah akibat perjalanan jauh, matanya kaku dan pipinya cekung akibat bekerja keras; dia membawa tongkat kayu di atas bahunya, tempat wadah airnya digantung. Istrinya telah mengutusnya dengan tugas mendesak, untuk pergi dan mencarikan beberapa pembantu.
Ketika Bodhisattva melihat seorang pengemis mendatanginya setelah sekian lama, hatinya bersukacita, dan wajahnya mulai bersinar. Dia pergi menemuinya, dan menyambutnya dengan kata-kata yang ramah. Setelah percakapan yang biasa dia katakan padanya untuk memasuki pertapaan, di mana dia menghiburnya dengan kehormatan karena seorang tamu. Kemudian dia bertanya kepadanya tentang apa yang akan dia lakukan. Brāhmana, karena menyukai istrinya, telah membuang kebajikan dan rasa malu dan ingin sekali menerima pemberiannya, berkata secara jujur seperti ini:
(53)
“Di mana terdapat terang dan jalan yang rata, di situ mudah bagi manusia untuk pergi. Tetapi di dunia ini kegelapan mementingkan diri sendiri telah berlaku sedemikian rupa sehingga tidak ada orang lain yang akan mendukung kata-kata permintaanku.
(54)
Kemasyhuranmu yang cemerlang atas pemberian yang penuh pengorbanan telah merambah ke mana-mana. Untuk alasan ini aku datang untuk meminta darimu. Berilah aku kedua anakmu untuk menjadi pelayanku.”
Disapa seperti itu, Bodhisattva, Sang Mahāsattva itu,
(55)
Karena dia memiliki kebiasaan berdana dengan gembira kepada pengemis dan tidak pernah belajar untuk mengatakan tidak, dengan berani mengatakan bahwa dia akan memberi bahkan kedua kesayangannya sekalipun.
“Terberkatilah! Apa lagi yang masih engkau tunggu?” Demikian Brāhmana mendesak Bodhisattva. Anak-anak, setelah mendengar ayah mereka berkata bahwa dia akan memberikan mereka, menjadi menderita, dan mata mereka berlinang air mata. Kasih sayangnya kepada mereka membuatnya gelisah, dan membuat hatinya tenggelam. Maka Bodhisattva berbicara kepada Brāhmana itu:
(56, 57)
“Mereka adalah milikmu, yang diberikan olehku kepadamu. Tapi ibu mereka sedang tidak berada di rumah. Dia pergi ke hutan untuk mencari akar dan buah-buahan; dia akan kembali pada malam hari.
Biarkan ibu mereka melihat mereka, berpakaian rapi seperti sekarang dan membawa karangan bunga, dan mencium mereka sebagai perpisahan. Beristirahatlah malam ini di sini; engkau akan membawa mereka pergi besok.”
Brāhmana itu berkata: “Yang Mulia seharusnya tidak mendesakku.
(58)
Wanita memiliki kuasan ‘pemikat cantik,’ engkau tentu mengetahuinya. Dia akan menghalangimu untuk memenuhi janjimu. Oleh karena itu aku tidak ingin bermalam di sini.”
Bodhisattva menjawab: “Jangan pikirkan itu. Istriku tidak akan menghalangiku memenuhi janji. Dia sebenarnya adalah pendamping dari praktik kebajikanku. Bertindaklah sesuka hati Yang Mulia. Namun, Brāhmana yang agung, engkau harus mempertimbangkan ini:
(59-61)
Bagaimana mungkin anak-anak ini dapat memuaskan keinginanmu dengan kerja paksa? Mereka sangat muda dan lemah, tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti itu.
Tetapi raja Śibi, kakek mereka, setelah melihat mereka jatuh ke dalam perbudakan, pasti akan memberimu uang sebanyak yang engkau minta sebagai tebusannya.
Maka, untuk alasan ini aku menyarankan kepadamu, bawalah mereka pergi ke kerajaannya. Ketika bertindak demikian, engkau akan memiliki kekayaan yang besar dan menjalankan kebajikan pada saat yang sama.”
“Tidak” (ucap Brāhmana), “Aku tidak berani datang kepada sang raja dengan tawaran yang akan membangkitkan amarahnya; dia tidak bisa didekati bagaikan seekor ular.
(62)
Dia akan memerintahkan agar anak-anak itu diambil paksa dariku, mungkin dia juga akan menjatuhkan hukuman kepadaku. Aku akan membawa mereka kepada Brāhmaṇī-ku agar dapat merawat mereka.”
Atas hal ini Bodhisattva tidak berkata apa-apa selain menjawab, “Bila demikian, terserah kepadamu,” tanpa menyelesaikan kalimatnya. Dia menginstruksikan anak-anak dengan kata-kata yang meyakinkan tentang bagaimana mereka harus bertindak sesuai dengan status baru mereka sebagai pelayan; setelah itu ia mengambil wadah air, membalikannya di atas tangan Brāhmana yang terulur, yang serakah untuk menerima pemberian.
(63)
Menyerah pada usahanya, air mengalir dari wadah, dan pada saat yang sama air mata jatuh tanpa usaha dari matanya yang menyerupai kelopak bunga teratai merah tua.
Gembira dengan keberhasilannya dan tidak tenang oleh kegembiraannya, tergesa-gesa untuk membawa anak-anak Bodhisattva, Brāhmana mengucapkan kalimat pemberkatan pendek, dan memberi tahu anak-anak dengan suara perintah yang kasar untuk pergi keluar. Dia bersiap untuk membuat mereka meninggalkan pertapaan. Namun, mereka tidak dapat menahan kesedihan karena perpisahan yang terlalu mendalam, hati mereka menciut bersama dan mereka memeluk kaki ayah mereka. Bermandikan air mata, mereka berseru:
(64)
“Ibu sedang keluar rumah saat engkau akan menyerahkan kami. Jangan relakan kami sebelum kami mengucapkan selamat tinggal kepada ibu juga.
Sekarang Brāhmana itu merenung: “Sang ibu akan kembali dalam waktu yang lama, atau kemungkinan cintanya sebagai seorang ayah akan membuatnya menyesal.” Dengan mempertimbangkan itu, dia mengikat tangan mereka seperti seikat teratai dengan tanaman menjalar, dan karena mereka enggan untuk pergi serta melihat kembali pada ayah mereka, dia mulai menyeret anak-anak yang kecil dan lembut itu bersamanya, mengancam mereka. Pada saat itu Kṛṣṇājinā, sang gadis, yang belum pernah mengalami bencana yang tiba-tiba, menangis dengan berlinang air mata sambil berucap kepada ayahnya:
(65, 66)
“Brāhmana yang kejam ini, ayah, melukaiku dengan tanaman menjalar. Orang ini pasti bukan Brāhmana. Para Brāhmana adalah orang-orang yang baik. Ini adalah raksasa yang berkedok seorang Brāhmana. Pasti dia membawa pergi kami untuk memakan kami. Mengapa engkau membuat kami menderita, ayah, untuk dibawa pergi oleh raksasa ini?”
Dan Jālin, sang anak laki-laki, meratap karena ibunya, berkata:
(67)
“Bukan tindakan kasar Brāhmana ini aku menderita, melainkan karena ketidakhadiran ibu. Hatiku seolah-olah tertusuk oleh kesedihan karena aku tidak dapat melihatnya.
(68)
Oh! Tentu saja, ibu akan menangisi kita untuk waktu yang lama di tempat pertapaan yang kosong, seperti burung cātaka yang anak-anaknya telah dibunuh.
(69)
Bagaimana sikap ibu, ketika kembali dengan banyak akar dan buah yang dia kumpulkan di hutan untuk kita, lalu dia menemukan tempat pertapaan yang kosong?
(70)
Ayah, ini adalah mainan kuda, gajah, dan kereta kami. Separuh dari itu harus engkau berikan kepada ibu, agar dia dapat meredakan kesedihannya.
(71)
Engkau juga harus menyampaikan salam hormat kami kepadanya dan menahannya agar tidak menyakiti dirinya sendiri; karena akan sulit bagi kami, ayah, untuk bertemu dengan kalian lagi.
(72)
Ayo, Kṛṣṇā, marilah kita mati. Apa gunanya kita hidup? Kita telah diserahkan oleh sang pangeran kepada seorang Brāhmana yang menginginkan uang.”
Setelah berbicara demikian, mereka berpisah. Tetapi Bodhisattva, meskipun pikirannya terguncang oleh ratapan yang sangat memilukan dari anak-anaknya, tidak beranjak dari tempat dia duduk. Sementara menyatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak benar untuk menyesal karena telah memberi, hatinya dibakar oleh api kesedihan yang tidak dapat disembuhkan, dan pikirannya menjadi kacau, seolah-olah dilumpuhkan oleh kelambanan yang disebabkan oleh racun. Angin yang berembus sejuk membuat akal sehatnya segera pulih, dan melihat pertapaan yang tak bersuara dan sunyi, tanpa anak-anaknya, dia berkata pada dirinya sendiri dengan suara yang tercekat dengan air mata:
(73)
“Bagaimana mungkin orang ini tidak segan-segan untuk menyerang hatiku di depan mataku pada anak-anakku? Oh, Brāhmana yang tak tahu malu itu!
(74)
Bagaimana mereka dapat melakukan perjalanan dengan bertelanjang kaki, tidak dapat menahan kelelahan karena usia mereka yang masih muda, dan menjadi pelayan bagi pria itu?
(75)
Siapa yang akan mengistirahatkan mereka, ketika mereka lelah dan tidak bertenaga? Kepada siapa mereka dapat bertanya, jika kesal dengan penderitaan kelaparan dan kehausan?
(76)
Jika kesedihan ini dapat menyerangku, yang berusaha sungguh-sungguh mengejar keteguhan pikiran, bagaimana dengan kondisi anak-anak kecil itu, yang dibesarkan dengan kenyamanan?
(77)
Oh! Perpisahan dengan anak-anakku bagaikan api yang membara di dalam pikiranku! Tapi apakah mereka yang telah berpegang pada jalan kebajikan akan menyesali pemberiannya?
Sementara itu, Madrī gelisah oleh pertanda-pertanda buruk, merasakan suatu petaka, sehingga ia ingin segera kembali dengan akar dan buahnya. Tetapi dalam perjalanan ia dihalangi oleh binatang buas sehingga dia terpaksa pulang ke tempat pertapaan dengan jalan memutar yang panjang. Dan ketika dia tidak melihat anak-anaknya di jalan, di mana mereka biasa datang untuk menemuinya, termasuk di tempat mereka bermain, dia semakin merasa gelisah.
(78)
Memahami pertanda buruk yang menakutkan ini, dia merasa gelisah dan cemas. Melihat ke sekeliling, dia berharap dapat melihat anak-anaknya, kemudian memanggil mereka. Tetapi setelah tidak menerima jawaban, dia mulai meratap, berduka karena kesedihan.
(79)
“Dulunya tempat pertapaan ini, yang bergema dengan teriakan anak-anakku, tampak seperti tempat yang ramai. Sekarang karena aku tidak melihat mereka, aku merasa diriku tidak berdaya di tempat ini yang kini seperti berada di hutang belantara.
(80)
Tapi mungkin mereka sudah tertidur dan terlelap karena kelelahan bermain. Atau mungkinkah mereka tersesat di semak belukar? Atau mungkinkah mereka menyembunyikan diri karena rasa kekanak-kanakan, merasa tidak senang karena aku terlalu lama pulang?
(81)
Tapi mengapa burung-burung di sana tidak berkicau? Apakah mungkin mereka bingung, setelah menyaksikan kemalangan yang terjadi pada anak-anak? Mungkinkah kesayanganku jatuh ke dalam sungai deras, terbawa oleh arusnya yang kuat?
Oh! Kecurigaanku mungkin tidak berdasar dan salah. Semoga pangeran serta anak-anak baik-baik saja! Oh! Semoga firasat ini hanya terjadi pada diriku sendiri! Tetapi mengapa hatiku terasa berat dengan kesedihan karena memikirkan mereka? Mengapa hatiku seolah terselimuti dalam malam yang kelam dan seperti akan tenggelam? Mengapa anggota tubuhku seperti melemah, aku tidak dapat lagi melihat benda-benda di sekitarku, sehingga hutan ini, yang kehilangan kilaunya, tampak berputar?”
Setelah memasuki tempat pertapaan dan menyisihkan akar dan buahnya, dia pergi menemui suaminya. Setelah melakukan salam seperti biasa, dia menanyakan anak-anak. Sekarang Bodhisattva, yang mengetahui kelembutan cinta seorang ibu dan juga menganggap bahwa kabar buruk sulit untuk diceritakan, tidak dapat memberikan jawaban apa pun.
(82)
Ini adalah masalah yang sangat sulit bagi seorang pria yang bersedih hati, sungguh, untuk menyiksa pikiran seseorang yang telah datang kepadanya dan pantas untuk mendengar kata-kata yang menyenangkan dengan sebuah kabar buruk.
Kemudian Madrī berpikir: “Pasti, beberapa penyakit telah menimpa anak-anak; keheningannya pasti karena dia diliputi oleh duka cita dan kesedihan,” dan dia hampir pingsan setelah menatap sekitar tempat pertapaan tetapi tidak melihat anak-anak. Dan sekali lagi dia berucap dengan suara yang agak tidak jelas karena isak tangis yang tidak tertahan:
(83)
“Aku tidak melihat anak-anak, dan engkau tidak berbicara apa-apa kepadaku! Sungguh disayangkan! Aku merasa sedih, putus asa. Keheningan ini menyampaikan sebuah hal buruk yang besar.
Tidak lama setelah dia mengucapkan kata-kata tersebut, terlalu larut oleh kesedihan yang menyiksa hatinya, dia terjatuh bagai tanaman merambat yang dipotong dengan keras. Bodhisattva mencegahnya jatuh ke tanah, memeluknya dengan tangan, dan membawanya ke atas rumput untuk dibaringkan dan dipercik dengan air dingin untuk memulihkan kesadarannya. Kemudian dia berusaha untuk menghiburnya, dengan mengatakan:
(84)
“Aku belum menyampaikan kabar duka ini secara langsung kepadamu, Madrī, karena tidak mungkin mengharapkan ketegaran dari seseorang yang pikirannya lemah oleh kasih sayang.
(85)
Jadi, seorang Brāhmana yang menderita karena usia tua dan kemiskinannya telah mendatangiku. Aku telah memberikan kedua anak itu kepadanya. Tenangkan dirimu dan jangan bersedih.
(86)
Lihatlah aku, Madrī, jangan mencari anak-anak ataupun tenggelam dalam ratapan. Jangan lagi menyerang hatiku, yang masih tertusuk oleh panah kesedihan karena anak-anak.
(87)
Ketika hidupku diminta, haruskah aku dapat menahannya? Pertimbangkan ini, cintaku, dan bergembiralah atas pemberian yang telah kulakukan bagi anak-anak.”
Madrī, yang mengalami kesedihan berat karena kecurigaan akan kematian anak-anaknya, sekarang mendengar bahwa mereka masih hidup, mulai pulih dari ketakutan dan penderitaannya. Dia menyeka air matanya dengan tujuan untuk menghibur dan menguatkan suaminya; lalu mendongak, dia melihat (sesuatu) yang membuatnya berbicara secara takjub kepada suaminya:
“Sungguh baik! Sungguh baik!
(88)
Sesungguhnya, bahkan para dewa sedang diliputi kekaguman kepada hatimu yang sampai saat ini tidak dapat disentuh oleh perasaan egois.
(89)
Ini terbukti dari suara genderang surgawi yang bergema ke segala arah. Untuk merayakan kemuliaanmu, alam surga telah menyusun pujian yang diucapkan dalam bahasa yang berbeda dari jauh.
(90)
Bumi berguncang, bergetar, berasal dari kegembiraan, seperti yang ditunjukkan oleh pegunungan besar yang terangkat. Bunga-bunga keemasan berjatuhan dari surga, membuat langit nampak seolah sedang diterangi oleh kilat.
(91)
Tinggalkan kesedihan dan ratapan. Engkau telah memberi dalam kemurahan hati yang akan mencerahkan batinmu. Kembali menjadi mata air yang memberi manfaat bagi para makhluk, dan menjadi seorang pemberi seperti sebelumnya!”
Permukaan bumi terguncang, Sumeru, raja di antara gunung, bersinar dengan kilauan permatanya, mulai bergoyang. Śakra, raja para dewa, mencari tahu penyebab dari gempa bumi, dan diberitahu tentang oleh pengawas penjuru dunia, yang dengan mata membesar karena keheranan, mengatakan kepadanya bahwa hal itu disebabkan oleh Viśvantara memberikan anak-anaknya.
Bersemangat dengan kegembiraan dan keheranan, keesokan harinya saat fajar menyingsing dia pergi ke hadapan Viśvantara, berpura-pura menjadi seorang Brāhmana yang datang kepadanya sebagai seorang pengemis. Bodhisattva menunjukkan kepadanya keramahan yang harus dia berikan kepada seorang tamu, setelah itu dia memintanya untuk menyampaikan permintaannya. Kemudian Śakra meminta istrinya.
(92)
“Praktik berdana pada orang-orang yang bajik,” katanya, “Orang yang bajik tidak pernah berhenti memberi sampai lautan mengering. Untuk alasan ini aku memohon kepadamu untuk wanita di sana yang berpenampilan seperti seorang dewi. Dia, istrimu, kumohon, berikanlah kepadaku!
Bagaimanapun juga, Bodhisattva tetap tidak kehilangan keteguhan pikirannya, dan berjanji untuk memberikannya.
(93)
Kemudian memegang Madrī dengan tangan kiri dan wadah air dengan tangan kanannya, dia menuangkan air ke tangan Brāhmana, juga api kesedihan ke dalam pikiran sang dewa cinta nafsu.
(94)
Tidak ada kemarahan yang muncul di dalam dada Madrī, dia juga tidak menangis, karena dia telah mengetahui sifat suaminya. Dengan hanya menjaga matanya tetap tertuju padanya, dia berdiri seperti bayangan, tertegun oleh beban besar dari penderitaan baru itu.
Saat melihat ini, Śakra, raja para dewa, tersentuh oleh kekaguman yang luar biasa, mengagungkan sang Bodhisattva:
(95)
“Oh! Begitu lebar jarak antara tingkah laku orang yang bajik dan jahat! Bagaimana mereka yang belum memurnikan hati mereka akan mampu mempercayai tindakan yang luar biasa ini?
(96)
Menyayangi istri yang penuh kasih sayang dan anak-anak yang sangat dicintai, namun tetap melepaskan mereka, mematuhi sumpah ketidakmelekatan yang ditetapkan sendiri ― apakah mungkin untuk memahami kemuliaan seperti ini?
(97)
Ketika kemuliaanmu akan disebar ke seluruh dunia melalui kisah-kisah dari perbagai orang yang terinspirasi dengan kebajikanmu, nama baik yang cemerlang orang lain akan memudar dibandingkan dengan dirimu, tanpa perlu diragukan lagi, layaknya cahaya bintang-bintang yang lenyap oleh kecemerlangan cahaya matahari.
(98)
Bahkan sekarang kualitas-kualitas seorang manusia agungmu ini telah disetujui dengan pujian oleh para Yakṣa, para Gandharwa, para naga, dan oleh para dewaa, termasuk Vāsava.”
Setelah berbicara demikian, Śakra memunculkan sosoknya yang cemerlang dan membuat dirinya dikenali oleh Bodhisattva. Setelah itu dilakukan, dia berkata:
(99)
“Sekarang kukembalikan kepadamu Madrī, istrimu. Di mana lagi seharusnya sinar rembulan berada selain bersama dengan bulan?
100. Engkau juga tidak perlu khawatir tentang perpisahan dari putra dan putrimu, atau bersedih hati karena kehilangan kemuliaan kerajaanmu. Tak lama kemudian ayahmu akan datang kepadamu, ditemani oleh kedua anakmu, dan menempatkan kerajaannya di dalam perlindungan, menegakkanmu kembali dalam tingkatan yang tinggi.”
Setelah mengucapkan kata-kata ini, Śakra menghilang di tempat.
Dan Brāhmana itu, sebagai akibat dari kekuatan Śakra, membawa anak-anak Bodhisattva ke tanah Śibi. Dan ketika para Śibi beserta Saṁjaya, raja mereka, mendengar tentang tindakan Bodhisattva yang paling berwelas-asih, yang sulit dilakukan oleh orang lain, hati mereka melunak dengan kelembutan. Mereka menebus anak-anak dari tangan Brāhmana, dan setelah memperoleh pengampunan dari Viśvantara, membawanya kembali dan mengembalikannya dalam kemuliaan kerajaannya.
[Dengan cara ini, kemudian, perilaku seorang Bodhisattva sangatlah luar biasa. Untuk alasan ini makhluk-makhluk terhormat yang berjuang untuk keadaan itu, tidak boleh diremehkan atau dihalangi.
Cerita ini juga untuk disampaikan, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata dan ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian.]
[Kembali ke daftar isi]