Kisah tentang Maitribala (Kisah Relief Jatakamala 8)
Kisah tentang Maitribala
(Kisah Relief Jatakamala 8)
Ringkasan:
Maitribala adalah seorang raja yang memerintah dengan cinta kasih. Suatu hari, lima yaksa ingin mencelakai orang-orang di negara tersebut, tetapi gagal karena kekuatan cinta kasih Maitribala yang melindungi rakyat-rakyatnya. Merasa dendam, mereka menyamar menjadi brahmana, mendatangi Maitribala dan meminta makanan. Saat Maitribala menyajikan makanan kerajaan, mereka menolaknya. Mereka kemudian menampilkan wujud asli mereka sebagai yaksa dan meminta darah dan daging sebagai santapan. Raja yang menyadari ini justru merasa kasihan dengan mereka, karena makanan mereka yang begitu sulit untuk diperoleh. Ia kemudian memberikan darah dan dagingnya untuk mereka santap. Melihat hal ini, kelima yaksa itu merasa tersentuh. Mereka kemudian menyesali tindakan mereka dan meminta petunjuk dari sang raja. Maitribala kemudian mengajarkan mereka aturan dasar moralitas (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berucap salah, dan tidak meminum minuman keras). Para yaksa berjanji akan mematuhinya.
8.1. Sekelompok yaksa bertemu dengan seorang penggembala
Pada suatu ketika hiduplah seorang raja yang bernama Maitribala. Sesuai dengan namanya (maitri = cinta kasih), sang raja sangat mencintai rajanya. Baginya, kesusahan rakyatya adalah kesusahannya juga; sehingga ia selalu berupaya untuk melindungi rakyat-rakyatnya dari segala bentuk mara bahaya. Ia memerintah dengan penuh bijaksana, menerapkan hukuman dan penghargaan tanpa melanggar aturan Dharma.
Pada suatu hari, datanglah lima yaksa yang diusir dari tempat asal mereka. Yaksa ini melihat bahwa kerajaan tersebut sangat makmur dan rakyat-rakyatnya sangat bahagia. Munculah keinginan dari dalam diri mereka untuk mencelakai rakyat di kerajaan itu dengan menyebabkan penyakit. Namun, berkat perlindungan dari kekuatan kebajikan sang raja, seberapa kerasnya mereka berusaha, mereka tidak berhasil mengusik kesehatan para rakyat di negara itu.
Melihat usaha mereka gagal, mereka mencari upaya lain. Mereka menyamar menjadi brahmana dan berkeliling di sekitar kerajaan itu, yang akhirnya bertemu dengan seorang penggembala. Meniru suara manusia, kelima yaksa itu bertanya kepada sang penggembala, : “Wahai teman yang sedang bertugas menjaga sapi, apakah engkau tidak takut tinggal sendirian di hutan yang sepi ini, di mana tidak ada manusia lain yang terlihat?”
Penggembala itu menjawab, “Hal apa yang harus aku takuti?”
“Apakah kamu belum pernah mendengar bahwa makhluk seperti para Yakṣa, Rākṣasa, atau Piśāca itu berwatak kejam?” jawab yaksa.
Penggembala itu kemudian menjawab bahwa orang-orang di kerajaan tersebut dilindungi oleh seorang raja yang sangat bajik dan bijaksana, sehingga mereka tidak dapat dicelakai oleh siapa pun termasuk para yaksa. Oleh karena itulah, ia tidak takut berada sendirian di hutan belantara pada malam hari.
Para yaksa yang mendengar jawaban ini menjadi sangat merasa penasaran dan mendesak penggembala itu untuk menceritakan lebih detil mengenai raja pelindung mereka yang sangat kuat itu.
Penggembala itu kemudian menjawab dengan keheranan,
“Begitu terkenalnya kekuatan raja kami, tetapi kalian belum pernah mendengarnya! Bagaimana ini bisa terjadi? Atau pernahkah kalian mendengarnya, tetapi tidak mempercayai keajaiban besar dari ketenaran itu, dan tidak mempermasalahkannya?
Aku menduga orang-orang di negeri tempat asal kalian datang ke sini karena enggan mencari kebajikan atau merasa acuh tak acuh tentangnya; Mungkin juga, simpanan jasa bajik mereka sudah habis , sehingga kemasyhuran raja kami telah menghindari mereka.
Raja kami telah memperoleh kekuatan ini melalui pikirannya yang tinggi. Lihatlah, wahai Brāhmana yang mulia. Kekuatannya terletak pada cinta kasih, bukan pada pasukannya yang beraneka ragam, yang dia pertahankan hanya untuk mematuhi tradisi. Dia tidak mengenal amarah, juga tidak mengucapkan kata-kata kasar. Dia melindungi tanahnya dengan cara yang tepat. Kebenaran adalah pengatur tindakannya, bukan pengetahuan berpolitik yang merupakan ilmu dasar itu. Kekayaannya berfungsi untuk menghormati yang bajik. Meski diberkahi dengan kualitas-kualitas yang luar biasa itu, tetap saja dia tidak mengambil kekayaan dari orang jahat bagi dirinya sendiri, juga tidak bersikap angkuh.”
8.2. Para yaksa mencari sang raja
Setelah mendengar penjelasan itu, para yaksa menjadi sangat marah kepada raja karena telah menghalangi tugas mereka untuk membuat sakit para rakyat. Oleh karena itu, mereka kemudian mendatangi sang raja dan meminta makanan. Raja yang memang senang membantu orang dan menjamu tamunya, bersukacita dan segera meminta para petugasnya untuk menjamu mereka dengan makanan terbaik. Tetapi kelima yaksa (yang sedang menyamar menjadi brahmana) itu menolaknya, tidak memakannya sama sekali. Hal ini membuat sang raja bertanya-tanya, “Jenis makanan apa yang cocok dengan pencernaanmu, sehingga bisa diambilkan?”
Pertanyaan itu mereka jawab, “Daging manusia mentah, yang baru dipotong dan masih hangat, beserta darah manusia, oh raja bermata teratai, adalah makanan dan minuman para yakṣa, wahai engkau yang taat dalam menepati janjimu.”
Setelah mereka menjawab pertanyaan tersebut, mereka segera menampilkan wujud asli mereka yang seram dan menakutkan, dengan gigi-gigi tajam dan mata yang berwarna merah menyala. Sang raja segera menyadari bahwa mereka adalah yaksa, bukanlah manusia, dan oleh sebab itulah mereka tidak menyukai makanan yang ia tawarkan kepada mereka.
8.3. Maitribala dan istrinya menerima kedatangan yaksa yang menyamar
Namun sang raja tidak merasa takut, ia justru merasa kasihan melihat mereka yang kelaparan ini. Ia berpikir bahwa betapa menderitanya para yaksa ini yang harus hidup dengan menyantap daging dan darah manusia, yang begitu sulit untuk diperoleh. Jika tidak mendapatkan daging dan darah, mereka akan mati kelaparan; tetapi jika ingin mendapatkannya, mereka harus menyakiti orang lain, yang justru hanya menambah perbuatan buruk mereka sehingga mereka tidak dapat mengakhiri penderitaan.
Sang raja kemudian menjawab, “Jika daging dan darah ini, yang aku tanggung hanya untuk kebaikan makhluk hidup sekarang dibuang dengan tujuan untuk menjamu para tamu, aku akan menganggap ini sebagai keberuntungan bagi diriku sendiri dengan manfaat yang besar.”
Para yaksa terkejut mendengar jawaban itu karena di luar ekspektasi mereka.
Raja kemudian memerintahkan para tabibnya untuk datang dan mengambil darahnya untuk diberikan kepada para yaksa itu. Menteri kerajaan yang mendengar ini segera mencegah sang raja menyakiti dirinya sendiri, tetapi raja sudah bertekad akan menjamu kelima yaksa itu dengan darah dan dagingnya. Raja pun menjawab,
“Diminta dengan cara yang jelas, bagaimana mungkin orang sepertiku berucap bohong dengan berkata tidak memiliki, ketika sedang memiliki, atau aku tidak akan memberi? Aku telah menjadi pemimpin kalian dalam hal kebenaran. Jika aku sendiri berjalan di jalan yang salah, bagaimana dengan kondisi rakyat-rakyatku, yang siap mengikuti teladan tingkah lakuku?”
Setelah berhasil menenangkan para menteri, raja pun memerintah para tabib untuk mengambil darahnya, kemudian ia memberikannya kepada para yaksa.
Yaksa-yaksa itu mengiyakan dan mulai meminum darah sang raja. Namun sementara para yaksa itu memuaskan dahaga mereka terhadap darah manusia, tubuh sang raja tiba-tiba bersinar terang. Darahnya mengalir seolah tidak bisa habis, membuat para yaksa kekenyangan dan meminta raja untuk berhenti menghidangkan darah lagi bagi mereka.
Raja yang sudah bertekad akan memuaskan lapar dan dahaga mereka, mengambil sebilah pedang yang tajam. Dengan pedang itu, ia memotong dagingnya sendiri dan memberikannya kepada para yaksa. Meski terlihat mengerikan, tetapi sesungguhnya sang raja tidak merasa sakit sama sekali, karena ia merasa sangat bergembira untuk memberi.
Kelima yaksa yang melihat ketenangan sang raja, meski darah dan dagingnya telah diambil, menjadi sangat kagum. Sifat jahat mereka pun melunak dan menghormat kepada raja,
Oh, ini sungguh sesuatu yang menakjubkan! Oh, sungguh sebuah keajaiban! Apakah ini benar atau mungkin hanyalah sebuah khayalan? Jangan lagi melukai tubuhmu sendiri! Tindakanmu yang luar biasa ini, yang dengannya Anda memenangkan hati semua fakir miskin, telah memuaskan kami.”
Mereka menundukkan kepala, meminta raja untuk berhenti. Air mata keluar dari mata mereka dan hati mereka dipenuhi oleh rasa sesal, kemudian berkata,
“Pantaslah orang-orang terdorong oleh ketaatan untuk menyatakan kemuliaan Anda di mana-mana. Śrī yang pantas, memandang rendah kolam teratai, senang tinggal bersamamu. Sungguh, jika surga, meskipun dilindungi oleh kekuasaan Śakra, tidak merasakan sesuatu seperti kecemburuan ketika memandang ke bumi ini, dijaga oleh kepahlawanan Anda – Surga, bagaimanapun juga, sungguh tertipu.
Apa lagi yang bisa kami ucapkan? Umat manusia merasa bahagia, sungguh, berada di bawah perlindungan orang seperti engkau; tetapi kami, kami benar-benar tertekan karena telah menyebabkan penderitaan kepadamu. Namun, kami berharap bahwa melalui makhluk sepertimu, dapat menjadi sarana keselamatan bagi kami, kami yang kejam seperti ini. Dengan harapan tersebut, kami mengajukan pertanyaan ini kepadamu.
Tingkatan luar biasa apa yang Anda miliki, sehingga bertindak dengan cara ini tanpa memperhatikan kebahagiaanmu sebagai raja?”
Sang raja kemudian menjawab,
“Pangkat tinggi yang termasyhur bergantung pada keberadaan, diperoleh dengan usaha, dan dapat dengan mudah hilang. Hal itu tidak bisa memberikan kesenangan dari kepuasan, apalagi ketenangan pikiran. Untuk alasan ini, aku tidak menginginkan kecemerlangan dari raja para dewa, apalagi sebagai seorang raja di bumi. Hatiku juga tidak akan puas, jika aku berhasil menghancurkan penderitaan diriku sendiri.
Aku lebih menganggap makhluk-makhluk tak berdaya itu, yang tertekan oleh perangkap dan penderitaan akibat bencana dan kejahatan yang kejam yang merupakan tanggungan mereka. Demi mereka, semoga aku melalui tindakan berjasa ini dapat mencapai pengetahuan tertinggi, dan mengalahkan hawa nafsu, musuh-musuhku. Semoga aku menyelamatkan makhluk-makhluk dari samudra kelahiran kembali, lautan ganas dengan ombak penuaan, penyakit, dan kematian!”
8.4. Kelima yaksa meminta maaf dan petunjuk dari Maitribala
Mendengar hal ini, kelima yaksa tersebut merasa merinding. Mereka kemudian membungkuk kepada raja dan meminta maaf atas perbuatan buruk yang telah mereka lakukan, kemudian meminta perintah dari sang raja agar dapat mereka ikuti.
Raja kemudian menjawab,
“Jika kalian sekarang berniat untuk melakukan apa yang mungkin menyenangkan bagiku, kalian harus menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang bagai racun ini: menyakiti orang lain, mengingini barang atau istri orang lain, berucap tidak benar, dan minum-minuman keras yang memabukkan.”
Para yaksa kemudian berjanji untuk melakukan perintahnya. Setelah membungkuk memberi hormat, mereka menghilang di tempat.
Dan setelah itu, dewa Sakra muncul karena tersentuh dengan tindakan sang raja. Dengan kesaktiannya, ia menyembuhkan luka-luka Maitribala.
Demikianlah Maitribala menaklukkan musuh-musuhnya dengan kekuatan cinta kasih.
Jika daging dan darah ini, yang aku tanggung hanya untuk kebaikan makhluk hidup sekarang dibuang dengan tujuan untuk menjamu para tamu, aku akan menganggap ini sebagai keberuntungan bagi diriku sendiri dengan manfaat yang besar.
Diminta dengan cara yang jelas, bagaimana mungkin orang sepertiku berucap bohong dengan berkata tidak memiliki, ketika sedang memiliki, atau aku tidak akan memberi?
Aku telah menjadi pemimpin kalian dalam hal kebenaran. Jika aku sendiri berjalan di jalan yang salah, bagaimana dengan kondisi rakyat-rakyatku, yang siap mengikuti teladan tingkah lakuku?
Sekarang mempertimbangkan tubuhku yang lemah ini dan bahwa itu adalah tempat tinggal kesengsaraan, kupikir adalah hal yang buruk untuk bersikap ragu-ragu pada saat kemunculan pengemis yang tidak biasa seperti itu; sedangkan rasa cinta diri yang menyedihkan akan berada di sini dalam kegelapan yang paling dalam.
Dan jika kalian sekarang berniat untuk melakukan apa yang mungkin menyenangkan bagiku, kalian harus menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang bagai racun ini: menyakiti orang lain, mengingini barang atau istri orang lain, berucap tidak benar, dan minum-minuman keras yang memabukkan.”
Berdasarkan kitab “Jatakamala” karya Acarya Aryasura
Disusun oleh Garvin Goei
Foto relief oleh Bhikkhu Anandajoti