Kisah tentang Agastya (Kisah Relief Jatakamala 7)

Kisah tentang Agastya
(Kisah Relief Jatakamala 7)

Ringkasan:

Agastya, pemuda brahmana yang termashyur dan kaya raya, melepaskan seluruh harta bendanya kepada orang-orang yang membutuhkan dan mengasingkan diri ke sebuah pulau untuk menjadi seorang pertapa. Sakra yang melihat kemuliaan praktik tapa ini hendak mengujinya dengan menghilangkan akar-akaran, buah-buahan, dan dedaunan yang menjadi makanan Agastya. Namun Agastya sama sekali tidak terpengaruh oleh kehilangan tersebut dan hanya menyantap daun kering yang direbus. Sakra kemudian menemuinya dalam wujud dewa, dan menawarkan enam permintaan. Agastya meminta agar ia terbebas dari keserakahan dan kebencian, diajuhkan dari orang-orang bodoh, dan didekatkan dengan orang bijak. Pada permintaan keenam, Agastya meminta agar Sakra tidak muncul lagi di hadapannya dalam wujud megah.


7.1. Bodhisattva terlahir sebagai pemuda brahmana bernama Agastya

Pada suatu ketika hiduplah seorang pemuda dari keluarga brahmana yang terpandang, sehingga ia berkesempatan untuk mempelajari Veda dan mendapatkan berbagai ritual pemberkatan. Tindak tanduknya sangat baik, ia bermurah hati kepada orang-orang dan menghormati mereka yang perlu dihormati. Pemuda itu bernama Agastya.

Meski terlahir dari keluarga terpandang dan mendapatkan penghormatan yang tinggi, ia memahami bahwa kehidupan perumah tangga bukanlah kehidupan yang ideal. Kehidupan perumah tangga mewajibkannya untuk mengumpulkan kekayaan dan menjaganya, serta kadangkala upaya untuk mengumpulkan kekayaan harus disertai dengan usaha yang salah. Mengetahui adanya potensi keburukan dari kehidupan perumah tangga, ia mulai memikirkan kehidupan tanpa rumah sebagai seorang pertapa.

Pertama-tama ia membuang kekayaannya yang melimpah, melepaskannya seolah itu hanyalah jerami. Ia membagikannya kepada yang membutuhkan, dan setelah itu ia pergi ke pulau Kara dan bertekad untuk hidup menyendiri. Di sana ia menjalankan praktik tapa dan bertahan hidup melalui akar dan buah-buahan yang ia kumpulkan.

Sakra, raja para dewa, mendapat kabar mengenai kemuliaan pertapaannya dan ingin membuktikan keteguhan hatinya. Melalui kesaktiannya, Sakra melenyapkan semua akar dan buah yang biasa disantap oleh pertapa di pulau itu. Bodhisattva, yang terserap ke dalam meditasi dan mampu berpuas hati, sama sekali tidak terusik dengan lenyapnya sumber makanan itu. Ia menata dedaunan di atas api, menjadikannya santapan dan berpuas hati untuk itu, juga sama sekali tidak memikirkan makanan yang lebih baik.

Raja Sakra menjadi terheran-heran dengan Agastya yang sama sekali tidak goyah oleh lenyapnya makanan. Kemudian, ia melenyapkan semua pohon, semak-semak, dan rerumputan yang ada di tempat itu sehingga Agastya tidak dapat menyantap dedaunan. Agastya, lagi-lagi, sama sekali tidak terusik oleh hal itu. Ia memungut daun-daun kering yang sudah gugur, merebusnya dalam air dan menjadikannya makanan tanpa merasa tidak nyaman sama sekali.

7.2. Agastya bersiap melakukan persembahan / pemberian

Sakra yang merasa semakin kagum berniat untuk mengujinya lebih jauh. Ia kini turun ke bumi, menyamar sebagai seorang tamu yang hendak menemui sang pertapa. Agastya menyambutnya dengan sangat baik, menunjukkan keramahtamahan dan menjamunya dengan daun rebus yang ia miliki. Semua dilakukan oleh Agastya dengan hati yang puas.

Demikianlah Sakra muncul kembali pada hari esok hingga hari kelima, dan setiap hari pula pertapa itu menjamu Sakra dengan daun rebus yang ia miliki dengan hati yang gembira.

Sakra yang melihat semua ini menyadari kekuatan pertapaan Agastya yang luar biasa, dan jika Agastya mau menggunakan kekuatannya, ia bisa memiliki alam para dewa yang saat ini dimiliki oleh Sakra. Maka Sakra mulai merasa takut dan gelisah. Ia kemudian muncul di depan Agastya dalam wujud seorang dewa, dan bertanya:

“Katakanlah, apa harapanmu, sehingga mereka dapat mendorongmu untuk meninggalkan sanak-saudara yang engkau cintai, yang meneteskan air mata saat kepergianmu, rumah tangga dan harta benda yang telah menjadi sumber kebahagiaan bagimu, dan mengambil jalan pertapaan yang berat ini?”

Agastya kemudian menjawab,

“Kelahiran yang berulang cenderung sangat menyedihkan; begitu pula usia tua dan penyakit yang membawa malapetaka, wabah yang menyedihkan itu; dan keharusan untuk mati adalah gangguan pada pikiran. Dari keburukan-keburukan itu aku bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk itu.”

Sakra yang mendengar ini menjadi semakin kagum dan hormat kepada Agastya, kemudian menawarkan permintaan untuk dikabulkan. Namun Agastya sudah tidak memikirkan kesenangan duniawi sama sekali dan berpikir bahwa meminta sesuatu tidaklah sesuai dengan kehidupan pertapaannya, oleh karena itu ia menjawab:

“Jika engkau ingin memberiku anugerah, itu mungkin menyenangkanku, aku meminta anugerah ini kepada para dewa yang paling utama: Semoga api ketamakan, yang setelah mendapatkan istri tercinta, anak-anak, kekuasaan, kekayaan yang lebih melimpah dari yang didambakan, masih terus memanaskan pikiran manusia untuk tidak pernah puas ― semoga api itu tidak pernah memasuki hatiku!”

Demikianlah Agastya menunjukkan kepuasan hatinya dan membuat Sakra memujinya. Lalu, untuk kedua kalinya, Sakra meminta Agastya untuk mengajukan permintaan,

“Muni, juga untuk kebenaran dan kalimat yang diucapkan dengan baik ini, aku dengan senang hati menawarkanmu imbalan dari anugerah yang kedua.”

Agastya kembali menjawab,

“Semoga api kebencian, yang menundukkan para makhluk yang kehilangan kekayaan, kehilangan kasta dan reputasi yang baik, seolah-olah mereka dikalahkan oleh serangan yang bermusuhan ― semoga api itu jauh dariku!”

Sakra kembali memuji Agastya atas ucapan tersebut, dan untuk ketiga kalinya meminta kembali agar Agastya mau mengajukan permintaan kepadanya.

Namun kali ini Agastya menjawab bahwa orang-orang yang dipenuhi oleh nafsu adalah orang yang bodoh, dan semoga ia tidak pernah melihat, mendengar, atau berbicara dengan orang seperti itu.

Demikianlah, untuk keempat kalinya, Sakra memberi kesempatan kepada Agastya untuk mengajukan permintaan.

“Bolehkah aku melihat orang bijak, dan mendengar orang bijak, tinggal dengan orang yang demikian, Śakra, dan bercakap-cakap dengan orang seperti itu! Inilah anugerah yang terbaik dari para dewa, kabulkanlah ini.” Jawab Agastya.

Namun Sakra memberikan kesempatan lagi kepada Agastya untuk mengajukan permintaannya yang kelima, yang dijawab oleh Agastya:

“Semoga makananmu, yang bebas dari kehancuran dan kerusakan; pikiranmu, yang indah karena praktik amal, dan para pengikutmu yang dihiasi oleh kemurnian perilaku baik mereka, menjadi milikku! Inilah anugerah terbaik yang kuminta.”

Sakra, yang masih terkagum-kagum dengan jawaban Agastya, memberikan kembali kesempatan untuk mengajukan permintaannya yang keenam. Namun kali ini Agastya menjawab:

“Jika engkau mau memberiku anugerah yang menyertakan kemurahan hati tertinggi bagiku, wahai yang teragung dari para dewa, jangan datang kepadaku lagi dalam kemegahanmu yang membara ini. Untuk anugerah ini aku meminta penghancur para Daitya.”

Mendengar jawaban itu, Sakra merasa terheran-heran karena orang-orang berusaha untuk bertemu dengannya dan mengajukan permintaan, tetapi Agastya justru tidak menginginkan apapun yang bersifat duniawi ketika bertemu dengannya. Sakra kemudian membungkuk kepadanya, memutarinya dari kiri dan kanan sebagai tanda hormat, kemudian menghilang dari sana.

7.3. Agastya melakukan persembahan / pemberian kepada Pratyekabuddha

Pada saat fajar tiba, Sakra muncul kembali di hadapan Agastya, namun kali ini ia datang bersama para dewa pengikutnya dan Pratyekabuddha. Mereka membawa makanan dan persembahan bagi Sakra

7.4. Sakra menyaksikan persembahan itu

Agastya, melihat kemunculan Pratyekabuddha, menerima makanan tersebut dan mempersembahkannya kepada Pratyekabuddha. Kejadian ini disaksikan oleh Sakra yang mengagumi kemuliaan batinnya, dan setelah peristiwa ini usai, para rombongan Sakra pergi dengan membawa persembahan.

7.5. Para hadirin menerima pemberian

Demikianlah Agastya yang kukuh dalam praktik tapa dan kepuasan hatinya.

Penghidupan tidaklah sulit didapatkan oleh orang-orang yang berlatih dengan tekun. Sebutkanlah, di mana rumput, daun, dan kolam air tidak dapat ditemukan?

Sederhana dalam apa yang dipelajari, ketidaktertarikan pada harta kekayaan, dan kepuasan di dalam pertapaan: setiap kebajikan yang luar biasa ini adalah harta tertinggi dari tiap-tiap hal tersebut.

Kelahiran yang berulang cenderung sangat menyedihkan; begitu pula usia tua dan penyakit yang membawa malapetaka, wabah yang menyedihkan itu; dan keharusan untuk mati adalah gangguan pada pikiran. Dari keburukan-keburukan itu aku bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk itu.

Berdasarkan kitab “Jatakamala” karya Acarya Aryasura
Disusun oleh Garvin Goei
Foto relief oleh Bhikkhu Anandajoti

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *