Jātakamālā 1 – Vyāghrījātaka
(Kisah Harimau Betina)


Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei

Referensi terjemahan Bahasa Inggris:
J.S. Speyer
Clay Sanskrit Library


SYAIR PEMBUKA

Om! Terpujilah para Buddha dan Bodhisattva!

(1)
Agung dan mulia, puja serta pesona yang tiada habisnya,
Terdiri dari kebajikan luar biasa dan membawa kebaikan,
Itulah tindakan luar biasa Sang Muni dalam berbagai kelahiran sebelumnya.
Melalui segenggam bunga-bunga puisiku ini,
Aku memuja dengan penuh bakti, tindakan-tindakan luhur ini.

(2)
Dengan berbagai perbuatan terpuji,
Juga dengan petunjuk-petunjuk yang jelas,
Diajarkanlah jalan menuju menuju ke-Buddha-an itu;
Semoga mereka yang berhati keras dapat melunak,
Semoga ajaran-ajararan agama ini juga semakin mempesona!

(3)
Tidak bertentangan dengan tradisi suci,
Kata-kata maupun ajaran Buddha,
Dan karena kepedulian terhadap kebaikan dunia,
Aku akan berusaha membuat perenunganku ini
Menyenangkan bagi pendengarnya,
Dengan menceritakan perbuatan-perbuatan luar biasa,
Dari Sang Tertinggi di dunia.

(4)
Ketika bertindak demi makhluk lain,
Dia memancarkan kebajikan,
Yang tidak dapat ditiru oleh siapapun,
Bahkan oleh mereka yang menghendakinya sendiri.
Kemuliaannya berkobar dalam kebenaran,
Seperti namanya, Yang Maha Mengetahui,
Aku menundukkan kepalaku, menghormat
Kepada makhluk yang tiada taranya ini,
Kepada Dharma, dan kepada Komunitas Saṇgha.


Dalam kelahiran sebelumnya sekalipun, Sang Bhagavā menunjukkan cinta kasihnya yang mendalam, tanpa ego, dan mengidentifikasikan dirinya dengan semua makhluk, tanpa membeda-bedakan. Karena inilah, kita harus menunjukkan keyakinan yang tertinggi kepada Buddha, Sang Bhagavā. Hal ini akan dibuktikan dengan tindakan agung Sang Bhagavā dalam sebuah kelahiran sebelumnya, yang diagungkan oleh guruku, pemuja Sang Triratna, seseorang yang patut dihormati karena pembelajarannya yang menyeluruh tentang kebajikan, dicintai oleh gurunya sendiri karena kebajikan dalam praktik spiritualitasnya.

Pada suatu saat Sang Bodhisattva, yang kemudian menjadi Guru Agung kita, memberi manfaat kepada dunia dengan curahan cinta kasihnya yang berlipat ganda: melalui pemberian, kata-kata baik, bantuan, dan perbuatan tak bercacat ― serupa dengan pikirannya yang telah mengembangkan kebijaksanaan, dan sesuai dengan ikrar besar yang telah mengikatnya, dia terlahir dalam keluarga Brāhmana yang paling terkemuka dan perkasa, diunggulkan oleh kemurnian tingkah laku mereka karena ketaatan mereka terhadap tugas-tugas keagamaan. Dimurnikan oleh jātakarma dan ritual-ritual lainnya secara berurutan, ia tumbuh besar; dan dalam waktu singkat, karena kecepatan pemahamannya yang alamiah, sokongan unggul dalam pembelajarannya, keinginannya untuk belajar dan semangatnya, ia menguasai delapan belas cabang ilmu pengetahuan dan dalam semua seni (kalā) yang tidak bertentangan dengan kebiasaan keluarganya.

(5)
Bagi para Brāhmana, ia dihormati bagai suri tauladan seperti ajaran luhur itu sendiri,
Bagi para Kṣatriya ia dimuliakan bagai seorang raja;
Di hadapan banyak orang ia tampak seperti Sang Bermata Seribu[1];
Bagi mereka yang mendambakan pengetahuan ia bagaikan ayah yang mengarahkan.

Karena nasibnya yang makmur (sebagai hasil dari perbuatan baik yang telah dikumpulkan sebelumnya), sejumlah besar kekayaan, kehormatan, dan ketenaran jatuh menjadi miliknya. Tetapi Bodhisattva tidak menyukai hal-hal seperti itu. Pikirannya telah dimurnikan dengan terus mempelajari Dharma, dan ia menjadi akrab dengan penolakan kedunawian.

(6)
Perbuatan lampaunya telah memurnikan batinnya,
sehingga ia dapat melihat banyak penderitaan dalam nafsu keinginan.
Maka ia meninggalkan kehidupan perumah tangga bagai sebuah penyakit,
pergi ke suatu dataran tinggi yang dihiasi dengan kehadirannya.

(7)
Ketidakmelekatan yang ia tunjukkan di sana,
beserta ketenangan yang dicerahkan oleh kebijaksanaan,
ia mengecam orang-orang di dunia yang karena melekat
pada tindakan buruk menjadi enggan pada ketenangan para bijaksana.

(8)
Ketenangannya yang penuh cinta kasih itu menyebar
dan menembus ke dalam hati para hewan buas,
membuat mereka tidak melukai satu sama lain,
dan hidup seperti para pertapa.

(9)
Berkat kemurnian perilakunya, pengendalian dirinya,
kepuasan hatinya, dan kewelasan asihnya,
membuat ia disenangi bahkan oleh orang asing sekalipun,
sebab semua makhluk adalah teman baginya.

(10)
Karena keinginannya sedikit, ia hidup tanpa iri hati.
Ia meninggalkan keinginan untuk keuntungan, kemuliaan, dan kesenangan,
sehingga ia membuat para dewa
merasa yakin kepadanya dan menghormatinya.

(11)
Tergugah oleh kebajikannya,
orang-orang yang mendengar kehidupan pertapaannya.
meninggalkan keluarga dan kepemilikan mereka,
pergi kepadanya dan menjadi muridnya.

(12)
Ia mengajar murid-muridnya sebaik mungkin
mengenai kebajikan (śīla), kesucian, pemurnian indera,
menjaga perhatian, ketidakmelekatan terhadap dunia,
meditasi cinta kasih (maitrī) dan lainnya.[2]

Sebagian besar muridnya mencapai kesempurnaan karena ajarannya, di mana jalan suci (menuju keselamatan) ini dikukuhkan dan orang-orang berada pada jalan non-keduniawian yang unggul. Kini pintu kejahatan telah ditutup dan jalan kebahagiaan terbuka lebar bagai jalan besar. Suatu saat Sang Mahātman sedang berjalan menelusuri sepanjang gua-gua bersemak di gunung untuk menyesuaikan diri dengan baik pada praktik meditasi (yoga), untuk menikmati tatanan yang ada ini dengan nyaman. Ajita, muridnya saat itu, menemaninya.

(13)
Di sana, dalam sebuah goa di gunung,
ia melihat seekor harimau betina muda
yang hampir tidak mampu bergerak,
setelah berupaya keras melahirkan.

(14)
Matanya cekung,
perutnya kurus menunjukkan rasa lapar,
ia melihat anak-anak yang ia lahirkan sendiri,
seolah mereka adalah makanan.

(15)
Percaya dengan induknya, mereka tanpa rasa takut
mendekati induknya, haus akan susunya,
tetapi harimau betina itu menggeram keras,
mengancam mereka seolah adalah lawannya.

(16)
Saat melihat harimau itu,
Bodhisattva, meskipun batinnya tenang,
terguncang oleh welas asih karena penderitaan makhluk lain,
bagai penguasa pegunungan (Meru) yang terguncang oleh gempa.

(17)
Sungguh menakjubkan welas asih itu,
meskipun tabah dalam penderitaan besar mereka sendiri,
masih tersentuh oleh penderitaan makhluk lain,
sekecil apapun itu.

Dan welas asihnya yang kuat membuatnya menggumam, kegelisahan membuatnya mengulangi kata-kata berikut kepada muridnya, menunjukkan sifatnya mulianya: “Muridku, muridku!” serunya,

(18)
“Lihatlah, betapa tidak berartinya saṁsāra ini!
Hewan ini berusaha untuk memakan anak-anaknya sendiri.
Rasa kelaparan telah membuatnya
tidak mampu memahami cinta kasih.

(19)
Betapa kejamnya rasa mementingkan diri sendiri yang buas
hingga membuat seorang ibu ingin memakan anak-anaknya sendiri!

(20)
Siapalah yang mau memumpuk musuh yang bernama mementingkan diri sendiri,
jika menyebabkan seseorang melakukan tindakan seperti ini?

Cepatlah pergi, carilah cara untuk menenangkan rasa laparnya, agar ia tidak mencelakai anak-anaknya dan dirinya sendiri. Aku juga akan berusaha untuk mencegahnya dari tindakan gegabah itu.”

Sang murid berjanji untuk melakukannya dan pergi mencari makanan. Namun Bodhisattva sudah memiliki alasan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia merenungkan ini:

(21)
“Mengapa aku harus mencari daging dari tempat lain,
sementara seluruh tubuhku ini telah tersedia?
Selain daging itu belum tentu ditemukan,
aku juga akan kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasku.

Lagipula,

(22)
Tubuh ini tanpa inti, melapuk, dan tidak berarti.
Sumber rasa sakit, tubuh ini tidak tahu bersyukur dan kotor.
Sungguh tidak bijaksana bila tidak bergembira
bila telah menggunakan tubuh ini demi kebaikan makhluk lain.

(23)
Orang-orang mengabaikan penderitaan makhluk lain
ketika tidak mampu menolong atau melekat pada kesenangannya sendiri.
Tetapi aku tidak bisa bergembira sementara yang lain menderita.
Jika aku memiliki kemampuan untuk membantu,
mengapa aku harus bersikap acuh?

(24)
Dan jika, sementara bisa membantu, tetapi aku bersikap tidak peduli
bahkan kepada penjahat yang sedang tenggelam dalam kesedihan sekalipun,
pikiranku akan merasakan penyesalan atas perbuatan yang jahat itu,
terbakar seperti semak belukar yang terjebak dalam api besar.

(25)
Dengan menjatuhkan tubuhku ke jurang ini,
aku akan menggunakan tubuhku yang tidak bernyawa
untuk melindungi harimau betina itu dari membunuh anak-anaknya
dan menolong mereka agar tidak mati dalam gigi ibu mereka.

Terlebih lagi, dengan melakukan demikian

(26)
Aku akan memberi teladan bagi mereka yang ingin memberi manfaat kepada dunia,
aku menyemangati mereka yang memiliki sedikit keberanian,
aku bersukacita bagi mereka yang memahami arti memberi,
aku membangkitkan pikiran para bajik.

(27)
Aku mematahkan semangat pasukan besar Māra,
tetapi menggembirakan mereka yang mencintai kebajikan Buddha,
aku membangkitkan rasa malu mereka yang mementingkan diri sendiri,
dan tunduk pada iri hati beserta keserakahan.

(28)
Aku membangkitkan keyakinan kepada pengikut wahana unggul,
aku membuat takjub mereka yang mencemooh perbuatan memberi
dan membersihkan jalan menuju surga
dengan cara yang disenangi oleh mereka yang dermawan.

(29)
Dengan mempersembahkan anggota tubuhku sendiri,
aku juga memenuhi keinginanku
untuk memberi manfaat kepada makhluk lain
dan menjadi semakin dekat dengan pencerahan sempurna.

Lebih jauh lagi,

(30)
Bukanlah ambisi maupun menginginkan kemuliaan,
juga bukan demi pencapaian di alam surga maupun kerajaan
pun bukan demi kebahagiaan abadi, yang memotivasiku.
Tujuanku hanyalah untuk memberi manfaat bagi makhluk lain.

(31)
Maka semoga aku memiliki kekuatan
untuk melenyapkan penderitaan di dunia
juga menciptakan kebahagiaan pada saat yang sama,
seperti matahari yang melenyapkan kegelapan dan memberikan cahaya!

(32)
Entah aku akan diingat, dilihat, atau menjadi terkemuka,
atau ketika kisah tentang pengorbananku ini disampaikan,
semoga aku memberi manfaat bagi dunia dalam segala hal
dan secara terus-menerus memberikan kebahagiaan kepada dunia!”

(33)
Setelah mengambil keputusan, ia merasa bergembira
bahwa ia akan mengorbankan hidupnya demi manfaat makhluk lain,
ia melemparkan dirinya ke bawah,
memunculkan rasa takjub dalam batin para dewa yang paling tenang sekalipun.

Suara tubuh Bodhisattva yang terjatuh membangkitkan keingintahuan dan kemarahan harimau betina. Dia berhenti dari dorongannya untuk membunuh anak-anaknya, dan mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Segera setelah dia melihat tubuh Bodhisattva yang tak bernyawa, ia bergegas ke sana dan mulai melahapnya.

Tetapi muridnya ‒ yang kembali tanpa daging karena tidak mendapatkannya ‒ tidak melihat gurunya. Sang murid pun mencarinya, hingga ia melihat harimau betina muda itu sedang menyantap tubuh Bodhisattva yang tidak bernyawa. Dan rasa kekaguman terhadap tindakan luar biasa itu kesedihan dan rasa sakitnya, tetapi ia memberikan ucapan[3] yang pantas sebagai penghormatan kepada gurunya yang taat pada kebajikan, dalam monolog berikut:

(34)
“Oh, betapa Sang Mahātman berwelas asih kepada mereka yang didera oleh penderitaan!
Betapa ia tidak melekat pada kesejahteraannya sendiri!
Betapa perilaku yang baik telah ia sempurnakan!
Ia telah menghancurkan kemuliaan musuhnya menjadi berkeping-keping!

(35)
Betapa mulianya cinta kasih yang telah ia tunjukkan,
begitu berani, tak kenal takut, dan berdasarkan kebajikan!
Tubuhnya, yang begitu berharga dalam kebajikan,
kini telah menjadi wadah penghormatan yang tertinggi!

(36)
Lembut dalam kemurahan hati dan kukuh bagai bumi,
betapa ia tidak tahan dengan penderitaan makhluk lain!
Dan betapa pikiranku yang kasar ini,
Kontras dengan tindak keberaniannya yang luar biasa!

(37)
Sesungguhnya, para makhluk tidak perlu bersedih,
setelah memilikinya sebagai pelindung mereka.
Sedangkan Manmatha[4] sedang menghela nafas,
gemetar dalam rasa takut akan kekalahan!

Dalam segala hal, aku menghormat kepada Mahāsattva yang termasyhur, yang welas asihnya melimpah, dengan kebaikan yang tak terbatas, perlindungan bagi semua makhluk, Bodhisattva bagi para makhluk.” Dan dia menceritakan kejadian itu kepada sesama murid.

(38)
Kemudian para murid merasa kagum
atas tindakan sang Bodhisattva,
dan bersama para gandarwa, para yaksa,
para naga dan para dewa pemimpin,
mereka menaburi tanah
yang menadah harta tulang-belulangnya
dengan karangan bunga, kain,
permata dan bubuk cendana yang melimpah.

Demikianlah, bahkan di kelahiran sebelumnya sekalipun, Sang Bhagavā menunjukkan cinta kasihnya yang mendalam, tanpa ego, dan memancar kepada semua makhluk, serta mengidentifikasikan dirinya kepada semua makhluk. Untuk alasan inilah kita harus menunjukkan keyakinan yang tertinggi kepada Buddha, Sang Bhagavā.

Maka seseorang hendaknya mengemukakan, “Setelah mengembangkan keyakinan kepada Sang Buddha, ktia juga harus merasakan kegembiraan yang tertinggi. Dengan cara inilah keyakinan kita akan berada di dalam perlindungannya.” Demikian pula kita harus mendengarkan pengajaran Dharma dengan seksama, karena telah dibawa kepada kita melalui ratusan rintangan yang sulit.[5]

Dan seseorang juga harus menceritakan kisah ini ketika mengajarkan welas asih, dengan berkata: “Melalui welas asih seperti inilah, kita tergerak untuk bertindak demi kebaikan makhluk lain, produktif dengan sifat yang teramat luhur.”[6]


[1] Śakra, Indra, atau raja para dewa.

[2] Maksudnya adalah empat atau lima bhāvanā (latihan meditasi)

[3] Teks tersebut tertulis śobheta, bukan aśobhata, sesuai dengan dugaan.

[4] Manmatha, Kāma, Kandarpa dan nama-nama lain dari dewa nafsu dan kesenangan sensual adalah padanan yang umum untuk Māra. Bandingkan dengan Buddhacarita XIII, 2.

[5] Dukaraśatasamudānītatvāt, bandingkan dengan Divyāvadāna, ed. Cowell, hal. 490.

[6] Yaitu selama mengumpulkan jasa baik, konsekuensi dari perbuatan baik, meningkatkan kualitas kita.

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *