Kitab Borobudur

Jātakamālā 2 – Śibijātaka
(Kisah Raja Sibi)


Ditulis dalam Bahasa Sanskerta oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
ke dalam Bahasa Indonesia oleh:

Garvin Goei

Referensi terjemahan Bahasa Inggris:
J.S. Speyer
Clay Sanskrit Library


Dharma yang luhur ini harus disimak dengan penuh perhatian, karena melalui ratusan rintangan yang sulit Sang Bhagavā menemukan Dharma yang luar biasa ini demi kita. Inilah yang akan diajarkan melalui kisah berikut.

Saat sang guru masih merupakan seorang Bodhisattva, ia terlahir sebagai raja para Śibi, sebagai akibat dari akumulasi jasa kebajikan yang dikumpulkan melalui praktik dalam waktu yang sangat panjang. Sejak kecil ia sudah terbiasa menghormat kepada orang yang lebih tua dan terkendali dalam perilakunya, sehingga ia dicintai oleh rakyat-rakyatnya. Berkat kecerdasannya, ia mengembangkan batinnya dengan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dia diunggulkan oleh kekuatan, kebijaksanaan, keagungan dan kekuasaannya, serta disenangi oleh keberuntungan. Dia memimpin rakyatnya seolah-olah mereka adalah anak-anaknya sendiri.

(1)
Kemuliaan yang terdiri dari tiga unsur (dharma, artha, dan kāma)
terlihat senantiasa menyertainya dengan gembira.
Ketiganya tidak kehilangan kemegahan mereka,
meskipun terdapat perbedaan di antara mereka.

(2)
Seperti ejekan bagi mereka yang besar dengan cara yang salah,
seperti malapetaka yang mengerikan bagi orang bodoh,
seperti minuman yang memabukkan bagi yang berpikiran lemah,
Demikianlah kejayaan yang ada di dalam dirinya, sesuai dengan namanya.

(3)
Berhati mulia, berwelas asih, dan bergelimang harta,
ialah raja yang terbaik,
yang bersukacita saat melihat wajah pengemis
berseri-seri dengan kegembiraan ketika mendapatkan   yang diinginkan.

Sang raja, sesuai dengan sifatnya yang senang memberi, membangun aula-aula derma di seluruh kota, dilengkapi dengan setiap jenis peralatan, barang, dan biji-bijian. Dengan cara ini dia mencurahkan hujan pemberiannya bagai awan Kṛta Yuga. Dia membagikannya dengan cara yang sedemikian rupa, sebagai wujud keagungan pikirannya, untuk memenuhi kebutuhan masing-masing sesuai dengan keinginannya, dengan rasa hormat yang indah dan kecepatan yang baik sehingga meningkatkan manfaat dari pemberiannya. Dia memberikan makanan kepada mereka yang membutuhkan makanan, memberikan minuman kepada mereka yang membutuhkan minuman; demikian pula dia membagikan tempat tidur, tempat duduk, tempat tinggal, makanan, wewangian, karangan bunga, perak, emas, dan sebagainya kepada mereka yang memintanya.

Kemurahan hati sang raja menyebar hingga ke luar negeri. Orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan belahan dunia pergi ke negara itu, dengan ketakjuban dan kegembiraan di hati mereka.

(4)
Para peminta, mengamati orang-orang yang lewat melalui pikiran mereka,
tidak menemukan kesempatan lain untuk mengajukan permintaan mereka
Demikianlah mereka masuk ke dalam kerumunan dengan wajah gembira,
bagai gajah liar yang masuk ke dalam danau besar.

Di sisi lain, ketika sang raja melihat mereka yang bergembira dengan harapan mendapatkan keuntungan berkumpul bersama dari segala arah, meskipun penampilan luar dari pengemis-pengemis itu sama sekali tidak menarik,

(5)
Sang raja tetap menerima mereka, dengan mata terbelalak gembira,
seolah-olah mereka adalah teman yang kembali dari negeri seberang.
Ia mendengarkan permintaan mereka seperti berita baik untuknya,
dan setelah memberi, hatinya merasa lebih puas dari pada para penerima.

(6)
Kemashyurannya atas kemurahan hatinya yang wang
disebarkan oleh suara para pengemis,
menghilangkan kebanggaan raja-raja lain,
Seperti aroma harum gajah menghilangkan bau nanah gajah lainnya.[1]

Suatu hari. saat raja sedang mengujungi aula derma, ia memperhatikan bahwa kerumunan pemohon sudah sangat berkurang, karena kebutuhan dari para pengemis sudah terpenuhi. Mempertimbangkan hal tersebut, ia merasa resah, karena kebiasaannya untuk memberi tidak dapat berjalan dengan baik.

(7)
Ketika menemui sang raja, dahaga keinginan para pemohon terpuaskan,
tetapi tidak dengan dahaga sang raja untuk memberi.
Begitu besar semangat sang raja untuk memberi,
sehingga tidak ada permintaan yang dapat mengalahkan tekadnya.

Kemudian pikiran ini muncul di dalam dirinya; “Oh, diberkatilah mereka yang terunggul di antara yang berbudi luhur, yang kepadanyalah para pengemis mengucapkan keinginan mereka dengan keyakinan dan tanpa pembatasan, bahkan meminta anggota tubuh mereka! Tetapi bagiku, mereka hanya berani meminta kekayaanku, seolah-olah mereka takut dengan kata-kata penolakan yang kasar.”

(8)
Menyadari pemikiran yang sangat luhur itu,
betapa kukuhnya ia untuk memberi, tidak melekati tubuhnya sendiri,
maka bumi pun bergetar,
bagaikan seorang wanita yang mencintai suaminya.

Permukaan bumi terguncang. Sumeru, penguasa pegunungan, bersinar dengan kilauan bermacam permata, juga ikut berguncang. Śakra, raja para dewa (Devendra), yang menyelidiki penyebab dari guncangan ini, menemukan bahwa pikiran luhur raja itulah yang menimbulkan getaran di permukaan bumi; dan saat dia terheran-heran, ia merenungi hal ini:

(9)
“Pemikiran apakah yang dipikul oleh raja ini,
sehingga batinnya penuh dengan kegembiraan dalam memberi?
Dia telah menetapkan batas kehendaknya untuk memberi,
dengan tekad yang kuat untuk berpisah dengan anggota tubuhnya sendiri?

Baiklah, aku akan mengujinya.”

Saat itu raja sedang dikelilingi oleh para pejabatnya, duduk (di singgasananya, di aula) di tengah-tengah majelis. Pengumuman telah digaungkan, mengundang siapa saja yang membutuhkan sesuatu; simpanan kekayaan, perak, emas, dan permata ditunjukkan oleh bendahara; kotak-kotak yang berisi berbagai jenis pakaian dibuka; berbagai kereta barang yang sangat bagus, yang pikulannya menutupi leher berbagai binatang penarik yang terlatih dengan baik, ditarik maju; dan para pengemis pun berkerumun masuk. Di antara mereka, Śakra, raja para dewa, telah menyamar sebagai seorang brāhmana tua dan buta, menarik perhatian raja. Sang raja tampil dengan tegas, tenang, dan lembut dengan penuh welas asih dan keramahan kepadanya, dan bersama pejabat-pejabatnya ia datang menemui brāhmana tua itu dan merangkulnya. Para pelayan kerajaan memintanya untuk mengatakan apa yang dia inginkan, tetapi iia mendekati sang raja, dan setelah mengucapkan salam dan berkat, berkata sebagai berikut:

(10)
“Aku, seorang tua yang buta, datang dari jauh
untuk memohon mata darimu, wahai raja tertinggi.
Untuk menjalankan aktivitas duniawi biasa,
satu mata sudah cukup, wahai penguasa bermata teratai.”

Meskipun Bodhisattva merasakan kegembiraan yang luar biasa saat keinginan hatinya terwujud, keraguan muncul di dalam dirinya. Apakah brāhmana benar-benar berkata demikian atau, pikirannya saja yang sedang membayangkannya karena sering memikirkannya. Karena ingin mendengar kata-kata permintaan mata yang sangat menyenangkan ini, dia kemudian berbicara kepada sang pemohon:

(11)
“Siapakah yang telah memerintahkanmu, wahai brāhmana agung,
untuk datang ke sini dan meminta satu mata dariku
Tak seorang pun akan dengan mudah berpisah dengan matanya
Siapakah yang berpikir bahwa ini tidak berlaku kepadaku?”

Śakra, raja para dewa yang menyamar sebagai seorang brāhmana, mengetahui maksud dari raja, dan menjawab:

(12)
“Śakra menyuruhku untuk meminta matamu,
sehingga membuatku datang ke sini.
Kabulkanlah penghargaannya beserta harapanku
dengan memberikan matamu.”

Mendengar nama Śakra, sang raja berpikir: “Tentunya, melalui kekuatan dewa, brāhmana ini akan mendapatkan kembali penglihatannya dengan cara ini,” dan dia berbicara dengan suara, jernih yang menunjukkan kegembiraannya:

(13)
“Brāhmana, aku akan memenuhi keinginanmu,
yang telah mendorongmu untuk datang ke sini.
Meski engkau menginginkan satu mata dariku,
aku akan memberikan keduanya!

(14)
Setelah aku menghiasi wajahmu dengan sepasang mata yang cerah bagai teratai,
pergilah, perlihatkan dirimu kepada orang-orang.
Mereka akan meragukanmu terlebih dahulu,
tetapi mereka akan merasa takjub ketika menyadarinya.”

Setelah memahami bahwa sang raja telah memutuskan untuk berpisah dengan matanya, para penasihat merasa bingung dan gelisah; kesedihan melanda pikiran mereka. Mereka berkata kepada sang raja:

(15)
Yang Mulia, kegemaran besar Anda dalam memberi
membuat Anda mengabaikan bahwa ini adalah salah dan merugikan.
Kami mohon, Yang Mulia, jangan lakukan ini.
Jangan merelakan penglihatan Anda!

(16)
Janganlah mengabaikan kami semua
demi satu brāhmana ini.
Jangan biarkan api kesedihan membakar rakyat-rakyatmu,
mereka yang telah engkau berikan kenyamanan dan kemakmuran.

(17)
Berikanlah kekayaan yang membawa keberuntungan,
seperti permata mulia, sapi perah,
kereta dengan hewan yang terlatih,
gajah yang kuat dengan keindahan anggun.

(18)
Berikanlah rumah yang nyaman untuk setiap musim,
bergema dengan suara gemerincing gelang kaki,
yang kecerahannnya melebihi awan musim gugur.
Tetapi jangan berikan penglihatanmu,
wahai engkau yang satu-satunya mata bagi dunia.

Selain itu, Baginda, Anda harus mempertimbangkan ini:

(19)
Bagaimana bisa mata seseorang
dipindahkan ke wajah orang lain?
Jika itu hanya bisa melalui kekuatan dewa,
mengapa harus matamu yang dibutuhkan?

Lagipula, Yang Mulia.

(20)
Mengapa pengemis malang ini membutuhkan mata?
Agar ia dapat melihat kemakmuran orang lain?
Kalau begitu, berilah ia uang,
mohon jangan bertindak gegabah!”

Kemudian raja menjawab para menterinya dengan lembut dan menenangkan

(21)
Ia yang memutuskan untuk tidak memberi
ketika telah berjanji untuk memberi,
sesungguhnya ia mengikatkan diri pada keserakahan
setelah melepaskan diri darinya.

(22)
Ia yang telah berjanji untuk memberi
tetapi tidak menepati janjinya
karena didorong oleh ketamakan,
bukankah ia adalah yang paling buruk?

(23)
Ia yang telah menguatkan harapan para pengemis
dengan berjanji untuk memberi,
tetapi mengecewakan mereka dengan melanggar janji,
sungguh tidak ada pemaafan baginya.

Dan sehubungan dengan pernyataanmu tentang ‘apakah kekuatan dewa itu sendiri tidak cukup untuk memulihkan penglihatan orang itu?’ Kalian harus diajarkan tentang hal ini.

(24)
Ada berbagai cara yang berbeda
untuk mencapai tujuan.
Demikian pula bahkan takdir (vidhi), meski dewa sekalipun
membutuhkan berbagai cara yang berbeda.

Oleh karena itu, hendaknya kalian tidak menghalangi tekadku untuk melekukan pemberian yang luar biasa.”

Para menteri menjawab: “Kami hanya memberanikan diri untuk memberi saran kepada Yang Mulia untuk memberikan barang, biji-bijian dan perhiasan, bukan mata Anda; ketika mengatakan ini, kami tidak membujuk Yang Mulia untuk melakukan kejahatan.”

Raja berkata:

(25)
“Hal yang diminta harus diberikan.
Hadiah yang tidak diharapkan tidak memberi kesenangan.
Apa gunanya air bagi seseorang yang terbawa oleh arus?
Maka itu, aku akan memberikan barang yang diminta oleh orang ini.

Setelah ini, perdana menteri yang lebih lebih dekat dengan raja, datang menghadap karena perhatiannya dan rasa hormatnya kepada raja, kemudian berbicara sebagai berikut: “Kumohon, jangan lakukan.

(26)
Anda sedang menggenggam kerajaan ini,
yang bersaing dengan kekayaan Śakra,
yang tidak dapat diperoleh tanpa kerja keras dan meditasi dalam jumlah besar,
membutuhkan berlapis-lapis pengorbanan untuk mencapainya,
membuka jalan menuju kemuliaan dan alam surga.
Tetapi Anda tidak memedulikannya dan hendak memberikan kedua mata Anda!
Apa tujuan dari tindakan ini? Dari mana asal mulanya?

(27)
Melalui pengorbananmu, Anda telah mendapatkan tempat di antara para dewa,
ketenaranmu bersinar jauh dan luas ke segala arah.
Kakimu mencerminkan kemegahan mahkota para raja.
Maka apa lagi yang Anda inginkan dengan menyerahkan penghilatanmu?”

Tapi raja menjawab menteri itu dengan nada lembut:

(28)
“Aku berjuang bukan demi seluruh alam di dunia,
juga bukan demi surga, kebebasan, atau pun kemuliaan.
Dengan maksud untuk menjadi penyelamat dunialah
aku mengupayakan agar jerih payah permohonan pria ini dapat membuahkan hasil.”

Kemudian raja memerintahkan agar salah satu matanya, cahaya indah yang tampak seperti kelopak bunga teratai biru, untuk diambil melalui petunjuk para tabib secara bertahap dan utuh, dan dengan kegembiraan terbesar dia menyerahkannya kepada pemohon yang memintanya. Lalu Śakra, penguasa para dewa, dengan kesaktiannya menciptakan ilusi yang sedemikian rupa sehingga raja dan para pengiringnya melihat mata itu memenuhi lubang mata sang brāhmana tua. Ketika raja melihat si peminta mata memiliki satu mata yang tidak tertutup, hatinya melapang dengan sangat gembira, dan dia memberinya mata yang satunya lagi.

(29)
Setelah mata diberikan, raut wajah sang raja
tampak seperti kolam teratai tanpa bunga teratai,
namun menunjukkan kepuasan, meskipun tidak dimiliki oleh para rakyat.
Di sisi lain, sang brāhmana terlihat dengan mata yang utuh.

(30)
Di seluruh istana maupun di kota,
air mata kesedihan membasahi tanah.
Tetapi Śakra tersentuh dengan rasa kagum dan puas,
melihat niat baik raja yang tidak tergoyahkan untuk mencapai pencerahan sempurna (Sambodhi).

Dan dalam tataran batin ini ia merenungi:

(31)
“Betapa teguhnya! Betapa bajiknya!
Betapa ia ingin memberi manfaat bagi para makhluk!
Meskipun aku telah melihatnya sendiri,
aku hampir tidak dapat mempercayai ini telah terjadi!

Maka, tidaklah benar bahwa orang yang memiliki kebaikan yang luar biasa ini harus menanggung kesulitan yang luar biasa dalam waktu yang panjang. Aku akan mencoba memunculkan penglihatannya kembali dengan cara tertentu.”

Setelah itu, ketika waktu telah menyembuhkan luka-luka yang disebabkan oleh operasi, dan telah mengurangi dan hampir meredakan kesedihan para penghuni istana, kota, dan desa; pada suatu hari sang raja berkeinginan untuk bertapa sendirian, sedang duduk bersila di tamannya di tepi kolam teratai. Tempat itu dipenuhi oleh pepohonan yang indah dan halus yang membungkuk karena beban bunganya; kawanan lebah bersenandung; angin sepoi-sepoi, segar, dan harum bertiup dengan nyaman. Tiba-tiba Śakra, raja para dewa menampakkan dirinya di hadapan raja. Ketika ditanya siapakah ia, dia menjawab:

(32a)
Aku adalah Śakra, raja para dewa,
aku datang untuk menemuimu.

Setelah itu raja menyambutnya dan berkata bahwa dia menunggu perintahnya. Setelah disambut dengan seperti itu, ia kembali berbicara kepada raja:

(32b)
“Pilihlah satu anugerah, wahai raja bijaksana (rājarṣi);
sebutkanlah apa yang engkau inginkan.”

Raja sudah terbiasa memberi dan tidak pernah menapaki jalan meminta-minta yang menyedihkan. Sesuai dengan rasa takjubnya dan pikirannya yang luhur, sang raja berkata kepadanya:

(33)
Kekaayaanku melimpah, wahai Śakra,
pasukanku besar dan kuat.
Tetapi kebutaanku, membuatku
hanya tertarik dengan kematian saat ini.

(34)
Tidak mampu melihat wajah para peminta
yang berseri oleh kesenangan dan keceriaan
ketika harapan-harapan mereka terpenuhi,
kini aku hanya menyenangi kematian, wahai Indra.

Śakra berkata: “Cukup dengan keteguhan hati seperti itu! Hanya orang berbudi luhur yang dapat mencapai keadaan sepertimu. Tetapi ini yang harus engkau katakan kepadaku;

(35)
Para pengemislah yang menyebabkanmu berada dalam kondisi ini,
bagaimana mungkin pikiranmu masih sibuk memikirkan mereka?
Katakan kepadaku! Jangan menyembunyikan kebenaran dariku,
dan engkau dapat segera mengambil cara untuk penyembuhanmu.”[2]

Raja menjawab: “Mengapa engkau bersikeras untuk membuat diriku bangga? Namun dengarkanlah, wahai raja para dewa:

(36)
Seyakin permohonan dari para pengemis,
baik itu di masa lalu maupun saat ini
yang terdengar menyenangkan bagiku sebagai berkah,
semoga salah satu mataku muncul di hadapanku!”

Tidak lama setelah raja mengucapkan kata-kata itu, dengan kekuatan kejujurannya yang teguh dan kumpulan tindakan baiknya yang luar biasa, sebuah mata muncul di hadapannya, menyerupai kelopak bunga teratai, yang meliputi pupil bagai batu safir. Bersukacita melihat kemunculan matanya yang ajaib ini, sang raja berbicara kepada Śakra sekali lagi:

(37)
“Dan seyakin, setelah memberikan kedua mata
kepada ia yang hanya meminta satu,
batinku tidak merasakan hal lain selain kegembiraan penuh,
semoga aku juga mendapatkan mata yang kedua!”

Raja baru saja selesai mengucapkannya, di hadapannya muncul satu mata yang lain, seolah-olah itu adalah sandingan dari mata yang pertama.

(38)
Bumi dan gunung-gunung berguncang,
lautan mengalir melewati perbatasan pantainya.
Genderang surgawi berbunyi,
dengan suara yang dalam dan menyenangkan.

(39)
Segala penjuru langit tampak tenang dan indah.
Matahari bersinar semurni cahaya musim gugur.
Berbagai macam bunga jatuh dari surga,
diwarnai oleh bubuk cendana.

(40)
Para makhluk surgawi, termasuk para apsarasa dan gaṇa,
datang berkumpul dengan mata yang terbelalak takjub.
Angin bertiup sepoi-sepoi dengan menyenangkan.
Kegembiraan berkembang di batin setiap makhluk.

(41)
Suara pujian terdengar di segala arah,
diucapkan para makhluk sakti melalui kekuatannya.
Penuh dengan kegembiraan dan kekaguman,
mereka mengagungkan perbuatan mulia sang raja:

(42)
“Betapa mulianya! Betapa ia berwelas asih!
Lihatlah kemurnian hatinya!
Betapa ia tidak peduli dengan kesenangannya sendiri!
Terpujilah engkau, yang unggul oleh keteguhan dan keberanianmu!

(43)
Dunia telah memeroleh kembali dirimu sebagai pelindungnya!
Kilau mata terataimu telah terbuka sekali lagi!
Sesungguhnya, simpanan jasa kebajikan adalah harta yang kokoh!
Sungguh, kebajikan telah memperoleh kemenangan yang besar!”

Kemudian Śakra memberikan tepuk tangan padanya, “Sangat baik, sangat baik!” dan berucap lagi:

(44)
“Kemurnian batinmu yang sesungguhnya
diketahui olehku, yang mulia.
Oleh karena itu, wahai raja,
aku telah mengembalikan matamu.”

(45)
Melalui mata ini,
engkau akan memiliki kekuatan tanpa hambatan
untuk melihat lebih dari seratus yojana ke segala arah,
bahkan menembus pegunungan yang menghalangi.

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Śakra menghilang dari tempat itu.

Kemudian, Sang Bodhisattva, diikuti oleh para pejabatnya,[3] yang matanya terbuka lebar dan hampir tidak berkedip karena rasa heran yang memenuhi pikiran mereka, naik ke dalam arak-arakan menuju ibukota. Kota itu menampilkan pakaian festival, dihiasi dengan bendera yang dikibarkan dan berbagai spanduk, warga melihat-lihat dan para brāhmana memuji raja dengan salam dan doa. Ketika ia telah duduk di ruang pertemuan, di tengah-tengah kerumunan besar, yang pertama-tama terdiri dari para menteri, para brāhmana dan para tetua, para penduduk kota dan desa, yang semuanya telah datang untuk mengungkapkan ucapan selamat mereka yang penuh hormat: ia mengkhotbahkan Dharma kepada mereka, mengambil isinya berdasarkan pengalamannya sendiri.

(46)
“Siapakah di dunia ini yang akan lamban
dalam memuaskan keinginan pengemis dengan kekayaannya,
setelah melihat aku memperoleh mataku ini melalui kekuatan surgawi,
sebagai akibat dari jasa kebajikanku dalam memberi?

(47)
Aku dapat melihat ke segala arah
dalam keliling seratus yojana
meskipun tersembunyi di balik gunung,
sejelas seolah-olah itu dekat.

(48)
Apa cara yang lebih unggul untuk mencapai kemakmuran,
selain memberi dengan welas asih dan kerendahan hati?
Setelah aku merelakan penglihatan duniawi,
aku menerima penglihatan surgawi.

(49)
Mengetahui ini, para Śibi, buatlah kekayaanmu berbuah
dengan melakukan pemberian dan melepaskannya.[4]
Inilah jalan menuju kemuliaan dan kebahagiaan
baik dalam kehidupan ini maupun berikutnya.

(50)
Kekayaan adalah sesuatu yang rendah dan tidak bermakna.
Kekayaan menjadi bermakna ketika diberikan untuk kesejahteraan para makhluk.
Ketika diberikan, kekayaan menjadi harta karun (nidhāna),
ketika tidak diberikan, tujuan akhirnya hanyalah kehancuran (nidhana).”

Demikianlah, melalui ratusan kesulitan yang sulit itulah Sang Bhagavā memperoleh Dharma yang luhur ini demi kita; karena alasan inilah khotbahnya harus didengar dengan penuh perhatian.

Seseorang harus menceritakan kisah ini ketika sedang mendiskusikan keluhuran batin Sang Tathagata, seperti kisah yang telah disebutkan sebelumnya.[5]

Begitu pula ketika sedang mendiskusikan welas asih, dan ketika menunjukkan hasil dari perbuatan baik yang telah muncul pada kehidupan ini, berkata: “Dengan cara inilah, jasa kebajikan yang telah dikumpulkan melalui perbuatan-perbuatan baik, menunjukkan kekuatannya di kehidupan ini, laksana mekarnya bunga yang pesonanya meningkatkan kemuliaan.”


[1] Dalam bahasa aslinya perumpamaan ini diekspresikan oleh figur retoris, yang disebut ślea.

[2] Cara ini adalah Tindakan Kebenaran, sebagaimana dalam Hardy, Manual of Buddhism, 197 menyebutnya. Dalam Jātaka Pāli, Sakka menghasut raja untuk itu secara sederhana. Contoh lain dari saccakiriyā, seperti yang ditata dalam Pāḷi, akan muncul dalam Cerita 14, 15, 16.

[3] Kemunculan para pejabat dan menteri yang tiba-tiba agak aneh di sini. Jātaka Pāli dapat menjelaskannya. ‘Pada saat yang sama, dikatakan di sana (4, hlm. 411) bahwa saat [mata] muncul kembali, seluruh pengikut raja (sabbā rājaparisā) hadir melalui kekuatan Sakka.’

[4]      Inti dari petunjuk kerajaan ini mungkin diilustrasikan oleh bagian-bagian yang sesuai dari narasi di Pāli Jātaka. Petunjuk di sana diberikan dua kali, dalam prosa dan dalam sajak, lihat Jataka terjemahan versi Fausböll buku IV, hal. 41, 22, dan hal. 412, 7.

[5] Yaitu kisah harimau betina.

[Kembali ke daftar isi]

Jātakamālā 1 – Vyāghrījātaka
(Kisah Harimau Betina)


Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan dari Bahasa Inggris
ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei

Referensi terjemahan Bahasa Inggris:
J.S. Speyer
Clay Sanskrit Library


SYAIR PEMBUKA

Om! Terpujilah para Buddha dan Bodhisattva!

(1)
Agung dan mulia, puja serta pesona yang tiada habisnya,
Terdiri dari kebajikan luar biasa dan membawa kebaikan,
Itulah tindakan luar biasa Sang Muni dalam berbagai kelahiran sebelumnya.
Melalui segenggam bunga-bunga puisiku ini,
Aku memuja dengan penuh bakti, tindakan-tindakan luhur ini.

(2)
Dengan berbagai perbuatan terpuji,
Juga dengan petunjuk-petunjuk yang jelas,
Diajarkanlah jalan menuju menuju ke-Buddha-an itu;
Semoga mereka yang berhati keras dapat melunak,
Semoga ajaran-ajararan agama ini juga semakin mempesona!

(3)
Tidak bertentangan dengan tradisi suci,
Kata-kata maupun ajaran Buddha,
Dan karena kepedulian terhadap kebaikan dunia,
Aku akan berusaha membuat perenunganku ini
Menyenangkan bagi pendengarnya,
Dengan menceritakan perbuatan-perbuatan luar biasa,
Dari Sang Tertinggi di dunia.

(4)
Ketika bertindak demi makhluk lain,
Dia memancarkan kebajikan,
Yang tidak dapat ditiru oleh siapapun,
Bahkan oleh mereka yang menghendakinya sendiri.
Kemuliaannya berkobar dalam kebenaran,
Seperti namanya, Yang Maha Mengetahui,
Aku menundukkan kepalaku, menghormat
Kepada makhluk yang tiada taranya ini,
Kepada Dharma, dan kepada Komunitas Saṇgha.


Dalam kelahiran sebelumnya sekalipun, Sang Bhagavā menunjukkan cinta kasihnya yang mendalam, tanpa ego, dan mengidentifikasikan dirinya dengan semua makhluk, tanpa membeda-bedakan. Karena inilah, kita harus menunjukkan keyakinan yang tertinggi kepada Buddha, Sang Bhagavā. Hal ini akan dibuktikan dengan tindakan agung Sang Bhagavā dalam sebuah kelahiran sebelumnya, yang diagungkan oleh guruku, pemuja Sang Triratna, seseorang yang patut dihormati karena pembelajarannya yang menyeluruh tentang kebajikan, dicintai oleh gurunya sendiri karena kebajikan dalam praktik spiritualitasnya.

Pada suatu saat Sang Bodhisattva, yang kemudian menjadi Guru Agung kita, memberi manfaat kepada dunia dengan curahan cinta kasihnya yang berlipat ganda: melalui pemberian, kata-kata baik, bantuan, dan perbuatan tak bercacat ― serupa dengan pikirannya yang telah mengembangkan kebijaksanaan, dan sesuai dengan ikrar besar yang telah mengikatnya, dia terlahir dalam keluarga Brāhmana yang paling terkemuka dan perkasa, diunggulkan oleh kemurnian tingkah laku mereka karena ketaatan mereka terhadap tugas-tugas keagamaan. Dimurnikan oleh jātakarma dan ritual-ritual lainnya secara berurutan, ia tumbuh besar; dan dalam waktu singkat, karena kecepatan pemahamannya yang alamiah, sokongan unggul dalam pembelajarannya, keinginannya untuk belajar dan semangatnya, ia menguasai delapan belas cabang ilmu pengetahuan dan dalam semua seni (kalā) yang tidak bertentangan dengan kebiasaan keluarganya.

(5)
Bagi para Brāhmana, ia dihormati bagai suri tauladan seperti ajaran luhur itu sendiri,
Bagi para Kṣatriya ia dimuliakan bagai seorang raja;
Di hadapan banyak orang ia tampak seperti Sang Bermata Seribu[1];
Bagi mereka yang mendambakan pengetahuan ia bagaikan ayah yang mengarahkan.

Karena nasibnya yang makmur (sebagai hasil dari perbuatan baik yang telah dikumpulkan sebelumnya), sejumlah besar kekayaan, kehormatan, dan ketenaran jatuh menjadi miliknya. Tetapi Bodhisattva tidak menyukai hal-hal seperti itu. Pikirannya telah dimurnikan dengan terus mempelajari Dharma, dan ia menjadi akrab dengan penolakan kedunawian.

(6)
Perbuatan lampaunya telah memurnikan batinnya,
sehingga ia dapat melihat banyak penderitaan dalam nafsu keinginan.
Maka ia meninggalkan kehidupan perumah tangga bagai sebuah penyakit,
pergi ke suatu dataran tinggi yang dihiasi dengan kehadirannya.

(7)
Ketidakmelekatan yang ia tunjukkan di sana,
beserta ketenangan yang dicerahkan oleh kebijaksanaan,
ia mengecam orang-orang di dunia yang karena melekat
pada tindakan buruk menjadi enggan pada ketenangan para bijaksana.

(8)
Ketenangannya yang penuh cinta kasih itu menyebar
dan menembus ke dalam hati para hewan buas,
membuat mereka tidak melukai satu sama lain,
dan hidup seperti para pertapa.

(9)
Berkat kemurnian perilakunya, pengendalian dirinya,
kepuasan hatinya, dan kewelasan asihnya,
membuat ia disenangi bahkan oleh orang asing sekalipun,
sebab semua makhluk adalah teman baginya.

(10)
Karena keinginannya sedikit, ia hidup tanpa iri hati.
Ia meninggalkan keinginan untuk keuntungan, kemuliaan, dan kesenangan,
sehingga ia membuat para dewa
merasa yakin kepadanya dan menghormatinya.

(11)
Tergugah oleh kebajikannya,
orang-orang yang mendengar kehidupan pertapaannya.
meninggalkan keluarga dan kepemilikan mereka,
pergi kepadanya dan menjadi muridnya.

(12)
Ia mengajar murid-muridnya sebaik mungkin
mengenai kebajikan (śīla), kesucian, pemurnian indera,
menjaga perhatian, ketidakmelekatan terhadap dunia,
meditasi cinta kasih (maitrī) dan lainnya.[2]

Sebagian besar muridnya mencapai kesempurnaan karena ajarannya, di mana jalan suci (menuju keselamatan) ini dikukuhkan dan orang-orang berada pada jalan non-keduniawian yang unggul. Kini pintu kejahatan telah ditutup dan jalan kebahagiaan terbuka lebar bagai jalan besar. Suatu saat Sang Mahātman sedang berjalan menelusuri sepanjang gua-gua bersemak di gunung untuk menyesuaikan diri dengan baik pada praktik meditasi (yoga), untuk menikmati tatanan yang ada ini dengan nyaman. Ajita, muridnya saat itu, menemaninya.

(13)
Di sana, dalam sebuah goa di gunung,
ia melihat seekor harimau betina muda
yang hampir tidak mampu bergerak,
setelah berupaya keras melahirkan.

(14)
Matanya cekung,
perutnya kurus menunjukkan rasa lapar,
ia melihat anak-anak yang ia lahirkan sendiri,
seolah mereka adalah makanan.

(15)
Percaya dengan induknya, mereka tanpa rasa takut
mendekati induknya, haus akan susunya,
tetapi harimau betina itu menggeram keras,
mengancam mereka seolah adalah lawannya.

(16)
Saat melihat harimau itu,
Bodhisattva, meskipun batinnya tenang,
terguncang oleh welas asih karena penderitaan makhluk lain,
bagai penguasa pegunungan (Meru) yang terguncang oleh gempa.

(17)
Sungguh menakjubkan welas asih itu,
meskipun tabah dalam penderitaan besar mereka sendiri,
masih tersentuh oleh penderitaan makhluk lain,
sekecil apapun itu.

Dan welas asihnya yang kuat membuatnya menggumam, kegelisahan membuatnya mengulangi kata-kata berikut kepada muridnya, menunjukkan sifatnya mulianya: “Muridku, muridku!” serunya,

(18)
“Lihatlah, betapa tidak berartinya saṁsāra ini!
Hewan ini berusaha untuk memakan anak-anaknya sendiri.
Rasa kelaparan telah membuatnya
tidak mampu memahami cinta kasih.

(19)
Betapa kejamnya rasa mementingkan diri sendiri yang buas
hingga membuat seorang ibu ingin memakan anak-anaknya sendiri!

(20)
Siapalah yang mau memumpuk musuh yang bernama mementingkan diri sendiri,
jika menyebabkan seseorang melakukan tindakan seperti ini?

Cepatlah pergi, carilah cara untuk menenangkan rasa laparnya, agar ia tidak mencelakai anak-anaknya dan dirinya sendiri. Aku juga akan berusaha untuk mencegahnya dari tindakan gegabah itu.”

Sang murid berjanji untuk melakukannya dan pergi mencari makanan. Namun Bodhisattva sudah memiliki alasan untuk mengorbankan dirinya sendiri. Dia merenungkan ini:

(21)
“Mengapa aku harus mencari daging dari tempat lain,
sementara seluruh tubuhku ini telah tersedia?
Selain daging itu belum tentu ditemukan,
aku juga akan kehilangan kesempatan untuk melaksanakan tugasku.

Lagipula,

(22)
Tubuh ini tanpa inti, melapuk, dan tidak berarti.
Sumber rasa sakit, tubuh ini tidak tahu bersyukur dan kotor.
Sungguh tidak bijaksana bila tidak bergembira
bila telah menggunakan tubuh ini demi kebaikan makhluk lain.

(23)
Orang-orang mengabaikan penderitaan makhluk lain
ketika tidak mampu menolong atau melekat pada kesenangannya sendiri.
Tetapi aku tidak bisa bergembira sementara yang lain menderita.
Jika aku memiliki kemampuan untuk membantu,
mengapa aku harus bersikap acuh?

(24)
Dan jika, sementara bisa membantu, tetapi aku bersikap tidak peduli
bahkan kepada penjahat yang sedang tenggelam dalam kesedihan sekalipun,
pikiranku akan merasakan penyesalan atas perbuatan yang jahat itu,
terbakar seperti semak belukar yang terjebak dalam api besar.

(25)
Dengan menjatuhkan tubuhku ke jurang ini,
aku akan menggunakan tubuhku yang tidak bernyawa
untuk melindungi harimau betina itu dari membunuh anak-anaknya
dan menolong mereka agar tidak mati dalam gigi ibu mereka.

Terlebih lagi, dengan melakukan demikian

(26)
Aku akan memberi teladan bagi mereka yang ingin memberi manfaat kepada dunia,
aku menyemangati mereka yang memiliki sedikit keberanian,
aku bersukacita bagi mereka yang memahami arti memberi,
aku membangkitkan pikiran para bajik.

(27)
Aku mematahkan semangat pasukan besar Māra,
tetapi menggembirakan mereka yang mencintai kebajikan Buddha,
aku membangkitkan rasa malu mereka yang mementingkan diri sendiri,
dan tunduk pada iri hati beserta keserakahan.

(28)
Aku membangkitkan keyakinan kepada pengikut wahana unggul,
aku membuat takjub mereka yang mencemooh perbuatan memberi
dan membersihkan jalan menuju surga
dengan cara yang disenangi oleh mereka yang dermawan.

(29)
Dengan mempersembahkan anggota tubuhku sendiri,
aku juga memenuhi keinginanku
untuk memberi manfaat kepada makhluk lain
dan menjadi semakin dekat dengan pencerahan sempurna.

Lebih jauh lagi,

(30)
Bukanlah ambisi maupun menginginkan kemuliaan,
juga bukan demi pencapaian di alam surga maupun kerajaan
pun bukan demi kebahagiaan abadi, yang memotivasiku.
Tujuanku hanyalah untuk memberi manfaat bagi makhluk lain.

(31)
Maka semoga aku memiliki kekuatan
untuk melenyapkan penderitaan di dunia
juga menciptakan kebahagiaan pada saat yang sama,
seperti matahari yang melenyapkan kegelapan dan memberikan cahaya!

(32)
Entah aku akan diingat, dilihat, atau menjadi terkemuka,
atau ketika kisah tentang pengorbananku ini disampaikan,
semoga aku memberi manfaat bagi dunia dalam segala hal
dan secara terus-menerus memberikan kebahagiaan kepada dunia!”

(33)
Setelah mengambil keputusan, ia merasa bergembira
bahwa ia akan mengorbankan hidupnya demi manfaat makhluk lain,
ia melemparkan dirinya ke bawah,
memunculkan rasa takjub dalam batin para dewa yang paling tenang sekalipun.

Suara tubuh Bodhisattva yang terjatuh membangkitkan keingintahuan dan kemarahan harimau betina. Dia berhenti dari dorongannya untuk membunuh anak-anaknya, dan mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Segera setelah dia melihat tubuh Bodhisattva yang tak bernyawa, ia bergegas ke sana dan mulai melahapnya.

Tetapi muridnya ‒ yang kembali tanpa daging karena tidak mendapatkannya ‒ tidak melihat gurunya. Sang murid pun mencarinya, hingga ia melihat harimau betina muda itu sedang menyantap tubuh Bodhisattva yang tidak bernyawa. Dan rasa kekaguman terhadap tindakan luar biasa itu kesedihan dan rasa sakitnya, tetapi ia memberikan ucapan[3] yang pantas sebagai penghormatan kepada gurunya yang taat pada kebajikan, dalam monolog berikut:

(34)
“Oh, betapa Sang Mahātman berwelas asih kepada mereka yang didera oleh penderitaan!
Betapa ia tidak melekat pada kesejahteraannya sendiri!
Betapa perilaku yang baik telah ia sempurnakan!
Ia telah menghancurkan kemuliaan musuhnya menjadi berkeping-keping!

(35)
Betapa mulianya cinta kasih yang telah ia tunjukkan,
begitu berani, tak kenal takut, dan berdasarkan kebajikan!
Tubuhnya, yang begitu berharga dalam kebajikan,
kini telah menjadi wadah penghormatan yang tertinggi!

(36)
Lembut dalam kemurahan hati dan kukuh bagai bumi,
betapa ia tidak tahan dengan penderitaan makhluk lain!
Dan betapa pikiranku yang kasar ini,
Kontras dengan tindak keberaniannya yang luar biasa!

(37)
Sesungguhnya, para makhluk tidak perlu bersedih,
setelah memilikinya sebagai pelindung mereka.
Sedangkan Manmatha[4] sedang menghela nafas,
gemetar dalam rasa takut akan kekalahan!

Dalam segala hal, aku menghormat kepada Mahāsattva yang termasyhur, yang welas asihnya melimpah, dengan kebaikan yang tak terbatas, perlindungan bagi semua makhluk, Bodhisattva bagi para makhluk.” Dan dia menceritakan kejadian itu kepada sesama murid.

(38)
Kemudian para murid merasa kagum
atas tindakan sang Bodhisattva,
dan bersama para gandarwa, para yaksa,
para naga dan para dewa pemimpin,
mereka menaburi tanah
yang menadah harta tulang-belulangnya
dengan karangan bunga, kain,
permata dan bubuk cendana yang melimpah.

Demikianlah, bahkan di kelahiran sebelumnya sekalipun, Sang Bhagavā menunjukkan cinta kasihnya yang mendalam, tanpa ego, dan memancar kepada semua makhluk, serta mengidentifikasikan dirinya kepada semua makhluk. Untuk alasan inilah kita harus menunjukkan keyakinan yang tertinggi kepada Buddha, Sang Bhagavā.

Maka seseorang hendaknya mengemukakan, “Setelah mengembangkan keyakinan kepada Sang Buddha, ktia juga harus merasakan kegembiraan yang tertinggi. Dengan cara inilah keyakinan kita akan berada di dalam perlindungannya.” Demikian pula kita harus mendengarkan pengajaran Dharma dengan seksama, karena telah dibawa kepada kita melalui ratusan rintangan yang sulit.[5]

Dan seseorang juga harus menceritakan kisah ini ketika mengajarkan welas asih, dengan berkata: “Melalui welas asih seperti inilah, kita tergerak untuk bertindak demi kebaikan makhluk lain, produktif dengan sifat yang teramat luhur.”[6]


[1] Śakra, Indra, atau raja para dewa.

[2] Maksudnya adalah empat atau lima bhāvanā (latihan meditasi)

[3] Teks tersebut tertulis śobheta, bukan aśobhata, sesuai dengan dugaan.

[4] Manmatha, Kāma, Kandarpa dan nama-nama lain dari dewa nafsu dan kesenangan sensual adalah padanan yang umum untuk Māra. Bandingkan dengan Buddhacarita XIII, 2.

[5] Dukaraśatasamudānītatvāt, bandingkan dengan Divyāvadāna, ed. Cowell, hal. 490.

[6] Yaitu selama mengumpulkan jasa baik, konsekuensi dari perbuatan baik, meningkatkan kualitas kita.

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 30 – HASTI-JATAKA

Jātakamālā 30 – Hastijātakam
(Kisah Sang Gajah)

Jātakamālā 30 – Hastijātakam
(Kisah Sang Gajah)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Bagi orang berbudi rasa sakit adalah sebuah hadiah, jika itu menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu ketika sang Bodhisattva terlahir sebagai seekor gajah besar. Dia menetap di suatu hutan yang pantas untuk para gajah, yang berhiaskan dahan-dahan muda dari pepohonan indah, yang ujungnya tampak jelas oleh ranting-ranting, bunga-bunga, dan buah-buahnya. Di bawah dasarnya tersembunyi bermacam jenis semak, pepohonan, dan rerumputan. Semua itu dikelilingi oleh pegunungan dan dataran tinggi, seolah ditawan oleh keindahan hutan yang menawan dan tidak akan merindukan tempat lain. Hutan itu adalah tempat tinggal hewan-hewan gunung, dengan danau yang airnya melimpah dan dalam. Tempat itu jauh dari tempat tinggal manusia, dikelilingi oleh gurun luas di segala sisi tanpa pohon, semak, dan air. Di sana tinggalah seekor gajah yang menyendiri.

(1) Ia tinggal di sana bagai seorang pertapa, bersenang hati dengan dedaunan dari pepohonan, batang teratai dan air, dan dengan kepuasan hati dan ketenangan.

Suatu ketika, saat Bodhisattva sedang mengembara di dekat perbatasan hutan itu, ia mendengar suara manusia dari sisi hutan belantara. Kemudian ia berpikir: “Ada apa ini? Pertama-tama, arah ini tidak menuju jalan ke negara mana pun; juga tidak mungkin kelompok pemburu harus melintasi hutan belantara sebesar ini. Aku juga tidak yakin bila mereka sedang berupaya untuk menangkap teman-teman gajahku, karena diperlukan upaya yang amat keras.

(2, 3) Tentunya, orang-orang ini tersesat, pemandu mereka kehilangan arah, atau diusir karena kemarahan raja atau karena kesalahan mereka sendiri.

Demikianlah suara bising yang kudengar, yang bukanlah suara-suara kegembiraan, keceriaan, dan kesenangan; melainkan suara-suara yang tidak bersemangat, seperti orang-orang yang menangis dalam kesedihan yang luar biasa.

Apapun itu, aku akan mengetahui hal yang sebenarnya.” Setelah merenung demikian, Bodhisattva tergerak oleh rasa welas asihnya, bergegas berjalan maju ke arah datangnya suara keramaian itu. Ketika dia mendengar lebih jelas suara-suara ratapan yang menyedihkan dan memilukan itu, yang tidak menyenangkan bagi telinga, Sang Mahātmā memahami bahwa suara itu merupakan teriakan minta tolong yang diucapkan oleh orang-orang yang menderita, kemudian ia berlari dengan kecepatan yang lebih tinggi lagi dengan pikiran yang dipenuhi dengan kerinduan rasa welas asih.

Setelah meninggalkan semak-semak, tiba di padang pasir yang kosong tanpa vegetasi, dia sudah melihat tubuh orang-orang yang berteriak minta tolong dari jauh, mengarahkan pandangan mereka ke arah hutan. Mereka berjumlah tujuh ratus orang, dan kelelahan karena rasa lapar, haus, dan lelah. Orang-orang itu, di sisi lain, melihat Bodhisattva mendatangi mereka, menyerupai puncak yang bergerak dari gunung yang tertutup salju, atau gumpalan kabut putih yang kental, atau awan musim gugur yang didorong ke arah mereka oleh angin kencang; dan ketika mereka diliputi oleh kesedihan dan keputusasaan, pemandangan ini sangat menakutkan bagi mereka. Dalam ketakutan, mereka berpikir: “Aduh! sekarang kita pasti sudah tersesat!” tetapi mereka tidak bisa berusaha untuk melarikan diri karena rasa lapar, haus, dan lelah telah menghancurkan energi mereka.

(4) Tidak berdaya karena rasa lapar, haus, dan lelah, dan karena semangatnya yang rendah, mereka tidak bersiap untuk melarikan diri, meskipun bahaya sudah tampak dekat.

Bodhisattva yang merasakan kecemasan mereka, berseru: “Jangan takut! Jangan takut! Kalian tidak perlu takut denganku,” menenangkan mereka, mendekat, mengangkat belalainya dan menunjukkan ujungnya yang lebar, lembut, dan berwarna merah tua seperti tembaga. Tergerak oleh rasa welas asih, dia bertanya kepada mereka: “siapakah kalian, tuan-tuan, dan bagaimana kalian bisa sampai pada keadaan ini?

(5) Wajah-wajah pucat kalian tampak kusam oleh debu dan matahari, kalian kurus dan menderita oleh kesedihan dan keputusasaan pikiran. Siapakah kalian dan apa alasan kalian datang ke sini?”

Mendengar ia berucap dengan bahasa manusia, kata-kata ini tidak hanya menunjukkan sifat damai, tetapi juga keinginannya untuk membantu, sehingga orang-orang itu kemudian memulihkan kepercayaan diri mereka dan seluruh rombongan membungkuk kepadanya. Kemudian mereka berbicara:

(6) “Ledakan kemarahan raja telah meniup kami hingga ke wilayah ini, jauh dari pandangan sanak saudara kami yang sedih melihat pengusiran itu, wahai raja para gajah.

(7) Namun, sejujurnya, pasti masih ada sisa-sisa nasib baik kami dan beberapa keberuntungan terhadap kami sehingga kami telah menarik perhatianmu, yang lebih baik dari teman dan sanak saudara.

(8) Dengan melihat tanda-tanda keberuntunganmu, kami tahu bahwa kami telah melewati malapetaka kami. Sesungguhnya siapakah yang setelah melihatmu, bahkan dalam mimpi sekalipun, tidak akan selamat dari kesusahan?”

Kemudian gajah yang agung itu berbicara: “Nah, terdiri dari berapa orangkah kalian, wahai tuan-tuan?” Dan para manusia menjawab:

(9, 10) “Wahai makhluk yang berwujud cantik, kami berjumlah seribu orang ketika sang raja meninggalkan kami di sini, tetapi banyak dari kami karena tidak terbiasa dengan kesulitan, telah binasa karena kelaparan, kehausan, dan kesedihan.

Dan sekarang, wahai raja gajah, kami memperkirakan ada tujuh ratus yang masih hidup, yang akan terbenam dalam mulut kematian, memandang kepadamu saat perwujudan penghiburan datang kepada kami untuk memberi pertolongan.

Dengan kata-kata ini Sang Mahāsattva, karena kebiasaan welas asihnya, tergerak untuk menangis dan mengucapkan terima kasih kepada mereka: “Sungguh disayangkan!

(11) Oh! Betapa pikiran raja itu bertolak belakang dengan kelembutan, tanpa rasa malu, dan sedikit mencemaskan tentang kehidupan di alam selanjutnya! Oh! Betapa indranya telah tertangkap oleh kemegahan kerajaannya, sesuatu yang mudah berubah seperti kilatan cahaya, buta terhadap kebaikannya sendiri!

(12) Oh! Dia tidak mengerti bahwa kematian sudah dekat, aku mengira dia juga tidak diajarkan tentang akhir kejahatan yang tidak menyenangkan! Sungguh disayangkan! Oh, para raja yang malang dan tak berdaya, yang karena lemahnya penilaian mereka, tidak sabar dalam mendengarkan ucapan-ucapan (nasihat).

(13) Dan, sesungguhnya, kekejaman terhadap makhluk hidup ini dilakukan demi sebuah tubuh, sarang penyakit yang mudah rusak! Sungguh sedih atas ketidaktahuannya!”

Sambil membiarkan matanya yang penuh dengan welas asih dan kelembutan menatap orang-orang itu, pikiran ini muncul di dalam kepala sang gajah: “Tersiksa oleh kelaparan, kehausan dan kelelahan, dan tubuh mereka menjadi sangat lemah, bagaimana mereka dapat melewati hutan belantara itu? sejauh banyak yojana, mereka tidak dapat menemukan air maupun naungan, kecuali mereka memiliki makanan yang sehat. Hutan tempat gajah juga tidak menyediakan makanan yang layak untuk mereka, bahkan untuk satu hari sekalipun, tanpa diragukan lagi. Namun demikian, jika mereka memeroleh perbekalan mereka dari daging anggota tubuhku dan menggunakan ususku sebagai pengganti kantung, memasukkan air ke dalamnya, mereka akan mampu menyeberangi gurun ini; namun tidak jika sebaliknya.

(14) Oleh karena itu, izinkanlah aku, demi mereka, untuk menggunakan tubuhku, tempat tinggal ratusan penyakit ini, sebagai rakit bagi banyak orang yang sedang diliputi oleh penderitaan ini, untuk melintasi kesengsaraan mereka.

(15) Terlahir sebagai manusia adalah kondisi yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, baik itu kebahagiaan surgawi ataupun pembebasan akhir, dan sulit untuk mencapai kondisi itu. Semoga keuntungan ini tidak hilang bagi mereka!

(16) Selanjutnya, karena mereka datang ke dalam jangkauan wilayah kekuasaanku, aku berhak untuk menyebut mereka sebagai tamu-tamuku. Mereka berada dalam kesusahan dan tidak memiliki sanak saudara, maka aku harus menunjukkan lebih banyak welas asih kepada mereka.

(17) Dan wadah yang memiliki banyak kelemahan ini, lapisan dasar dari berbagai jerih payah yang disebabkan oleh penyakit tanpa akhir, kumpulan kesengsaraan ini, yang bernama ‘tubuh’, sekarang, setelah waktu yang lama, akhirnya akan berfungsi dengan baik, berfungsi untuk membantu orang lain.”

Kemudian sebagian dari mereka, yang sangat menderita oleh rasa lapar, haus, lelah, dan panas, setelah bersujud kepadanya dengan tangan tertangkup dan mata yang basah dengan air mata, seperti pengemis, meminta air kepadanya melalui isyarat tangan mereka, sedangkan yang lain berbicara kepadanya dengan kata-kata yang menyedihkan:

(18) “Bagi kami yang tidak memiliki sanak saudara, engkau adalah sanak saudara, engkau adalah penyelamat dan perlindungan kami. Berkenanlah untuk melindungi kami dengan cara yang engkau anggap terbaik, Yang Mulia!”

Yang lainnya lagi yang memiliki lebih banyak energi pikiran, memintanya untuk menunjukkan kepada mereka tempat untuk menemukan air dan cara untuk keluar dari gurun yang mengerikan itu.

(19, 20) “Jika di sini ada kolam atau sungai dengan air yang dingin, atau mungkin air terjun, jika pohon rindang di atas sebidang rumput dapat ditemukan di sini, beri tahu kami, wahai pemimpin para gajah.

Dan jika engkau berpikir mungkin untuk keluar dari gurun ini, tunjukkan welas asih dan tunjukkan arah kepada kami.

Kami telah tinggal di hutan belantara ini selama berhari-hari. Oleh karena itu, bantulah kami untuk melewatinya.”

Kemudian Sang Mahātmā yang merasa hatinya semakin berluap rasa welas asih atas permintaan mereka yang menyedihkan, mengangkat belalainya yang sebesar gulungan ular yang perkasa, menunjukkan kepada mereka gunung, di mana mereka dapat melarikan diri dari hutan belantara, dan berbicara: “Di bawah gunung ini ada sebuah danau besar yang dihiasi oleh bunga teratai, putih dan merah, dan berisi air yang murni. Oleh karena itu, pergilah dengan cara ini. Dengan air danau itu kalian dapat memuaskan dahaga, menghilangkan lelah dan letih kepanasan.

Kemudian, melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari tempat itu kalian akan menemukan mayat seekor gajah yang jatuh dari dataran tinggi pegunungan. Daging dari anggota tubuhnya harus kalian ambil untuk bekal dalam perjalanan, dan sediakanlah air bagi diri kalian dengan memasukkan ke dalam perutnya sebagai pengganti kantung; setelah itu kalian harus pergi berjalan lebih jauh ke arah yang sama. Maka kamu akan melewati padang gurun ini tanpa banyak kesulitan.”

Dengan kata-kata yang menghibur seperti itu, Sang Mahātmā mendorong mereka untuk berangkat, sedangkan dirinya sendiri berlari cepat melalui jalan lain, naik ke puncak gunung itu. Berdiri di sana, hendak merelakan tubuhnya sendiri untuk menyelamatkan tubuh orang-orang itu, dia memperkuat tekadnya dengan sungguh-sungguh, melalui pemikiran ini:

(21) “Tindakan ini tidak mengarah pada pencapaian tingkat tinggi untuk diriku sendiri, tidak pula keagungan seorang raja manusia, pemilik payung kerajaan, maupun surga dengan cita rasa tunggal dari kenikmatan-kenikmatannya yang tidak tertandingi, maupun kebahagiaan dalam kelahiran Brahma, atau bahkan kebahagiaan pelepasan;

(22) Tetapi jika ada manfaat dari diriku dalam upaya untuk membantu orang-orang yang tersesat di padang gurun, semoga aku menjadi penyelamat dunia, untuk makhluk-makhluk yang berbuat salah di padang gurun Saṁsāra!”

Setelah memutuskan demikian, dan tidak memedulikan kematian menyakitkan yang akan dirasakannya dengan remuk dalam kedalaman itu, karena kegembiraannya, Sang Mahātmā merelakan tubuhnya sesuai dengan rencananya dengan melemparkan dirinya sendiri ke bawah gunung yang curam itu.

(23) Saat jatuh, ia bersinar seperti awan musim gugur atau seperti bulan yang tenggelam di belakang gunung tempat itu, atau seperti penutup salju dari puncak gunung itu, terlempar ke bawah dengan kecepatan dahsyat dari angin yang digerakkan oleh sayap Garuḍa.

(24) Dengan suara angin puyuh yang keras, ia menjatuhkan dirinya, mengguncang tidak hanya bumi dan gunung-gunung, tetapi juga pikiran Māra yang dikuasai oleh nafsu kekuasaan. Dan dalam kejatuhannya, dia menundukkan baik itu para penjalar hutan maupun para dewa hutan.

(25) Tidak diragukan lagi, pada saat itu para dewa yang tinggal di sekitar hutan itu merasa sangat terkejut. Kegembiraan mereka membuat bulu-bulu di tubuh mereka merinding, dan mereka mengayunkan tangan ke langit, jari-jari halus mereka mengarah ke atas.

(26) Beberapa menaburkannya hujan bunga yang lebat, beraroma manis dan diwarnai dengan bubuk cendana. Yang lain menutupi jasadnya dengan pakaian bagian atas mereka, terbuat dari bahan surgawi yang tidak ditenun dan gemerlap dengan hiasan emas; yang lain menurunkan perhiasannya.

(27) Yang lainnya lagi memujanya dengan nyanyian pujian yang telah mereka ciptakan dengan sungguh-sungguh, dan dengan bersikap añjali, tangan mereka yang tertangkup menyerupai kuncup bunga teratai yang sedang terbuka. Sebagian dari mereka menghormatinya dengan kepala tertunduk, menurunkan mahkota indah mereka, dan dengan doa penghormatan.

(28) Beberapa mengipasinya dengan angin yang menyenangkan, seperti merangkai karangan bunga (buih) di atas ombak dan diharumkan dengan aroma yang dipinjam dari serbuk bunga. Yang lainnya memegang kanopi awan tebal di langit di atas kepalanya.

(29) Beberapa didorong oleh rasa bakti untuk membuat surga menggemakan pujiannya dengan suara genderang surgawi. Dan lebih lagi, yang lain menghiasi pohon-pohon dengan ranting-ranting, bunga-bunga, dan buah-buahan baru yang muncul sebelum waktunya.

(30) Langit mengambil kemegahan indah musim gugur, sinar matahari tampak lebih panjang, dan samudra bergetar dan mengguncang permukaan ombaknya karena tidak sabar untuk pergi dan mengunjunginya karena kegembiraan.

Sementara orang-orang itu, mengikuti jalan yang ditunjukkan kepada mereka, telah mencapai danau; dan setelah menyegarkan diri dan memulihkan diri dari panas, kehausan, dan kelelahan, melakukan seperti yang telah diinstruksikan oleh Sang Mahātmā, dari dari jarak yang tidak jauh mereka melihat tubuh seekor gajah yang telah mati beberapa saat sebelumnya. Dan mereka berpikir: “Betapa gajah ini sangat mirip dengan pemimpin gajah yang tadi itu!

(31) Apakah dia mungkin saudara dari makhluk perkasa itu, atau kerabatnya, atau salah satu putranya? Kenyataannya, kita melihat sosok cantik yang mirip dengan puncak salju dalam tubuh ini, meskipun telah hancur.

(32) Terlihat seperti kumpulan kilauan berbagai kelompok bunga teratai, seperti wujud nyata dari sinar rembulan, atau seperti wujudnya yang dipantulkan oleh cermin.”

Tetapi beberapa di antara mereka yang memiliki penilaian yang lebih tajam tentang masalah ini mulai merenungkan sebagai berikut: “Sejauh yang kami lihat, hewan ini, yang kecantikannya melebihi gajah-gajah di seperempat dunia, adalah gajah itu sendiri, yang telah melemparkan dirinya sendiri dari dataran tinggi ini, agar dia dapat menyelamatkan kita dari kesusahan tanpa memiliki kerabat dan teman.” (Dan setelah memahami demikian, mereka berkata):

(33) “Suara yang kami dengar, seperti angin puyuh, seperti gempa bumi, pasti disebabkan oleh kejatuhannya.

(34) Tubuh ini sebenarnya adalah miliknya, memiliki rona putih kekuningan yang sama dengan akar teratai dan ditutupi dengan rambut yang sama seputih sinar rembulan dan dihiasi dengan bintik-bintik halus. Ini adalah kakinya yang seperti kura-kura dengan kuku-kuku putih. Dan ini adalah tulang punggung yang sama melengkung dengan anggun menyerupai busur.

(35) Juga ini adalah wajah yang sama panjang dan penuh, dihiasi dengan aliran sari yang harum. Dan ini adalah kepala yang sama, tingginya, keberuntungannya, tidak pernah tersentuh oleh tongkat penjinak, berdiri di atas leher yang kuat.

(36) Ini adalah sepasang gading berwarna madu yang sama; mereka dengan bangga menanggung tanda (kejayaannya), ditutupi dengan debu merah dari lereng gunung. Dan inilah belalai itu dengan ujung seperti jari yang panjang, yang dengannya dia menunjukkan kepada kita jalan ini.

Oh! Sesungguhnya ini adalah keajaiban yang aneh!

(37) Ah! Persahabatan yang begitu besar telah dia tunjukkan kepada kita, tanpa terlebih dahulu menanyakan tentang keluarga kita, perilaku dan keyakinan kita, kepada kita yang hancur karena kemalangan dan tidak pernah didengar olehnya sebelumnya! Betapa besar kebaikannya bagi teman-teman dan saudara-saudaranya!

Dengan berbagai cara kami menghormat kepadanya, Yang Termasyhur itu!

(38) Membantu orang-orang seperti kita, orang-orang yang menderita, diliputi ketakutan, kesedihan dan keputusasaan, dia yang berwujud gajah menahannya, seolah seorang berbudi yang jatuh.

(39) Di manakah dia diajari tentang kebaikan yang luar biasa ini? Pada kaki guru seperti apa dia duduk di hutan? Ada pepatah terkenal, ‘tidak ada keindahan sosok yang menyenangkan tanpa kebajikan’ telah dicontohkan dalam dirinya.

(40) Oh! Betapa dengan keagungan sifatnya yang luar biasa dia telah memanifestasikan keberuntungan yang diharapkan dari (sosok beruntungannya)! Sesungguhnya, bahkan di dalam tubuhnya yang telah mati, kepuasan dirinya muncul dalam kulitnya yang bersinar seperti gunung Salju, seolah-olah sedang tertawa senang!

Oleh karena itu, siapa yang akan membiarkan dirinya memakan tubuh makhluk yang sangat berbudi luhur ini, yang karena kebaikannya, melampaui kasih sayang sanak saudara dan teman-temannya, yang dengan cara demikian membantu kita sehingga siap mengorbankan bahkan nyawanya sendiri demi kebermanfaatan kita? Tidak, lebih baik kita membayarnya utang syukur kita dengan mengkremasi tubuhnya dengan ritual dan ibadah yang tepat.”

Berpikir demikian, mereka berduka, seolah-olah bencana yang terjadi pada keluarga telah menimpa mereka; mata mereka menjadi sembab karena air mata dan mereka meratap dengan suara yang tersendat-sendat.

Tetapi beberapa dari mereka yang memiliki sudut pandang yang lebih kuat, memahami sikap mereka dan memahami perbedaan situasi, berbicara kepada mereka: “Sesungguhnya, dengan melakukan hal itu gajah yang luar biasa ini tidak berharap disembah ataupun dipuja. Karena seperti yang kita tahu, rencananya telah terwujud sehingga kita harus menghormatinya.

(41) Karena dengan tujuan menyelamatkan kita, dia yang merupakan sosok asing bagi kita, bahkan tidak mengenal kita, dengan cara ini meninggalkan tubuhnya yang dia sayangi untuk tamu-tamunya, yang lebih dia sayangi lagi.

(42) Karena alasan ini, adalah tepat untuk memenuhi rencananya. Jika tidak, bukankah usaha makhluk itu akan menjadi sia-sia?

(43) Dengan penuh cinta kasih dia telah menawarkan seluruh hartanya untuk menjamu tamu-tamunya. Kalau begitu, akankah kita membuat kemurahan hatinya menjadi tidak berbuah dengan tidak menerimanya?

(44) Oleh karena itu, kita wajib untuk menghormatinya dengan menerimanya seperti kata-kata seorang guru, juga kita akan menjamin kesejahteraan diri kita sendiri.

(45) Setelah mengatasi kesulitan kita, akan menjadi waktu yang tepat untuk memujanya baik secara bersama-sama atau masing-masing, dan melakukan upacara perkabungan yang tepat untuk gajah yang luar biasa ini sebagai sanak saudara yang telah meninggal.”

Oleh karena itu, mereka yang mengingat bahwa pemimpin gajah itu telah bertekad untuk menyelamatkan mereka dari hutan belantara, mematuhi kata-katanya. Mereka mengambil perbekalan mereka dari tubuh Bodhisattva, dan mengisi ususnya dengan air, menggunakannya sebagai kantung air. Kemudian mengikuti arah yang telah dia tunjukkan kepada mereka, mereka dengan selamat melintasi hutan belantara itu.

Dengan cara inilah, bagi orang berbudi rasa sakit adalah sebuah hadiah, jika itu menjadi kebahagiaan bagi orang lain.

[Begitulah yang dikatakan ketika memuji orang yang benar. Demikian pula, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata atau tentang mendengarkan dengan perhatian pada khotbah Dharma.

Ketika membahas tentang cara memperoleh sifat menguntungkan, ini harus dikatakan: “Dengan cara ini, sifat menguntungkan yang diperoleh melalui latihan (moralitas) muncul kembali dalam kelahiran baru.”

Kisah ini juga dapat diceritakan ketika menunjukkan kebajikan yang terkandung dalam kebiasaan berdana. “Maka kebiasaan meninggalkan benda-benda materi membuat kita mudah melepas bahkan melepas kemelekatan terhadap diri sendiri.”Pada kata-kata yang diucapkan oleh Sang Bhagavā pada saat nirvāna sempurna-Nya, ketika beliau dihadiri dengan bunga-bunga surgawi dan musik-musik surgawi: “Sesuatu seperti ini, sebenarnya, bukanlah cara yang benar, Ānanda, untuk memuaskan Sang Tathāgata,” cerita ii dapat berfungsi sebagai komentar, dengan mengambil contoh: “Dengan cara inilah, pemujaan terdiri dari pemenuhan rencana (orang yang dihormati), bukan dengan persembahan wewangian, karangan bunga, dan sejenisnya.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 29 – BRAHMA-JATAKAM

Jātakamālā 29 – Brahmajātakam
(Kisah Penghuni Brahmaloka)

Jātakamālā 29 – Brahmajātakam
(Kisah Penghuni Brahmaloka)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Pandangan salah merupakan hal yang membawa konsekuensi buruk, sehingga mereka yang mengikuti pandangan salah perlu mendapatkan welas asih dari para orang berbudi. Inilah yang akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva, guru kita, setelah mengumpulkan simpanan karma baik dengan berlatih dhyāna secara terus-menerus, memeroleh kelahiran di Brahmaloka (alam Brahma) sebagai akibat matangnya jasa kebajikan itu. Namun, karena dia selalu mempraktikkan welas asih di kehidupan sebelumnya, kebahagiaan yang tinggi di Brahmaloka yang telah diperolehnya sebagai akibat dari keunggulan dhyāna tidak menghancurkan kerinduannya untuk membantu makhluk lain.

(1) Dengan memanjakan diri dalam kesenangan indriawi maupun materi, orang-orang duniawi menjadi tidak waspada. Tetapi para orang berbudi, meski terserap dalam meditasi, betapapun idealnya, tidak akan lalai dalam membantu orang lain.

Suatu ketika Sang Mahātmā sedang menatap alam kenikmatan di bawah, di mana welas asih menemukan tempat yang tepat, karena tempat ini merupakan alam yang dikunjungi oleh ratusan bentuk penderitaan dan bencana yang berbeda-beda, terdiri dari unsur-unsur penyakit moral, bencana, permusuhan sesama makhluk hidup, dan kenikmatan indriawi.

Dan dia melihat raja Videha yang bernama Aṅgadinna sedang melakukan kesalahan di tengah hutan belantara dengan keyakinan yang keliru, sebagian disebabkan oleh pergaulannya yang salah dengan teman-teman yang buruk, sebagian juga karena ia sangat terikat pada pandangan-pandangan salah. Sang raja dibujuk seperti ini: “tidak ada kehidupan lain setelah kehidupan ini, sehingga bagaimana mungkin ada konsekuensi dari perbuatan baik atau jahat?” dan sesuai dengan keyakinan ini, kerinduannya terhadap praktik spiritual menjadi padam. Sang raja menjadi enggan berdana, enggan berperilaku baik (śīla), memandang rendah terhadap hal-hal yang membawa kepada kehidupan spiritual, dan karena kurangnya keyakinan, memunculkan niat buruk terhadap teks-teks ajaran agama. Dia menertawakan kisah-kisah tentang alam lain, dan hanya menunjukkan sedikit hormat kepada para Śramaṇa and Brāhmana yang dia pandang rendah. Dia menyerahkan dirinya kepada kesenangan indriawi.

(2) Dia yang teguh dalam keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian, di mana karma baik dan jahat dapat menghasilkan buah kebahagiaan dan malapetaka, orang seperti itu akan menghindari perbuatan jahat dan mengerahkan dirinya untuk menjadi bajik. Tetapi dengan ketiadaan keyakinan seperti itu, seseorang menuruti keinginannya sendiri.

Raja itu, yang secara salah melekati pengetahuan palsu itu, akan memeroleh konsekuensi yang buruk dan menjadi sumber malapetaka bagi rakyat-rakyatnya, sehingga membangkitkan welas asih sang Mahātmā Devarṣi itu. Suatu ketika, sang raja yang selalu digerakkan oleh kenikmatan indriawi itu sedang berdiam di sebuah bungalo yang indah dan sepi, Bodhisattva turun dari alam Brahma dengan kecemerlangan yang menyala-nyala di depan matanya. Saat melihat makhluk bercahaya yang berkobar bagai nyala api, bersinar bagai kumpulan kilat, dan menyebarkan kecemerlangan cahaya yang terang bagai kumpulan sinar matahari, sang raja yang diliputi oleh kilau itu merasa terkejut dan bangkit dari kursinya untuk menemuinya dengan hormat dengan tangan yang tertangkup. Dengan hormat dia melihat ke arah Bodhisattva (yang melayang di udara) dan berkata:

(3) “Langit merupakan tempat kakimu berpijak, seolah-olah itu adalah bumi, wahai engkau yang memiliki kaki bagai bunga teratai; Engkau memancarkan cahaya dengan luas, membawa kilau matahari. Siapakah engkau, yang wujudnya menggembirakan mata?”

Sang Bodhisattva menjawab:

(4) “Wahai raja, perkenalkan, aku adalah salah satu dari para Devarṣi yang mencapai alam Brahma, dengan kekuatan pikiran, keterikatan dan ketekunan yang kuat pada praktik spiritual yang mengalahkan kemelakatan dan kebencian, kedua musuh yang sombong itu, seperti dua kepala pasukan yang angkuh dalam pertempuran.”

Setelah mendengar kata-kata itu, sang raja menyambut tamu itu secara ramah dengan air untuk membasuh kakinya dan air arghya sambil menyertai penghormatan ini dengan kata-kata sambutan yang baik dan sejenisnya. Kemudian, sambil menatap wajahnya dengan rasa kagum, dia berkata: “Sungguh luar biasa sosokmu, wahai Ṛṣi Agung. Sungguh, kekuatanmu yang sakti.

(5) Tanpa bersandar pada dinding sebuah bangunan, engkau dapat berjalan di atas langit semudah di atas bumi. Beritahu aku, wahai engkau yang cerah berkilau bagai kilatan petir, bagaimana engkau mendapatkan kesaktian ini?

Bodhisattva menjawab:

(6) “Wahai raja, kekuatan sakti seperti ini merupakan hasil dari meditasi (dhyāna), perilaku baik tanpa noda (śīla), dan pengendalian indra yang sangat baik, yang telah aku praktikkan di dalam kehidupan lain sehingga mereka menjadi unsur penting dari sifatku.”

Raja bertanya: “Apakah kehidupan setelah kematian itu benar-benar ada?” Sang Brahma menjawab: “Sesungguhnya, baginda, ada alam setelah kematian.” Raja kembali bertanya: “Tetapi, tuanku, bagaimana aku dapat mempercayainya?” Bodhisattva berkata: “Ini adalah kebenaran yang nyata, Yang Mulia, yang dapat dibuktikan melalui penalaran dengan cara pembuktian biasa (pramāṇa): melalui persepsi oleh indra dan sebagainya. Hal ini dicontohkan oleh pernyataan orang-orang yang dapat dipercaya, dan dapat diuji dengan metode pemeriksaan yang akurat. Renungkanlah ini:

(7) Surga, dengan hiasan matahari, bulan dan bintang-bintang, juga berbagai konstelasi dengan beragam wujud, merupakan alam setelah kematian yang nyata dan terlihat. Jangan biarkan pikiranmu ditumpulkan oleh keragu-raguan sehingga tidak memahami kebenaran ini.

(8) Selanjutnya ada orang-orang yang melalui praktik dhyana dan ketajaman ingatan mereka, dapat mengingat kehidupan mereka yang sebelumnya. Dari sini juga harus disimpulkan bahwa ada kehidupan setelah ini. Dan aku sendiri, bukankah aku telah memperlihatkanmu sebuah bukti?

(9) Selain itu, engkau juga dapat menyimpulkan keberadaannya dari hal ini: adanya pencapaian yang tinggi dalam kecerdasan menunjukkan bahwa terdapat keberadaan lampau dari kecerdasan itu. Kecerdasan yang belum sempurna di dalam janin adalah kelanjutan kecerdasan yang tidak terputus dari kehidupan sebelumnya.

(10) Selanjutnya, bagian untuk menangkap materi pengetahuan itulah yang disebut kecerdasan (buddhi). Oleh karena itu, pasti ada lingkup aktivitas kecerdasan pada awal keberadaan. Tetapi tidak mungkin untuk menemukannya di dalam kehidupan ini, karena ketiadaan mata dan organ indra lainnya (pada janin muda). Melalui penyimpulan, tempat di mana ia dapat ditemukan adalah di dalam kehidupan lain.

(11) Melalui pengalaman, diketahui bahwa anak yang berbeda dari orang tua yang sama memiliki sifat yang berbeda. Fakta ini tidak dapat muncul tanpa sebab, sehingga ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari kehidupan sebelumnya.

(12, 13) Anak yang baru lahir, meskipun kemampuan pikirannya belum terbentuk secara utuh dan organ-organ indranya masih belum tajam, berusaha untuk mendekati payudara tanpa diajarkan dan dalam keadaan yang hampir tertidur lelap. Hal ini membuktikan bahwa dalam kehidupan sebelumnya dia telah melatih dirinya untuk mengambil makanan dengan cara yang tepat.

Latihan penyempurnaan pikiran mempertajam kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dalam berbagai tindakan khusus.

Mungkin, karena engkau tidak terbiasa dengan gagasan tentang keberadaan kehidupan lain, engkau mungkin masih ragu tentang pernyataan terakhir. Mungkin engkau memikirkan hal ini:

(14) ‘Lalu teratai yang menutup dan membuka sendiri, apakah merupakan bukti bahwa mereka telah mempraktikkan gerakan-gerakan itu di kehidupan lain? Jika hal ini tidak diakui, mengapa engkau menegaskan bahwa upaya bayi untuk menyusu merupakan akibat dari upaya yang telah dilakukan pada kelahiran sebelumnya?’

Maka engkau wajib mengesampingkan keraguan itu dengan mempertimbangkan bahwa dalam satu kejadian terdapat dorongan, dan terdapat kebebasan dalam kejadian lainnya. Pengerahan upaya tidak terjadi dalam kasus itu, tetapi terjadi dalam kasus ini.

(15) Dalam kasus teratai, membuka dan menutupnya kelopak bergantung pada waktu, tetapi upaya untuk mengambil payudara tidak demikian. Lagi pula, tidak ada pengerahan upaya dalam teratai, tetapi dalam kasus menyusu jelas ada. Kekuatan mataharilah yang menyebabkan bunga teratai mekar.

Dengan cara ini, Yang Mulia, melalui pemeriksaan yang teliti dan cermat, adalah mungkin untuk meyakini adanya kehidupan setelah kematian.”

Tetapi karena sang raja sangat terikat pada pengetahuan palsu yang dia anut, juga karena perilaku salahnya yang besar, merasa tidak nyaman mendengar cerita tentang kehidupan lain itu, dan berbicara: “Mengapa, wahai Ṛṣi agung,

(16) Jika kehidupan selanjutnya bukanlah momok untuk menakuti anak-anak, atau jika menurutmu aku perlu untuk mempercayainya, maka pinjamkanlah aku lima ratus niṣka di sini, dan aku akan mengembalikan seribu kepadamu dalam kehidupan berikutnya.”

Raja, sesuai dengan kebiasaannya yang tidak tahu malu telah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas ini tanpa ragu-ragu, seolah-olah sedang memuntahkan racun dari keyakinannya yang salah. Namun Bodhisattva menjawabnya dengan cara yang sangat tepat.

(17) “Dalam kehidupan ini, mereka yang ingin menggunakan uang mereka dengan tujuan untuk meningkatkan jumlahnya, tidak akan memberikannya kepada orang jahat, orang serakah, orang bodoh, maupun orang yang pemalas. Sebab kekayaan yang diberikan kepada orang-orang seperti itu cenderung merusak mereka.

(18) Tetapi jika mereka melihat seseorang yang tahu malu, dengan indra yang sepenuhnya tenang, dan terampil dalam perdagangan; kepada orang seperti itulah mereka menawarkan pinjaman, sekalipun tanpa saksi. Pemberian uang seperti itu menghasilkan kebahagiaan.

(19) Demikianlah garis perilaku yang sama harus diikuti, wahai raja, sehubungan dengan utang yang dapat dibayar dalam kelahiran selanjutnya. Tidak cocok bagiku untuk memberi pinjaman seperti itu kepadamu, seseorang yang berperilaku jahat karena ajaran salah yang engkau anut.

(20) Karena, ketika pada saat engkau berada di neraka akibat tindakan kejammu sendiri yang berasal dari ajaran salah, engkau akan berbaring di sana, meradang kesakitan dan pikiranmu tidak berdaya, siapakah yang akan memanggilmu demi utang seribu niṣka?

(21) Di sana wilayah langit tidak bersinar dalam keindahan feminin oleh sinar matahari dan rebulan, penghancur tabir kegelapan mereka. Cakrawala juga tidak terlihat bersama dengan hiasan kumpulan bintangnya, yang seperti danau dihiasi oleh bunga lili air yang tidak tertutup.

(22) Di sana adalah tempat orang-orang berkeyakinan salah berdiam sebagai kehidupan selanjutnya, diselimuti oleh kegelapan yang pekat, dengan angin sedingin es bertiup di sana, menembus hingga ke tulang-tulang dan terasa sangat menyakitkan. Siapakah orang bijaksana yang akan memasuki neraka itu demi mendapatkan uang?

(23) Beberapa mengembara di dasar neraka dalam waktu yang lama, yang terbungkus dalam kegelapan yang pekat dan kusam dengan asap yang menyengat; mereka menderita di sana, menarik kain mereka yang compang-camping yang terikat pada tali kulit, dan menangis kesakitan sesering mereka tersandung satu sama lain.

(24) Demikian juga orang lain dengan kaki yang terus-menerus terluka berlari ke segala arah di Neraka Jvalatkukūla, merindukan pembebasan dari sana, tetapi mereka tidak mencapai akhir dari kesalahan maupun hidup mereka.

(25) Para pelayan Yama yang kejam mengukir anggota tubuh orang lain seperti tukang kayu, mengikatnya dengan cara yang berbeda-beda, dan membentuknya dengan pisau tajam, seolah-olah mereka sedang ditempa dalam kayu segar.

(26) Orang lain kulitnya dilucuti, mengerang kesakitan, atau bahkan kehilangan daging mereka, menjadi tengkorak hidup, tetapi mereka tidak bisa mati, tetap hidup oleh tindakan jahat mereka sendiri. Begitu juga dengan orang lain yang dipotong-potong.

(27) Yang lain menarik kereta perang yang menyala-nyala untuk waktu yang lama. Mereka memakai potongan api yang lebar di mulut mereka dan tunduk pada tali kekang dan tongkat berwarna kuning kecokelatan, berapi-api. Lantai tempat mereka menarik terbuat dari besi, dipanaskan oleh api yang tak henti-hentinya menyala.

(28) Sebagian lagi, tubuh mereka hancur ketika mereka bertemu gunung Saṁghāta dan hancur menjadi debu oleh serangannya; namun demikian, bahkan dalam penderitaan besar dengan tingkat yang paling parah sekalipun, mereka tidak dapat mati sebelum karma buruk mereka dimusnahkan.

(29) Beberapa lainnya ditumbuk menjadi debu dengan alu kuningan besar dan menyala di palung berpijar api selama lima ratus tahun penuh, namun mereka tetap tidak kehilangan nyawa.

(30) Yang lainnya tergantung dengan kepala atau bahkan kaki mereka ke pohon-pohon yang merah membara seperti karang dari permukaan yang kasar, ditumbuhi duri-duri besi tajam yang menyala-nyala. Mereka dipukuli para pelayan Yama, yang mencaci mereka dengan seruan keras.

(31) Yang lain menikmati buah dari perilaku mereka, berbaring di atas tumpukan besar bara api, menyala dan menyerupai emas cair. Mereka (tak berdaya) dihadapkan pada nasib mereka, tidak bisa berbuat apa-apa selain berbaring dan mengerang kesakitan.

(32) Beberapa melolong dengan lidah yang menjulur dari mulut mereka, sementara tubuh mereka diliputi oleh rasa sakit yang berat yang disebabkan oleh ratusan tombak tajam di atas tanah yang diterangi oleh rangkaian api yang keluar dari sana. Pada saat itu mereka dibuat percaya bahwa ada kehidupan di luar ini.

(33) Ada orang lain yang kepalanya dilingkari dengan mahkota kuningan yang menyala-nyala; lainnya direbus dalam pot kuningan. Tubuh yang lainnya terluka oleh sengatan tajam dari hujanan senjata, dan dimangsa oleh kerumunan binatang buas yang menggerogoti mereka hingga ke tulang.

(34) Yang lain lagi, kelelahan karena kerja keras, memasuki air asin Vaitaraṇī, tetapi air itu menyakitkan untuk disentuh bagai api, dan daging mereka terkikis dari tubuh mereka ketika berada di dalamnya, tetapi tidak mengikis hidup mereka yang dipertahankan oleh tindakan jahat mereka.

(35) Dan mereka yang menderita karena siksaan hebat yang disebabkan oleh pembakaran, telah beralih ke (neraka bernama) Asucikuṇapa berupa kolam air tawar, bertemu di sana dengan rasa sakit yang tak tertandingi. Tulang mereka dibawa ke pembusukan oleh ratusan cacing.

(36) Di tempat lain, orang lain mengalami rasa sakit karena terbakar untuk waktu yang lama. Dikelilingi oleh api, tubuh mereka menyala seperti tongkat besi yang dikelilingi oleh nyala api. Namun mereka tidak terbakar menjadi abu, tetap hidup oleh tindakan mereka.

(37) Ada penggergajian orang dengan gergaji api, pemotongan orang dengan pisau cukur yang tajam. Sedangkan yang lain, kepala diremukkan dengan palu yang diayunkan dengan cepat, sehingga membuat mereka berteriak kesakitan. Ada pemanggangan di atas api tanpa asap yang dialami oleh orang lain, dipasang di atas lubang besi lebar yang menembus tubuh mereka. Lainnya lagi dipaksa untuk meminum kuningan cair yang tampak seperti api yang menyala-nyala, yang membuat mereka menangis mentah-mentah.

(38) Beberapa diserang oleh anjing bertutul dengan kekuatan besar yang dengan gigi tajam mereka merobek daging dari anggota badan mereka; mereka jatuh ke tanah dengan tubuh terkoyak, menangis keras karena kesakitan.

(39) Itulah siksaan yang luar biasa di berbagai neraka. Jika engkau, terdorong oleh karmamu, sekali telah mencapai keadaan itu, siapakah yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu, sementara pada saat itu engkau kesakitan dengan kemuraman dan pikiranmu menderita karena kelelahan dan kesedihan?

(40) Mungkin saja engkau tinggal di neraka tempayan yang diisi dengan mayat orang jahat dan sulit untuk didekati karena nyala api, yang memanaskan mereka dan membuat engkau bergerak tak berdaya terkena penderitaan direbus. Lalu siapa yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu pada saat itu?

(41) Atau engkau dapat berbaring dengan kaki terikat pada peniti besi yang menyala-nyala atau di atas tanah yang panas membara oleh api yang menyala-nyala. Sementara engkau akan menangis dengan sedih, tubuhmu terbakar habis, siapakah yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu pada saat itu?

(42) Siapa yang akan meminta utang itu darimu, ketika engkau telah mencapai tingkat penghinaan yang menyedihkan itu, mengalami penderitaan yang mengerikan dan bahkan tidak dapat memberikan jawaban apa pun?

(43) Atau seandainya tulang-tulangmu tertusuk oleh angin sedingin es yang bahkan menghancurkan kekuatan rintihan, atau suaramu yang mengeluarkan raungan kesakitan, ketika engkau akan dicabik-cabik, maka siapakah yang berani meminta uang itu di kehidupan lain?

(44) Atau, jika engkau lebih suka terkena luka-luka yang disebabkan oleh para pelayan Yama, atau berbaring di tengah api yang menyala-nyala, atau jika anjing dan gagak memakan daging dan darahmu, siapakah yang akan mendesakmu dengan permintaan uang di kehidupan lain?

(45) Selain itu, ketika engkau menjalani siksaan tanpa henti dengan serangan, potongan, pukulan, atau pembelahan; dengan dibakar, diukur, digiling, atau dibelah; singkatnya, (tubuhmu) dirobek dengan cara yang sangat berbeda-beda, bagaimana seharusnya engkau mampu mengembalikan utang itu kepadaku pada saat itu?”

Gambaran yang sangat menakutkan tentang neraka memengaruhi sang raja. Mendengarnya, dia menjadi waspada dan meninggalkan ketaatannya terhadap ajaran yang salah. Dan setelah memeroleh keyakinan tentang adanya kehidupan setelah kematian, dia membungkuk kepada Ṛṣi yang termasyhur itu dan berbicara:

(46) ​​“Setelah diberitahu tentang siksaan di neraka yang berbeda-beda, pikiranku hampir larut dalam rasa takut. Di sisi lain aku merasakan rasa cemas yang membara, mengingat bagaimana aku bisa berlindung dari rasa sakit yang mengerikan itu.

(47) Karena aku berpandangan dangkal, aku berjalan di jalan yang salah, pikiranku disesatkan oleh pandangan salah. Sekarang, izinkan Yang Mulia menjadi pemanduku di sini. Engkau tahu jalan yang benar. Engkau adalah pemanduku dan perlindunganku, wahai Muni.

(48) Bagai matahari terbit yang mengusir kegelapan, demikian pula engkau telah menghilangkan kegelapan dari keyakinan salahku. Dengan cara yang sama, wahai Ṛṣi, engkau harus mengajariku jalan yang benar sehingga aku tidak akan mencapai kesengsaraan setelah kematian.”

Kemudian, setelah Bodhisattva memahami bahwa perasaan dan pemahaman sang raja telah mengubah pandangannya menjadi lebih baik dan sekarang telah menjadi wadah yang sesuai untuk menerima Dharma, ia mulai mengajari sang raja – karena dia berwelas asih kepadanya, seperti seorang ayah terhadap putranya, atau seorang guru terhadap muridnya – dalam cara ini:

(49) “Jalan mulia menuju surga adalah jalan yang dilalui oleh raja-raja kuno, yang menunjukkan kecintaan mereka kepada kebajikan, berperilaku seperti murid yang baik terhadap para Śramaṇa dan Brāhmana, dan menunjukkan welas asih mereka kepada rakyat-rakyatnya melalui perilaku mereka sendiri.

(50) Oleh karena itu, taklukkanlah ketidakadilan yang sangat sulit untuk ditaklukkan, dan kalahkanlah ketamakan yang sangat sulit untuk dikalahkan! Sehingga engkau dapat menunggangi makhluk bercahaya ke kota sang penguasa surga, kota dengan gerbang emas yang gemerlap dan permata yang paling indah.

(51) Semoga penerimaanmu terhadap ajaran yang dihargai oleh para bajik, yang engkau terima saat pikiranmu masih terbiasa dengan ajaran yang salah, tetap teguh. Tinggalkanlah ajaran salah, yang merupakan sistem ketidakadilan yang diserukan oleh orang-orang yang bermaksud memuaskan orang-orang bodoh.

(52) Karena engkau telah mengambil jalan (yang benar), wahai raja, maka ketika engkau berkehendak berjalan di atasnya dengan perilaku bajik yang telah ditetapkan oleh Dharma, engkau menghancurkan kebencian terhadap kebajikan di dalam hatimu.

(53) Oleh karena itu, biarlah kekayaanmu menjadi alat untuk memperoleh kebajikan, dan praktikanlah welas asih kepada rakyat-rakyatmu, yang merupakan sebuah hal yang menguntungkan dan akan meningkatkan kebahagiaanmu sendiri. Teguhlah dalam menjaga pengendalian indra yang unggul dan perilaku baik. Dengan cara ini engkau tidak akan menemui kemalangan dalam kehidupan selanjutnya.

(54) Biarlah pemerintahanmu, wahai raja, memperoleh seluruh kecemerlangannya dari kilauan perbuatan-perbuatanmu yang berjasa; biarlah itu diandalkan oleh mereka yang mempraktikkan perbuatan baik, dan menjadi indah dengan kemurniannya. Memerintah dengan cara demikian, engkau berjuang untuk kebahagiaan sejatimu bersama-sama dengan kepentingan materimu, dan memusnahkan penderitaan para makhluk, dengan demikian meningkatkan kemuliaanmu dengan cara yang indah.

(55) Di sini (di bumi) engkau berdiri di atas kereta perang kerajaanmu. Biarkan pujian dari para bajik menjadi kusirmu. Biarlah tubuhmu sendiri, yang melahirkan kebajikan, menjadi keretamu. Biarkan cinta kasih menjadi porosnya, pengendalian diri dan amal sebagai rodanya, dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengumpulkan jasa kebajikan menjadi tongkat porosnya.

(56) Kendalikanlah kuda-kudamu, organ-organ indramu, dengan kekang yang indah bernama perhatian. Jadikanlah kehati-hatian sebagai tongkatmu dan ambil senjatamu dari gudang pembelajaran suci. Biarlah rasa malu menjadi perabot keretamu, kerendahan hati sebagai tiangnya yang indah, dan kesabaran sebagai kuknya. (Berdirilah di atas kereta itu,) Engkau akan mengendarainya dengan terampil, jika engkau teguh dalam pengendalian diri yang berani.

(57) Dengan menahan ucapan-ucapan buruk, engkau akan membuatnya pergi tanpa derak roda; jika engkau mengucapkan kata-kata yang indah, suara mereka akan menjadi berat dan dalam. Dengan tidak pernah melanggar pengendalian diri, engkau akan menjaga keretamu dari kelonggaran bagian-bagian penyusunnya. Engkau akan tetap pada arah yang benar, jika engkau menghindari tersesat di jalan berliku dari tindakan jahat.

(58) Dengan menggunakan kendaraan (yāna) ini, cemerlang dengan kilau kebijaksanaan, dihiasi oleh bendera kemasyhuran dan panji-panji ketenangan yang berkibar tinggi, dan diikuti oleh welas asih sebagai kehadirannya, engkau akan bergerak ke arah paramātmā dan engkau tidak akan turun ke alam neraka, wahai raja.”

Setelah kegelapan pengetahuan salah yang ada dalam pikiran sang raja dicerahkan oleh sinar cemerlang dari kata-kata Sang Bodhisattva, dan menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan dengan jelas, Sang Mahātmā menghilang di tempat. Tetapi raja, setelah mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan selanjutnya, memeluk Dharma dengan sepenuh hatinya; dan dirinya sendiri serta para pejabatnya, warga kotanya, dan rakyat-rakyatnya menjadi berniat untuk melakukan dana, menguasai diri sendiri, dan mempraktikkan pengendalian diri.

Dalam cara inilah, maka, mereka yang mengikuti pandangan salah perlu mendapatkan welas asih dari para orang berbudi, karena pandangan salah merupakan hal yang membawa konsekuensi buruk.

[Kisah ini juga dapat dikemukakan melalui simpulan ini: “Dengan cara inilah  mendengarkan khotbah Dharma yang Luhur (Saddharma) dipenuhi dengan keyakinan yang meluap-luap.” Atau dengan ini: “Dengan cara inilah mendengarkan Dharma yang dibabarkan oleh orang lain dapat membangkitkan keyakinan yang menghasilkan kepercayaan yang benar.”

Dan ketika menambahkannya dalam khotbah tentang pujian bagi orang-orang yang berbudi luhur, demikian juga tentang topik kesabaran, dapat dikatakan bahwa: “Dengan cara inilah orang berbudi akan menangkis serangan musuh dengan menasihati musuh mereka demi kebaikannya, dan mereka akan melakukannya tanpa kekerasan karena mereka terbiasa dengan kesabaran.”Juga ketika membahas saṁvega harus dikatakan: “Dalam cara inilah perasaan dari pikiran membuat seseorang cenderung untuk mempedulikan keselamatannya.”


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 28 – KSANTI-JATAKA

Jātakamālā 28 – Kṣāntijātakam
(Kisah Kṣāntivādin)

Jātakamālā 28 – Kṣāntijātakam
(Kisah Raja Kera)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Sesungguhnya, tidak ada hal yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang telah sepenuhnya melatih kesabaran dan menjaga ketenangan. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu ketika, Bodhisattva terlahir sebagai seorang pertapa yang telah meninggalkan keduniawian. Dia telah melihat bahwa kehidupan sebagai perumah tangga hanya menyisakan sedikit ruang untuk kebajikan, sebab diliputi oleh pekerjaan-pekerjaan yang buruk; oleh karena itulah kehidupan duniawi didatangi oleh banyak keburukan dan kejahatan, serta tidak cocok untuk ketenangan, karena keduniawian menyiratkan banyaknya ketertarikan material (artha) dan kenikmatan indriawi (kāma); kehidupan duniawi terpapar oleh masuknya hawa nafsu yang mengotori: cinta, kebencian, kegilaan, kecemburuan, kemarahan, nafsu, kesombongan, keegoisan, dan lainnya; melibatkan hilangnya rasa malu dan nilai-nilai spiritual, serta merupakan tempat kediaman dari ketamakan dan nafsu jahat.

Di sisi lain, setelah memahami kehidupan tanpa rumah ― yang menghindari kepemilikan material dan objek-objek indriawi ― sebagai keadaan yang menyenangkan dan sepenuhnya bebas dari kejahatan. Dengan mengetahui demikian, ia menjadi seorang pertapa yang terkemuka dalam perilakunya, pembelajarannya, ketenangan pikirannya, kerendahan hatinya, dan pengendalian dirinya. Sesuai dengan ikrarnya, ia berceramah mengenai kesabaran dan mengajarkan Dharma dari sudut pandang tersebut. Orang-orang pun melupakan nama pribadinya dan nama keluarganya, memberinya nama baru dengan memanggilnya sebagai Kṣāntivādin (sang pengkhotbah kesabaran).

(1) Seringkali, mereka yang menunjukkan keunggulan dalam pengetahuan, pertapaan, atau seni, atau yang memiliki keunikan tertentu, memeroleh nama panggilan baru dari orang lain.

(2) Demikian pula dengan pertapa ini, nama aslinya terlupakan dan ia memeroleh panggilan Kṣāntivādin; yang berasal dari kekuatan kesabarannya dan keinginannya untuk menghiasi umat manusia, seperti dirinya sendiri, dan dengan kebajikan itulah ia terus menerus berkhotbah tentang topik tersebut.

(3) Ketekunan dan keteguhannya yang kuat terlihat dari ketenangannya yang tidak tergoyahkan, bahkan ketika dilukai oleh orang lain sekalipun, serta khotbahnya yang luar biasa tentang hal itu, membuat dirinya dikenal sebagai seorang Muni.

Kediaman Sang Mahātmā adalah suatu tempat di sebuah hutan yang indah dengan penampilan bagai taman yang menawan; menghasilkan bunga dan buah-buahan di setiap musim, meliputi kolam air murni yang dihiasi oleh teratai putih dan biru. Dengan menetap di sana, dia memberikan kesucian pertapaan untuk tempat itu.

(4) Karena di manapun orang-orang bijak yang dihiasi dengan kebajikan-kebajikan unggul itu menetap, tempat itu adalah tempat yang sangat membawa keberuntungan dan indah, yang merupakan tempat suci untuk melakukan ziarah (tirtha dan sebuah pertapaan.

Dia dihormati oleh para dewa yang tinggal di sana, dan juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang mencintai kebajikan dan mengharapkan pembebasan. Kepada para tamu-tamunya itu, dia menunjukkan kemurahan hati yang tinggi dengan menghibur mereka melalui khotbah-khotbahnya tentang kesabaran yang menyenangkan telinga dan hati mereka.

Suatu ketika di musim panas, karena cuaca yang panas, raja negeri itu memutuskan untuk menghibur dirinya di perairan danau hutan yang jernih itu. Bersama selir-selirnya, ia melakukan perjalanan ke tempat yang indah dan menawan itu di hutan.

(5) Dia berkeliaran di hutan itu bersama dengan keindahan selir-selirnya yang menyebar di semua sisi, membuatnya semakin megah dengan aktivitas olahraga antara dirinya dengan istri-istrinya yang nakal.

(6) Di dalam bungalo, di bawah pohon-pohon hutan dengan gaun bunga-bunga yang mekar, dan di dalam air dengan teratai yang mengembang, sang raja merasa senang dengan kegembiraan yang tidak terkendali dari para wanita.

(7) Sambil tersenyum, dia melihat gerakan lemah gemulai dari rasa takut dan ekspresi yang indah di wajah beberapa selirnya yang diganggu oleh lebah, yang terpikat oleh wewangian parfum dan urapan yang dicampur dengan aroma karangan bunga dan minuman keras.

(8) Meskipun mereka telah menghiasi telinga mereka dengan bunga-bunga yang paling indah dan rambut mereka telah mengenakan banyak karangan bunga, para wanita masih tidak memiliki bunga yang cukup banyak. Demikian pula sang raja masih belum cukup melihat permainan nakal mereka.

(9) Dia melihat para wanita yang berkumpul seperti untaian manik itu sekarang berada di bungalo, sedang menunggu sekelompok teratai yang terkadang mengambang di atas air seperti lebah yang terbang di sekitar pohon bunga.

(10) Bahkan siulan burung kukuk, tarian burung merak, dan senandung lebah dikalahkan oleh suara gumaman, tarian, dan nyanyian para wanita itu.

(11) Bunyi genderang kerajaan yang sekuat gemuruh guntur, membuat burung-burung merak mengeluarkan teriakan khas mereka dan membentuk lingkaran pada ekor mereka yang lebar, seolah-olah mereka adalah pemeran yang sedang memuja sang raja melalui karya seni mereka.

Kemudian, setelah menikmati kesenangan berjalan-jalan di hutan yang seperti taman itu dengan puas bersama selir-selirnya, ia merasa lelah dengan permainan yang tak henti-hentinya dan mabuk menguasai pikirannya. Sang raja kemudian meletakkan dirinya di atas tempat duduk kerjaan miliknya yang sangat berharga di bawah bungalo yang indah, dan tertidur pulas.

Ketika para wanita merasa bahwa tuan mereka tidak lagi sibuk dengan mereka dan karena mereka tidak merasa puas dengan berbagai keindahan hutan yang membuat mereka terpesona, mereka pindah dari tempat itu, dan bergumam dalam kelompok yang dibentuk sesuai dengan keinginan mereka, mencampur suara gemerincing perihasan mereka dengan suara gumaman percakapan mereka.

(12) Diikuti oleh lencana kekuasaan yang berdaulat, payung kerajaan, kipas ekor kerajaan, kursi kerajaan dan sebagainya, yang dihiasi dengan ornamen emas dan ditandu oleh budak wanita, para wanita berjalan dengan tanpa kendali dan ceroboh.

(13) Mengabaikan permohonan para pelayan wanita, mereka yang didorong oleh rasa kesal memetik bunga-bunga indah dan ranting-ranting pohon yang berada dalam jangkauan mereka dengan serakah.

(14) Meskipun mereka memiliki banyak bunga, baik sebagai hiasan dan disusun sebagai karangan bunga, dalam perjalanan tidak ada satupun semak yang disisakan bersana bunganya ataupub pepohonan yang ranting-rantingnya melambai tanpa mengupasnya, karena keserakahan.

Dalam perjalanan mereka menjelajahi hutan, yang keindahannya telah menangkap pikiran mereka, para selir raja mendekati pertapaan Kṣāntivādin. Meskipun mengetahui kekuatan pertapaan dan keteguhan hati dari sang Muni, mereka yang bertanggung jawab atas istri-istri kerajaan itu tidak berani mencegah mereka masuk karena merasa sungkan terhadap para selir dan juga takut sang raja akan tersinggung dengan intervensi mereka. Maka istri-istri raja, yang seolah-olah terpesona dengan kemegahan pertapaan itu dengan keindahannya yang bertambah melalui kesaktian (penghuninya), memasuki pertapaan tersebut dan melihat Muni yang agung duduk di sana dengan kaki bersila di bawah sebuah pohon. Sungguh pemandangan yang menguntungkan dan memurnikan untuk dilihat.

Ketenangannya memancarkan kelembutan di wajahnya, kedalaman pikirannya yang luar biasa menginspirasi rasa kagum, wajahnya menampilkan kemuliaan pertapaan dan, berkat latihan dhyāna yang tekun, ia menunjukkan ketenangan yang indah dan indra yang tidak terganggu, meskipun subjek meditasi yang paling tinggi hadir dalam pikirannya. Singkatnya, ia bagai perwujudan Dharma. Kegemilangan pertapaannya menaklukkan pikiran istri-istri kerajaan itu, dan melihatnya saja sudah cukup untuk membuat mereka meninggalkan kecerobohan, kesembronoan, dan keangkuhan mereka. Oleh karena itu mereka pergi kepadanya dengan sikap rendah hati, dan duduk dengan hormat membentuk lingkaran di sekelilingnya.

Dia memberikan salam kepada mereka, kemudian menyambut mereka dan mengatakan hal-hal yang baik dan sopan yang menyenangkan kepada mereka; menjawab pertanyaan mereka dan memberikan hadiah berupa khotbah agama, berceramah dalam istilah-istilah yang mudah dipahami dan mengilustrasikan penjelasannya tentang Dharma yang disertai dengan contoh-contoh.

(15) “Dia yang setelah terlahir sebagai manusia, dan dilahirkan dengan organ dan indra yang lengkap, sehat dan kuat, tanpa cacat apa pun, kemudian lalai melakukan perbuatan baik setiap hari karena kurangnya perhatian – sesungguhnya orang seperti itu telah banyak tertipu; bukankah dia tunduk pada kematian?

(16) Sekalipun seorang pria terlahir unggul karena kelahirannya, wajahnya, usianya, kekuatannya yang lebih tinggi, atau kekayaan hartanya, tetapi dia tidak akan pernah menikmati kebahagiaan di kehidupan selanjutnya; kecuali dia memurnikan diri dengan berdana, berperilaku yang baik (śīla), dan melakukan kebajikan lainnya.

(17) Karena sesungguhnya, dia yang meskipun terlahir tanpa kemuliaan dan nasib baik sekalipun, tetapi dia membenci kejahatan, melakukan praktik dana, perilaku baik dan sebagainya; orang seperti itu akan dikunjungi oleh setiap jenis kebahagiaan di kehidupan selanjutnya, seperti laut yang didatangi oleh air sungai pada musim hujan.

(18) Bagi dia yang terlahir unggul karena keturunannya, wajahnya, usianya, kekuatannya yang lebih tinggi, atau kekayaan hartanya, kecintaan terhadap kebajikan adalah perhiasan yang paling pantas di dunia ini; sedangkan untaian emas miliknya hanya menunjukkan kekayaannya semata.

(19) Bagai bunga yang menghiasi pohon, bagai kilat yang menghiasi awan hujan, dan bagai danau dihiasi oleh bunga teratai dan seroja bersama dengan para lebah yang mabuk; demikian pula latihan penyempurnaan kebajikan merupakan perhiasan bagi para makhluk hidup.

(20) Manusia berbeda-beda dalam hal kesehatan, durasi hidup, kecantikan atau ketampanan, kekayaan, dan kelahiran dapat digolongkan sebagai rendah, menengah dan tinggi. Perbedaan ini tidak terjadi begitu saja, pun tidak disebabkan oleh pengaruh eksternal. Perbedaan ini merupakan akibat dari tindakan manusia (karma).

(21) Mengetahui bahwa inilah hukum bagi keberadaan manusia, dan mengingat bahwa hidup ini rapuh dan tidak tetap, seseorang harus menghindari perbuatan jahat dan mengarahkan hatinya pada perilaku bajik. Karena inilah jalan menuju kemashyuran dan kebahagiaan.

(22) Tetapi pikiran yang penuh dengan kekotoran bertindak bagai api, membakar kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Oleh karena itu, dia yang takut terhadap kejahatan harus menghindari kekotoran batin dengan hati-hati, dengan mengembangkan apa yang merupakan sebaliknya.

(22) Betapapun membaranya api, akan padam jika bertemu dengan sungai besar yang dipenuhi dengan air. Demikian pula api yang berkobar di dalam pikiran seseorang akan padam, jika ia mengandalkan kesabaran yang akan melayaninya baik di dalam kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya.

(24) Oleh karena itu, kesabaran memiliki manfaat besar. Dia yang mempraktikkan kesabaran akan menghindari kejahatan, karena dia telah mengalahkan penyebabnya. Dia tidak akan menimbulkan permusuhan, karena dia mengembangkan cinta kasih. Demikianlah, dia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati, dan kemudian menikmati kehidupan yang berbahagia. Pada akhirnya dia akan tiba di surga (dengan mudah) seolah-olah dia sedang memasuki rumahnya, berkat ketaatannya dalam melakukan jasa kebajikan.

Selain itu, wahai para wanita, kukatakan bahwa kebajikan dari kesabaran ini,

(25) Dikenal sebagai sifat bajik yang lebih unggul; sebagai pengembangan tertinggi yang dapat diperoleh dari jasa kebajikan dan reputasi baik; sebagai pemurnian yang dapat dicapai tanpa menyentuh air; sebagai kekayaan tertinggi yang diberikan oleh sifat-sifat baik.

(26) Kesabaran juga dipuji sebagai keteguhan batin yang indah dari para orang berbudi yang tidak terpengaruh oleh rasa sakit yang dilakukan orang lain kepada mereka; demikianlah karena mereka telah memperoleh sifat-sifat kṣamā yang indah.

(27) Kesabaran adalah perhiasan bagi mereka yang kuat; kekuatan yang tertinggi bagi para perpata; dan hujan bagi api kejahatan, yang memadakan kemalangan baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya.

(28) Kesabaran adalah baju perang bagi orang berbudi, menumpulkan anak-anak panah yang ditembakkan oleh lidah orang-orang jahat kepada mereka. Kesabaran mengubah senjata-senjata itu menjadi bunga-bunga pujian, yang teruntai dalam kemuliaan mereka.

(29) Kesabaran diajarkan sebagai penakluk delusi yang menghalangi Dharma, dan merupakan alat yang mudah untuk mencapai pembebasan. Maka, siapakah yang kemudian tidak berusaha sebaik mungkin untuk melatih kesabaran, kebajikan yang pasti membawa kebahagiaan?”

Dengan cara inilah Sang Mahātmā menghibur para tamu wanita itu dengan khotbah yang membangun.

Sementara itu, sang raja terbangun setelah puas tidur; keletihannya sudah hilang, tetapi matanya masih berat dan lesu dalam kondisi mabuk yang belum sepenuhnya hilang. Dia ingin melanjutkan kegiatannya, dan bertanya dengan wajah yang masam kepada para pelayan perempuan yang menjaga tempat duduknya mengenai keberadaan istri-istrinya. “Yang Mulia,” mereka menjawab, “Mereka sekarang sedang menghiasi bagian lain dari hutan, untuk mengagumi kemegahan yang sedang mereka tapaki.”

Setelah diberitahu demikian oleh para pelayan, sang raja ― yang dengan penuh semangat ingin melihat para istri kerajaan bercakap dan bertindak, ingin melihat bagaimana mereka tertawa dan bercanda dengan bebas dan tanpa kendali ― bangkit dari tempat duduknya, ditemani oleh para prajurit wanitanya yang membawakan payungnya, jubah atasnya, dan pedangnya, kemudian diikuti oleh para kasim dari istana selirnya, mengenakan baju besi mereka dan dengan tongkat bambu di tangan mereka, berbaris menyusuri hutan untuk menyusul mereka.

Mudah untuk mengikuti jalan yang telah mereka ambil; karena jalan yang mereka lewati dipenuhi dengan banyak macam kembang, bunga, ranting, dan getah merah dari buah pinang yang telah mereka kunyah. Dalam waktu singkat, sang raja tiba di tempat pertapaan itu.

Tidak lama setelah melihat bahwa Ṛṣi Kṣantivādin yang teragung sedang dikelilingi oleh istri-istrinya, sang raja diliputi oleh amarah yang meluap-luap. Kegilaan menguasainya, sebagian karena dia sudah lama memusuhinya dan menaruh dendam padanya, sebagian lagi karena pikirannya masih terganggu oleh kondisi mabuk dan pikirannya diliputi oleh kecemburuan. Pengendalian dirinya lemah sehingga dia tidak dapat mengendalikan raut wajahnya, mengabaikan tata krama dan kesopanan, dan tunduk pada kemurkaan.

Tetesan keringat muncul di wajahnya, tubuhnya gemetar, alisnya berkerut, dan matanya memerah, menyipit, berputar, membelalak. Keelokan, keanggunan, dan ketampanan sosoknya telah memudar. Dia menyatukan kedua tangannya, dan menggosoknya, meremas cincin jarinya dan mengguncangkan gelang emasnya, memarahi Ṛṣi yang luar biasa itu, mengucapkan banyak makian dan berseru,”Hei!”

(30) “Siapakah bajingan yang melukai keagungan kami dengan mengarahkan tatapannya pada istri-istri kami? Orang munafik ini bertindak seperti seorang pemburu burung di dalam penyamaran sebagai seorang Muni!”

Kata-kata ini membuat para kasim merasa khawatir dan tidak tenang, yang kemudian berkata kepada raja: “Yang Mulia seharusnya tidak berbicara seperti itu. Orang ini adalah seorang Muni yang telah memurnikan dirinya dalam waktu yang lama melalui ikrar, pengendalian diri, dan pertapaan; namanya adalah Kṣāntivādin.” Namun sang raja sedang berada dalam pikiran yang menyimpang, tidak memedulikan kata-kata mereka, dan melanjutkan: “Aduh! Aduh!

(31) Maka sudah lama sekali sejak orang munafik ini, yang menyamar sebagai pertapa suci yang terkemuka, telah menipu orang-orang dengan kepalsuannya!

Baiklah, kalau begitu, aku akan mengungkapkan sifat asli dari orang munafik ini, meskipun dia menutupinya dalam pakaian pertapan dan menyembunyikannya dengan baik melalui tipu daya dan muslihatnya,” Setelah berbicara demikian, dia mengambil pedangnya dari tangan seorang penjaga wanita (yang memegangnya) dan bergegas ke arah sang Ṛṣi suci dengan tekad untuk menyerangnya, seolah-olah dia adalah pesaingnya.

Para istri kerajaan, yang telah diberitahu oleh pelayan mereka tentang kedatangan raja, melihat wajahnya yang halus berubah menjadi sangat menderita karena kemarahan. Dengan ekspresi cemas yang menunjukkan kesulitan dan ketakutan, mereka pergi meninggalkan sang Ṛṣi suci. Kemudian mereka menemui raja, berdiri di dekatnya dengan tangan tertangkup dan terangkat ke wajah mereka, dengan tampilan bagai kumpulan bunga teratai di musim gugur, ketika kecerahan bunga mulai mengintip keluar dari kuncupnya.

(32) Namun sikap anggun, kerendahan hati, dan kecantikan mereka tidak berhasil menenangkan pikiran sang raja yang sedang terbakar oleh api kemarahan.

Para selir yang sudah mulai pulih dari rasa takut mereka, menyadari bahwa sang raja yang telah diubah oleh kemarahan sedang berjalan membawa senjata menuju arah sang Ṛṣi suci dengan ganas, merekapun mengelilinginya dan memohon kepadanya, “Yang Mulia, kami mohon, janganlah melakukan tindakan sembrono ini! Kumohon jangan, karena orang ini adalah Yang Mulia Kṣantivādin.”

Raja, bagaimanapun juga, karena kejahatan hatinya, menjadi semakin marah dan berpikir: “Tentu saja, dia telah mendapatkan hati mereka.” Dia memarahi mereka karena telah berani memohon kepadanya, mengerutkan kening dan menatap marah pada mereka, bengis karena kecemburuan telah menguasai pikirannya. Setelah itu, dia menoleh kepada kasimnya dan menggelengkan kepalanya sehingga mahkota kerajaan dan anting-antingnya bergetar, dia berkata sambil melirik istri-istrinya:

(33) “Orang ini hanya berbicara tentang kesabaran, tetapi dia tidak mempraktikkannya. Contohnya, dia tidak bisa menolak ketamakan untuk berhubungan dengan wanita.

(34) Lidahnya sama sekali tidak sesuai dengan perbuatannya, apalagi hatinya yang berniat jahat. Apa yang telah dilakukan oleh pria dengan indra yang tidak terkendali ini di dalam hutan pertapaan, sehingga dia harus menirukan ikrar dan berpakaian serta duduk dalam sikap munafik seperti orang suci?”

Raja yang berada dalam keadaan murka menegur ratu-ratunya dan menunjukkan hatinya yang keras, membuat mereka merasa sedih dan menderita, karena mereka mengetahui sifat ganasnya dan sifat keras kepalanya yang membuatnya tidak dapat dibujuk. Para kasim, yang juga merasa khawatir, cemas, dan menderita, memberi isyarat dengan tangan mereka bahwa mereka harus mundur. Maka mereka pergi, menundukkan wajah mereka dengan malu dan mengharapkan yang terbaik bagi para Ṛṣi.

(35) “Kami telah menyebabkan kemurkaan sang raja terhadap pertapa suci yang tidak bersalah dan telah menaklukkan dirinya sendiri, yang terkenal karena kebajikannya. Bagaimanakah ini akan berakhir? Dengan satu atau lain cara, sang raja akan melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas, dan pada saat itulah dia akan membuat amarahnya menghancurkan dirinya sendiri.

(36) Raja ini akan menghancurkan kerajaannya sendiri dan kemuliaan yang telah diperolehnya dengan melukai tubuh Muni itu beserta dengan pertapaannya, dan sekaligus membuat pikiran kita yang tidak bersalah ini menderita pada saat yang bersamaan!”

Setelah para ratu meratap dan menghela napas – karena apa lagi yang bisa mereka lakukan baginya? – mereka pergi, sedangkan sang raja dengan murka mendatangi sang Ṛṣi yang suci, mengancamnya dengan pedang terhunus. Melihat sang Bodhisattva, yang meskipun diserang demikian, tetap menjaga ketenangannya agar tidak berubah dengan keteguhan yang tak tergoyahkan, sang raja menjadi lebih bersemangat, dan berkata kepadanya:

(37) “Betapa terampilnya dia dalam berpura-pura suci, bahwa dia bahkan menatapku seolah-olah dia adalah seorang Muni, bertahan dalam kesombongannya yang penuh tipu daya!”

Akan tetapi, berkat latihan kesabarannya yang terus-menerus, Bodhisattva sama sekali tidak merasa terganggu. Bodhisattva, tanpa rasa heran, memahami bahwa tindakan permusuhan tersebut berasal dari kemurkaan sang raja sehingga dia bertindak sedemikian rupa. Dia telah membuang semua pengendalian dirinya untuk bersopan santun dan berperilaku baik, dan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara hal yang baik dan buruk baginya. Bodhisattva mengasihani raja itu, dan mengatakan sesuatu dengan welas asih:

(38) “Bertemu dengan tidak dihormati bukanlah hal yang aneh di dunia ini; untuk alasan ini, karena ini mungkin juga merupakan akibat dari nasib (buah dari karma lampau) dan karena rasa bersalah, aku tidak merasa keberatan. Tetapi ini membuatku sedih karena aku tidak dapat menunjukkan sambutan yang baik kepadamu, bahkan dengan suaraku, karena merekalah yang datang kepadaku.

Dengarkanlah hal ini, wahai penguasa.

(39) Engkau, yang berkewajiban untuk membawa orang-orang jahat ke jalan yang benar dan bertindak demi kepentingan para makhluk, tidaklah perlu untuk melakukan tindakan gegabah. Oleh karena itu, sebaiknya engkau merenungi tindakanmu.

(40) Sesuatu yang baik dapat dianggap jahat; sebaliknya, sesuatu yang jahat mungkin dapat dianggap baik. Kebenaran tentang apa yang harus dilakukan pada saat tertentu seringkali tidak dapat dipahami secara utuh sebelum melakukan penyelidikan melalui pemikiran tentang berbagai kemungkinan tindakan.

(41) Tetapi seorang raja, yang memperoleh pemahaman sejati tentang tindak tanduknya yang benar melalui perenungan, dan setelah itu melakukan rencananya dalam kebenaran melalui kebijakannya, akan selalu menghasilkan pengembangan dharma, artha dan kāma kepada rakyat-rakyatnya; dia pun juga tidak akan kehilangan ketiga unsur kemakmuran itu sendiri.

(42) Untuk alasan ini, murnikanlah pikiranmu dari sifat tergesa-gesa, dan hanya niatkanlah dirimu pada tindakan yang membawa reputasi baik. Sesungguhnya, pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang berpangkat tinggi akan dicela dengan keras.

(43) Di hutan pertapaan yang dilindungi oleh tangan perkasamu, sebenarnya engkau tidak akan membiarkan orang lain melakukan tindakan yang dicela oleh para bijaksana dan merusak perilaku baik. Mengapa kini engkau sendiri yang bertindak dengan cara ini, wahai raja?

(44) Jika selir-selirmu kebetulan datang ke tempat pertapaanku bersama dengan pelayan laki-laki mereka, apa kesalahanku sehingga engkau membiarkan dirimu termakan oleh amarah?

(45) Bagaimanapun juga, seandainya aku melakukan beberapa kesalahan di sini, kesabaran seharusnya menenangkanmu, tuanku. Kesabaran, sungguh, merupakan perhiasan utama dari orang yang kuat, karena kesabaran menunjukkan kepandaiannya dalam menjaga harta kebajikannya.

(46) Tiada yang lebih menghiasi seorang raja selain kesabarannya, termasuk anting-anting biru tua yang berkilauan di wajahnya maupun permata cemerlang dari mahkota kerajaan. Maka, kuharap engkau tidak mengabaikan kebajikan itu.

(47) Singkirkanlah sifat lekas marah yang tidak pernah layak untuk diandalkan, tetapi pertahankanlah kesabaran (dengan hati-hati) seperti wilayah kekuasaanmu sendiri. Sesungguhnya, perilaku indah para putra mahkota yang menunjukkan penghormatan kepada para petapa membawa kepada kebahagiaan.”

Tetapi sang raja mengabaikan ucapan yang lembut bagai bunga yang telah disampaikan oleh Sang Muni kepadanya. Dia mencemooh Ṛṣi yang paling terkemuka itu dengan berkata: “Sekarang mari kita lihat keteguhanmu pada kesabaran,” dan setelah berbicara demikian dia mengarahkan pedang tajamnya ke tangan kanan Sang Muni, yang sedikit terangkat ke arah raja untuk mencegahnya, dengan jari-jarinya yang halus dan panjang ke atas. Demikianlah sang raja memotong tangan Sang Muni dari lengannya seperti memotong teratai dari tangkainya.

(53) Namun Bodhisattva tidak begitu banyak merasakan sakit, bahkan setelah tangannya dipotong – demikianlah keteguhannya dalam menjaga ikrar kesabarannya – dia justru merasa sedih memikirkan sang pemotong, melihat kemalangannya di masa depan, yang akan jatuh mengerikan dan tidak dapat diperbaiki pada seseorang yang hingga kini masih terbiasa dengan kesenangan.

Dia berpikir: “Aduh! dia telah bertindak di luar batas kebaikannya, dia tidak lagi menjadi orang yang patut untuk dinasihati,” dan bersimpati kepadanya, seperti yang dilakukan oleh para tabib kepada orang sakit, dia tetap diam. Namun sang raja terus mengucapkan kata-kata yang mengancam kepadanya.

(54) “Dan dengan cara ini tubuhmu akan dipotong-potong sampai mati. Berhentilah dari kemunafikan pertapaanmu, dan tinggalkanlah kepalsuan yang jahat itu.”

Bodhisattva tidak menjawab. Dia mengerti bahwa sang raja telah tuli terhadap nasihat dan telah memahami kekerasan hatinya. Kemudian raja secara berturut-turut dan dengan cara yang sama memotong tangan Yang Mulia yang satunya, kedua lengannya, telinga dan hidungnya, dan kakinya.

(55) Namun Sang Muni yang terunggul ini tidak merasa sedih atau marah ketika pedang tajam jatuh ke tubuhnya. Pemahaman bahwa anggota tubuhnya pada akhirnya akan berakhir dan kebiasaannya melatih kesabaran terhadap semua orang membuatnya begitu kuat.

(56) Karena terbiasa berwelas asih, pikiran orang berbudi tidak dapat dijangkau oleh perasaan sedih terhadap dirinya sendiri. Bahkan ketika dia melihat anggota tubuhnya dipotong, kesabarannya tetap tak tergoyahkan, sedangkan melihat sang raja terjatuh dari kebenaran membuatnya bersedih.

(57) Sesungguhnya, orang-orang berwelas asih yang piawai dalam mempertahankan ketenangan mereka tidak terlalu menderita oleh rasa sakit yang timbul dalam diri mereka, karena mereka justru bersedih terhadap penderitaan orang lain.

(58) Sang raja, setelah melakukan perbuatan yang kejam itu, segera diserang demam yang panas seperti api, dan ketika dia keluar dari taman, tanah tiba-tiba terbuka dan menelannya.

Setelah menelan sang raja, bumi terus mengeluarkan suara yang menakutkan dengan nyala api muncul dari celah-celahnya. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang besar di sekitar, dan membuat bingung serta menakuti para pelayan kerajaan. Para menteri raja, mengetahui keagungan kekuatan pertapaan Sang Muni itu dan menganggapnya sebagai malapetaka bagi sang raja, merasa cemas, tidak ingin membiarkan Ṛṣi suci itu membakar seluruh negeri karena raja. Dengan pemahaman itu, mereka datang kepada Ṛṣi suci, dan membungkuk kepadanya, memohon kepadanya dengan tangan tertangkup agar beruntung.

(59) “Semoga raja itu, yang didorong oleh pikirannya yang gila sehingga menempatkanmu ke dalam keadaan ini dengan tindakan yang sangat gegabah, menjadi bahan bakar bagi api kutukanmu. Tetapi kami mohon, jangan bakar kotanya!

(60) Kami mohon, jangan hancurkan orang-orang yang tidak bersalah, para wanita dan anak-anak, orang tua dan orang sakit, para Brāhmana maupun orang miskin karena kesalahannya! Jadilah engkau sebagai pecinta kebajikan, menjaga kerajaan sang raja dan kebenaranmu sendiri.”

Sebagai jawaban atas hal ini, Bodhisattva menghibur mereka: “Jangan takut,” katanya, “Tuan-tuan,

(61, 62) Mengenai raja yang baru saja memotong tangan dan kakiku, telinga dan hidungku, melukai seorang petapa tak berdosa yang tinggal di hutan dengan pedangnya, bagaimana mungkin orang sepertiku mengharapkan celaka baginya atau memikirkan pikiran seperti itu? Semoga raja itu berumur panjang dan tidak ada kejahatan yang menimpanya!

(63) Makhluk yang tunduk pada kesedihan, kematian dan penyakit, ditundukkan oleh keserakahan dan kebencian, ditelan oleh tindakan jahatnya, adalah orang yang harus dikasihani. Siapakah yang dapat marah dengan orang yang seperti itu?

(64) Dan seandainya perilaku itu yang ia sukai, semoga perbuatan buruknya menjadi matang (sebagai akibat yang tak terhindarkan) dengan tidak merugikan orang lain kecuali diriku sendiri! Karena bagi orang-orang yang terbiasa dengan kesenangan, bertemu dengan penderitaan adalah menyakitkan dan tak tertahankan, bahkan untuk waktu yang singkat sekalipun.

(65) Tetapi sekarang, karena aku tidak dapat melindungi raja yang telah memusnahkan kebahagiaannya sendiri dengan cara ini, untuk alasan apa aku harus menyerah pada ketidakberdayaanku dan menikmati kebencian terhadapnya?

(66) Bahkan tanpa campur tangan raja sekalipun, setiap orang yang terlahir harus menghadapi penderitaan yang muncul dari kematian dan sebagainya. Oleh karena itu, kelahiranlah yang harus dihindari. Karena tanpa keberadaan, dari apa dan dari manakah penderitaan muncul?

(67) Selama banyak kalpa dan dalam berbagai kelahiran, aku telah kehilangan tubuhku yang tidak berharga ini dengan berbagai cara. Bagaimana mungkin aku melepaskan kesabaranku karena hancurnya rangka tubuh ini? Bukankah itu seperti aku menyerahkan permata berkualitas terbaik demi sebuah jerami?

(68) Tinggal di dalam hutan, taat pada ikrar pelepasan keduniawianku, seorang pengkhotbah kesabaran, dan akan segera menjadi mangsa kematian, bagaimana mungkin aku ingin membalas dendam? Jangan merasa takut lagi kepadaku. Pergilah, semoga kedamaian bersamamu!”

(69) Setelah menginstruksikan hal tersebut dan pada saat yang sama mengakui mereka sebagai muridnya dalam ajaran kebijaksanaan, sang Muni yang terunggul, yang menjaga keteguhannya tak tergoyahkan dalam kesabaran, meninggalkan kediaman duniawinya dan terlahir di alam surga.

Maka, sungguh, bagi mereka yang telah sepenuhnya menyerap kebajikan kesabaran dan hebat dalam menjaga ketenangan mereka, tidak ada yang tidak tertahankan.

[Demikianlah dikatakan ketika berbicara tentang kebajikan kesabaran, menjadikan Sang Muni sebagai teladan. Karena sifat buruk dari gegabah dan murka, seperti raja sebagai contoh, cerita ini juga harus diceritakan. Dan ketika menguraikan konsekuensi menyedihkan dari kenikmatan indriawi, dengan mengatakan: “Dengan cara ini, enikmatan indra menuntun seseorang menjadi kecanduan trhadap perilaku jahat yang membawanya ke dalam kehancuran.” Itu juga dapat diceritakan dengan tujuan menunjukkan ketidakkekalan dari kemakmuran materi.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 27 – MAHAKAPI-JATAKA

Jātakamālā 27 – Mahākapijātakam
(Kisah Raja Kera)

Jātakamālā 27 – Mahākapijātakam
(Kisah Raja Kera)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang meneladani perilaku orang-orang berbudi akan memenangkan hati musuh-musuh mereka. Inilah yang akan diajarkan sebagai berikut.

Di tengah Himavat terdapat daerah yang diberkati, yang tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dengan khasiat yang berbeda-beda, ditumbuhi ratusan pohon-pohon hutan beragam dan susunan cabang, ranting, bunga, dan buah yang beraneka ragam. Tempat itu diairi oleh aliran gunung yang airnya memiliki kejernihan seperti kristal, dan menggemakan bermacam-macam suara kumpulan burung. Di hutan itulah konon Bodhisattva menetap sebagai seorang kepala pasukan kera. Meski terlahir sebagai seekor hewan, ia tetap mempraktikkan kerelaan hati dan welas asih; sehingga kecemburuan, keegoisan, dan kekejaman tidak dapat merasuki pikirannya, yang seolah-olah sedang diperangi oleh ia yang berpihak pada kebajikan.

Ia menetap di sebuah pohon banyan yang tinggi besar, yang berdiri tegak menghadap langit bagai puncak gunung, yang dianggap sebagai penguasa hutan itu, dan dengan dahan-dahan tebalnya yang ditumbuhi dedaunan gelap menyerupai kumpulan awan. Dahan-dahan itu agak melengkung, dipenuhi dengan buah-buahan unggul dengan ukuran yang melebihi buah lontar, dengan rasa yang sangat manis dan warna serta aroma yang menyenangkan.

(1) Orang-orang berbudi, meski terlahir sebagai hewan sekalipun, masih memiliki sisa jasa kebajikan untuk meningkatkan kebahagiaan teman-temannya, yang untuk merekalah jasa kebajikan itu digunakan; dengan cara yang sama seperti sisa kekayaan orang-orang di negeri seberang dapat memenuhi keinginan teman-teman mereka.

Salah satu cabang pohon itu tergantung di atas sungai yang mengaliri tempat itu. Bodhisattva, yang berpandangan jauh ke depan, telah menginstruksikan kawanan keranya dengan cara ini: “Kalian harus selalu mencegah cabang yang satu ini menghasilkan buah; karena jika itu terjadi, tidak seorang pun di antara kalian yang akan merasakan buah dari pohon ini lagi.”

Namun terjadilah bahwa kera-kera itu mengabaikan satu buah banyan muda karena ukuran buahnya yang tidak terlalu besar, tersembunyi di dalam rongga daun yang telah ditekuk oleh semut. Kemudian buah itu tumbuh dengan warna, aroma, rasa, dan tekstur yang baik. Setelah matang, tangkainya terlepas dan buahnya jatuh ke sungai. Buah itu menyusuri sungai dan akhirnya tersangkut di sebuah pagar yang dipasang atas permintaan seorang raja yang sedang berenang bersama selir-selirnya di sungai itu.

(2) Menyebarkan aroma harum yang luar biasa dan menyenangkan di hidung, aroma buah itu mengalahkan aroma lain yang berasal dari karangan bunga, rum, dan minyak wangi wanita yang sedang mandi, meskipun aromanya telah diperkuat oleh para wanita yang sedang berkumpul satu sama lain.

(3) Aroma ini segera membuat para wanita terpesona; mereka menikmatinya dengan tarikan napas panjang dan mata setengah tertutup. Dan karena penasaran untuk mengetahui asal-usulnya, mereka mengarahkan pandangan mereka ke segala arah.

Digerakkan oleh rasa ingin tahu, mereka mengarahkan pandangan mereka ke sekeliling, hingga para wanita melihat bahwa buah banyan, yang ukurannya melebihi buah lontar matang, sedang menempel pada jaring pagar. Setelah menemukannya, mereka tidak dapat mengalihkan pandangan mereka dari buah itu. Sang raja juga merasa penasaran untuk mengetahui tentang buah itu. Dia membawanya, dan setelah diperiksa oleh seorang tabib yang andal, dia mencicipinya sendiri.

(4) Rasa yang luar biasa membangkitkan kekaguman sang raja, bagai rasa dalam pertunjukan drama yang luar biasa, yang mempesona para penonton dengan penampilan yang baik, membangkitkan kekaguman mereka.

(5) Jika sebelumnya warna dan aromanya yang luar biasa sudah mengejutkannya, sekarang cita rasanya memenuhinya dengan kekaguman tertinggi, dan membuatnya gelisah dengan nafsu.

Meskipun sudah terbiasa dengan makanan lezat, sang raja menjadi sangat ingin menikmati kenikmatan itu sehingga dia berpikir:

(6) “Jika seseorang tidak memakan buah-buahan itu, maka buah apa yang sesungguhnya dapat dinikmati seseorang dari kerajaannya? Dia yang mendapatkan buat yang seperti ini benar-benar adalah seorang raja, yang menjalankan kekuasaan kerajaan tanpa perlu bekerja keras.”

Oleh karena itu, setelah memutuskan untuk mencari tahu asal-usul buah itu, dia berpikir, “Sungguh, pohon yang luar biasa ini, dari mana pun buah ini berasal, letaknya pasti tidak jauh dari sini dan berada di tepi sungai. Buah itu tidak mungkin berada di dalam air untuk waktu yang lama, karena buah ini mempertahankan warna, aromanya, dan rasanya tetap utuh, serta tidak rusak dan tidak menunjukkan tanda pembusukan. Oleh karena itu, adalah hal yang mungkin untuk menemukan asalnya.”

Setelah memutuskannya, karena dia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk memeroleh rasa yang lezat itu, dia menghentikan kegiatan olahraga airnya, dan setelah mengambil tindakan yang sesuai untuk menjaga ketertiban di ibukotanya (selama ketidakhadirannya), dia berangkat sambil ditemani oleh sekelompok besar orang bersenjata yang diperlengkapi untuk perjalanan jauh. Bersama mereka, dia menyusuri sungai dan menikmati pengalaman yang berbeda dan beragam, selayaknya perjalanan di kawasan hutan, melewati semak-semak yang dihantui oleh binatang buas, melihat hutan dengan keindahan alam yang luar biasa, dan menakuti gajah dan rusa dengan suara suara genderang. Akhirnya dia tiba di dekat pohon itu, tempat yang sulit didekati oleh manusia.

(7) Seperti gumpalan awan yang menggantung ke bawah karena beban airnya, sang penguasa pepohonan nampak jauh dari mata sang raja, mendominasi pohon-pohon lain yang terlihat seolah memandangnya ke atas sebagai raja mereka, dan menyerupai wujud gunung meskipun berada di dekat gunung yang curam.

Bau yang sangat harum, yang lebih harum dari aroma buah mangga matang, yang menyebar darinya dan tercium oleh para tentara seolah-olah sedang menyambut mereka, membuat raja merasa yakin bahwa ini adalah pohon yang dia cari. Ketika mendekat, dia melihat ratusan kera memenuhi dahan dan cabang pohon itu dan sedang asyik memakan buahnya.

Dari dalam dirinya, muncul kemarahan terhadap makhluk-makhluk itu karena merampas apa yang sangat ia dambakan, dan ia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang, “Pukul mereka! Pukul mereka! Usir mereka, hancurkan mereka semua, para kera bajingan ini!”. Dan para prajurit itu bersiap-siap untuk menembakkan anak panah dari busur mereka, berteriak untuk menakut-nakuti para kera; sedangkan yang lainnya mengangkat gumpalan tanah, tongkat, dan tombak untuk dilemparkan ke arah mereka. Mereka menyerbu pohon, seolah-olah mereka akan menyerang benteng musuh.

Tetapi Bodhisattva telah mengetahui bahwa pasukan kerajaan yang berisik itu bergerak mendekatinya dengan kegaduhan dan kegemparan yang bersuara keras, seperti gelombang laut yang terguncang oleh angin kencang; dia melihat serangan telah dilakukan pada semua sisi pohonnya yang luar biasa dengan hujanan anak panah, tombak, gumpalan tanah, dan tongkat yang menyerupai hujan petir; dan dia melihat kera-keranya tidak dapat melakukan apa-apa selain berteriak ketakutan dengan suara sumbang, sementara mereka memandang ke arahnya dengan wajah pucat karena merasa putus asa. Batinnya tergerak oleh rasa welas asih yang terdalam.

Karena dirinya terbebas dari penderitaan, kesedihan, dan kecemasan; ia menghibur suku keranya, dan naik ke puncak pohon untuk menyelamatkan mereka, berkeinginan untuk melompat ke puncak gunung di dekatnya. Meskipun tempat itu hanya dapat dicapai dengan berbagai lompatan berturut-turut, Sang Mahāsattva, berkat rasa kepahlawanannya yang luar biasa, melintas seperti seekor burung dan berhasil mencapai tempat itu.

(8) Kera-kera lain tidak akan mampu melintasi celah itu bahkan dalam dua lompatan berturut-turut sekalipun, tetapi dia, yang berani, dengan cepat melintasinya dengan satu lompatan tunggal, seolah-olah jaraknya pendek.

(9) Welas asihnya telah memupuk tekadnya yang kuat, tetapi rasa kepahlawanannyalah yang membawanya kepada kesempurnaan. Maka dia berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan dengan kesungguhan usahanya dia berhasil memikirkan jalan menuju tempat itu.

Setelah menaikinya, di suatu tempat yang tinggi di lereng gunung, ia menemukan sebuah tongkat yang panjang dan kuat, yang tertancap dalam dan kuat, yang panjangnya melampaui jarak antara gunung dan pohon. Dia mengikatkan tongkat itu ke kakinya, dan setelah itu dia melompat kembali ke pohon. Tetapi karena jaraknya sangat jauh dan kakinya terikat, Bodhisattva hampir tidak berhasil meraih dahan pohon yang terdekat.

(10) Kemudian, sambil berusaha memegang dahan itu dan menjaga agar tongkatnya tetap terentang, dia memmberi perintah kepada sukunya, memberi sinyal kepada mereka untuk segera turun dari pohon.

Dan kera-kera itu, ketika mereka bingung karena ketakutan, setelah menemukan jalan keluar itu, bergegas memanfaatkannya, dengan liar menyerbu tubuh raja kera tanpa mempedulikannya, dan melarikan diri dengan selamat melalui tongkat itu.

(11) Saat tak henti-hentinya diinjak oleh kaki para kera yang ketakutan itu, tubuhnya mulai kehilangan keteguhannya, tetapi pikirannya tidak kehilangan keteguhannya yang luar biasa.

Melihat hal ini, raja dan anak buahnya merasa sangat terkejut.

(12) Penampilan kekuatan dan kebijaksanaan yang begitu indah, dikombinasikan dengan altruisme yang begitu besar dan welas asih kepada makhluk lain, dapat membangkitkan rasa heran pada benak mereka yang mendengarnya, terlebih lagi pada orang-orang yang menyaksikannya.

Kemudian raja memerintahkan anak buahnya, “Pemimpin kera ini, meskipun tubuhnya gemetar dan diremukkan oleh kaki-kaki kera yang merasa gelisah karena ketakutan, melindas tubuhnya yang berdiam dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama, pasti sudah merasa sangat lelah. Tentunya, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari postur yang sulit ini sendirian. Oleh karena itu, segera pasang kanopi di bawah tempat dia berada, kemudian tongkat dan ranting banyan harus ditembakkan secara bersamaan, masing-masing dengan satu anak panah.” Dan mereka melakukannya.

Kemudian raja memerintahkan agar kera itu diangkat dengan lembut dari kanopi dan diletakkan di atas dipan yang empuk. Di sana dia berbaring tanpa sadar, pingsan akibat rasa sakit dari luka-lukanya dan kelelahannya. Setelah luka-lukanya diolesi dengan mentega murni dan salep lain yang cocok untuk menghilangkan luka memar, ia mulai tersadar. Ketika ia telah pulih kembali, ia dikunjungi oleh raja yang penuh dengan rasa ingin tahu, rasa kagum, dan rasa hormat. Setelah menanyakan tentang kesehatannya, melanjutkan ucapannya sebagai berikut:

(13) “Engkau menjadikan tubuhmu sebagai jembatan bagi kera-kera itu, dan tidak berbelas kasihan atas hidupmu sendiri untuk menyelamatkan mereka. Siapakah engkau bagi mereka atau siapakah mereka bagimu?

(14) Jika engkau menganggapku sebagai orang yang layak untuk mendengar hal ini, kumohon katakan padaku, wahai kera yang terkemuka. Menurutku tiada ikatan persahabatan yang dapat mengikat pikiran seseorang untuk mampu melakukan tindakan serupa.

Sebagai jawaban atas kata-kata ini, Bodhisattva, juga sebagai balas budi atas keinginan raja untuk membebaskannya, memperkenalkan dirinya dengan cara yang sesuai. Dia berkata:

(15) “Mereka, yang selalu bertindak sesuai dengan perintahku, memberiku tanggung jawab sebagai pemimpin mereka. Dan akupun terikat kepada mereka dengan kasih sayang bagai seorang ayah terhadap anak-anaknya, telah mengorbankan diriku untuk menanggungnya; demikianlah aku melakukannya.

(16) Inilah, wahai penguasa yang perkasa, jenis hubungan yang ada di antara mereka dan aku. Hubungan ini telah mengakar sepanjang waktu dan telah meningkatkan perasaan persahabatan yang ada di antara hewan-hewan dari spesies yang sama. Tempat kami tinggal bersama telah memperkuat hubungan itu menjadi kasih sayang yang bersifat timbal balik seperti sanak saudara.”

Mendengar ini, sang raja menjawab dengan penuh kekaguman:

(17) “Para menteri dan pejabat lainnya harus melayani kepentingan raja mereka, bukan raja yang melayani kepentingan mereka. Maka untuk apa Yang Mulia mengorbankan diri demi para pengikut-pengikutmu?”

Sang Bodhisattva menjawab: “Yang mulia, memang demikianlah pengetahuan tentang kepemimpinan (rājanīti), tetapi bagiku tampaknya ada sesuatu yang sulit untuk kuikuti.

(18) Sangat menyakitkan untuk mengabaikan rasa sakit yang berat dan tak tertahankan, sekalipun jika penderitanya itu adalah seseorang yang tidak mengenal kita. Terlebih lagi jika yang menderita adalah mereka yang dekat seperti keluarga kita sendiri, yang pikirannya berniat untuk memuja kita!

(19) Maka, ketika melihat kesusahan dan keputusasaan yang melanda kera-kera itu karena bahaya yang muncul secara mendadak, kesedihan yang luar biasa memenuhi pikiranku, tidak memberiku ruang untuk memikirkan kepentingan pribadiku.

(20) Melihat busur yang membujur dan anak panah berkilauan yang terbang ke atas dari segala sisi, juga mendengar suara tali busur yang mengerikan, maka aku melompat dari pohon ke gunung dengan tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan lebih lanjut lagi.

(21) Kemudian – demi penderitaan teman-temanku yang malang, dengan perasaan takut yang sangat tinggi, aku kembali kepada mereka – aku mengikatkan tongkat di kakiku, dari bambu yang berakar kuat, sesuai dengan tujuan dari upayaku.

(22) Maka aku melompat sekali lagi, melompat dari sisi gunung ke pohon, untuk menyelamatkan teman-temanku, dan dengan tanganku, aku mencapai dahan terdekat yang terulur seperti tangan yang menyambutku.

(23) Dan ketika aku tergantung di sana dengan tubuh terjulur di antara tongkat dan dahan pohon yang terentang itu, teman-temanku melarikan diri dengan senang hati, berlari tanpa ragu di atas tubuhku.

Raja, yang merasakan kegembiraan yang meluap-luap, yang bahkan dalam kondisi yang menyedihkan pun memancar dari Sang Mahātmā, dan merasa sangat penasaran akan hal itu, kembali berbicara kepadanya:

(24) “Kebaikan apa yang diperoleh Yang Mulia, dengan meremehkan kesejahteraan diri sendiri dan mengorbankan diri untuk bencana yang mengancam makhluk lain?”

Bodhisattva menjawab:

(25) “Sesungguhnya, wahai raja, tubuhku hancur; tetapi pikiranku benar-benar sehat, karena aku akan menghilangkan kesusahan mereka, yang kepada merekalah aku telah menjalankan kepemimpinan dalam waktu lama.

(26) Bagai para pahlawan yang telah mengalahkan musuh-musuhnya yang angkuh di dalam pertempuran, mengenakan tanda-tanda indah dari kehebatan mereka sebagai perhiasan pada tubuh mereka, demikianlah aku menanggung rasa sakit ini dengan senang hati.

(27) Sekarang aku telah membayar kemakmuran yang aku dapatkan sebagai kepala suku, kepada mereka yang tidak hanya menunjukkan penghormatan dan pemujaan, tetapi juga kasih sayang mereka kepadaku.

(28) Untuk alasan inilah, rasa sakit jasmaniah ini tidak membuatku menderita, demikian pula dengan berpisah dari teman-temanku, atau hancurnya kesenanganku, atau kedekatanku dengan kematian yang telah aku timbulkan dengan bertindak demikian. Bagiku ini adalah sebuah perayaan besar.

(29, 30) Kepuasan diri yang diperoleh sebagai akibat kebajikan sebelumnya, ketenangan perhatian yang disebabkan olehnya, ketenaran tanpa cela, kehormatan dari raja, rasa tanpa takut terhadap kematian, dan penerimaan yang akan diperoleh dari perilaku bersyukurku dari para bajik: kualitas-kualitas baik yang merupakan tempat kediaman kebajikan luar biasa ini telah kuperoleh dengan terjatuh dalam keadaan malang, wahai engkau yang [kukuh] bagai sebatang pohon! Namun raja yang tidak berwelas asih terhadap pengikutnya akan menemui keburukan yang berkebalikan dari kebajikan-kebajikan ini.

(31) Karena, jika seorang raja tidak memiliki kebajikan, jika dia telah menghancurkan kemasyhurannya dan kejahatan telah menempati dirinya, katakanlah, apa lagi yang bisa dia harapkan selain pergi menuju api neraka yang menyala-nyala?

(32) Untuk alasan inilah aku telah menjelaskan kekuatan kebajikan dan kejahatan kepadamu, wahai putra mahkota yang kuat. Oleh karena itu, pimpinlah wilayahmu dengan kebenaran, karena keberuntungan menunjukkan kasih sayangnya yang berubah-ubah bagai seorang wanita.

(33) Kepada pasukannya, tidak hanya prajurit tetapi juga binatang perang, para pejabatnya, rakyat-rakyatnya, baik itu penduduk kota maupun desa, mereka yang tidak memiliki pelindung; dan baik kepada Śramaṇa dan Brāhmana; kepada mereka semualah seorang raja harus berusaha untuk memberikan kebahagiaan yang kondusif untuk kebaikan mereka, seolah-olah dia adalah ayah bagi mereka.

(34) Inilah cara untuk meningkatkan jasa kebajikan, kekayaan, dan kemuliaan. Engkau dapat menikmati kemakmuran baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Dengan jenis kebahagiaan seperti ini yang dimiliki oleh para raja suci zaman dahulu (rājarṣi) dan dapat dicapai dengan mempraktikkan simpati terhadap rakyat-rakyatmu, semoga engkau menjadi termasyhur, wahai raja para manusia!”

(35) Setelah menginstruksikan kepada raja yang bersikap seperti seorang murid, mendengarkannya dengan penuh perhatian dan menjunjung tinggi kata-katanya, dia meninggalkan tubuhnya yang lumpuh karena rasa sakit yang berlebihan, dan naik ke surga.

Maka dengan cara inilah, mereka yang meneladani perilaku orang-orang berbudi akan memenangkan hati musuh-musuh mereka. Mengingat hal ini, dia yang berkeinginan untuk mendapatkan cinta kasih dari manusia harus meniru perilaku orang berbudi.

[Kisah ini juga harus dikemukakan, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata. “Para makhluk tidak mampu membawa keuntungan bagi diri mereka sendiri seperti Sang Bhagavā membawa keuntungan bagi makhluk lain.”

Demikian juga, ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian, ketika berkhotbah tentang welas asih, dan juga ketika sedang mengajar para pangeran, dalam hal ini dikatakan: “Dengan cara inilah seorang raja harus berbelas kasih kepada rakyat-rakyatnya.”Kisah ini dapat dikemukakan juga, ketika mengobati rasa syukur. “Dengan cara inilah orang berbudi menunjukkan rasa syukur mereka.”]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 26 – RURU-JATAKA

Jātakamālā 26 – Rurujātakam
(Kisah Rusa Ruru)

Jātakamālā 26 – Rurujātakam
(Kisah Rusa Ruru)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Bukan penderitaan mereka sendiri, melainkan penderitaan orang lain yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang bajik, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika, Bodhisattva tinggal di hutan sebagai seekor rusa ruru. Dia tinggal di bagian terpencil di dalam hutan belantara yang luas, jauh dari wilayah manusia dan tempat itu ditumbuhi vegetasi yang kaya dan beraneka ragam. Ada sejumlah besar pohon sāla, bakula, piyāla, hintāla, tamāla, naktamāla, vidula dan nicula, alang-alang dan semak belukar; semak-semak śimśapā, tiniśa, śamī, palāśa, śāka, dari rumput-kuśa, bambu dan alang-alang yang menghalanginya; kadamba, sarja, arjuna, dhava, khadira, dan kuṭaja berlimpah di dalamnya; dan dahan-dahan banyak pohon yang terbentang seolah-olah ditutupi oleh selubung dengan sulur-sulur tanaman merambat yang beraneka ragam.

Hutan itu adalah tempat tinggal bagi banyak hewan liar: rusa dari jenis ruru, pṛṣata dan sṛmara, yak, gajah, lembu gavaya, kerbau, antelop dari hariṇa dan jenis nyaṅku, babi hutan, macan kumbang, hyena, harimau, serigala, singa, beruang, dan lain-lain.

Di antara mereka, rusa ruru itu tampak menarik perhatian dengan ronanya yang cemerlang seperti emas murni dan bulu-bulu tubuhnya yang sangat lembut, berhiaskan oleh kilauan tutul-tutul dengan warna indah yang beragam, bersinar seperti batu rubi, safir, zamrud, dan beryl. Dengan mata birunya yang besar, dengan kelembutan dan kecerahan wujudnya yang tak tertandingi, dengan tanduk dan kukunya yang diberkahi dengan kemegahan yang menawan, seolah-olah terbuat dari batu permata, rusa ruru dengan keindahan yang luar biasa itu memiliki penampilan seperti harta permata yang hidup.

Mengetahui bahwa dirinya adalah objek yang sangat diinginkan, juga menyadari sifat manusia yang kejam, ia seringkali melewati jalur hutan yang tidak diketahui oleh manusia. Berkat kecerdasannya yang tajam, dia berhati-hati untuk menghindari tempat-tempat seperti itu karena merasa tidak aman oleh pemburu lihai, perangkap bagi mereka, jaring, jerat, lubang, ranting kapur, dan benih serta makanan lain yang mereka taburkan. Selain itu, ia juga memperingatkan hewan-hewan yang mengikutinya untuk menghindari mereka. Dia menjalankan kepemimpinan bagai seorang guru dan seorang ayah.

(1)Tidakkah makhluk di mana pun di dunia ini yang mendambakan kebahagiaan, akan menghormati keindahan luar biasa yang berpadu dengan kecerdasan unggul dan perilaku yang sedemikian bajik?

Suatu ketika, Sang Mahātmā, yang berdiam di bagian hutan yang liar itu, mendengar suara teriakan minta tolong dari seseorang yang terbawa arus sungai deras yang di dekatnya yang meluap karena hujan.

(2) “Aliran air yang deras dan meluap membawaku, dan tidak ada seorang pun yang membantu, juga tidak ada kapal yang akan membawaku. Datanglah padaku, wahai orang-orang yang berbelas kasih; datanglah dengan cepat untuk menyelamatkan orang yang malang ini!

(3) Lenganku sudah letih, tidak mampu lagi untuk menahan tubuhku lagi di atas air, juga tidak ada tempat yang bisa kutemukan untuk menyeberang. Bantulah aku segera! Tidak ada waktu lagi untuk berlama-lama!”

Tangisan kesedihan yang menyedihkan ini menyambar Bodhisattva, sehingga merasa terluka di dalam hatinya. Dia bergegas keluar dari semak-semak, mengucapkan kata-kata penghiburan yang biasa dia gunakan dalam ratusan kehidupan sebelumnya untuk menghilangkan rasa takut, kesedihan, dan kelelahan. Maka demikianlah dia berseru, “Jangan takut! jangan takut!” dengan suara manusia biasa secara berulang kali dan keras. Keluar dari hutan, dia melihat orang itu dari jauh, seperti pemberian berharga yang dibawa kepadanya oleh aliran sungai.

(4) Kemudian, bertekad untuk menyelamatkannya tanpa memikirkan risiko bagi hidupnya sendiri, dia memasuki sungai yang mengalir dengan kecepatan luar biasa itu, seperti seorang pejuang berani yang menghalau pasukan musuh.

(5) Dia menempatkan dirinya di seberang, lalu menyuruh pria itu untuk berpegang erat padanya. Pria itu, yang berada dalam ketakutan yang luar biasa dengan tubuh yang hamper kehilangan kekuatan, yang tenaganya telah habis, naik ke punggungnya.

(6) Meskipun dia ditunggangi oleh pria itu dan arus yang begitu deras, keluhuran rusa yang luar biasa itu memberinya kekuatan, dan dia berhasil mencapai tepi sungai sesuai dengan harapan manusia itu.

(7) Setelah membawa orang itu ke tepi sungai, menghilangkan keletihan dan rasa sakitnya, ia memperoleh kebahagiaan yang sangat besar atas perbuatan baik ini. Ia kemudian menghangatkan anggota tubuh pria yang kedinginan itu dengan tubuhnya sendiri, lalu meninggalkannya. “Pergilah,” katanya, sembari menunjukkan jalan.

Sifatnya yang luar biasa untuk memberikan bantuan, yang bahkan tidak tertandingi oleh hubungan pertemanan yang mendalam sekalipun, dengan cepat menyentuh perasaan pria tersebut. Wujud rusa ruru yang indah membangkitkan kekaguman dan rasa hormatnya. Sambil menundukkan kepalanya, dia menyapanya dengan kata-kata yang baik seperti ini:

(8-10) “Tidak ada teman masa kecil maupun kerabat yang mampu melakukan perbuatan seperti yang telah engkau lakukan untukku. Oleh karena itu, hidupku ini adalah milikmu.

Jika itu digunakan untuk kepentinganmu, betapapun kecilnya, aku akan merasa sangat terhormat.

Maka, berikanlah aku perbuatan baik itu dengan memintaku untuk melakukan sesuatu bagimu, dalam hal apa pun Yang Mulia anggap cocok untuk dilaksanakan olehku.

Sebagai jawaban atas hal ini, Bodhisattva menjawab persetujuan:

(11) “Aku sama sekali tidak mempertanyakan rasa syukur di dalam diri seorang pria terhormat, karena sifat ini merupakan kebenaran. Tetapi melihat kerusakan dunia, bahkan rasa syukur pun dianggap sebagai kebajikan yang besar.

Untuk alasan inilah, aku meminta hal ini kepadamu. Biarlah sifat bersyukurmu tidak mendorongmu untuk memberi tahu kepada siapapun bahwa engkau telah diselamatkan oleh seekor hewan yang luar biasa. Sosok yang cantik membuatku sangat diinginkan sebagai buruan. Lihatlah, karena ketamakan yang besar di hati manusia, mereka memiliki welas asih maupun pengendalian diri yang sedikit.

(12) Oleh karena itu, jagalah kebajikanmu dan kehidupanku dengan baik. Mengkhianati seorang teman tidak akan membawa kebahagiaan.

Jangan mempersulit pikiranmu dengan kemarahan karena aku telah berbicara demikian kepadamu. Aku hanyalah seekor rusa yang tidak terampil dalam tata bicara manusia yang penuh tipu daya. Lebih jauh lagi,

(13) Mereka yang pandai dan berbakat dalam berpura-pura jujur membuat orang-orang yang tulus menjadi dicurigai.

Maka, engkau akan menyenangkanku hanya dengan melakukan apa yang aku minta.” Dan pria itu berjanji untuk melakukannya. Setelah membungkuk kepada Bodhisattva dan mengelilinginya, dia pulang ke rumahnya.

Kemudian, pada saat itu, hiduplah seorang ratu di negara itu yang melihat ramalan dari mimpi. Apapun mimpi-mimpi luar biasa yang muncul dalam tidurnya terwujud. Suatu kali, saat sedang tertidur dia bermimpi tentang fajar. Dia melihat seekor rusa ruru dengan kecemerlangan yang gemerlap, bersinar seperti kumpulan permata dari segala jenis, berdiri di atas takhta dan dikelilingi oleh raja dan para majelisnya, mengkhotbahkan Dharma dengan suara manusia dengan suara yang jelas dan nyata. Terpesona dengan keheranan, dia terbangun oleh suara pukulan gendang yang membangunkan suaminya dari tidur. Dia mengambil kesempatan pertama untuk pergi menemui raja, yang dengan baik hati menerimanya tidak hanya dengan kehormatan yang pantas dia terima, tetapi juga dengan cinta kasih yang tulus.

(14) Dia, yang matanya yang cerah membesar karena rasa takjub dan pipinya yang indah gemetar karena gembira, memberi tahu tuannya mengenai mimpi yang luar biasa itu sebagai hadiah penghormatan.

Ketika dia menceritakan mimpi indahnya kepada raja, dia menambahkan permintaan yang sungguh-sungguh ini:

(15) “Oleh karena itu, tuanku, kumohon dapatkanlah rusa itu. Dihiasi dengan rusa permata ini, istanamu akan semegah langit dengan gugusan rusa.”

Raja, yang melalui pengalamannya memercayai penglihatan dalam mimpi istrinya, dengan mudah menyetujui keinginannya. Hal itu dilakukan sebagian agar dia dapat melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi sang ratu, sebagian karena ketamakannya sendiri untuk mendapatkan rusa permata itu. Maka, dia memerintahkan semua pemburunya untuk mencari rusa itu, dan mengumumkan pernyataan ini di ibu kotanya hari demi hari:

(16) “Ada seekor rusa berkulit emas dan bertutul dengan berbagai warna bersinar bagai ratusan permata. Ia dimuliakan dalam teks-teks suci, dan beberapa orang telah melihatnya. Siapa pun yang dapat menunjukkan rusa itu kepadanya, sang raja akan memberikan sebuah desa yang sangat kaya dan sepuluh wanita cantik.”

Sekarang pria itu (yang telah diselamatkan oleh Bodhisattva) mendengar pernyataan itu berulang kali.

(17) Karena dia miskin, pemikiran tentang penderitaan akibat kemiskinan melanda hatinya, tetapi di sisi lain dia mengingat bantuan besar yang telah dia terima dari rusa ruru. Bimbang oleh nafsu dan rasa syukur, dia terbawa ke dua arah seperti dalam ayunan pertimbangan yang berbeda seperti ini:

“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku mengindahkan kebajikan atau kekayaan? Haruskah aku lebih menepati janji kepada penolongku, daripada menepati kewajiban menopang keluargaku? Manakah yang harus kuhargai dengan lebih tinggi, kehidupan selanjutnya atau kehidupan ini? Manakah yang harus kuikuti, perilaku orang berbudi atau keduniawian? Haruskah aku mengejar kekayaan daripada kebajikan yang dipuji oleh orang-orang berbudi? Apakah lebih baik memikirkan waktu saat ini atau setelahnya?”

Akhirnya pikirannya yang dikuasai oleh ketamakan sampai pada kesimpulan ini. “Jika aku memperoleh kekayaan besar,” demikian dia berpikir, “Aku akan dapat menghormati kerabat-kerabat dan teman-temanku, para tamu, dan para pengemis; Aku tidak hanya akan mendapatkan kesenangan di kehidupan ini ini, tetapi juga kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.”

Setelah memutuskan demikian, mengabaikan jasa baik rusa ruru, dia menghadap raja dan berkata: “Yang Mulia, aku mengetahui rusa yang luar biasa itu dan tempat tinggalnya. Kumohon beri tahu aku kepada siapa aku harus menunjukkannya.” Mendengar ini, sang raja dengan sangat gembira menjawabnya, “Baiklah, teman, tunjukkanlah dia kepada diriku sendiri,” dan mengenakan pakaian berburunya meninggalkan ibukota, ditemani oleh sejumlah besar pasukannya.

Dipandu oleh pria itu, sang raja pergi ke tepi sungai tersebut. Kemudian dia mengelilingi hutan yang membatasinya dengan seluruh pasukannya, tetapi sang raja sendiri membawa busurnya, mengenakan pelindung jarinya dan dikelilingi oleh sejumlah pria yang teguh dan setia, memasuki semak-semak, sembari ditunjukkan jalan oleh pria itu. Saat mereka melanjutkan perjalanan, pria yang menemukan rusa ruru yang tinggal di hutan itu dengan tenang dan tanpa curiga, menunjukkannya kepada raja, berseru: “Ini, inilah rusa yang berharga itu, Yang Mulia. Semoga Yang Mulia berkenan untuk melihatnya dan berhati-hati.”

(18) Sambil berkata demikian, dia mengangkat tangannya, bersemangat untuk menunjuk ke arah rusa, namun tangannya terjatuh dari lengannya, seolah-olah telah dipotong oleh pedang.

(19) Sungguh, ketika dihadapkan kepada sosok yang dimuliakan oleh tindakan luar biasanya, perbuatan sesesorang langsung berbuah, memberikan konsekuensinya dan hanya ada sedikit untuk mengimbanginya.

Kemudian raja, merasa penasaran ingin melihat rusa ruru, membiarkan matanya melihat jalan yang ditunjukkan oleh pria itu.

(20) Dan di tengah-tengah hutan itu, gelap seperti awan yang baru terbentuk, ia melihat sesosok tubuh bersinar dengan kilau harta permata, dan melihat rusa itu, yang dihargai oleh sifat-sifatnya yang termasyhur. Begitu juga kilat muncul dari awan yang gelap.

(21) Terpesona oleh keindahan sosoknya, sang raja, yang sangat ingin menangkapnya, segera menarik busurnya, membuat anak panah itu menggigit talinya dan meluncur ke arah rusa ruru untuk mengenainya.

Tetapi Bodhisattva, ketika mendengar suara orang-orang di setiap sisi, menyimpulkan bahwa dia pasti telah dikepung. Setelah melihat raja tiba dan siap untuk menembakkan panahnya ke arahnya, dia mengerti sudah tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Kemudian dia mengucapkan bahasa dengan artikulasi yang jelas, berbicara kepada raja dengan suara manusia.

(22-23) “Berhentilah sebentar, wahai putra mahkota yang perkasa! Janganlah menyerangku, wahai pahlawan di antara manusia! Kumohon, pertama-tama penuhilah rasa ingin tahuku, dan beri tahu aku. Siapakah yang telah menunjukkan tempat tinggalku kepadamu, yang jauh dari tempat para manusia. Siapakah yang mengatakan bahwa rusa seperti aku tinggal di semak belukar ini?”

Raja, tersentuh oleh ucapan dengan suara manusia yang indah ini, menjadi semakin tertarik kepadanya, menunjuk pria itu dengan ujung panahnya. “Pria ini,” katanya, “yang telah mengungkapkan pribadimu yang sangat luar biasa kepada kami.” Bodhisattva mengetahui pria itu, berbicara dengan nada kekecewaan: “Sungguh disayangkan!

(24, 25) Ada sebuah pepatah yang berbunyi ‘lebih baik mengambil sebatang pohon dari aliran sungai yang deras daripada menyelamatkan seseorang yang tidak tahu berterima kasih yang sedang tenggelam.’ Dengan cara inilah ia mengembalikan kebaikan yang telah kulakukan kepadanya!

Bagaimana mungkin dia tidak melihat bahwa dia juga menghancurkan kebahagiaannya sendiri pada saat yang sama?”

Sekarang raja, karena rasa ingin tahu apa yang membuatnya dicela, bertanya kepada rusa ruru:

(26, 27) “Saat mendengar engkau mencela seseorang, tanpa menangkap arti dari kata-katamu yang tidak jelas dan tanpa mengetahui tentang siapa engkau mengucapkannya, pikiranku agak khawatir.

Oleh karena itu, katakan padaku, wahai rusa yang luar biasa, siapakah dia yang engkau bicarakan?

Apakah itu manusia atau roh, burung atau mungkin binatang hutan yang lain?”

Bodhisattva berbicara:

(28) “Tiada keinginan untuk menyalahkan yang mendorong diriku, wahai raja, untuk mengutarakan ucapan ini. Tetapi menyadari tindakan yang patut disalahkan ini, aku mengucapkan kata-kata tajam ini untuk mencegah dia mencoba melakukan hal seperti itu lagi.

(29) Karena siapakah yang ingin menggunakan bahasa kasar kepada mereka yang telah melakukan kesalahan, menaburkan garam di atas luka kesalahan mereka? Bahkan kepada anak kesayangannya sendiri, seorang dokter harus melakukan pengobatan untuk penyakitnya.

(30) Tergerak oleh welas asihku, ia kuselamatkan ketika sedang terbawa oleh arus. Namun kemudian ia menyebabkan bahaya ini muncul kepadaku. Sungguh, berkawan dengan orang yang jahat tidak mendatangkan kebahagiaan.”

Kemudian sang raja, dengan tatapan tegas yang menunjukkan celaan keras kepada pria itu, bertanya kepadanya: “Sesungguhnya, apakah engkau sebelumnya telah diselamatkan dari kesusahan itu oleh rusa ini?” Dan pria itu, yang wajahnya pucat pasi dan berkeringat karena ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan, menjawab dengan rasa malu dan suara yang pelan: “Ya, betul.” Kemudian raja mencerca dengan berseru: “Tercelalah dirimu!” dan menempatkan panah di tali busur, dia melanjutkan: “Jangan menganggap hal ini sepele!

(31) Dia yang hatinya tidak dapat dilunakkan oleh upaya penyelamatan seperti yang telah dilakukan kepadamu, merupakan perwakilan makhluk keji dan membawa aib. Mengapa pria yang paling rendah ini perlu hidup lebih lama?”

Dengan kata-kata ini dia menggenggam busurnya dan menarik anak panah untuk membunuhnya. Tetapi Bodhisattva, dipengaruhi oleh welas asihnya yang besar, menempatkan dirinya di antara mereka berdua dan berkata kepada raja: “Berhentilah, Yang Mulia! Berhenti, jangan menyakiti seseorang yang telah tersakiti!

(32) Ketika dia menuruti bujukan yang salah dari musuhnya yang disebut ketamakan, pada saat itu juga dia pasti mengalami kehancuran; baik di kehidupan ini karena kehilangan nama baiknya, maupun di kehidupan selanjutnya karena kebajikannya telah hancur.

(33) Dengan cara inilah, ketika kesehatan pikiran mereka telah memudar akibat penderitaan yang tak tertahankan, manusia jatuh ke dalam malapetaka, terpikat oleh harapan untuk menjadi kaya seperti ngengat bodoh yang tertarik pada cahaya yang bersinar.

(34) Oleh karena itu, engkau harus lebih mengasihaninya dan menahan amarahmu. Dan jika dia ingin mendapatkan sesuatu dengan bertindak demikian, jangan biarkan dia melakukan perbuatannya yang gegabah yang tidak bermanfaat itu. Karena lihatlah, aku berdiri di sini dengan kepala tertunduk untuk menunggu perintahmu.”

Keinginan yang penuh pemaafan dan tulus untuk menghargai seseorang, bahkan kepada orang yang telah memperlakukannya dengan buruk sekalipun, membuat sang raja terkejut. Ia berubah pikiran, dan memandang rusa ruru dengan hormat, berseru: “Ucapan yang bagus, sungguh ucapan yang bagus, wahai makhluk suci.

(35) Sesungguhnya, menunjukkan pemaafan seperti itu kepada dia yang jelas telah berbuat jahat kepadamu, menunjukkan bahwa engkaulah yang sesungguhnya memiliki sifat-sifat manusia, sedangkan kami hanya sekadar berwujud manusia.

(36) Selanjutnya, karena engkau menganggap penjahat ini patut diselamatkan, dan karena dia telah menjadi penyebabku melihat seseorang yang berbudi luhur, aku akan memberinya kekayaan yang dia idamkan dan memberi izin kepadamu untuk datang dan pergi dengan bebas di kerajaan ini, ke mana pun engkau mau.”

Rusa ruru berkata: “Aku menerima anugerah kerajaan ini, wahai raja yang termasyhur, yang telah diberikan dengan tidak sia-sia. Karena itu, berilah aku perintahmu, agar pertemuan kita di sini memberimu keuntungan dan agar aku berguna bagimu.” Kemudian raja menyuruh rusa ruru itu untuk menaiki kereta kerajaannya, memujanya seperti gurunya, dan membawanya dengan penuh kemegahan ke ibu kotanya. Dan setelah memberinya penerimaan sebagai seorang tamu dan mengundangnya untuk menempatkan dirinya di atas takhta kerajaan, dia bersama istri-istrinya dan seluruh pengiring perwiranya memintanya untuk memberi khotbah Dharma, dan menatapnya dengan ekspresi kegembiraan bercampur rasa hormat, memohon kepadanya dengan cara ini:

(37) “Orang-orang mengatakan banyak hal berbeda tentang Dharma; sedangkan engkau memahami Dharma sepenuhnya dengan jelas. Oleh karena itu, berkenanlah untuk memberikan khutbah Dharma kepada kami.”

Setelah itu Bodhisattva membuka suaranya dan membabarkan Dharma kepada raja dengan majelis kerajaannya dengan kata-kata yang diucapkan dengan jelas, dengan nada yang lembut dan tertata dengan anggun.

(38) “Inilah Dharma, beserta dengan seluruh bagian dan subbagiannya, juga seluruh aturan dan sila: jauhkanlah diri dari membunuh, mencuri, dan sebagainya. Dan inilah yang kuyakini sebagai ringkasannya, yakni ‘berwelas asih kepada semua makhluk’.

(39) Jika welas asih kepada semua makhluk membuat manusia menganggap makhluk lain seperti diri mereka atau keluarga mereka sendiri, siapakah yang hatinya akan menuruti keinginan buruk untuk melakukan kejahatan?

(40) Tetapi kurangnya welas asih adalah penyebab masalah terbesar bagi manusia, karena hal itu merusak tindakan dari pikiran, ucapan, dan jasmani mereka terhadap keluarga mereka tak kurang seperti terhadap orang asing.

(41) Untuk alasan inilah dia yang berjuang dalam kebenaran harus menjaga welas asih, yang akan menghasilkan keuntungan yang kaya. Sungguh, welas asih melahirkan kebajikan, seperti hujan yang membuat tumbuhan dapat berbuah.

(42) Welas asih, yang menguasai pikiran seseorang, menghancurkan hasrat di dalam hatinya untuk melukai sesama; dan pikirannya murni, baik ucapan maupun jasmaninya tidak akan tercela. Kecintaannya terhadap kebaikan kepada sesama selalu meningkat dan menjadi sumber dari banyak kebajikan lainnya: kemurahan hati, kesabaran, dan sebagainya, yang diikuti oleh kegembiraan pikiran dan reputasi baik.

(43) Karena ketenangannya, orang yang berwelas asih tidak menimbulkan ketakutan dalam pikiran orang lain. Karena welas asihnya, setiap orang akan menganggapnya sebagai orang yang dapat dipercaya, seolah dia adalah saudara mereka sendiri. Tidak ada gejolak nafsu yang akan menguasai dia yang hatinya telah diteguhkan oleh welas asih, dan juga tidak ada api kemarahan yang berkobar di dalam pikirannya yang sejuk bagai air, berkat welas asih.

(44) Apa lagi yang perlu kujelaskan? Untuk alasan inilah orang bijak sangat percaya bahwa seluruh kebanaran terkandung di dalam welas asih. Kebajikan apa, yang dipuji oleh orang-orang berbudi, yang bukan merupakan akibat dari welas asih? Dengan mengingat hal ini, bertekadlah untuk selalu memperkuat welas asihmu kepada semua orang, menganggap mereka seperti putramu sendiri, seperti dirimu sendiri; dan senangkanlah hati rakyatmu melalui tindakan bajik. Semoga engkau memuliakan kerajaanmu!”

Kemudian raja memuji kata-kata rusa ruru ini, dan bersama dengan penduduk kota maupun penghuninya bertekad untuk berperilaku sesuai dengan Dharma. Dan raja memberikan keamanan kepada semua hewan berkaki empat maupun burung.

Dengan cara inilah, maka, bukan penderitaan mereka sendiri, melainkan penderitaan orang lain yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang bajik.

[Kisah ini juga harus diceritakan ketika berceramah tentang welas asih, dan dapat dikemukakan ketika memperlakukan orang-orang yang berbudi luhur, juga ketika mencela orang-orang yang jahat.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 25 – SARABHA-JATAKA

Jātakamālā 25 – Śarabhajātakam
(Kisah Sang Śarabha)

Jātakamālā 25 – Śarabhajātakam
(Kisah Sang Śarabha)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Ia menunjukkan welas asih yang besar, bahkan kepada mereka yang mencoba menyakiti hidupnya, sekalipun ia sedang berada dalam kesulitan. Mereka tidak akan mengabaikan hal seperti itu. Inilah yang akan diajarkan berikut ini.

Suatu ketika, dikisahkan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai seekor śarabha yang tinggal di bagian terpencil dari sebuah hutan. Wilayah itu ― terletak di luar jalur dan jauh dari kebisingan manusia ― adalah tempat tinggal berbagai suku hewan hutan. Banyak akar, pohon, dan semak-semak terbenam di dalam rerumputan tebal dan tinggi yang menutupi tanahnya, tidak terinjak oleh para pengelana dan tidak menunjukkan jejak kendaraan maupun kereta di mana pun, di mana langkah kaki atau gerak roda kendaraan mungkin telah terhalangi sesuatu seperti jalan atau perbatasan; namun, jalan itu berpotongan dengan saluran sungai dan penuh dengan sarang semut serta lubang.

Śarabha itu memiliki tubuh yang kokoh, diberkahi dengan kekuatan, semangat, dan kecepatan; unggul oleh warna kulitnya yang indah. Karena ia sangat tekun mempraktikkan welas asih, ia menumbuhkan perasaan cinta kasih terhadap semua hewan. Berpuas hati, ia hanya hidup dari rumput, dedaunan dan air, dan menyukai kediamannya di hutan. Demikianlah dia menghiasi bagian hutan itu, bagai seorang yogi yang ingin melepaskan diri sepenuhnya dari keduniawian.

(1)
Meskipun berwujud binatang hutan, ia memiliki kapasitas intelektual seorang manusia. Ia tinggal di dalam hutan belantara yang sunyi itu, menunjukkan welas asih kepada semua makhluk hidup bagai seorang pertapa, dan memuaskan dirinya sendiri dengan bilah-bilah rumput seperti seorang yogi

Suatu ketika raja yang menjadi penguasa negeri itu datang mendekati tempat itu, duduk di atas kudanya yang luar biasa, memegang busur dan anak panah di tangannya. Karena ingin mencoba keterampilan senjatanya dalam berburu, dia mengejar rusa dengan cepat dan memanjakan diri dalam kegembiraan (berburu). Maka dia dibawa oleh kudanya, seekor binatang dengan kecepatan luar biasa, dan dipisahkan oleh jarak yang tidak jauh dari pengiringnya, sekelompok gajah, kuda, kereta, dan pelayan. Begitu dia melihat sang Bodhisattva dari jauh, dia berniat untuk membunuhnya, dan mempersiapkan busurnya dengan anak panah tajam, memacu kudanya untuk mengejar Sang Mahātmā. Tetapi Bodhisattva segera menyadari bahwa raja sedang menunggang kuda untuk menyerangnya, dan dia langsung melarikan diri dengan sangat cepat; bukan karena dia tidak berdaya untuk berdiri dan melawan pemburunya, tetapi karena dia telah berhenti dari tindak kekerasan dan kemarahan.

Saat dikejar oleh raja, dia bertemu dengan lubang besar di depan jalan dan dengan cepat melompati lubang itu, seolah-olah itu adalah genangan air yang kecil, dan melanjutkan pelariannya. Ketika kuda yang luar biasa itu, berlari mengejar śarabha ke arah yang sama secepat yang dia bisa, tiba depan di lubang itu, dia ragu-ragu untuk mengambil risiko melompat, dan tiba-tiba berhenti.

(2)
Kemudian raja, sebagaimana adanya, dengan busur di tangannya, jatuh dari punggung kuda dan jatuh tertelungkup ke dalam lubang besar, seperti pejuang Daitya yang tenggelam ke dalam Laut.

(3)
Matanya hanya terpaku kepada śarabha, sehingga dia tidak memperhatikan jurang itu. Maka dia jatuh karena kelalaiannya, karena dia kehilangan keseimbangan saat kudanya berhenti tiba-tiba dari kecepatannya yang luar biasa.

Sekarang, suara langkah kaki terhenti dan Bodhisattva mulai berpikir: “Apakah raja itu telah berbalik arah?” Kemudian, dia menoleh dan melihat ke belakang, menemukan kuda tanpa penunggang berdiri di tepi jurang. Melihat hal ini, pikirannya beralih, “Tidak diragukan lagi, raja pasti telah jatuh ke dalam jurang ini. Tidak ada pohon di sini yang menyebarkan dedaunannya yang lebat, yang naungannya teduh sehingga mengundang untuk duduk dan beristirahat, juga tidak ada danau yang cocok untuk mandi, yang airnya sebiru dan semurni kelopak teratai biru.

Tentunya dia tidak mungkin memasuki wilayah hutan liar yang dihantui oleh binatang buas. Dia mungkin telah turun dan meninggalkan kudanya di suatu tempat, sehingga dia dapat beristirahat atau melanjutkan berburu sendirian. Di sini tidak ada lagi bagian hutan untuk dia bersembunyi. Tidak diragukan lagi, raja itu pasti telah jatuh ke dalam lubang ini.” Setelah dia meyakinkan dirinya sendiri akan hal ini, Sang Mahātmā merasakan simpati yang paling besar kepada raja yang sudah memburu nyawanya.

(4, 5)
“Tetapi akhir-akhir ini sang raja memiliki kenikmatan kerajaan, dipuja bagai raja para dewa oleh kerumunan orang yang memujanya dengan tangan tergenggam. Pasukannya mengikutinya, terdiri dari campuran besar kereta perang, penunggang kuda, pasukan darat, dan gajah, dihiasi dengan spanduk yang cerah, berkilauan dari baju besi dan senjata mereka, dan berbaris mengikuti irama lagu yang cepat.

Kepalanya diteduhi dengan payung yang indah, dan para pemuja yang mengipasinya yang memberikan keindahan dari kilauan pegangan (perhiasan) mereka.

(6)
Dan pada saat ini dia terbaring di bawah jurang yang besar ini. Guncangan saat dia terjatuh pasti telah mematahkan tulangnya, membuatnya pingsan atau mengerang sedih. Sungguh disayangkan! Betapa menderitanya dia saat ini!

(7)
Orang-orang biasa, yang sudah terbiasa menderita, tidak terlalu merasa menderita karena kemalangan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang berpangkat tinggi. Tetapi ketika para pengeran didatangi oleh kemalangan, mereka tenggelam dalam keputusasaan, karena mereka telah terbiasa dengan kenyamanan yang luar biasa.

Dia tidak akan pernah bisa mengeluarkan diri dari sana sendirian. Jika masih ada sisa kehidupan dalam dirinya, maka tidak benar meninggalkannya pada nasibnya.”

Maka Sang Mahātmā tergerak oleh welas asihnya pergi ke tepi jurang dan melihat dia sedang berjuang di sana. Baju besinya telah tertutup oleh debu, kehilangan kemegahannya; mahkota dan pakaiannya juga benar-benar sudah berantakan, dan rasa sakit yang disebabkan oleh benturan yang dia dapatkan saat jatuh juga menimpa pikirannya, dan membuatnya putus asa.

(8)
Setelah melihat raja dalam situasi yang menyedihkan itu, dia lupa bahwa manusia itu adalah musuhnya. Terbawa oleh rasa kasihan dan merasakan sakit yang sama dengannya; air mata menggenang di matanya.

(9)
Dan dia menyapanya dengan bahasa yang sederhana dan baik, menunjukkan watak bajiknya, menghiburnya dengan kata-kata yang tepat dan penuh hormat yang dia gunakan dengan suara yang jelas dan terdengar indah.

(10)
“Kuharap engkau tidak terluka, Yang Mulia, setelah jatuh ke jurang yang menyerupai neraka ini. Semoga anggota tubuhmu tidak ada yang patah. Apakah rasa sakitmu sudah berkurang?

(11)
Aku bukanlah asura, wahai manusia yang paling terhormat, aku adalah binatang hutan yang hidup di wilayahmu, dibesarkan di atas rumputmu dan airmu. Engkau boleh percaya kepadaku.

(12)
Jangan putus asa karena terjatuh ke dalam jurang. Aku memiliki kekuatan untuk menyelamatkanmu dari sana. Jika engkau menganggap aku dapat dipercaya, maka segera perintahkan aku dan aku akan datang.”

Ucapan hewan yang luar biasa ini membangkitkan kekaguman sang raja. Rasa malu muncul di benaknya dan dia mulai merenungkan hal ini:

(13)
“Bagaimana mungkin dia menunjukkan welas asihnya kepadaku, musuhnya, yang beberapa saat lalu baru saja menjadi buruanku? Dan bagaimana aku bisa bertindak begitu tidak pantas untuk makhluk yang tidak bersalah ini?

(14)
Ah! Betapa dia membuatku bingung dengan teguran tajam dari kelembutannya! Sesungguhnya akulah yang berperilaku bagai binatang, yang kasar, sedangkan dia adalah makhluk yang hanya berwujud śarabha.

Oleh karena itu, dia pantas untuk dihormati dengan penerimaanku atas tawaran persahabatannya.” Setelah memutuskan demikian, dia berkata:

(15-17)
“Tubuhku yang ditutupi oleh baju besi belum terluka terlalu parah, dan rasa sakit yang kurasakan karena terjatuh di jurang ini setidaknya masih bisa ditahan.

Namun, rasa sakit yang disebabkan oleh kejatuhanku tidak terlalu menyiksa seperti kesalahanku terhadap makhluk yang berhati murni dan suci seperti engkau.

Kuharap engkau tidak memasukkannya ke dalam hati, karena hanya mengandalkan wujud luarmu dan tidak menyadari sifat aslimu, aku menganggapmu sebagai binatang hutan.”

Kemudian śarabha, menyimpulkan bahwa raja menyetujui penawarannya dari kata-kata ramah tersebut, mengupayakan diri untuk menyelamatkannya, memikul sebongkah batu yang seberat manusia di punggungnya. Setelah mengetahui sejauh mana kekuatannya, ia bertekad untuk menyelamatkan raja, lalu turun ke dalam lubang dan mendekatinya, berbicara dengan nada hormat:

(18)
“Mari sentuh tubuhku ini, agar ― demi kebahagiaanku juga ― aku dapat membuat wajahmu berseri-seri dengan kepuasan dan kegembiraan.

Yang Mulia, berkenanlah untuk naik ke punggungku dan berpegangan erat padaku.” Dan raja, setelah menyatakan persetujuannya, menaiki punggungnya, seolah-olah itu adalah punggung kuda.

(19)
Kemudian, dengan raja di punggungnya, dia naik ke atas dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, dan mengangkat bagian depan tubuhnya tinggi-tinggi, seperti ukiran kuda batu yang naik ke udara.

(20)
Setelah membawa raja keluar dari tempat yang tidak terjangkau itu dan membuatnya bertemu kembali dengan kudanya, śarabha sangat bersukacita dan memberitahukan jalan ke ibukotanya, dan dirinya sendiri bersiap untuk undur diri ke hutannya.

Tetapi raja, tergerak oleh rasa terima kasih atas pelayanan yang baik, yang diberikan dengan sangat rendah hati, memeluk śarabha dengan penuh cinta kasih, dan mengucapkan:

(21)
“Hidupku ini adalah milikmu, wahai śarabha. Oleh karena itu, tidak perlu mempertanyakan lagi bahwa semua yang ada di dalam kekuasaanku adalah milikmu. Berikanlah aku kesenangan dengan berkenan mengunjungi ibu kotaku, dan tinggallah di sana jika engkau menyukainya.

(22)
Bukankah tidak pantas bagiku jika aku pulang ke rumah sendirian, meninggalkanmu di hutan mengerikan yang dihantui oleh para pemburu, di mana engkau menderita karena dingin, panas, hujan, dan bencana lainnya?

Dengan demikian, marilah kita pergi bersama.”

Kemudian Bodhisattva memujinya dengan sopan, lembut dan penuh hormat, menjawab demikian:

(23)
“Bagi pecinta kebajikan seperti engkau, wahai manusia yang paling unggul, berperilaku sepertimu adalah tepat. Karena bagi orang-orang bajik, terus-menerus mempraktikkan kebajikan telah menjadi sifat penting baginya.

(24)
Tetapi aku tidak suka menetap di tempatmu, karena aku sudah terbiasa hidup di hutan ini. Kesenangan manusia adalah satu hal, dan kesenangan makhluk hutan adalah hal lainnya, sesuai dengan jenis mereka.

(25)
Namun, jika engkau ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan bagiku, berhentilah berburu untuk selama-lamanya. Binatang-binatang hutan yang malang, yang kasar dan bodoh, patut dikasihani karena alasan ini.

(26)
Sehubungan dengan mengejar kebahagiaan dan menghilangkan kerusakan, engkau harus mengetahui bahwa hewan memiliki perasaan yang sama seperti manusia. Dengan mengingat hal ini, anggaplah tidak pantas untuk melakukan hal-hal yang menyebabkan kesedihan pada diri sendiri kepada orang lain.

(27)
Memahami bahwa perbuatan jahat mengakibatkan hilangnya reputasi, dicela oleh orang-orang yang berbudi luhur, dan terlebih lagi menyebabkan penderitaan, engkau harus membasmi kejahatan di dalam dirimu, menganggapnya sebagai musuhmu. Seperti penyakit, engkau tidak boleh mengabaikannya.

(28)
Dengan melakukan tindakan-tindakan berjasa maka engkau akan memperoleh martabat kerajaan, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh manusia dan tempat kediaman kebahagiaan. Simpanan jasa kebajikan yang harus engkau perbesar, jangan lemahkan martabat para dermawan.

(29)
Mengumpulkan tindakan berjasa sebagai instrumen kemuliaan dan kebahagiaan, dengan berdana secara dermawan, tingkatkanlah pesona pemberian itu dengan memberikannya pada waktu yang tepat dan dengan cara yang terhormat; melalui perilaku bermoral, hukum-hukum yang benar yang dapat engkau pelajari melalui hubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur; dan dengan berhasil memperlakukan semua makhluk sama baiknya seperti kepada dirimu sendiri.”

Dengan cara ini Sang Mahātmā menyukai raja, mengajarkan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan di masa depan, dan raja menerima kata-katanya. Setelah itu ia memasuki tempat tinggalnya di hutan, diikuti dengan tatapan hormat oleh raja.

Maka dengan cara inilah, ia menunjukkan welas asih yang besar, bahkan kepada mereka yang mencoba menyakiti hidupnya, sekalipun ia sedang berada dalam kesulitan. Mereka tidak akan mengabaikan hal seperti itu.

[Kisah ini harus diceritakan juga ketika membahas tentang simpati, ketika berkhotbah tentang pikiran-tinggi Sang Tathāgata dan tentang mendengarkan dengan perhatian pada khotbah Dharma.

Demikian juga hal itu harus dikemukakan ketika menunjukkan bahwa permusuhan diredakan dengan cara keramahan, juga ketika memperlakukan kebajikan kesabaran. “Dengan cara ini terlihat bahwa Sang Mahātmā, bahkan ketika kehidupan sebagai hewan, berperilaku penuh belas kasihan terhadap mereka yang mencoba menyakiti hidup mereka. Bagaimana, sesungguhnya, menjadi seorang manusia atau seseorang yang telah bersumpah untuk hidup tanpa rumah untuk menginginkan welas asih terhadap hewan? Untuk alasan ini, seorang manusia mulia (ārya) harus menunjukkan welas asih kepada semua makhluk hidup.”]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 24 – MAHAKAPI-JATAKA

Jātakamālā 24 – Mahākapijātakam
(Kisah Kera Besar)

Jātakamālā 24- Mahākapijātakam
(Kisah Kera Besar)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Orang-orang bajik tidak terlalu merasa menderita oleh rasa sakit mereka sendiri, tetapi mereka merasa lebih menderita ketika mengetahui orang-orang yang menyakiti mereka telah kehilangan kebahagiaannya. Inilah yang akan diajarkan sekarang.

Di sebuah wilayah yang diberkati di Himavat, tanahnya diliputi dengan berbagai bijih logam yang berbeda, dengan minyak yang beraroma harum dan beragam; dengan hutan-hutan megah yang menjadi pakaiannya, seolah-olah merupakan mantel berwarna sutra gelap. Lereng dan turunan dari tempat itu dihiasi oleh pemandangan yang indah, yang menyelaraskan ketidaksetaraan warna, bentuk dan kombinasi, sehingga seolah-olah telah ditata dengan sedemikian rupa dengan penuh perhatian.

Di tempat rekreasi para Vidyādhara ini, dibasahi oleh air dari berbagai aliran gunung yang melewatinya, penuh dengan lubang, jurang, dan ngarai yang dalam, bergema dengan suara dengungan lebah yang pelan, dibelai oleh angin sepoi-sepoi yang mengipasi berbagai jenis pohon dengan bunga, buah, dan batangnya yang indah. Dikisahkan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai seekor kera berukuran besar yang hidup sendirian. Meski terlahir sebagai seekor hewan, dia tidak kehilangan kesadarannya terhadap Dharma; dia bersyukur, berwatak mulia, dan memiliki kesabaran yang besar serta berwelas asih, inilah sifat-sifat yang tidak akan pernah meninggalkannya.

(1)
Meski hutan-hutan, pegunungan besar, dan samudera di bumi telah musnah beratus kali baik oleh air, api, atau angin; tetapi welas asih Bodhisattva yang agung tidak pernah padam.

Maka, hidup bagai seorang petapa, ia hanya menyantap makanan sederhana yang terdiri dari dedaunan dan buah-buahan dari pohon-pohon hutan; menunjukkan welas asih dalam berbagai keadaan dan cara kepada makhluk-makhluk yang dia temui dalam lingkup kekuasaannya, demikianlah Sang Mahātmā hidup di kawasan hutan tersebut.

Suatu ketika seorang pria berkeliaran ke segala arah untuk mencari sapi liar, kemudian tersesat, dan sama sekali tidak dapat menentukan arah berdasarkan langit, berkeliaran secara acak, dan sampai di tempat itu. Di sana, karena kelelahan oleh rasa lapar, haus, panas, dan letih, serta menderita karena api kesedihan yang berkobar di dalam hatinya, dia duduk di bawah pohon, tertekan oleh beban kesedihannya yang sangat berat. Melihat ke sekeliling, ia melihat sejumlah buah tinduka yang berwarna sangat kuning kecokelatan, yang telah matang dan jatuh dari pohonnya.

Rasa lapar yang sangat menyiksanya membuat buah itu terasa sangat manis baginya. Setelah menikmatinya, ia merasakan keinginan yang sangat kuat untuk mengetahui asal-usul buah itu, dan setelah melihat ke semua sisi dengan tajam, dia menemukan pohon yang merupakan asal buah tersebut. Pohon ini berakar di tepi air terjun yang miring, dengan buah-buahnya yang telah matang dengan warna kuning kecoklatan yang menggantung di dahan-dahannya. Mendambakan buah-buahan tersebut, pria itu mendaki lereng tersebut, dan memanjat pohon tinduka, mencapai sebuah dahan dengan buah yang menjorok ke arah jurang. Keinginannya untuk mendapatkan buah itu mendorongnya untuk menelusurinya sampai akhir.

(2)
Tiba-tiba dahan yang menggantung itu tidak mampu menanggung beban yang terlalu berat, sehingga patah dengan suara yang keras dan terjatuh, seolah-olah ditebang dengan sebuah kapak.

Dan, bersama dengan dahan itu, dia jatuh tertelungkup di jurang dalam yang dikelilingi dinding batu curam di semua sisinya, seperti sebuah lubang; tetapi karena dia dilindungi oleh dedaunan dan jatuh ke air yang dalam, dia berhasil keluar tanpa mengalami patah tulang. Setelah keluar dari air, dia pergi ke segala arah, mencari cara agar dia bisa menyelamatkan diri, tetapi tidak melihatnya. Karena dia tidak menemukan jalan keluar dan menyadari bahwa dia akan segera kelaparan di sana, dia merasa putus asa akan hidupnya, dan disiksa oleh panah kesedihan yang menusuk hati hingga air mata kesedihan membasahi wajahnya. Diliputi oleh keputusasaan dan pikiran yang menyakitkan, dia meratap dengan cara ini.

(3)
“Aku telah jatuh ke jurang ini, di tengah hutan yang jauh dari jangkauan manusia. Siapa lagi yang dapat menemukanku, selain sang kematian?

(4)
Siapakah yang dapat menyelamatkanku dari tempat ini, di mana aku telah terlempar, seperti binatang buas yang terjerat dalam perangkap? Tiada sanak-saudara, tiada teman yang berada di dekatku, yang ada hanyalah sekawanan nyamuk yang menghisap darahku.

(5)
Tidak! Melewati malam di dalam lubang ini akan menyembunyikanku dari pandangan alam semesta. Aku tidak akan lagi melihat berbagai keindahan taman, hutan, pepohonan, dan sungai. Tak ada lagi langit yang gemerlap dengan hiasan permata dari bintang-bintang yang bertebaran. Kegelapan yang pekat, seperti malam di tengah bulan gelap, menyelimutiku.”

Sambil meratap, pria itu bertahan di sana selama tiga hari dengan meminum air dan memakan buah tinduka yang jatuh bersama dirinya.

Pada saat itu sang kera besar yang sedang mengembara di dalam hutan itu dengan tujuan untuk mencari makanan, datang ke tempat itu seolah-olah diberi isyarat oleh dahan-dahan pohon tinduka yang digerakkan oleh angin. Ia mendaki ke atasnya dan melihat ke atas air terjun, melihat pria itu terbaring di sana dan membutuhkan bantuan. Dia juga melihat mata dan pipinya yang sudah cekung, dan anggota tubuhnya yang kurus kering, pucat, menderita kelaparan. Situasi buruk dari pria itu membangkitkan welas asih sang kera besar, yang mengesampingkan urusannya mencari makanan. Ia memusatkan perhatiannya pada pria itu dan dengan suara manusia mengucapkan hal berikut:

(6)
“Engkau yang berada di jurang yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Tolong katakan kepadaku, siapakah engkau dan apa yang menyebabkan engkau bisa berada di sana?”

Kemudian pria itu, mengarahkan matanya ke kera besar, menundukkan kepalanya dan melipat tangannya sebagai pemohon, berbicara:

(7, 8)
“Aku adalah seorang manusia, wahai makhluk gemilang. Setelah tersesat dan berkeliaran di hutan, aku mengalami kesusahan ini, sambil mencari buah dari pohon ini.

Aku tertimpa musibah yang berat ini saat jauh dari teman-teman dan sanak saudara. Aku memohon padamu, wahai pelindung pasukan kera, jadilah pelindungku juga.”

Kata-kata ini berhasil membangkitkan rasa welas asih tanpa batas dari Sang Mahāsattva.

(9)
Seseorang yang dalam kesusahan, tanpa teman atau sanak saudara yang membantunya, memohon bantuan dengan tatapan cemas dan tangan tertangkup, akan membangkitkan welas asih bahkan pada hati musuhnya sekalipun; bagi yang berwelas asih, ini akan menarik perhatiannya.

Kemudian Bodhisattva, merasa kasihan dan menghiburnya dengan kata-kata yang baik.

(10)
“Jangan berpikir bahwa engkau telah kehilangan segalanya karena jatuh ke jurang ini, atau bahwa engkau tidak memiliki sanak saudara untuk membantumu. Aku akan melakukan semua hal yang akan mereka lakukan kepadamu. Jangan takut.”

Dan setelah mengucapkan penghiburan, Bodhisattva memberikan tinduka dan buah-buahan lainnya kepada pria tersebut. Kemudian dengan tujuan untuk menyelamatkannya, dia pergi ke tempat lain, melatih dirinya dengan memanjat sambil membawa batu seberat manusia di punggungnya. Setelah mengetahui kapasitas kekuatannya dan merasa yakin bahwa dia mampu membawa pria itu keluar dari air terjun, dia turun ke dasar air, dan tergerak oleh welas asih, mengucapkan kata-kata ini kepada pria itu:

(11)
“Mari, naiklah ke atas punggungku dan berpegang erat padaku, sementara aku akan mengeluarkanmu dan membuat tubuhku berguna.

(12)
Bagi orang bajik, tubuh ini tidaklah berguna, kecuali jika digunakan sebagai alat untuk memberi manfaat bagi sesama makhluk hidup.”

Pria itu setuju, dan setelah dengan hormat membungkuk kepada kera, menaiki punggungnya.

(13)
Jadi dengan orang itu di punggungnya, kera itu membungkuk dengan rasa sakit akibat beban yang sangat berat. Namun, karena intensitas kebaikan hatinya dan dengan keteguhan pikiran yang tak tergoyahkan, dia berhasil menyelamatkannya meskipun dengan susah payah.

(14)
Dan setelah membebaskannya, dia menikmati kegembiraan tertinggi, tetapi juga merasa sangat lelah, sehingga dia berjalan dengan langkah yang lemah dan terhuyung-huyung, dan memilih beberapa lempengan batu berwarna kelabu untuk berbaring, agar dia bisa beristirahat.

Karena kemurnian hati dan sudah menolongnya, Bodhisattva tidak mencurigai bahwa pria itu berbahaya, dan berkata kepadanya dengan rasa percaya:

(15, 16)
“Bagian hutan yang mudah dimasuki ini terbuka bebas bagi para binatang buas. Oleh karena itu, agar tidak seorang pun dapat membunuhku dan menghancurkan kebahagiaan masa depannya sendiri dengan menyerangku saat aku beristirahat karena kelelahan, engkau harus berhati-hati melihat ke segala arah dan menjagaku maupun dirimu sendiri. Tubuhku benar-benar lelah, dan aku ingin tidur sebentar.”

Pria itu berjanji akan melakukannya. Ia berpura-pura jujur dengan mengatakan: “Tidurlah, tuan, selama yang engkau suka. Semoga nanti engkau bangun dengan perasaan menyenangkan! Aku akan berada di sini untuk menjagamu.” Tetapi ketika Bodhisattva sudah tertidur karena kelelahan, hal-hal jahat muncul di dalam pikirannya.

(17)
“Sumber penghidupanku di sini hanyalah akar-akaran yang diperoleh dengan sulit atau buah-buahan yang hanya bisa kuperoleh secara kebetulan. Bagaimana tubuh kurusku dapat menopang kehidupan dengan makanan-makanan tersebut, terlebih untuk memulihkan kekuatan?

(18)
Dan bagaimana aku akan berhasil melintasi hutan belantara yang sulit dilewati ini, jika tubuhku lemah? Namun, dari tubuh kera ini aku bisa memiliki makanan yang cukup untuk keluar dari hutan belantara yang menyulitkan ini.

(19)
Meskipun dia telah berbuat baik kepadaku, aku mungkin dapat memakannya karena dia telah diciptakan seperti itu. Aku boleh melakukannya, karena aturan dalam masa-masa sulit memperbolehkannya pada saat ini. Untuk alasan ini, aku harus mendapatkan perbekalan dari tubuhnya.

(20)
Tapi aku hanya bisa membunuhnya saat dia tidur nyenyak dan terlelap dengan penuh kepercayaan. Karena jika dia diserang dalam pertarungan terbuka, bahkan seekor singa pun tidak dapat dijamin menang.

Karena itu, aku tidak boleh kalah saat ini.” Setelah mengambil keputusan seperti itu, manusia jahat itu, yang pikirannya tercemari oleh nafsu jahat yang telah menghancurkan rasa terima kasih, kesadarannya akan aturan moral, dan bahkan perasaan welas asih dari dalam dirinya, tidak memikirkan tubuhnya yang sangat lemah, dan hanya mendengarkan keinginannya yang besar untuk melakukan tindakan keji itu, mengambil sebuah batu, dan menjatuhkannya tepat di atas kepala kera besar.

(21, 22)
Tetapi, karenanya tangannya gemetar karena kelemahan dan tergesa-gesa, juga karena nafsunya yang terlalu besar, batu itu, yang dilempar dengan keinginan untuk membuat kera itu tertidur dalam kematian, justru membangunkan tidurnya.

Batu itu tidak menghantam kepala kera dengan beban penuhnya, sehingga tidak menghancurkan kepalanya berkeping-keping; kepalanya hanya memar karena mengenai salah satu ujung batu, dan batu itu jatuh ke bumi dengan suara yang menggelegar.

(23, 24)
Bodhisattva, yang kepalanya terluka oleh batu, melompat dengan tergesa-gesa dan melihat sekelilingnya agar dia bisa menemukan orang yang melukainya. Ia tidak melihat siapa pun kecuali pria yang berdiri di hadapannya dalam sikap malu, bingung, takut, dan sedih, mengungkapkan kebingungannya dengan rona wajahnya yang pucat pasi, yang telah kehilangan kecerahannya; ketakutan yang muncul secara tiba-tiba telah mengeringkan tenggorokannya, tetesan keringat menutupi tubuhnya, dan dia tidak berani mengangkat pandangannya.

Segera setelah kera besar menyadari bahwa pria itu sendiri adalah pelaku kejahatan, tanpa memikirkan rasa sakit dari lukanya lagi, dia merasa dirinya benar-benar tergerak. Dia tidak menjadi marah, dia juga tidak ditundukkan oleh perasaan murka. Dia terbawa oleh perasaan welas asihnya kepada pria yang telah melakukan perbuatan jahat itu. Menatapnya dengan mata yang dibasahi oleh air mata, dia berkata:

(25, 26)
“Teman, bagaimana engkau, seorang manusia, dapat melakukan tindakan seperti ini? Bagaimana engkau dapat membayangkannya? Bagaimana engkau dapat melakukannya?

Engkau, yang telah melanggar janjimu sendiri untuk menjagaku dari musuh-musuh yang ingin menyakitiku dan menyerangku!

(27)
Aku merasa bangga karena telah melakukan suatu perbuatan yang sulit dilakukan, tetapi engkau menyingkirkan rasa banggaku, karena engkau telah melakukan perbuatan yang lebih sulit lagi untuk dilakukan.

(28)
Setelah dibawa kembali dari mulut kematian, engkau yang telah diselamatkan dari suatu jurang, kini sesungguhnya telah jatuh ke jurang yang lain!

(29)
Berusaha di atas ketidaktahuan merupakan hal yang keji dan paling kejam! Kebodohanlah yang menjerumuskan makhluk-makhluk menderita ke dalam kesusahan, (menipu mereka) dengan harapan palsu tentang kemakmuran.

(30, 31)
Engkau telah menghancurkan dirimu sendiri, menyalakan api kesedihan dalam diriku, mengaburkan kemegahan reputasimu, menghalangi kecintaanmu terhadap kebajikan-kebajikanmu sebelumnya, dan menghancurkan kepercayaan kepadamu. Kini engkau menjadi sasaran dari panah celaan. Manfaat besar apa yang engkau harapkan dengan bertindak seperti itu?

(32)
Pikiran bahwa engkau telah terjatuh dalam kejahatan karena diriku lebih membuatku menderita daripada rasa sakit dari luka ini, dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kejahatan itu.

(33, 34)
Kalau begitu, pergilah bersamaku dan tetaplah berada di sisiku, tetapi ingatlah untuk selalu berada di depanku, karena engkau tidak dapat dipercaya. Aku akan membawamu keluar dari hutan yang berbahaya ini ke jalan yang mengarah pada tempat tinggal manusia. Janganlah berkeliaran sendirian di dalam hutan ini dalam keadaan kurus dan tidak tahu jalan, karena engkau akan diserang oleh makhluk yang akan menyakitimu, membuat upayaku untuk menyelamatkanmu menjadi sia-sia.

Dengan penuh welas asih kepada orang itu, Sang Mahātmā membawanya ke perbatasan wilayah yang berpenduduk, dan setelah mengantarnya, berkata lagi:

(35)
“Teman, engkau telah mencapai tempat tinggal manusia; sekarang engkau dapat meninggalkan kawasan hutan ini dengan semak belukar dan hutan belantara yang menakutkan. Semoga perjalananmu bahagia dan semoga engkau berusaha menghindari tindakan jahat. Karena menuai buah tindakan jahat adalah saat-saat yang sangat menyakitkan.”

Maka kera besar yang mengasihani pria itu, mengajarinya seolah-olah dia adalah muridnya; setelah itu ia kembali ke tempat tinggalnya di hutan. Tetapi orang yang telah melakukan perbuatan yang sangat keji dan jahat itu, tersiksa oleh api penyesalan yang menyala-nyala, dan tiba-tiba diserang penyakit kusta yang mengerikan. Sosoknya berubah, kulitnya dipenuhi dengan tonjolan yang menjadi bisul dan pecah, membasahi tubuhnya dengan isi bisul itu dan membuatnya berbau sangat busuk.

Ke negeri mana pun dia datang, dia menyebabkan ketakutan bagi manusia; begitu mengerikan bentuknya yang telah berubah. Penampilannya yang tidak menyerupai manusia maupun suaranya yang berubah menunjukkan rasa sakitnya. Orang-orang menganggapnya sebagai perwujudan makhluk halus, mengusirnya, mengancamnya dengan tongkat dan pemukul serta kata-kata ancaman yang kasar.

Pada suatu hari, ketika sedang berkeliaran di suatu hutan, dia terlihat oleh seorang raja yang sedang berburu di sana. Saat melihat penampilannya yang sangat mengerikan – karena dia tampak seperti preta, sisa-sisa pakaiannya yang kotor akhirnya terlepas, sehingga dia kesulitan untuk menutupi rasa malunya – raja itu, tergerak oleh rasa ingin tahu yang bercampur dengan ketakutan, bertanya kepadanya.

(36, 37)
“Tubuhmu cacat karena kusta, kulitmu penuh bisul; engkau tampak pucat, kurus, dan sengsara; rambutmu juga kotor oleh debu.

Siapa engkau? Apakah engkau seorang preta, atau asura, atau yaksa, atau pūtana? Atau jika itu penyakit, makhluk hidup apa yang bisa menunjukkan sedemikian banyak penyakit seperti itu?”

Pria itu, membungkuk kepada sang putra mahkota, menjawab dengan suara yang bergetar: “Aku adalah manusia, wahai raja agung, bukanlah makhluk halus.” Dan ketika ditanya lagi oleh raja, bagaimana dia bisa menjadi seperti itu, dia mengakui perbuatan jahatnya, dan menambahkan kata-kata berikut:

(38)
“Penderitaan ini merupakan bunga dari pohon yang telah kutanam, yakni pengkhianatan kepada temanku. Oh, pasti buahnya akan lebih menyedihkan dari ini.

(39)
Oleh karena itu, engkau harus menganggap perbuatan curang terhadap seorang teman sebagai musuhmu. Engkau harus memperlakukan baik teman-teman yang sudah berbaik hati kepadamu.

(40)
Mereka yang berperilaku jahat kepada teman-teman mereka, akan berada dalam keadaan yang menyedihkan di dunia ini. Dari sini engkau dapat menyimpulkan apa yang akan terjadi pada kehidupan selanjutnya, mereka yang pikirannya tercemar oleh ketamakan dan kejahatan lainnya, yang mencoba mencelakai teman-teman mereka.

(41)
Sebaliknya, ia, yang pikirannya dipenuhi dengan kebaikan dan cinta kasih kepada teman-temannya, memperoleh reputasi yang baik, dipercaya oleh teman-temannya, dan menikmati manfaatnya. Dia akan memiliki pikiran yang bahagia dan ketenangan, musuh-musuhnya akan menganggapnya sebagai orang yang sulit untuk disakiti, dan akhirnya dia akan mendapatkan tempat tinggal di surga.

(42)
Demikianlah, setelah mengetahui kekuatan dan akibat dari perilaku baik dan jahat kepada teman, wahai raja, berpegang teguhlah pada jalan yang diikuti oleh orang-orang yang bajik. Dia yang mengikuti ini akan mencapai kebahagiaan.”

Maka dengan cara inilah, orang-orang bajik tidak terlalu merasa menderita oleh rasa sakit mereka sendiri, tetapi mereka merasa lebih menderita ketika mengetahui orang-orang yang menyakiti mereka telah kehilangan kebahagiaannya.

[Demikianlah dikatakan, ketika berkhotbah tentang keagungan Sang Tathāgata, dan ketika sedang mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian; begitu juga ketika berhadapan dengan kesabaran dan kesetiaan terhadap teman; juga ketika menunjukkan keburukan dari perbuatan jahat.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 23 – MAHABODHI-JATAKA

Jātakamālā 23 – Mahābodhijātakam
(Kisah Mahābodhi)

Jātakamālā 23 – Mahābodhijātakam
(Kisah Mahābodhi)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Welas asih yang dirasakan oleh para bajik kepada penyokongnya tidak akan berkurang, meskipun ada luka yang terjadi pada mereka. Demikianlah rasa syukur mereka yang telah menyerap kesabaran. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada saat Sang Bhagavā adalah seorang Bodhisattva, beliau adalah seorang pertapa pengembara bernama Mahābodhi. Ketika masih berumah tangga, ia telah mempelajari ia telah mempelajari berbagai cabang ilmu duniawi dan seni secara menyeluruh. Setelah itu, setelah meninggalkan keduniawia dan mengerahkan dirinya demi manfaat bagi dunia, ia mengarahkan pikirannya lebih sungguh-sungguh untuk mempelajari ajaran-ajaran suci dan memperoleh penguasaan dalam ilmu itu.

Berkat timbunan jasa kebajikan, keagungan kebijaksanaan dan pengetahuannya tentang dunia, dan keahliannya yang unggul dalam seni berbincang dengan manusia, ke negara mana pun dia pergi, ia dicari sebagai kawan, dan teman-temannya disenangi oleh para terpelajar maupun oleh para pangeran yang dilindungi oleh para terpelajar, oleh para Brāhmana yang hidup di dunia, dan juga oleh para pertapa lainnya.

(1)
Kebajikan memperoleh kemegahannya dengan muncul di atas dasar perbuatan baik, tetapi dengan keanggunan praktiknya, mereka akan mendapatkan kasih sayang manusia dan dipuji dengan penuh hormat bahkan oleh musuh-musuhnya sekalipun, yang berkewajiban untuk melakukannya demi reputasi mereka sendiri.

Sang Mahātmā, mengembara dengan tujuan berbuat baik kepada para umat manusia di desa-desa, kota-kota, pasar, negara, kerajaan, kediaman kerajaan, telah mencapai wilayah seorang raja yang ― setelah mendengar tentang kemegahan dari banyak kebajikannya ― bersukacita mengetahui kedatangannya.

Setelah diberi tahu hal itu jauh sebelumnya, sang raja telah membangun tempat tinggal untuk pertapa itu di sebuah tempat yang menyenangkan di taman kesukaannya sendiri. Pada saat pertapa itu datang, sang raja memintanya untuk memasuki kerajaannya dengan cara yang paling terhormat, menemuinya dan menunjukkan tanda penghormatan lainnya. Dia memperhatikan dan mendengarkan ajarannya, seperti seorang murid yang mematuhi guru spiritualnya.

(2)
Bagi seorang pecinta kebajikan, kedatangan seorang tamu bajik yang datang dengan penuh percaya diri ke rumahnya yang kaya raya merupakan semacam pesta.

Dan sebagai bagiannya, Bodhisattva memberikan khotbah harian tentang ajaran agama yang menyenangkan baik di telinga maupun di hati, yang dia persiapkan secara perlahan untuk berjalan di atas jalan menuju pembebasan.

(3)
Mereka yang mencintai Dharma berkeinginan untuk mengajarkan ajaran agama kepada orang-orang yang belum menunjukkan ketertarikan, karena mereka akan melakukannya atas dasar welas asih terhadap sesamanya. Bagaimana mungkin mereka tidak mengajari mereka yang ingin menerima ajaran dan membuka hatinya, yang bagaikan bejana murni?

Tetapi para menteri raja itu, meskipun dihormati karena pendidikan mereka, juga para penasihatnya, meskipun juga diperlakukan dengan hormat, tidak dapat menerima penghormatan yang terus diberikan kepada keagungan kebajikan Bodhisattva yang terus meningkat. Kecemburuan telah menodai pikiran mereka.

(4)
Kemuliaan dan kemasyhuran seseorang yang menunjukkan kemampuannya untuk mempesona umat manusia dengan keunggulan kebajikannya, cukup untuk menyalakan api rasa iri hati pada mereka yang dihormati hanya karena keahlian mereka.

Mereka tidak dapat mengalahkannya dalam debat terbuka tentang topik-topik ajaran spiritual, dan pada saat yang sama juga merasa sedih melihat raja yang semakin taat kepada Dharma. Kemudian, untuk memunculkan ketidakpuasan raja terhadap Bodhisattva, mereka akan melakukan sesuatu. Kemudian mereka berkata, “Yang mulia tidak boleh menaruh kepercayaan pada pertapa pengembara bernama Bodhi itu. Jelas bahwa dia adalah mata-mata dari raja pesaing Anda, yang telah mengetahui ketaatan Yang Mulia terhadap kebajikan dan kebenaran. Orang pintar ini memanfaatkan lidahnya yang lembut, halus, dan menipu, untuk membujuk Anda ke dalam kebiasaan buruk dan membocorkan tindakan Anda.

Dia berpura-pura menjadi seorang pengikut Dharma, memerintahkan Yang Mulia untuk secara khusus mempraktikkan welas asih dan menumbuhkan rasa malu, mendorong Anda untuk mengambil kehidupan religius yang tidak sesuai dengan tugas kerajaan dan militer Anda. Menghambat kemajuan harta (artha) dan kesenangan (kāma), juga tunduk pada bahaya akibat mengikuti kebijakan yang buruk. Betul, bahwa dia menasihati Anda dengan murah hati, menyarankan tindak-tanduk yang harus Anda ikuti. Meskipun demikian, dia sering berbicara dengan utusan raja-raja lain, dan dia sangat asing dengan isi panduan kebijaksanaan bernegara yang membahas tugas-tugas raja. Oleh karena inilah, hati kami dipenuhi dengan ketakutan.”

Kata-kata seperti itu diucapkan dengan maksud untuk memecah-belah, diulang berkali-kali oleh banyak orang yang berpura-pura memedulikan kebaikan sang raja, sehingga memberikan pengaruh. Kedekatan dan rasa hormatnya terhadap Bodhisattva menyusut oleh rasa tidak percaya, dan sikap terhadapnya menjadi berubah.

(5)
Demikianlah fitnah, bagai rangkaian petir dahsyat yang menggelegar, menembus telinga manusia. Apakah ada seseorang yang dapat tetap tak tergoyahkan olehnya, tetap percaya dan teguh dalam keyakinan terhadap kekuatannya sendiri?

Kurangnya rasa percaya membuat raja tidak lagi mengasihi dan menghormati Sang Bodhisattva seperti sebelumnya. Tetapi Bodhisattva, karena kemurnian hatinya, tidak mempermasalahkannya; “Sang raja teralihkan oleh banyak pekerjaan,” pikirnya. Namun, ketika dia merasakan sikap dingin dan kurangnya perhatian dari para pejabat kerajaan, dia mengerti bahwa dia telah membuat raja merasa tidak senang. Dia mengambil tiga peralatannya sebagai seorang pertapa, yakni tongkatnya, wadah airnya, dan mangkuk makanannya; bersiap untuk pergi. Raja, mendengar keputusannya, karena ia masih tergerak oleh sisa-sisa cinta kasihnya yang dulu, juga sebagian dari dirinya tidak ingin mengabaikan sopan santun dan formalitas, mendatanginya dan berpura-pura ingin menahannya, berkata:

(6)
“Untuk alasan apa engkau memutuskan untuk pergi, meninggalkan kami secara tiba-tiba? Apakah engkau mengeluhkan tentang kurangnya perhatian dari kami, sehingga membuat engkau merasa takut? Jika ini masalahnya, engkau telah mencurigai kami tanpa alasan, ini hanyalah ketidaksengajaan.”

Sang Bodhisattva menjawab:

(7)
“Kepergianku memiliki alasan yang bagus. Bukan karena masalah sepele seperti perlakuan buruk yang membuatku jengkel, tetapi karena ketidakjujuranmu, engkau tidak lagi menjadi wadah kebenaran. Atas alasan inilah aku pergi.”

Pada saat itu anjing peliharaan kesayangan raja datang berlari ke arah Bodhisattva dengan sikap tidak bersahabat dan menggonggong dengan mulut yang terbuka lebar. Menunjuk anjing ini, Bodhisattva berkata lagi: “Biarkanlah hewan ini menjadi saksi dari kejadian ini, Yang Mulia.

(8, 9)
Dulu anjing ini senang berada di sisiku, mengikuti contoh darimu. Tapi kini dia memperlihatkan perasaanmu dengan gonggongannya, karena dia tidak tahu bagaimana cara untuk berpura-pura. Tentunya, dia pasti telah mendengar kata-kata kasar darimu tentang diriku, seperti yang akan terjadi ketika cinta kasih telah dihancurkan; dan sekarang, jujur, dia bertindak sesuai dengan mereka, agar dia bisa menyenangkanmu; karena begitulah seperti itulah para pelayan yang memakan roti milik tuannya.”

Teguran ini membuat raja merasa malu, dan membuatnya menunduk. Ketajaman pikiran Bodhisattva menyentuhnya dan menggerakkan hatinya. Dia pikir adalah tidak pantas untuk berpura-pura lebih lanjut lagi, dan membungkuk hormat kepadanya, berbicara:

(10)
“Engkau memang menjadi bahan pembicaraan seperti yang kau katakan. Orang-orang yang lancang itu telah mengatakannya di dalam dewanku, dan aku, yang terlarut dengan berbagai urusan, mengabaikan masalah itu. Engkau harus memaafkanku dan tinggal di sini. Kumohon, jangan pergi.”

Bodhisattva menjawab: “Tentunya, bukan karena perlakuan buruk yang membuatku ingin pergi, Yang Mulia. Aku pun juga tidak didorong oleh kebencian. Tetapi mengingat sekarang bukan waktu yang tepat untuk tinggal di sini, Yang Mulia, untuk alasan inilah aku pergi. Pertimbangkanlah ini.

(11)
Jika entah karena keterikatan atau sikap apatis, aku tidak pergi sekarang, pasti pada waktunya nanti, setelah semua keramahan yang ditunjukkan kepadaku ini memudar, aku akan diusir.

(12)
Aku akan meninggalkanmu bukan dengan hati yang sakit oleh kebencian, tetapi karena inilah jalan yang tepat untuk kuikuti sekarang. Kebaikan-kebaikanmu sebelumnya tidak akan terhapus dari hati orang yang bajik hanya karena sebuah penghinaan.

(13)
Tetapi orang yang tidak baik hati tidak layak untuk menjadi pelindung, tidak lebih dari sebuah kolam kering yang akan menolong seseorang yang kekurangan air. Jika keuntungan dapat diperoleh dari pihak yang seperti itu, dibutuhkan banyak kehati-hatian untuk mendapatkannya, hasilnya pun akan kecil dan bermasalah.

(14)
Tetapi, dia yang menginginkan kemudahan dan tidak menyukai kesulitan, hanya harus mendatangi pelindung yang telah menenangkan pikirannya, dengan ketenangan yang menyerupai danau besar berisi air murni di musim gugur. Demikianlah perilaku orang bajik diketahui seperti ini.

(15)
Selanjutnya, dia yang menolak niatan untuk berbakti, mendatangi seseorang yang membenci dirinya sehingga memunculkan penderitaan pada diri sendiri, atau lambat dalam mengingat kebajikan-kebajikan sebelumnya – orang-orang seperti itu tidak seperti manusia yang sesungguhnya.

(16)
Persahabatan dihancurkan baik oleh kurangnya hubungan dan perhatian, juga oleh permintaan yang terlalu sering. Oleh karena itu, dengan maksud untuk melindungi sisa persahabatan kita karena aku telah menetap di sini, sekarang aku mohon pamit.”

Raja berkata: “Jika Yang Mulia memiliki tekad yang kuat untuk pergi, berpikir bahwa kepergianmu sangat diperlukan, maka sudilah untuk menyenangkan kami dengan kembali lagi ke sini. Bukankah engkau juga mengatakan bahwa persahabatan harus dijaga dengan baik?

Bodhisattva menjawab: “Yang Mulia, hidup di dunia adalah sesuatu yang tunduk pada banyak rintangan, karena banyak sekali musuh dalam berbagai bentuk malapetaka yang menyertainya. Mempertimbangkan hal ini, aku tidak dapat berjanji bahwa aku akan datang kembali. Aku hanya dapat mengungkapkan keinginanku untuk bertemu kembali denganmu di lain waktu, ketika mungkin ada alasan yang sangat diperlukan untuk datang.”

Setelah menenangkan raja dengan cara ini, yang melepasnya dengan cara yang paling terhormat, ia beranjak dari kediamannya. Karena merasa pikirannya tidak nyaman bila berhubungan dengan orang-orang yang hidup dalam keduniawian, Bodhisattva menetap di suatu tempat di dalam hutan. Dengan berdiam di sana, dia mengarahkan pikirannya pada latihan meditasi dan tak lama kemudian ia mencapai keempat tingkatan dhyāna dan lima jenis pengetahuan transenden (abhijñā).

Ketika dia sedang menikmati kebahagiaan ketenangan yang luar biasa, ingatan tentang raja, yang disertai dengan perasaan welas asih, muncul di benaknya. Dan, karena dia mengkhawatirkan keadaan sang raja, dia mengarahkan pikirannya kepadanya, dan melihat bahwa para menterinya masing-masing membujuk dia untuk mengikuti prinsip-prinsip ajaran (palsu) yang dia anut. Salah satu di antara mereka berusaha untuk meyakinkan dia tentang ajaran yang ketiadaan sebab-akibat, menggunakan contoh-contoh di mana hukum sebab-akibat sulit untuk dipahami.

(17)
“Apa,” ucapnya, “Penyebab dari bentuk, warna, susunan, tekstur dan sebagainya dari tangkai, kelopak, tangkai sari dan buah dari teratai? Siapa yang menyebabkan perbedaan jenis bulu burung di dunia ini? Seluruh alam semesta ini ada tanpa alasan selain karena memang demikianlah sifatnya. Segala sesuatu merupakan hasil dari sifat-sifat esensial dan inherennya sendiri.

Yang lain, yang menganut ajaran bahwa ada makhluk tertinggi (Īśvara) sebagai sebab pertama, menjelaskan kepadanya tentang prinsip-prinsip ajarannya.

(18)
“Tidak mungkin alam semesta ini ada tanpa sebab. Ada suatu makhluk yang mengaturnya, yang tunggal dan abadi. Akibat dari kehendak transendental makhluk inilah, dunia diciptakan dan dihancurkan.

Yang lain, sebaliknya, membuatnya bingung dengan doktrin ini: “Alam semesta ini adalah hasil dari perbuatan-perbuatan lampau, yang menjadi penyebab nasib baik dan buruk; diri sendiri tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengubahnya.

(19)
Sesungguhnya, bagaimana mungkin suatu makhluk dapat menciptakan berbagai zat dan sifat yang berbeda-beda pada waktu yang bersamaan? Alam semesta ini merupakan akibat dari perbuatan sebelumnya. Sebab dia yang terampil dalam memperjuangkan kebahagiaannya pun mengalami kemalangan.”

Yang lain lagi membujuknya untuk hanya mengikuti kenikmatan-kenikmatan indria, melalui penalaran yang didengar oleh para penganut doktrin pemusnahan.

(20)
“Potongan-potongan kayu memiliki warna, sifat, dan bentuk yang berbeda-beda. Hal ini tidak dapat dikatakan ada sebagai hasil dari tindakan, namun hal-hal ini ada, dan mereka tidak muncul lagi setelah musnah. Demikian pula dengan dunia ini. Untuk alasan inilah, seseorang harus menjadikan kesenangan sebagai tujuan utama kehidupan.”

Yang lainnya berpura-pura mengajari raja tentang tugas-tugas kerajaan, menyarankannya untuk mengikuti praktik-praktik yang diajarkan dalam pengetahuan para Kṣatriya, mengikuti ajaran (nīti)  tata negara yang berliku-liku, tercemari oleh kekejaman dan bertentangan dengan kebenaran (Dharma).

(21)
“Engkau harus memanfaatkan rakyat-rakyatmu, bagaikan pohon-pohon rindang, karena mereka terbukti cocok untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, berusahalah untuk meningkatkan kemuliaanmu dengan menunjukkan rasa syukur kepada mereka, hingga engkau tidak ingin lagi memanfaatkannya. Mereka kemudian dapat dijadikan sebagai persembahan dalam upacara pengorbanan.”

Demikianlah menteri-menteri itu ingin menyesatkan raja, melalui doktrin ajaran palsunya masing-masing.

Mengetahui bahwa sang raja akan jatuh ke jurang ajaran palsu  karena bergaul dengan orang-orang jahat dan membiarkan dirinya diarahkan oleh orang-orang yang dia percayai, Sang Bodhisattva tersentuh oleh perasaan welas asih dan memikirkan beberapa cara untuk menyelamatkannya.

(22)
Orang-orang bajik, sebagai akibat dari praktik kebajikan mereka yang terus-menerus, mengingat kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan kepada mereka, sedangkan kejahatan yang mereka alami luruh dari pikiran mereka, bagaikan air yang menetes jatuh dari kelopak teratai.

Setelah memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan, Bodhisattva ― melalui kesaktiannya ― menciptakan seekor kera besar, untuk diambil kulitnya, lalu membuat seluruh tubuh kera itu menghilang. Bodhisattva mengenakan kulit itu dan muncul di pintu masuk istana raja.

Setelah diantar oleh penjaga pintu, dia diterima di hadapan kerajaan. Dia melewati para penjaga yang ditempatkan di luar, dan melalui berbagai pelataran yang dipenuhi oleh para perwira, Brāhmana, tentara, utusan, dan penduduk kota yang terkemuka, dan memasuki aula pertemuan yang pintu-pintunya dijaga oleh para penjaga pintu dengan pedang dan tongkat dari luar. Sang raja sedang duduk di singgasananya, dikelilingi oleh kumpulan orang-orang terpelajar dan bijaksana, berpakaian megah dan tertata rapi. Raja datang menemuinya, dan menunjukkan segala rasa hormat kepada seorang tamu. Setelah bertukar pujian dan kata-kata sambutan yang baik seperti biasanya, ketika Bodhisattva duduk di tempat yang ditawarkan kepadanya, sang raja ― yang penasaran dengan kulit kera itu ― bertanya kepadanya bagaimana dia mendapatkannya:

“Siapa yang mempersembahkan kulit kera ini pada Yang Mulia, yang melakukan kebaikan besar bagi dirinya sendiri melalui perbuatan itu?”

Bodhisattva menjawab: “Aku mendapatkannya sendiri, Yang Mulia, aku tidak menerimanya dari orang lain. Saat duduk atau tidur di tanah keras yang hanya beralaskan jerami tipis, tubuh ini menderita, dan kewajiban spiritual tidak dapat dilakukan dengan nyaman. Kemudian, aku melihat seekor kera besar di tempat pertapaan dan berpikir: ‘Oh! Inilah alat yang tepat untuk melakukan tugas-tugas spiritualku, yakni kulit dari kera ini! Dengan duduk atau tidur di atasnya, aku akan dapat menyelesaikan kewajiban-kewajiban spiritualku, tanpa memikirkan tempat duduk kerajaan dengan kain yang paling berharga terbentang di atasnya.” Setelah memikirkan hal ini, aku segera menaklukkan hewan itu dan mengambil kulitnya.

Mendengar cerita itu, raja yang sopan dan berpendidikan tinggi tidak menjawab apa pun kepada Bodhisattva, tetapi menundukkan pandangannya karena merasa malu. Akan tetapi, para menterinya, yang sebelumnya telah menaruh dendam pada Bodhisattva, memanfaatkan kesempatan ini untuk menyatakan pendapat mereka. Mereka menatap raja dengan wajah berseri-seri dan menunjuk ke arah Bodhisattva, berseru: “Betapa pertapa ini benar-benar  taat dan mengabdikan dirinya pada terhadap ajaran spiritualnya, yakni kesenangannya sendiri! Sungguh ia sangat teguh dengan ajarannya sendiri! Betapa mahirnya ia dalam mewujudkan tujuannya! Sungguh mengherankan, meski sendirian dan kurus kering dalam pertapaan, dia masih mampu untuk menaklukkan seekor kera yang begitu besar, yang baru saja memasuki tempat pertapaannya! Apapun yang terjadi, semoga pertapaannya berhasil!

Bodhisattva, tanpa kehilangan ketenangan batinnya, menjawab mereka dengan berkata: “Para Yang Mulia yang menyalahkanku, janganlah mengabaikan prinsip keadilan dari ajaran kalian. Sungguh ini bukanlah cara yang tepat untuk memuliakan ajaran kalian sendiri. Yang Mulia harus mempertimbangkan hal berikut ini.

(23)
Dia yang menghina ajaran-ajaran musuhnya dengan menggunakan kata-kata yang bertentangan dengan ajarannya sendiri, sesungguhnya sedang merendahkan musuhnya dengan merendahkan dirinya sendiri.”

Setelah menegur menteri-menteri itu secara bersamaan, Sang Bodhisattva, yang ingin menegur mereka sekali lagi secara satu per satu, berbicara kepada menteri yang menyangkal hukum sebab-akibat dengan cara seperti ini:

(24)
“Engkau mengakui bahwa alam semesta ini merupakan akibat dari sifat-sifat yang esensial dan inheren. Sekarang, jika ini benar, mengapa engkau menyalahkanku? Apa salahku, jika kera ini mati karena kodratnya? Oleh karena itu, aku telah membunuhnya dengan benar.

(25)
Namun, jika aku telah bersalah karena membunuhnya, jelas bahwa kematiannya ini disebabkan oleh suatu sebab. Karena itu, engkau harus meninggalkan ajaran non-kausalitas maupun menggunakan pemikiran yang tidak sesuai denganmu.

(26)
Selanjutnya, jika susunan, warna, dan lain-lain pada tangkai, kelopak, dan sebagainya dari bunga teratai bukanlah akibat dari suatu sebab, bukankah seharusnya mereka dapat selalu ditemukan dan ada di mana-mana? Tetapi tidak demikian, mereka berasal dari biji yang berada di dalam air dan seterusnya; di mana jika kondisi ini ditemukan, mereka akan muncul, bukan di tempat kondisi itu tidak ditemukan.

(27)
Dia yang menyangkal adanya faktor-faktor penyebab melalui penalaran yang disertai dengan penjelasan, bukankah orang itu sedang mengabaikan ajarannya sendiri? Sebaliknya, jika dia menolak untuk menggunakan penalaran, bagaimana mungkin mereka dapat mempertahankan penjelasannya?

(28)
Dan lebih jauh lagi, dia yang mengatakan bahwa hukum sebab-akibat itu tidak ada ketika dia tidak dapat memahami penyebab dari suatu peristiwa tertentu, bukankah dia akan menjadi marah ketika mereka mengetahui bahwa ada penyebab dari sesuatu, dan melawannya dengan makian?

(29)
Dan jika penyebabnya tidak terlihat, mengapa engkau dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada penyebab? Karena ada sebab yang tidak dapat kita pahami, misalnya terik matahari yang tidak lagi terlihat saat matahari terbenam.

Lebih jauh lagi, tuan,

(30)
Demi kebahagiaan, engkau mengejar hal-hal yang engkau inginkan dan menghindari hal-hal yang menghalanginya. Dengan cara yang sama pula engkau melayani raja. Kendati demikian, apakah engkau masih berani menyangkal hukum sebab-akibat?

(31)
Dan, jika engkau masih bersikeras dengan ajaran non-kausalitas, maka kematian kera ini tidak berasal dari penyebab apa pun. Maka mengapa engkau menyalahkanku?”

Jadi dengan penjelasan-penjelasan yang gambling, Sang Mahātmā membuat pendukung ajaran non-kausalitas itu kebingungan.

Kemudian, kepada orang yang percaya pada sosok makhluk tertinggi, dia berkata: “Engkau juga tidak boleh menyalahkanku, wahai tuan yang terhormat. Menurut ajaranmu, tuanmu adalah penyebab segalanya. Lihatlah.

(32, 33)
Jika ada sosok makhluk tertinggi yang melakukan segalanya, maka bukankah dia yang membunuh kera itu? Mengapa engkau dapat menyalahkanku karena kesalahan makhluk lain?

Namun, jika engkau menganggap dia tidak melakukan pembunuhan terhadap kera yang gagah berani itu karena rasa welas asihnya, bagaimana engkau bisa dengan lantang menyatakan bahwa makhluk tertinggi itu adalah penyebab dari alam semesta ini?

Selain itu, seperti yang engkau yakini, bahwa segala sesuatu (diciptakan dan) dilakukan oleh makhluk tertinggi,(

(34)
Mengapa engkau berharap untuk menyenangkan makhluk tertinggi melalui pujian, permohonan, dan sejenisnya? Makhluk yang menciptakan dirinya sendiri itu pasti sudah menentukan tindakan-tindakan yang akan engkau lakukan.

(35)
Namun jika engkau berkata bahwa engkau melakukannya atas kehendakmu sendiri, engkau tetap tidak dapat menyangkal bahwa dialah yang menentukan perilakumu. Dia yang berkehendak melalui sifat maha kuasanya adalah pelaku dari sebuah tindakan.

(36, 37)
Sekali lagi, jika makhluk tertinggi itu adalah pelaku dari segala kejahatan, seberapapun banyaknya pebuatan jahat yang telah dilakukan, maka kebajikan apa yang ia miliki sehingga engkau harus memupuk ketaatan kepadanya?

Di sisi lain, jika bukan dia yang melakukannya karena dia membenci kejahatan, maka tidak tepat untuk mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh makhluk tertinggi.

(38, 39)
Lebih jauh lagi, kekuasaan makhluk tertinggi itu harus bertumpu pada suatu tatanan kebenaran (Dharma) atau pun pada sesuatu yang lain. Jika dia berasal dari Dharma, maka makhluk tertinggi itu tidak mungkin ada sebelum Dharma.

Jika dia dipengaruhi oleh beberapa penyebab eksternal, maka dia lebih pantas disebut sebagai pengikut, bukan penguasa, karena dia bergantung pada sesuatu.

Namun demikian, jika terlepas dari pemikiran ini, terikat pada doktrin keyakinan dan tanpa merenungkan dengan baik kemungkinan maupun ketidakmungkinannya,

(40)
Engkau yang teguh dalam meyakini bahwa sang makhluk tertinggi adalah penyebab tunggal dari seluruh alam semesta, mengapa kemudian engkau menyalahkanku dalam pembunuhan kera tersebut, yang telah diputuskan oleh sang makhluk tertinggi?

Demikianlah pemikiran yang terhubung dengan baik dengan berbagai argumen yang meyakinkan, Sang Mahātmā membuat sang menteri pengikut makhluk tertinggi (Īśvara) itu terdiam.

Dan beralih ke menteri yang merupakan pendukung doktrin karma, dia menyapanya dengan cara yang sangat terampil, mengatakan: “Seharusnya engkau pun juga tidak mencelaku. Menurut pendapatmu, semuanya merupakan akibat dari karma. Untuk alasan ini, aku memberitahumu,

(41)
Jika segala sesuatu harus dikaitkan secara eksklusif dengan kekuatan karma, maka monyet ini telah dibunuh dengan benar olehku. Dia telah terbakar oleh api liar dari karmanya sendiri. Apa kesalahanku sehingga engkau harus menyalahkanku?

(42)
Di sisi lain, seandainya aku telah melakukan tindakan buruk dengan membunuh kera, maka akulah penyebab kematiannya, bukan tindakan lampaunya. Selanjutnya, jika engkau menyatakan bahwa karma selalu menghasilkan karma yang baru, maka tidak ada yang akan mencapai pembebasan terakhir dalam sistem ajaranmu.

(43)
Jika penderitaan dapat berganti menjadi kebahagiaan – dan jika kebahagiaan yang sudah ada harus berganti menjadi penderitaan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa nasib baik dan buruk bergantung secara khusus kepada tindakan lampau.

(44)
Namun, pada kenyataannya, kita tidak meliaht aturan tentang munculnya kebahagiaan dan penderitaan ini di mana pun. Tindakan lampau bukanlah penyebab satu-satunya dan keseluruhan dari hal-hal tersebut. Dengan demikian, berhentinya karma baru adalah hal yang mungkin. Dan kekurangan ini, dari mana engkau harus mendapatkan “karma lama” (yang sangat diperlukan untuk mempertahankan Alam Semesta)?

(45)
Namun, jika engkau kukuh pada doktrin karmamu, atas alasan apa engkau dapat mengatakan bahwa aku yang telah menyebabkan kematian kera itu?

Dengan cara inilah Sang Mahātmā memberikan penjelasan yang tak terbantahkan, membuatnya terdiam seolah-olah dia telah bersumpah untuk diam.

Selanjutnya Bodhisattva, sambil tersenyum, berkata kepada seorang menteri yang merupakan penganut doktrin pemusnahan: “Betapa kehormatanmu begitu bersemangat untuk menyalahkanku, jika setidaknya engkau benar-benar pendukung doktrin pemusnahan.

(46)
Jika tidak ada masa depan setelah kematian, mengapa kita harus menghindari perbuatan jahat, dan untuk apa kita harus menjunjung tinggi perbuatan baik? Orang bijak akan berperilaku mengikuti keinginannya sendiri, sesuatu yang paling dia sukai. Jika ajaran ini benar, maka aku tidak bersalah karena telah membunuh kera itu.

(47, 48)
Namun, jika rasa takut terhadap pendapat masyarakat menyebabkan seseorang menghindari perbuatan buruk dan mengikuti jalan kebajikan, bagaimanapun juga, ia tidak akan luput dari kritik masyarakat, karena ketidaksesuaian antara kata-kata dan perbuatannya. Kebahagiana juga tidak dapat diperoleh dengan mudah dengan mengikuti pendapat masyarakat.

Dengan demikian, bukankah orang seperti itu, yang membiarkan dirinya disesatkan oleh doktrin yang sia-sia dan menipu, merupakan orang bodoh yang paling menyedihkan?

Sesuai pernyataanmu, ketika engkau mengatakan:

(49)
‘Potongan-potongan kayu memiliki perbedaan dalam warna, sifat dan bentuk. Perbedaan itu tidak dapat dikatakan ada sebagai hasil dari karma, namun mereka ada, dan mereka tidak muncul lagi setelah lenyap. Demikian pula dengan dunia ini. Mohon beri tahu aku, apa alasanmu untuk mempercayai hal itu, setelah semua ini?

(50)
Meskipun demikian, jika engkau bertahan pada keyakinan terhadap doktrin pemusnahan, apa alasan engkau mencela pembunuh kera atau manusia?”

Maka Bodhisattva membungkam penganut pemusnahan itu dengan sanggahan yang terlihat anggun.

Kemudian dia berbicara kepada menteri yang sangat ahli dalam pengetahuan bernegara. “Apa alasanmu untuk mencelaku juga, jika engkau benar-benar menganggap tindak-tanduk yang diajarkan dalam pengetahuan bernegara itu benar?

(51)
Menurut doktrin itu, sesungguhnya, perbuatan baik ataupun jahat harus dilakukan demi keuntungan materi; barulah setelah berada dalam puncak kekuasaan, seseorang harus membagikan kekayaannya kepada orang lain, melakukan tindakan sesuai kebenaran (Dharma) demi keuntungannya sendiri.

Atas dasar inilah aku memberitahumu.

(52)
Jika demi kepentingan pribadi, engkau dapat mengingkari kejujuran meskipun kepada kerabat dekatmu sendiri, maka apa alasanmu mencelaku yang telah membunuh kera itu demi mendapatkan kulitnya, mempraktikkan aturan yang juga diajarkan dalam doktrinmu?

(53)
Di sisi lain, jika perbuatan seperti itu harus disalahkan karena kekejamannya dan disertai dengan akibat yang buruk, bagaimana engkau bisa mengikuti pengetahuan yang tidak mengakui hal tersebut?

(54)
Jika itu adalah perwujudan dari kebijakan di dalam sistem ajaranmu, bagaimana engkau dapat memutuskan penilaian yang benar dan salah? Oh! Sungguh tidak tahu malu, dia yang menindas kemanusiaan dan mengajarkan ketidakadilan melalui ajaran-ajaran hukum yang berkuasa!

(55)
Namun demikian, meski engkau tetap mempertahankan doktrin palsu itu, yang telah ditentukan dalam ajaran sektemu secara jelas, maka bukan aku yang harus disalahkan atas kematian kera itu, karena aku mengikuti peraturan yang diajarkan di dalam ajaranmu.”

Maka dengan cara ini, Sang Mahātmā menaklukkan para menteri itu dengan serangan yang kuat, meskipun mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap para majelis, terlepas dari rasa tidak tahu malu mereka. Dan ketika dia mengerti bahwa dia telah memenangkan pertemuan dengan raja, dia ingin menghilangkan kesedihan yang ada di hati mereka karena pembunuhan kera itu. Bodhisattva berbicara kepada raja, mengatakan: “Sebenarnya, Yang Mulia, aku tidak pernah membunuh makhluk hidup apapun. Aku menggunakan kesaktianku. Kulit ini berasal dari kera yang kuciptakan sendiri untuk pembicaraan ini. Karena itu, jangan keliru dalam menilaiku.” Demikianlah, dia menghilangkan ilusi (kulit kera) yang dia buat sendiri dengan kesaktiannya. Kemudian, melihat bahwa raja dan para majelisnya sudah siap untuk menerima ajaran baru, dia berkata:

(56)
“Siapakah, yang mengetahui bahwa semua hal berasal dari sebab-sebab; yang mengetahui bahwa dirinya bertindak atas kehendak bebasnya; yang percaya bahwa ada kehidupan lain setelah ini; yang mempertahankan prinsip-prinsip yang benar; yang menghargai welas asih – dapat membunuh makhluk hidup apa pun?

Pertimbangkanlah, wahai putra yang agung.

(57)
Bagaimana mungkin seseorang yang percaya pada ajaran kebenaran yang rasional dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak akan dilakukan oleh penyangkal kausalitas, atau orang yang percaya pada ketergantungan mutlak, atau para materialistis, atau pengikut ajaran perpolitikan, demi sedikit kemuliaan?

(58)
Keyakinan seseorang, baik yang benar maupun yang salah, merupakan motif yang mendorongnya untuk melakukan tindakan yang sesuai dengannya. Karena orang-orang menunjukkan prinsip-prinsip keyakinan mereka melalui ucapan dan tindakan mereka, karena tujuan mereka selaras dengan tindak-tanduk yang sudah ditetukan oleh keyakinan mereka

(59)
Dan untuk alasan inilah pengetahuan yang baik harus dihargai, sedangkan pengetahuan yang buruk harus ditinggalkan, karena itu adalah sumber malapetaka. Seseorang harus menempuhnya dengan cara ini: berkawan dengan yang bajik, tetapi menjauhkan diri dari yang jahat.

(6o)
Pernah ada para pertapa – yang lebih tepat disebut asura – mengembara dengan jubah pertapa, tetapi tidak menundukkan indra mereka. Merekalah yang merusak orang-orang awam dengan pandangan salah mereka, seperti ular yang menyebabkan kerusakan melalui racunnya.

(61)
Suara-suara yang sumbang dari para penganut doktrin non-kausalitas dan lainnya, mengungkapkan sifat asli mereka, seperti para serigala yang memperlihatkan diri melalui lolongan mereka sendiri. Untuk alasan inilah, orang yang bijak seharusnya tidak bergantung pada orang-orang yang seperti itu, lebih baik memedulikan kebaikan mereka sendiri, jika dia memiliki kemampuan untuk melakukannya.

(62)
Tiada seorang pun, betapapun termasyhur kejayaannya di dunia, yang patut berteman dengan orang yang tidak layak, bahkan demi kepentingannya sendiri. Bahkan bulan pun kehilangan keindahannya ketika digelapkan oleh musim dingin yang muram.

(63)
Oleh karena itu, hindarilah berkawan dengan orang-orang yang menghindari kebajikan dan datangilah mereka yang tahu cara mengembangkan kebajikan. Buat kemuliaanmu bersinar dengan membuat rakyat-rakyatmu mencintai kebajikan dan melenyapkan kesenangan mereka terhadap hal-hal buruk.

(64)
Dengan mematuhi Dharma, engkau membuat sebagian besar rakyat-rakyatmu berperilaku baik dan tetap pada jalan yang mengarah ke alam yang lebih tinggi. Sekarang engkau harus melindungi rakyat-rakyatmu dan mengerahkan upayamu untuk tujuan ini. Dengan demikian, pergilah kepada Dharma; aturan kedisiplinannya (vinaya) membuat jalannya indah.

(65)
Sucikan perilaku moralitas (śīla), muliakan dirimu sebagai seorang dermawan, arahkan pikiran cinta kasihmu kepada orang-orang asing, seolah-olah mereka adalah kerabatmu sendiri, dan semoga engkau memerintah di atas tanahmu untuk waktu yang lama dengan kebenaran dan ketaatan yang tidak terputus terhadap tugas-tugasmu! Dengan cara inilah engkau akan memperoleh kebahagiaan, kemuliaan, dan kelahiran yang lebih tinggi.

(66)
Jika dia gagal melindungi para petani, para pembayar pajaknya, baik petani maupun peternak, mereka yang bagaikan pohon berlimpah bunga dan buah; seorang raja akan mendapatkan kesulitan sehubungan dengan hasil panennya.

(67)
Jika dia gagal melindungi mereka yang hidup dengan berjual beli barang, pedagang, dan penduduk kota, yang memuaskannya dengan membayar pajak, seorang raja akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri sehubungan dengan harta kekayaannya.

(68)
Demikian juga seorang pangeran yang mengeluhkan pasukannya dengan tanpa alasan, gagal untuk menghormatinya, dan mengabaikan pasukan militernya yang telah menunjukkan keberanian mereka di medan perang dan ahli dalam persenjataan, tentu saja raja seperti itu akan ditinggalkan oleh kemenangan dalam pertempuran.

(69)
Dengan cara yang sama, seorang raja yang menodai perilakunya dengan mengabaikan orang-orang bajik, unggul dalam moralitas atau pengetahuan maupun kekuatan supranatural (yoga) dan gemilang dalam mengamati batin, akan kehilangan kegembiraannya di alam surga.

(70)
Seperti orang yang memetik buah mentah, membunuh benih tanpa mendapatkan sarinya, demikian pula seorang raja yang menaikkan upeti secara tidak sah, menghancurkan negaranya tanpa memperoleh keuntungan dari mereka.

(71)
Di sisi lain, bagai pohon yang berkelimpahan sifat-sifat unggul, memberikan kenikmatan buahnya saat matang; maka dengan cara yang sama sebuah negara, yang dilindungi dengan baik oleh penguasanya, memberikan ajaran kebenaran, kemakmuran dan kesenangan.

(72)
Dekatkanlah dirimu dengan para pelayan yang setia, pandai dan bijaksana dalam memajukan kebaikanmu, juga teman-teman yang jujur, serta keluargamu, ikatlah hati mereka dengan kata-kata yang menyenangkan dan sanjunglah mereka melalui pemberianmu.

(73)
Oleh sebab itu, biarkanlah Dharma selalu menjadi pedoman tindakanmu, dengan pikiran yang tertuju untuk melindungi keselamatan rakyat-rakyatmu. Semoga engkau, sembari melindungi rakyat-rakyatmu dengan menegakkan keadilan yang bebas dari keberpihakan dan kebencian, juga melindungi seluruh dunia ini untuk dirimu!”

Demikianlah Sang Mahātmā menuntun sang raja untuk menjauhi jalan yang salah berupa ajaran-ajaran palsu dan mengarahkan raja beserta pengikutnya ke Jalan Mulia. Setelah itu dia langsung melayang ke angkasa, dihormati oleh para hadirin dengan kepala tertunduk hormat dan tangan tertangkup, dan kembali ke kediamannya di dalam hutan.

Maka dengan cara inilah, welas asih yang dirasakan oleh para bajik kepada penyokongnya tidak akan berkurang, meskipun ada luka yang terjadi pada mereka. Demikianlah rasa syukur mereka yang telah menyerap kesabaran. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Mempertimbangkan demikian, seseorang tidak boleh melupakan kebaikan sebelumnya karena hal yang sepele.

Juga, ketika berkhotbah tentang Sang Buddha, dapat dikatakan: “Dengan cara inilah Bhagavā, bahkan sebelum Beliau mencapai Kebijaksanaan Tertinggi, telah mengalahkan ajaran-ajaran guru lain dan mengajarkan Kebenaran.”

Selanjutnya, ketika mencela ajaran yang salah atau sebaliknya ketika memuji keyakinan yang benar, cerita ini harus ditambahkan, dengan mengatakan: “Dengan cara ini ajaran palsu tidak dapat memberikan penjelasan yang kuat, karena tidak memiliki dukungan, dan harus dihindari.”


[Kembali ke daftar isi]