Jātakamālā 26 – Rurujātakam
(Kisah Rusa Ruru)

Jātakamālā 26 – Rurujātakam
(Kisah Rusa Ruru)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Bukan penderitaan mereka sendiri, melainkan penderitaan orang lain yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang bajik, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika, Bodhisattva tinggal di hutan sebagai seekor rusa ruru. Dia tinggal di bagian terpencil di dalam hutan belantara yang luas, jauh dari wilayah manusia dan tempat itu ditumbuhi vegetasi yang kaya dan beraneka ragam. Ada sejumlah besar pohon sāla, bakula, piyāla, hintāla, tamāla, naktamāla, vidula dan nicula, alang-alang dan semak belukar; semak-semak śimśapā, tiniśa, śamī, palāśa, śāka, dari rumput-kuśa, bambu dan alang-alang yang menghalanginya; kadamba, sarja, arjuna, dhava, khadira, dan kuṭaja berlimpah di dalamnya; dan dahan-dahan banyak pohon yang terbentang seolah-olah ditutupi oleh selubung dengan sulur-sulur tanaman merambat yang beraneka ragam.

Hutan itu adalah tempat tinggal bagi banyak hewan liar: rusa dari jenis ruru, pṛṣata dan sṛmara, yak, gajah, lembu gavaya, kerbau, antelop dari hariṇa dan jenis nyaṅku, babi hutan, macan kumbang, hyena, harimau, serigala, singa, beruang, dan lain-lain.

Di antara mereka, rusa ruru itu tampak menarik perhatian dengan ronanya yang cemerlang seperti emas murni dan bulu-bulu tubuhnya yang sangat lembut, berhiaskan oleh kilauan tutul-tutul dengan warna indah yang beragam, bersinar seperti batu rubi, safir, zamrud, dan beryl. Dengan mata birunya yang besar, dengan kelembutan dan kecerahan wujudnya yang tak tertandingi, dengan tanduk dan kukunya yang diberkahi dengan kemegahan yang menawan, seolah-olah terbuat dari batu permata, rusa ruru dengan keindahan yang luar biasa itu memiliki penampilan seperti harta permata yang hidup.

Mengetahui bahwa dirinya adalah objek yang sangat diinginkan, juga menyadari sifat manusia yang kejam, ia seringkali melewati jalur hutan yang tidak diketahui oleh manusia. Berkat kecerdasannya yang tajam, dia berhati-hati untuk menghindari tempat-tempat seperti itu karena merasa tidak aman oleh pemburu lihai, perangkap bagi mereka, jaring, jerat, lubang, ranting kapur, dan benih serta makanan lain yang mereka taburkan. Selain itu, ia juga memperingatkan hewan-hewan yang mengikutinya untuk menghindari mereka. Dia menjalankan kepemimpinan bagai seorang guru dan seorang ayah.

(1)Tidakkah makhluk di mana pun di dunia ini yang mendambakan kebahagiaan, akan menghormati keindahan luar biasa yang berpadu dengan kecerdasan unggul dan perilaku yang sedemikian bajik?

Suatu ketika, Sang Mahātmā, yang berdiam di bagian hutan yang liar itu, mendengar suara teriakan minta tolong dari seseorang yang terbawa arus sungai deras yang di dekatnya yang meluap karena hujan.

(2) “Aliran air yang deras dan meluap membawaku, dan tidak ada seorang pun yang membantu, juga tidak ada kapal yang akan membawaku. Datanglah padaku, wahai orang-orang yang berbelas kasih; datanglah dengan cepat untuk menyelamatkan orang yang malang ini!

(3) Lenganku sudah letih, tidak mampu lagi untuk menahan tubuhku lagi di atas air, juga tidak ada tempat yang bisa kutemukan untuk menyeberang. Bantulah aku segera! Tidak ada waktu lagi untuk berlama-lama!”

Tangisan kesedihan yang menyedihkan ini menyambar Bodhisattva, sehingga merasa terluka di dalam hatinya. Dia bergegas keluar dari semak-semak, mengucapkan kata-kata penghiburan yang biasa dia gunakan dalam ratusan kehidupan sebelumnya untuk menghilangkan rasa takut, kesedihan, dan kelelahan. Maka demikianlah dia berseru, “Jangan takut! jangan takut!” dengan suara manusia biasa secara berulang kali dan keras. Keluar dari hutan, dia melihat orang itu dari jauh, seperti pemberian berharga yang dibawa kepadanya oleh aliran sungai.

(4) Kemudian, bertekad untuk menyelamatkannya tanpa memikirkan risiko bagi hidupnya sendiri, dia memasuki sungai yang mengalir dengan kecepatan luar biasa itu, seperti seorang pejuang berani yang menghalau pasukan musuh.

(5) Dia menempatkan dirinya di seberang, lalu menyuruh pria itu untuk berpegang erat padanya. Pria itu, yang berada dalam ketakutan yang luar biasa dengan tubuh yang hamper kehilangan kekuatan, yang tenaganya telah habis, naik ke punggungnya.

(6) Meskipun dia ditunggangi oleh pria itu dan arus yang begitu deras, keluhuran rusa yang luar biasa itu memberinya kekuatan, dan dia berhasil mencapai tepi sungai sesuai dengan harapan manusia itu.

(7) Setelah membawa orang itu ke tepi sungai, menghilangkan keletihan dan rasa sakitnya, ia memperoleh kebahagiaan yang sangat besar atas perbuatan baik ini. Ia kemudian menghangatkan anggota tubuh pria yang kedinginan itu dengan tubuhnya sendiri, lalu meninggalkannya. “Pergilah,” katanya, sembari menunjukkan jalan.

Sifatnya yang luar biasa untuk memberikan bantuan, yang bahkan tidak tertandingi oleh hubungan pertemanan yang mendalam sekalipun, dengan cepat menyentuh perasaan pria tersebut. Wujud rusa ruru yang indah membangkitkan kekaguman dan rasa hormatnya. Sambil menundukkan kepalanya, dia menyapanya dengan kata-kata yang baik seperti ini:

(8-10) “Tidak ada teman masa kecil maupun kerabat yang mampu melakukan perbuatan seperti yang telah engkau lakukan untukku. Oleh karena itu, hidupku ini adalah milikmu.

Jika itu digunakan untuk kepentinganmu, betapapun kecilnya, aku akan merasa sangat terhormat.

Maka, berikanlah aku perbuatan baik itu dengan memintaku untuk melakukan sesuatu bagimu, dalam hal apa pun Yang Mulia anggap cocok untuk dilaksanakan olehku.

Sebagai jawaban atas hal ini, Bodhisattva menjawab persetujuan:

(11) “Aku sama sekali tidak mempertanyakan rasa syukur di dalam diri seorang pria terhormat, karena sifat ini merupakan kebenaran. Tetapi melihat kerusakan dunia, bahkan rasa syukur pun dianggap sebagai kebajikan yang besar.

Untuk alasan inilah, aku meminta hal ini kepadamu. Biarlah sifat bersyukurmu tidak mendorongmu untuk memberi tahu kepada siapapun bahwa engkau telah diselamatkan oleh seekor hewan yang luar biasa. Sosok yang cantik membuatku sangat diinginkan sebagai buruan. Lihatlah, karena ketamakan yang besar di hati manusia, mereka memiliki welas asih maupun pengendalian diri yang sedikit.

(12) Oleh karena itu, jagalah kebajikanmu dan kehidupanku dengan baik. Mengkhianati seorang teman tidak akan membawa kebahagiaan.

Jangan mempersulit pikiranmu dengan kemarahan karena aku telah berbicara demikian kepadamu. Aku hanyalah seekor rusa yang tidak terampil dalam tata bicara manusia yang penuh tipu daya. Lebih jauh lagi,

(13) Mereka yang pandai dan berbakat dalam berpura-pura jujur membuat orang-orang yang tulus menjadi dicurigai.

Maka, engkau akan menyenangkanku hanya dengan melakukan apa yang aku minta.” Dan pria itu berjanji untuk melakukannya. Setelah membungkuk kepada Bodhisattva dan mengelilinginya, dia pulang ke rumahnya.

Kemudian, pada saat itu, hiduplah seorang ratu di negara itu yang melihat ramalan dari mimpi. Apapun mimpi-mimpi luar biasa yang muncul dalam tidurnya terwujud. Suatu kali, saat sedang tertidur dia bermimpi tentang fajar. Dia melihat seekor rusa ruru dengan kecemerlangan yang gemerlap, bersinar seperti kumpulan permata dari segala jenis, berdiri di atas takhta dan dikelilingi oleh raja dan para majelisnya, mengkhotbahkan Dharma dengan suara manusia dengan suara yang jelas dan nyata. Terpesona dengan keheranan, dia terbangun oleh suara pukulan gendang yang membangunkan suaminya dari tidur. Dia mengambil kesempatan pertama untuk pergi menemui raja, yang dengan baik hati menerimanya tidak hanya dengan kehormatan yang pantas dia terima, tetapi juga dengan cinta kasih yang tulus.

(14) Dia, yang matanya yang cerah membesar karena rasa takjub dan pipinya yang indah gemetar karena gembira, memberi tahu tuannya mengenai mimpi yang luar biasa itu sebagai hadiah penghormatan.

Ketika dia menceritakan mimpi indahnya kepada raja, dia menambahkan permintaan yang sungguh-sungguh ini:

(15) “Oleh karena itu, tuanku, kumohon dapatkanlah rusa itu. Dihiasi dengan rusa permata ini, istanamu akan semegah langit dengan gugusan rusa.”

Raja, yang melalui pengalamannya memercayai penglihatan dalam mimpi istrinya, dengan mudah menyetujui keinginannya. Hal itu dilakukan sebagian agar dia dapat melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi sang ratu, sebagian karena ketamakannya sendiri untuk mendapatkan rusa permata itu. Maka, dia memerintahkan semua pemburunya untuk mencari rusa itu, dan mengumumkan pernyataan ini di ibu kotanya hari demi hari:

(16) “Ada seekor rusa berkulit emas dan bertutul dengan berbagai warna bersinar bagai ratusan permata. Ia dimuliakan dalam teks-teks suci, dan beberapa orang telah melihatnya. Siapa pun yang dapat menunjukkan rusa itu kepadanya, sang raja akan memberikan sebuah desa yang sangat kaya dan sepuluh wanita cantik.”

Sekarang pria itu (yang telah diselamatkan oleh Bodhisattva) mendengar pernyataan itu berulang kali.

(17) Karena dia miskin, pemikiran tentang penderitaan akibat kemiskinan melanda hatinya, tetapi di sisi lain dia mengingat bantuan besar yang telah dia terima dari rusa ruru. Bimbang oleh nafsu dan rasa syukur, dia terbawa ke dua arah seperti dalam ayunan pertimbangan yang berbeda seperti ini:

“Kalau begitu, apa yang harus kulakukan sekarang? Haruskah aku mengindahkan kebajikan atau kekayaan? Haruskah aku lebih menepati janji kepada penolongku, daripada menepati kewajiban menopang keluargaku? Manakah yang harus kuhargai dengan lebih tinggi, kehidupan selanjutnya atau kehidupan ini? Manakah yang harus kuikuti, perilaku orang berbudi atau keduniawian? Haruskah aku mengejar kekayaan daripada kebajikan yang dipuji oleh orang-orang berbudi? Apakah lebih baik memikirkan waktu saat ini atau setelahnya?”

Akhirnya pikirannya yang dikuasai oleh ketamakan sampai pada kesimpulan ini. “Jika aku memperoleh kekayaan besar,” demikian dia berpikir, “Aku akan dapat menghormati kerabat-kerabat dan teman-temanku, para tamu, dan para pengemis; Aku tidak hanya akan mendapatkan kesenangan di kehidupan ini ini, tetapi juga kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.”

Setelah memutuskan demikian, mengabaikan jasa baik rusa ruru, dia menghadap raja dan berkata: “Yang Mulia, aku mengetahui rusa yang luar biasa itu dan tempat tinggalnya. Kumohon beri tahu aku kepada siapa aku harus menunjukkannya.” Mendengar ini, sang raja dengan sangat gembira menjawabnya, “Baiklah, teman, tunjukkanlah dia kepada diriku sendiri,” dan mengenakan pakaian berburunya meninggalkan ibukota, ditemani oleh sejumlah besar pasukannya.

Dipandu oleh pria itu, sang raja pergi ke tepi sungai tersebut. Kemudian dia mengelilingi hutan yang membatasinya dengan seluruh pasukannya, tetapi sang raja sendiri membawa busurnya, mengenakan pelindung jarinya dan dikelilingi oleh sejumlah pria yang teguh dan setia, memasuki semak-semak, sembari ditunjukkan jalan oleh pria itu. Saat mereka melanjutkan perjalanan, pria yang menemukan rusa ruru yang tinggal di hutan itu dengan tenang dan tanpa curiga, menunjukkannya kepada raja, berseru: “Ini, inilah rusa yang berharga itu, Yang Mulia. Semoga Yang Mulia berkenan untuk melihatnya dan berhati-hati.”

(18) Sambil berkata demikian, dia mengangkat tangannya, bersemangat untuk menunjuk ke arah rusa, namun tangannya terjatuh dari lengannya, seolah-olah telah dipotong oleh pedang.

(19) Sungguh, ketika dihadapkan kepada sosok yang dimuliakan oleh tindakan luar biasanya, perbuatan sesesorang langsung berbuah, memberikan konsekuensinya dan hanya ada sedikit untuk mengimbanginya.

Kemudian raja, merasa penasaran ingin melihat rusa ruru, membiarkan matanya melihat jalan yang ditunjukkan oleh pria itu.

(20) Dan di tengah-tengah hutan itu, gelap seperti awan yang baru terbentuk, ia melihat sesosok tubuh bersinar dengan kilau harta permata, dan melihat rusa itu, yang dihargai oleh sifat-sifatnya yang termasyhur. Begitu juga kilat muncul dari awan yang gelap.

(21) Terpesona oleh keindahan sosoknya, sang raja, yang sangat ingin menangkapnya, segera menarik busurnya, membuat anak panah itu menggigit talinya dan meluncur ke arah rusa ruru untuk mengenainya.

Tetapi Bodhisattva, ketika mendengar suara orang-orang di setiap sisi, menyimpulkan bahwa dia pasti telah dikepung. Setelah melihat raja tiba dan siap untuk menembakkan panahnya ke arahnya, dia mengerti sudah tidak ada kesempatan untuk melarikan diri. Kemudian dia mengucapkan bahasa dengan artikulasi yang jelas, berbicara kepada raja dengan suara manusia.

(22-23) “Berhentilah sebentar, wahai putra mahkota yang perkasa! Janganlah menyerangku, wahai pahlawan di antara manusia! Kumohon, pertama-tama penuhilah rasa ingin tahuku, dan beri tahu aku. Siapakah yang telah menunjukkan tempat tinggalku kepadamu, yang jauh dari tempat para manusia. Siapakah yang mengatakan bahwa rusa seperti aku tinggal di semak belukar ini?”

Raja, tersentuh oleh ucapan dengan suara manusia yang indah ini, menjadi semakin tertarik kepadanya, menunjuk pria itu dengan ujung panahnya. “Pria ini,” katanya, “yang telah mengungkapkan pribadimu yang sangat luar biasa kepada kami.” Bodhisattva mengetahui pria itu, berbicara dengan nada kekecewaan: “Sungguh disayangkan!

(24, 25) Ada sebuah pepatah yang berbunyi ‘lebih baik mengambil sebatang pohon dari aliran sungai yang deras daripada menyelamatkan seseorang yang tidak tahu berterima kasih yang sedang tenggelam.’ Dengan cara inilah ia mengembalikan kebaikan yang telah kulakukan kepadanya!

Bagaimana mungkin dia tidak melihat bahwa dia juga menghancurkan kebahagiaannya sendiri pada saat yang sama?”

Sekarang raja, karena rasa ingin tahu apa yang membuatnya dicela, bertanya kepada rusa ruru:

(26, 27) “Saat mendengar engkau mencela seseorang, tanpa menangkap arti dari kata-katamu yang tidak jelas dan tanpa mengetahui tentang siapa engkau mengucapkannya, pikiranku agak khawatir.

Oleh karena itu, katakan padaku, wahai rusa yang luar biasa, siapakah dia yang engkau bicarakan?

Apakah itu manusia atau roh, burung atau mungkin binatang hutan yang lain?”

Bodhisattva berbicara:

(28) “Tiada keinginan untuk menyalahkan yang mendorong diriku, wahai raja, untuk mengutarakan ucapan ini. Tetapi menyadari tindakan yang patut disalahkan ini, aku mengucapkan kata-kata tajam ini untuk mencegah dia mencoba melakukan hal seperti itu lagi.

(29) Karena siapakah yang ingin menggunakan bahasa kasar kepada mereka yang telah melakukan kesalahan, menaburkan garam di atas luka kesalahan mereka? Bahkan kepada anak kesayangannya sendiri, seorang dokter harus melakukan pengobatan untuk penyakitnya.

(30) Tergerak oleh welas asihku, ia kuselamatkan ketika sedang terbawa oleh arus. Namun kemudian ia menyebabkan bahaya ini muncul kepadaku. Sungguh, berkawan dengan orang yang jahat tidak mendatangkan kebahagiaan.”

Kemudian sang raja, dengan tatapan tegas yang menunjukkan celaan keras kepada pria itu, bertanya kepadanya: “Sesungguhnya, apakah engkau sebelumnya telah diselamatkan dari kesusahan itu oleh rusa ini?” Dan pria itu, yang wajahnya pucat pasi dan berkeringat karena ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan, menjawab dengan rasa malu dan suara yang pelan: “Ya, betul.” Kemudian raja mencerca dengan berseru: “Tercelalah dirimu!” dan menempatkan panah di tali busur, dia melanjutkan: “Jangan menganggap hal ini sepele!

(31) Dia yang hatinya tidak dapat dilunakkan oleh upaya penyelamatan seperti yang telah dilakukan kepadamu, merupakan perwakilan makhluk keji dan membawa aib. Mengapa pria yang paling rendah ini perlu hidup lebih lama?”

Dengan kata-kata ini dia menggenggam busurnya dan menarik anak panah untuk membunuhnya. Tetapi Bodhisattva, dipengaruhi oleh welas asihnya yang besar, menempatkan dirinya di antara mereka berdua dan berkata kepada raja: “Berhentilah, Yang Mulia! Berhenti, jangan menyakiti seseorang yang telah tersakiti!

(32) Ketika dia menuruti bujukan yang salah dari musuhnya yang disebut ketamakan, pada saat itu juga dia pasti mengalami kehancuran; baik di kehidupan ini karena kehilangan nama baiknya, maupun di kehidupan selanjutnya karena kebajikannya telah hancur.

(33) Dengan cara inilah, ketika kesehatan pikiran mereka telah memudar akibat penderitaan yang tak tertahankan, manusia jatuh ke dalam malapetaka, terpikat oleh harapan untuk menjadi kaya seperti ngengat bodoh yang tertarik pada cahaya yang bersinar.

(34) Oleh karena itu, engkau harus lebih mengasihaninya dan menahan amarahmu. Dan jika dia ingin mendapatkan sesuatu dengan bertindak demikian, jangan biarkan dia melakukan perbuatannya yang gegabah yang tidak bermanfaat itu. Karena lihatlah, aku berdiri di sini dengan kepala tertunduk untuk menunggu perintahmu.”

Keinginan yang penuh pemaafan dan tulus untuk menghargai seseorang, bahkan kepada orang yang telah memperlakukannya dengan buruk sekalipun, membuat sang raja terkejut. Ia berubah pikiran, dan memandang rusa ruru dengan hormat, berseru: “Ucapan yang bagus, sungguh ucapan yang bagus, wahai makhluk suci.

(35) Sesungguhnya, menunjukkan pemaafan seperti itu kepada dia yang jelas telah berbuat jahat kepadamu, menunjukkan bahwa engkaulah yang sesungguhnya memiliki sifat-sifat manusia, sedangkan kami hanya sekadar berwujud manusia.

(36) Selanjutnya, karena engkau menganggap penjahat ini patut diselamatkan, dan karena dia telah menjadi penyebabku melihat seseorang yang berbudi luhur, aku akan memberinya kekayaan yang dia idamkan dan memberi izin kepadamu untuk datang dan pergi dengan bebas di kerajaan ini, ke mana pun engkau mau.”

Rusa ruru berkata: “Aku menerima anugerah kerajaan ini, wahai raja yang termasyhur, yang telah diberikan dengan tidak sia-sia. Karena itu, berilah aku perintahmu, agar pertemuan kita di sini memberimu keuntungan dan agar aku berguna bagimu.” Kemudian raja menyuruh rusa ruru itu untuk menaiki kereta kerajaannya, memujanya seperti gurunya, dan membawanya dengan penuh kemegahan ke ibu kotanya. Dan setelah memberinya penerimaan sebagai seorang tamu dan mengundangnya untuk menempatkan dirinya di atas takhta kerajaan, dia bersama istri-istrinya dan seluruh pengiring perwiranya memintanya untuk memberi khotbah Dharma, dan menatapnya dengan ekspresi kegembiraan bercampur rasa hormat, memohon kepadanya dengan cara ini:

(37) “Orang-orang mengatakan banyak hal berbeda tentang Dharma; sedangkan engkau memahami Dharma sepenuhnya dengan jelas. Oleh karena itu, berkenanlah untuk memberikan khutbah Dharma kepada kami.”

Setelah itu Bodhisattva membuka suaranya dan membabarkan Dharma kepada raja dengan majelis kerajaannya dengan kata-kata yang diucapkan dengan jelas, dengan nada yang lembut dan tertata dengan anggun.

(38) “Inilah Dharma, beserta dengan seluruh bagian dan subbagiannya, juga seluruh aturan dan sila: jauhkanlah diri dari membunuh, mencuri, dan sebagainya. Dan inilah yang kuyakini sebagai ringkasannya, yakni ‘berwelas asih kepada semua makhluk’.

(39) Jika welas asih kepada semua makhluk membuat manusia menganggap makhluk lain seperti diri mereka atau keluarga mereka sendiri, siapakah yang hatinya akan menuruti keinginan buruk untuk melakukan kejahatan?

(40) Tetapi kurangnya welas asih adalah penyebab masalah terbesar bagi manusia, karena hal itu merusak tindakan dari pikiran, ucapan, dan jasmani mereka terhadap keluarga mereka tak kurang seperti terhadap orang asing.

(41) Untuk alasan inilah dia yang berjuang dalam kebenaran harus menjaga welas asih, yang akan menghasilkan keuntungan yang kaya. Sungguh, welas asih melahirkan kebajikan, seperti hujan yang membuat tumbuhan dapat berbuah.

(42) Welas asih, yang menguasai pikiran seseorang, menghancurkan hasrat di dalam hatinya untuk melukai sesama; dan pikirannya murni, baik ucapan maupun jasmaninya tidak akan tercela. Kecintaannya terhadap kebaikan kepada sesama selalu meningkat dan menjadi sumber dari banyak kebajikan lainnya: kemurahan hati, kesabaran, dan sebagainya, yang diikuti oleh kegembiraan pikiran dan reputasi baik.

(43) Karena ketenangannya, orang yang berwelas asih tidak menimbulkan ketakutan dalam pikiran orang lain. Karena welas asihnya, setiap orang akan menganggapnya sebagai orang yang dapat dipercaya, seolah dia adalah saudara mereka sendiri. Tidak ada gejolak nafsu yang akan menguasai dia yang hatinya telah diteguhkan oleh welas asih, dan juga tidak ada api kemarahan yang berkobar di dalam pikirannya yang sejuk bagai air, berkat welas asih.

(44) Apa lagi yang perlu kujelaskan? Untuk alasan inilah orang bijak sangat percaya bahwa seluruh kebanaran terkandung di dalam welas asih. Kebajikan apa, yang dipuji oleh orang-orang berbudi, yang bukan merupakan akibat dari welas asih? Dengan mengingat hal ini, bertekadlah untuk selalu memperkuat welas asihmu kepada semua orang, menganggap mereka seperti putramu sendiri, seperti dirimu sendiri; dan senangkanlah hati rakyatmu melalui tindakan bajik. Semoga engkau memuliakan kerajaanmu!”

Kemudian raja memuji kata-kata rusa ruru ini, dan bersama dengan penduduk kota maupun penghuninya bertekad untuk berperilaku sesuai dengan Dharma. Dan raja memberikan keamanan kepada semua hewan berkaki empat maupun burung.

Dengan cara inilah, maka, bukan penderitaan mereka sendiri, melainkan penderitaan orang lain yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang bajik.

[Kisah ini juga harus diceritakan ketika berceramah tentang welas asih, dan dapat dikemukakan ketika memperlakukan orang-orang yang berbudi luhur, juga ketika mencela orang-orang yang jahat.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *