Jātakamālā 25 – Śarabhajātakam
(Kisah Sang Śarabha)

Jātakamālā 25 – Śarabhajātakam
(Kisah Sang Śarabha)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Ia menunjukkan welas asih yang besar, bahkan kepada mereka yang mencoba menyakiti hidupnya, sekalipun ia sedang berada dalam kesulitan. Mereka tidak akan mengabaikan hal seperti itu. Inilah yang akan diajarkan berikut ini.

Suatu ketika, dikisahkan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai seekor śarabha yang tinggal di bagian terpencil dari sebuah hutan. Wilayah itu ― terletak di luar jalur dan jauh dari kebisingan manusia ― adalah tempat tinggal berbagai suku hewan hutan. Banyak akar, pohon, dan semak-semak terbenam di dalam rerumputan tebal dan tinggi yang menutupi tanahnya, tidak terinjak oleh para pengelana dan tidak menunjukkan jejak kendaraan maupun kereta di mana pun, di mana langkah kaki atau gerak roda kendaraan mungkin telah terhalangi sesuatu seperti jalan atau perbatasan; namun, jalan itu berpotongan dengan saluran sungai dan penuh dengan sarang semut serta lubang.

Śarabha itu memiliki tubuh yang kokoh, diberkahi dengan kekuatan, semangat, dan kecepatan; unggul oleh warna kulitnya yang indah. Karena ia sangat tekun mempraktikkan welas asih, ia menumbuhkan perasaan cinta kasih terhadap semua hewan. Berpuas hati, ia hanya hidup dari rumput, dedaunan dan air, dan menyukai kediamannya di hutan. Demikianlah dia menghiasi bagian hutan itu, bagai seorang yogi yang ingin melepaskan diri sepenuhnya dari keduniawian.

(1)
Meskipun berwujud binatang hutan, ia memiliki kapasitas intelektual seorang manusia. Ia tinggal di dalam hutan belantara yang sunyi itu, menunjukkan welas asih kepada semua makhluk hidup bagai seorang pertapa, dan memuaskan dirinya sendiri dengan bilah-bilah rumput seperti seorang yogi

Suatu ketika raja yang menjadi penguasa negeri itu datang mendekati tempat itu, duduk di atas kudanya yang luar biasa, memegang busur dan anak panah di tangannya. Karena ingin mencoba keterampilan senjatanya dalam berburu, dia mengejar rusa dengan cepat dan memanjakan diri dalam kegembiraan (berburu). Maka dia dibawa oleh kudanya, seekor binatang dengan kecepatan luar biasa, dan dipisahkan oleh jarak yang tidak jauh dari pengiringnya, sekelompok gajah, kuda, kereta, dan pelayan. Begitu dia melihat sang Bodhisattva dari jauh, dia berniat untuk membunuhnya, dan mempersiapkan busurnya dengan anak panah tajam, memacu kudanya untuk mengejar Sang Mahātmā. Tetapi Bodhisattva segera menyadari bahwa raja sedang menunggang kuda untuk menyerangnya, dan dia langsung melarikan diri dengan sangat cepat; bukan karena dia tidak berdaya untuk berdiri dan melawan pemburunya, tetapi karena dia telah berhenti dari tindak kekerasan dan kemarahan.

Saat dikejar oleh raja, dia bertemu dengan lubang besar di depan jalan dan dengan cepat melompati lubang itu, seolah-olah itu adalah genangan air yang kecil, dan melanjutkan pelariannya. Ketika kuda yang luar biasa itu, berlari mengejar śarabha ke arah yang sama secepat yang dia bisa, tiba depan di lubang itu, dia ragu-ragu untuk mengambil risiko melompat, dan tiba-tiba berhenti.

(2)
Kemudian raja, sebagaimana adanya, dengan busur di tangannya, jatuh dari punggung kuda dan jatuh tertelungkup ke dalam lubang besar, seperti pejuang Daitya yang tenggelam ke dalam Laut.

(3)
Matanya hanya terpaku kepada śarabha, sehingga dia tidak memperhatikan jurang itu. Maka dia jatuh karena kelalaiannya, karena dia kehilangan keseimbangan saat kudanya berhenti tiba-tiba dari kecepatannya yang luar biasa.

Sekarang, suara langkah kaki terhenti dan Bodhisattva mulai berpikir: “Apakah raja itu telah berbalik arah?” Kemudian, dia menoleh dan melihat ke belakang, menemukan kuda tanpa penunggang berdiri di tepi jurang. Melihat hal ini, pikirannya beralih, “Tidak diragukan lagi, raja pasti telah jatuh ke dalam jurang ini. Tidak ada pohon di sini yang menyebarkan dedaunannya yang lebat, yang naungannya teduh sehingga mengundang untuk duduk dan beristirahat, juga tidak ada danau yang cocok untuk mandi, yang airnya sebiru dan semurni kelopak teratai biru.

Tentunya dia tidak mungkin memasuki wilayah hutan liar yang dihantui oleh binatang buas. Dia mungkin telah turun dan meninggalkan kudanya di suatu tempat, sehingga dia dapat beristirahat atau melanjutkan berburu sendirian. Di sini tidak ada lagi bagian hutan untuk dia bersembunyi. Tidak diragukan lagi, raja itu pasti telah jatuh ke dalam lubang ini.” Setelah dia meyakinkan dirinya sendiri akan hal ini, Sang Mahātmā merasakan simpati yang paling besar kepada raja yang sudah memburu nyawanya.

(4, 5)
“Tetapi akhir-akhir ini sang raja memiliki kenikmatan kerajaan, dipuja bagai raja para dewa oleh kerumunan orang yang memujanya dengan tangan tergenggam. Pasukannya mengikutinya, terdiri dari campuran besar kereta perang, penunggang kuda, pasukan darat, dan gajah, dihiasi dengan spanduk yang cerah, berkilauan dari baju besi dan senjata mereka, dan berbaris mengikuti irama lagu yang cepat.

Kepalanya diteduhi dengan payung yang indah, dan para pemuja yang mengipasinya yang memberikan keindahan dari kilauan pegangan (perhiasan) mereka.

(6)
Dan pada saat ini dia terbaring di bawah jurang yang besar ini. Guncangan saat dia terjatuh pasti telah mematahkan tulangnya, membuatnya pingsan atau mengerang sedih. Sungguh disayangkan! Betapa menderitanya dia saat ini!

(7)
Orang-orang biasa, yang sudah terbiasa menderita, tidak terlalu merasa menderita karena kemalangan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang berpangkat tinggi. Tetapi ketika para pengeran didatangi oleh kemalangan, mereka tenggelam dalam keputusasaan, karena mereka telah terbiasa dengan kenyamanan yang luar biasa.

Dia tidak akan pernah bisa mengeluarkan diri dari sana sendirian. Jika masih ada sisa kehidupan dalam dirinya, maka tidak benar meninggalkannya pada nasibnya.”

Maka Sang Mahātmā tergerak oleh welas asihnya pergi ke tepi jurang dan melihat dia sedang berjuang di sana. Baju besinya telah tertutup oleh debu, kehilangan kemegahannya; mahkota dan pakaiannya juga benar-benar sudah berantakan, dan rasa sakit yang disebabkan oleh benturan yang dia dapatkan saat jatuh juga menimpa pikirannya, dan membuatnya putus asa.

(8)
Setelah melihat raja dalam situasi yang menyedihkan itu, dia lupa bahwa manusia itu adalah musuhnya. Terbawa oleh rasa kasihan dan merasakan sakit yang sama dengannya; air mata menggenang di matanya.

(9)
Dan dia menyapanya dengan bahasa yang sederhana dan baik, menunjukkan watak bajiknya, menghiburnya dengan kata-kata yang tepat dan penuh hormat yang dia gunakan dengan suara yang jelas dan terdengar indah.

(10)
“Kuharap engkau tidak terluka, Yang Mulia, setelah jatuh ke jurang yang menyerupai neraka ini. Semoga anggota tubuhmu tidak ada yang patah. Apakah rasa sakitmu sudah berkurang?

(11)
Aku bukanlah asura, wahai manusia yang paling terhormat, aku adalah binatang hutan yang hidup di wilayahmu, dibesarkan di atas rumputmu dan airmu. Engkau boleh percaya kepadaku.

(12)
Jangan putus asa karena terjatuh ke dalam jurang. Aku memiliki kekuatan untuk menyelamatkanmu dari sana. Jika engkau menganggap aku dapat dipercaya, maka segera perintahkan aku dan aku akan datang.”

Ucapan hewan yang luar biasa ini membangkitkan kekaguman sang raja. Rasa malu muncul di benaknya dan dia mulai merenungkan hal ini:

(13)
“Bagaimana mungkin dia menunjukkan welas asihnya kepadaku, musuhnya, yang beberapa saat lalu baru saja menjadi buruanku? Dan bagaimana aku bisa bertindak begitu tidak pantas untuk makhluk yang tidak bersalah ini?

(14)
Ah! Betapa dia membuatku bingung dengan teguran tajam dari kelembutannya! Sesungguhnya akulah yang berperilaku bagai binatang, yang kasar, sedangkan dia adalah makhluk yang hanya berwujud śarabha.

Oleh karena itu, dia pantas untuk dihormati dengan penerimaanku atas tawaran persahabatannya.” Setelah memutuskan demikian, dia berkata:

(15-17)
“Tubuhku yang ditutupi oleh baju besi belum terluka terlalu parah, dan rasa sakit yang kurasakan karena terjatuh di jurang ini setidaknya masih bisa ditahan.

Namun, rasa sakit yang disebabkan oleh kejatuhanku tidak terlalu menyiksa seperti kesalahanku terhadap makhluk yang berhati murni dan suci seperti engkau.

Kuharap engkau tidak memasukkannya ke dalam hati, karena hanya mengandalkan wujud luarmu dan tidak menyadari sifat aslimu, aku menganggapmu sebagai binatang hutan.”

Kemudian śarabha, menyimpulkan bahwa raja menyetujui penawarannya dari kata-kata ramah tersebut, mengupayakan diri untuk menyelamatkannya, memikul sebongkah batu yang seberat manusia di punggungnya. Setelah mengetahui sejauh mana kekuatannya, ia bertekad untuk menyelamatkan raja, lalu turun ke dalam lubang dan mendekatinya, berbicara dengan nada hormat:

(18)
“Mari sentuh tubuhku ini, agar ― demi kebahagiaanku juga ― aku dapat membuat wajahmu berseri-seri dengan kepuasan dan kegembiraan.

Yang Mulia, berkenanlah untuk naik ke punggungku dan berpegangan erat padaku.” Dan raja, setelah menyatakan persetujuannya, menaiki punggungnya, seolah-olah itu adalah punggung kuda.

(19)
Kemudian, dengan raja di punggungnya, dia naik ke atas dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa, dan mengangkat bagian depan tubuhnya tinggi-tinggi, seperti ukiran kuda batu yang naik ke udara.

(20)
Setelah membawa raja keluar dari tempat yang tidak terjangkau itu dan membuatnya bertemu kembali dengan kudanya, śarabha sangat bersukacita dan memberitahukan jalan ke ibukotanya, dan dirinya sendiri bersiap untuk undur diri ke hutannya.

Tetapi raja, tergerak oleh rasa terima kasih atas pelayanan yang baik, yang diberikan dengan sangat rendah hati, memeluk śarabha dengan penuh cinta kasih, dan mengucapkan:

(21)
“Hidupku ini adalah milikmu, wahai śarabha. Oleh karena itu, tidak perlu mempertanyakan lagi bahwa semua yang ada di dalam kekuasaanku adalah milikmu. Berikanlah aku kesenangan dengan berkenan mengunjungi ibu kotaku, dan tinggallah di sana jika engkau menyukainya.

(22)
Bukankah tidak pantas bagiku jika aku pulang ke rumah sendirian, meninggalkanmu di hutan mengerikan yang dihantui oleh para pemburu, di mana engkau menderita karena dingin, panas, hujan, dan bencana lainnya?

Dengan demikian, marilah kita pergi bersama.”

Kemudian Bodhisattva memujinya dengan sopan, lembut dan penuh hormat, menjawab demikian:

(23)
“Bagi pecinta kebajikan seperti engkau, wahai manusia yang paling unggul, berperilaku sepertimu adalah tepat. Karena bagi orang-orang bajik, terus-menerus mempraktikkan kebajikan telah menjadi sifat penting baginya.

(24)
Tetapi aku tidak suka menetap di tempatmu, karena aku sudah terbiasa hidup di hutan ini. Kesenangan manusia adalah satu hal, dan kesenangan makhluk hutan adalah hal lainnya, sesuai dengan jenis mereka.

(25)
Namun, jika engkau ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan bagiku, berhentilah berburu untuk selama-lamanya. Binatang-binatang hutan yang malang, yang kasar dan bodoh, patut dikasihani karena alasan ini.

(26)
Sehubungan dengan mengejar kebahagiaan dan menghilangkan kerusakan, engkau harus mengetahui bahwa hewan memiliki perasaan yang sama seperti manusia. Dengan mengingat hal ini, anggaplah tidak pantas untuk melakukan hal-hal yang menyebabkan kesedihan pada diri sendiri kepada orang lain.

(27)
Memahami bahwa perbuatan jahat mengakibatkan hilangnya reputasi, dicela oleh orang-orang yang berbudi luhur, dan terlebih lagi menyebabkan penderitaan, engkau harus membasmi kejahatan di dalam dirimu, menganggapnya sebagai musuhmu. Seperti penyakit, engkau tidak boleh mengabaikannya.

(28)
Dengan melakukan tindakan-tindakan berjasa maka engkau akan memperoleh martabat kerajaan, sesuatu yang sangat dijunjung tinggi oleh manusia dan tempat kediaman kebahagiaan. Simpanan jasa kebajikan yang harus engkau perbesar, jangan lemahkan martabat para dermawan.

(29)
Mengumpulkan tindakan berjasa sebagai instrumen kemuliaan dan kebahagiaan, dengan berdana secara dermawan, tingkatkanlah pesona pemberian itu dengan memberikannya pada waktu yang tepat dan dengan cara yang terhormat; melalui perilaku bermoral, hukum-hukum yang benar yang dapat engkau pelajari melalui hubungan dengan orang-orang yang berbudi luhur; dan dengan berhasil memperlakukan semua makhluk sama baiknya seperti kepada dirimu sendiri.”

Dengan cara ini Sang Mahātmā menyukai raja, mengajarkan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan di masa depan, dan raja menerima kata-katanya. Setelah itu ia memasuki tempat tinggalnya di hutan, diikuti dengan tatapan hormat oleh raja.

Maka dengan cara inilah, ia menunjukkan welas asih yang besar, bahkan kepada mereka yang mencoba menyakiti hidupnya, sekalipun ia sedang berada dalam kesulitan. Mereka tidak akan mengabaikan hal seperti itu.

[Kisah ini harus diceritakan juga ketika membahas tentang simpati, ketika berkhotbah tentang pikiran-tinggi Sang Tathāgata dan tentang mendengarkan dengan perhatian pada khotbah Dharma.

Demikian juga hal itu harus dikemukakan ketika menunjukkan bahwa permusuhan diredakan dengan cara keramahan, juga ketika memperlakukan kebajikan kesabaran. “Dengan cara ini terlihat bahwa Sang Mahātmā, bahkan ketika kehidupan sebagai hewan, berperilaku penuh belas kasihan terhadap mereka yang mencoba menyakiti hidup mereka. Bagaimana, sesungguhnya, menjadi seorang manusia atau seseorang yang telah bersumpah untuk hidup tanpa rumah untuk menginginkan welas asih terhadap hewan? Untuk alasan ini, seorang manusia mulia (ārya) harus menunjukkan welas asih kepada semua makhluk hidup.”]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *