Jātakamālā 3 – Kulmāṣapiṇḍījātakam
(Kisah Semangkuk Kecil Bubur)

Jātakamālā 3 – Kulmāṣapiṇḍījātakam
(Kisah Semangkuk Kecil Bubur)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Pemberian apa pun, yang dihasilkan melalui keyakinan hati dan dipersembahkan kepada penerima yang layak, akan memberikan hasil yang luar biasa; tidak ada pemberian yang dapat diremehkan, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada saat itu, ketika Sang Bhagavā masih seorang Bodhisattva, beliau adalah raja Kośala. Meskipun beliau menunjukkan kebajikannya sebagai seorang raja, seperti ketekunan, kebijaksanaan, keagungan, kekuasaan, dan lainnya dalam tingkat yang sangat tinggi, kecemerlangan dari kebajikannya, kebahagiaannya yang besar, melampaui yang lainnya.

(1)
Kebajikannya yang dihiasi oleh kebahagiaannya, semakin bercahaya bagai sinar rembulan, ketika musim gugur membuat kemegahannya meluas.

(2)
Keberuntungan selalu mengikutinya bagai seorang kekasih, meninggalkan musuh-musuhnya dan menyayangi para pengikutnya.

(3) Kebajikan mencegah pikirannya untuk melakukan kejahatan, sehingga ia tidak menindas musuhnya sama sekali. Tetapi nasib baik mengikutinya dengan sedemikian rupa, menunjukkan kecintaannya kepada sang raja, sehingga musuh-musuhnya tidak berkembang meskipun tidak ditekan.

Pada suatu hari sang raja mengingat kembali kelahiran sebelumnya yang terakhir. Setelah mengingat kelahiran lampaunya, ia merasa sangat tersentuh. Dia melakukan pemberian yang lebih besar lagi dalam dāna – motif dan penyebab utama dari kebahagiaan – kepada para Śramana dan Brāhmana, kepada mereka yang malang dan para pengemis; ia tak henti-hentinya memupuk ketaatannya pada perilaku yang baik (śīla); dan dia menjaga latihan poṣadha dengan ketat pada hari-hari upavasatha. Selain itu, karena ia berkeinginan untuk membawa rakyat-rakyatnya ke dalam jalan keselamatan dengan cara memperbesar kekuatan tindakan yang bermanfaat, dia memiliki kebiasaan mengucapkan dua bait syair ini dengan hati penuh keyakinan di ruang pertemuan dan juga di bagian dalam istananya, penuh dengan makna:

(4)
“Mendatangi para Buddha dengan memberikan  penghormatan, sekecil apa pun, tidak akan menghasilkan buah yang remeh. Ini telah diajarkan sebelumnya hanya melalui kata-kata, namun sekarang dapat dilihat. Lihatlah buah kemakmuran yang melimpah, yang dihasilkan oleh sebagian kecil bubur tanpa garam, kering, kasar, dan berwarna coklat kemerahan.

(5)
Pasukanku yang perkasa ini, dengan kereta dan kudanya yang indah serta kumpulan gajah kuat berwarna biru tua; kedaulatan atas seluruh bumi; kekayaan yang besar; nikmat keberuntungan; istriku yang mulia; lihatlah keindahan simpanan buah ini, yang dihasilkan dari sebagian kecil bubur kasar.”

Baik para menterinya maupun yang paling berharga di antara para Brāhmana maupun yang terkemuka di antara penduduk kota, tersiksa oleh rasa ingin tahu, memberanikan diri untuk bertanya kepada raja tentang apa yang ia maksud tentang dua bait ini, yang biasa ia ucapkan setiap saat. Kini karena raja yang terus mengulanginya, sang ratu juga menjadi penasaran; dan karena ia merasa lebih sedikit malu dalam mengajukan permintaannya, suatu hari, kesempatan untuk memasuki percakapan tentang topik itu muncul, dan ia mengajukan pertanyaan ini kepada sang raja di depan umum;

(6, 7)
“Sungguh tuanku, setiap saat engkau melafalkannya, seolah-olah engkau melampiaskan kegembiraan yang ada di dalam hatimu. Tapi hatiku terusik oleh rasa ingin tahu atas perkataanmu itu.

Jika rakyat-rakyatku diizinkan untuk mendengarnya, maka katakanlah, apa yang Anda maksud dengan ucapan ini, tuan. Tentu ini bukanlah sebuah rahasia; oleh karena itu, ini harus diketahui oleh masyarakat, dan izinkan aku menanyakan kepadamu tentang ini.”

Kemudian raja menunjukkan sedikit kegembiraan pada ratunya, dan dengan wajah yang tersenyum lebar ia berbicara:

(8, 9)
“Ketika mendengar ucapanku ini tanpa mengetahui penyebabnya, bukan hanya engkau, yang diliputi oleh keingintahuan, tetapi juga seluruh pejabat dan penduduk kota terusik dan terganggu oleh keinginan untuk mengetahui artinya. Dengarkanlah yang akan kukatakan ini.

(10)
Bagaikan seseorang yang terbangun dari tidur, aku mengingat kelahiranku, ketika aku hidup sebagai seorang pelayan di kota ini juga. Meskipun aku menjaga sĪla, aku mendapatkan penghidupan yang menyedihkan dengan melakukan kerja upah bagi orang-orang yang ditinggikan hanya karena kekayaan mereka.

(11)
Maka pada suatu hari aku akan memulai menawarkan jasaku untuk digunakan, tempat tinggal dari kerja keras, penghinaan, dan kesedihan, berjuang untuk mendukung (keluargaku) dan merasa ketakutan, jangan sampai aku kekurangan sarana mata pencaharian; saat itu aku melihat empat orang Śramaṇa dengan indera yang terkendali, yang disertai oleh kebahagiaan kepertapaan, pergi untuk menerima dana makanan.

(12)
Setelah membungkuk kepada mereka dengan pikiran yang dilembutkan oleh keyakinan, aku dengan hormat menjamu mereka di rumahku dengan semangkuk kecil bubur. Dari tunas itu bermunculan pohon kebesaran ini, bahwa gemerlap lambang permata raja-raja lain sekarang terpantul dalam debu di kakiku.

(13)
Memikirkan hal ini, aku melafalkan syair ini, ratuku, dan untuk alasan ini aku menemukan kepuasan dalam melakukan jasa kebajikan dan menerima para Arhat.”

Kemudian wajah ratu mengembang dengan kegembiraan dan keterkejutan. Dia mengangkat matanya dengan hormat kepada raja, berkata: “Sangat mungkin, sungguh, bahwa kemakmuran yang begitu besar adalah buah yang dihasilkan oleh perbuatan baik; karena engkau, baginda, telah menjadi saksi dari hasil perbuatan baik, sangat ingin (mengumpulkan) jasa kebajikan. Karena alasan inilah Anda tidak menyukai tindakan jahat, cenderung melindungi rakyatmu seperti seorang ayah, dan berniat untuk menghasilkan banyak jasa kebajikan.

(14)
Bersinar dengan kemuliaan agung yang diperkuat oleh amal, penakluk raja-raja pesaingmu menunggu perintahmu dengan kepala tertunduk; semoga engkau dapat mengelola dunia ini hingga perbatasan samudra yang bertiupkan angin untuk jangka waktu yang lama!”

Raja berkata: “Mengapa ini tidak harus terjadi? ratuku!

(15)
Sesungguhnya, aku akan berusaha sekali lagi untuk mempertahankan jalan menuju pembebasan, yang telah kucatat tanda-tanda indahnya. Orang-orang akan senang memberi setelah mendengar buah dari berdana; dan setelah mengalaminya sendiri, mengapa aku harus tidak bermurah hati,?”

Sekarang raja, dengan lembut memandangi ratunya, melihatnya bersinar dengan kemegahan yang hampir seperti dewa, dan ingin mengetahui alasan dari kecerahan itu, berkata lagi:

(16)
“Seperti bulan sabit di tengah bintang, engkau bersinar di antara para wanita. Katakanlah, perbuatan apa yang telah kamu lakukan, sayangku, sehingga mendapatkan hasil yang sangat manis ini? “

Ratu menjawab: “Baik, tuanku, aku juga memiliki beberapa ingatan tentang hidupku di kelahiranku yang lampau.” Sekarang, ketika raja dengan lembut memintanya untuk mengatakannya, dia berbicara:

(17, 18)
“Seolah sesuatu yang dialami di masa kecilku, aku ingat menjadi seorang budak, setelah mendanakan sisa-sisa hidangan dengan keyakinan kepada seorang Muni dengan nafsu yang padam, aku tertidur di sana, dan seolah-olah, dan terbangun dari tidur di sini.

Dengan tindakan bermanfaat ini pangeranku, aku mengingat, aku telah memilikimu sebagi tuanku, bersamamu berbagi dunia. Apa yang engkau katakan: ‘tentu saja, tiada manfaat kecil dari pemberian kepada orang-orang suci yang telah memadamkan hawa nafsu mereka’ – kata-kata ini kemudian diucapkan oleh orang suci itu.“

Kemudian raja, menyadari bahwa perkumpulan itu diliputi oleh perasaan bakti dan takjub, dan bahwa perwujudan dari hasil jasa kebajikan telah membangkitkan rasa penghargaan yang tinggi di  dalam pikiran mereka terhadap tindakan yang berjasa, dengan sungguh-sungguh memberikan penekanan kepada mereka yang hadir seperti ini:

(19)
“Bagaimana mungkin seseorang tidak mengabdikan dirinya untuk melakukan perbuatan baik dengan mempraktikkan dana dan sīla, setelah melihat hasil yang besar dan indah dari perbuatan baik yang kecil sekalipun? Tidak, orang seperti itu bahkan tidak layak dipandang, yang tenggelam dalam kegelapan ketamakan, harus menolak untuk membuat dirinya dikenal karena perolehannya, meskipun ia cukup makmur untuk melakukannya.

(20)
Jika dengan meninggalkan kekayaan melalui cara yang benar – yang harus ditinggalkan dan tidak berguna sama sekali – berbagai kualitas baik dapat diperoleh; maka siapakah yang akan mengikuti jalan keegoisan setelah mengetahui pesona kebajikan ini? Sesungguhnya berbagai kebajikan yang berbeda dapat ditemukan melalui berdana.

(21)
Sesungguhnya berdana adalah harta karun yang besar, harta yang selalu bersama kita dan tidak dapat direbut oleh para pencuri dan lainnya. Berdana membersihkan pikiran dari kotoran keegoisan dan kemelekatan; ini adalah wahana yang mudah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan melalui Saṁsāra; ia adalah teman terbaik dan tetap kita, yang berusaha untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan yang berlipat ganda bagi kita.

(22)
Semua diperoleh dengan berdana, apa pun yang diinginkan, apakah itu kekayaan yang berlimpah atau dominasi yang cemerlang, atau tempat tinggal di kota para dewa, atau keindahan tubuh. Siapa, setelah mengingat hal ini, yang seharusnya tidak melakukan dana?

(23)
Berdana, dikatakan, merupakan nilai kekayaan; itu juga disebut penyebab utama dari dominasi, tindakan bakti yang agung. Bahkan kain lap untuk gaun, yang diberikan oleh orang yang berpikiran sederhana, adalah hadiah yang diberikan dengan baik.”

Mereka yang hadir, dengan hormat, menyetujui wacana meyakinkan dari sang raja ini, dan merasa tertarik untuk melakukan dana dan sejenisnya.

Maka hadiah apa pun yang dihasilkan dari keyakinan di dalam hati, dan diberikan kepada penerima yang layak, memberikan hasil yang luar biasa; sama sekali tidak ada yang seperti hadiah sepele seperti itu.

[Untuk alasan ini, berdana dengan hati yang setia kepada Komunitas Suci – bidang yang paling unggul dan pantas untuk (menabur) tindakan yang bermanfaat – seseorang dapat memperoleh kegembiraan yang terbesar, dengan mempertimbangkan sebagai berikut: “berkah seperti itu, dan bahkan lebih besar dari ini, semoga segera terjadi padaku juga.“]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *