JATAKAMALA 10 – Yajna-jataka

Jātakamālā 10 – Yajñajātakam
(Kisah Upacara Pengorbanan)

Jātakamālā 10 – Yajñajātakam
(Kisah Upacara Pengorbanan)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang berhati murni tidak akan bertindak menuruti bujukan orang jahat. Mengetahui hal ini, hati yang murni harus diupayakan. Ini akan diajarkan oleh berikut ini.

Konon, dahulu kala Bodhisattva adalah seorang raja yang memperoleh kerajaannya berdasarkan warisan turun-temurun. Dia telah mencapai keadaan ini sebagai akibat dari jasa kebajikannya. Dia memerintah wilayahnya dengan damai, tidak diganggu oleh pesaing mana pun, dan kedaulatannya diakui secara universal. Negaranya bebas dari segala jenis gangguan, kekacauan, ataupun bencana, baik hubungan dalam negeri maupun dengan negara asing yang tenang dalam segala hal; dan semua pengikutnya mematuhi perintahnya.

(1)
Setelah menaklukkan hawa nafsu sebagai musuh-musuhnya, sang raja tidak mengharapkan keuntungan apapun atas usaha-usahanya, yang seolah tidak patut untuk dinikmati selain dmaksudkan untuk meningkatkan kebahagiaan rakyat-rakyatnya. Memegang kebenaran (Dharma) sebagai satu-satunya tujuan dari tindakannya, dia berperilaku bagai seorang Muni.

(2)
Ia memahami bahwa secara alamiah manusia akan menetapkan nilai tinggi untuk meniru perilaku yang tertinggi. Untuk alasan ini, karena berkeinginan untuk membawa keselamatan bagi rakyatnya, dia tekun melaksanakan kewajiban spiritualnya.

(3)
Dia mempraktikkan dana, menjaga perilaku moral (śīla) dengan ketat, melatih kesabaran, dan berjuang untuk kepentingan para makhluk. Wajah lembutnya sesuai dengan pikirannya yang dibadikan untuk kebahagiaan rakyatnya, dia tampak seperti perwujudan Dharma.

Meskipun wilayahnya dilindungi dengan baik olehnya, namun baik itu karena buah dari tindakan salah dari penduduk maupun ketidaksengajaan para dewa yang bertanggung jawab terhadap hujan, beberapa bagian wilayah itu dilanda oleh kekeringan, menimbulkan masalah yang merepotkan sebagai efek dari bencana tersebut.

Atas hal ini, sang raja, merasa sangat yakin bahwa bencana ini telah diakibatkan oleh kelalaian dirinya sendiri ataupun rakyatnya, dan sangat memperhatikan kesusahan rakyatnya, bahwa kesejahteraan mereka merupakan objek pikiran dan perhatian utamanya, menerima nasihat dari orang-orang yang kemampuannya diakui dan terkenal karena pengetahuan mereka dalam urusan agama. Maka, mengikuti nasihat para tetua di antara para Brāhmana, yang dipimpin oleh pendeta keluarganya (purohita) dan para menterinya, dia meminta mereka beberapa cara untuk mengakhiri bencana itu.

Mereka, yang mempercayai upacara pengorbanan yang diuraikan di dalam Veda sebagai penyebab hujan deras, menjelaskan kepadanya bahwa sang raja harus melakukan pengorbanan yang besar yang membutuhkan pembantaian ratusan makhluk hidup. Di dalam hati, welas asih sang raja tidak menyetujui pembantaian untuk upacara pengorbanan; Namun demi kesopanan, sang raja tidak mau menyinggung perasaan mereka dengan kata-kata penolakan. Dia melewatkan pembahasan ini, mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Tetapi karena mereka tidak dapat memahami pikiran sang raja yang mendalam, mereka kembali mendesak raja untuk melakukan pengorbanan ketika membahas masalah agama dengan sang raja.

(4)
“Anda selalu berhati-hati agar tidak mengabaikan waktu yang tepat dalam melakukan berbagai macam tugas kerajaan Anda yang ditetapkan untuk memperoleh kepemilikan wilayah dan memerintahnya. Urutan tindakan Anda ini juga sesuai dengan kebenaran (Dharma).

(5)
Lalu mengapa Anda yang (dalam semua hal lainnya) begitu pandai dalam menjalankan tiga serangkai (dharma, artha, dan kāma), mengangkat busur Anda untuk membela kebaikan rakyat Anda, kemudian menjadi begitu ceroboh dan lamban terhadap jembatan menuju dunia para dewa, yang disebut sebagai “pengorbanan” itu?

(6)
Bagaikan para pelayan, raja-raja lain (pengikut Anda) menghormati perintah Anda, menganggap perintah Anda sebagai ukuran kesuksesan yang paling pasti. Sekarang waktunya tiba, wahai engkau yang telah mengalahkan musuh-musuhmu, untuk mengumpulkan berkah yang lebih tinggi melalui pengorbanan, yang akan memberikanmu kemuliaan yang bersinar.

(7, 8)
Sesungguhnya, kesucian yang merupakan syarat untuk sebuah dikṣita sudah menjadi milik Anda, karena kebiasaan Anda dalam melakukan praktik memberi dan ketegasan Anda dalam pengendalian diri (berperilaku baik). Namun demikian, akan lebih baik bagi Anda untuk melunasi utang Anda kepada para dewa melalui upacara pengorbanan seperti yang diuraikan di dalam Veda.

Para dewa dipuaskan dengan pengorbanan yang pantas dan tanpa cela, menghormati para makhluk dengan (mengirimkan) hujan sebagai balasannya. Pertimbangkanlah, perhatikan kesejahteraan rakyat Anda dan diri Anda sendiri, dan bersedialah untuk melakukan pengorbanan secara rutin, yang akan meningkatkan kemuliaan Anda.”

Setelah itu dia memikirkan ini: “Sungguh, rakyatku yang malang dilindungi dengan sangat buruk, jika diberikan kepercayaan kepada para pemimpin seperti ini. Aku harus mencabut kebajikan dari kelembutan hatiku dengan mengandalkan perkataan orang lain, sedangkan aku mempercayai dan mencintai Dharma dengan penuh keyakinan. Sungguh,

(9)
Mereka yang dikenal sebagai tempat perlindungan terbaik justru merupakan orang-orang yang berniat melakukan kerugian, mengatasnamakan Dharma. Sungguh disayangkan! Orang yang mengikuti jalan salah yang ditunjukkan oleh mereka, akan segera menemukan dirinya diarahkan ke dalam persimpangan jalan, dikelilingi oleh kejahatan.

(10)
Apakah hubungan antara kebenaran dan menyakiti hewan? Apa hubungan antara penghuni alam para dewa, atau mengambil hati para dewa, dengan pembunuhan para hewan?

(11, 12)
Dikatakan bahwa hewan yang disembelih berdasarkan ritual dengan doa-doa yang telah ditentukan ― seolah-olah rumusan suci itu adalah sedemikian banyak anak panah untuk melukainya ― akan pergi ke surga, dan dengan cara demikianlah mereka dibunuh. Dengan cara ini tindakan tersebut dimaknai seolah-olah dilakukan sesuai dengan Dharma. Namun ini adalah kebohongan.

Karena bagaimana mungkin dalam kelahiran selanjutnya, seseorang menuai buah dari apa yang telah dilakukan oleh orang lain? Dan dengan alasan apa hewan korban akan naik ke surga? Meskipun dia tidak menjauhkan diri dari perbuatan jahat, meskipun dia tidak mengabdikan diri pada tindakan baik, hanya berdasarkan karena dia telah dibunuh dalam pengorbanan, dan bukan atas dasar tindakannya sendiri?

(13)
Dan jika korban yang terbunuh dalam upacara pengorbanan benar-benar masuk surga, bukankah seharusnya kita mengharapkan para Brāhmana itu yang mempersembahkan diri mereka sendiri untuk dikorbankan dalam upacara pengorbanan? Namun, aku tidak melihat mereka melakukan praktik seperti itu. Kalau begitu, siapa yang dapat menerima nasihat yang diberikan oleh para penasihat ini?

(14)
Mengenai para dewa, mungkinkah mereka yang terbiasa menikmati ambrosia yang indah dari aroma, rasa, kemegahan, dan kekuatan yang tak tertandingi, disajikan kepada mereka oleh para bidadari yang rupawan, akan mengabaikannya untuk bersenang-senang dalam pembantaian hewan yang menyedihkan, bahwa mereka berpesta dengan omentum dan bagian lain dari tubuhnya yang dipersembahkan kepada mereka sebagai korban?

Oleh karena itu, ini adalah waktu yang tepat bertindak.” Setelah mengambil keputusan, raja berpura-pura ingin melakukan upacara pengorbanan; dan sebagai persetujuan atas kata-kata mereka, dia berbicara kepada mereka dengan cara ini:

“Sesungguhnya, aku terlindungi dengan baik dan sangat bersyukur, memiliki penasihat seperti Yang Mulia. Dengan demikian, aku bertekad untuk mengamankan kebahagiaanku! Oleh karena itu aku akan melakukan pengorbanan manusia (puruṣamedha) sebanyak seribu orang. Mohon agar para pejabat, di tempat bertugasnya masing-masing, diperintahkan untuk mendiskusikan persyaratan yang diperlukan untuk upacara itu. Tentukan juga tempat yang paling cocok untuk mendirikan tenda dan bangunan lain untuk sattra. Selanjutnya, waktu yang tepat untuk melakukan pengorbanan harus ditentukan (oleh para astrolog) dengan memeriksa pergerakan bulan, karaṇa, muhurta, dan konstelasi bintang yang menguntungkan.”

Purohita menjawab: “Agar Anda berhasil, Yang Mulia harus mengambil avabhṛtha (mandi terakhir) pada akhir satu pengorbanan; setelah itu Anda dapat melakukan yang lain secara berturut-turut. Karena jika seribu korban manusia akan ditangkap sekaligus, rakyat Anda pastinya akan menyalahkan Anda dan akan menjadi pergolakan besar dalam catatan mereka.” Kata-kata purohita ini telah disetujui oleh para Brāhmana (lainnya). Sang raja menjawab: “Jangan khawatirkan kemurkaan para rakyat, Yang Mulia. Aku akan mengambil tindakan untuk mencegah pergolakan di antara rakyat-rakyatku.”

Setelah itu raja memanggil sekelompok penduduk kota dan wilayah, dan berkata: “Aku bermaksud untuk melakukan pengorbanan manusia yang terdiri dari seribu korban. Tetapi tidak ada orang yang berperilaku jujur ​​yang pantas untuk direncanakan sebagai pengorbanan yang aku lakukan. Dengan pemikiran ini, saya memberi kalian perintah ini: Siapapun dari kalian yang kuanggap melanggar batas-batas perilaku moral, meremehkan perintah kerajaan, dia akan aku perintahkan untuk ditangkap menjadi korban upacara pengorbananku, karena orang seperti itu adalah noda bagi keluarganya dan bahaya bagi negaraku. Dengan tujuan untuk melaksanakan ketetapan ini, aku akan menugaskan utusan yang cermat dan berpandangan tajam, yang tidak lalai, untuk mengawasi kalian dan akan melaporkan tingkah laku kalian kepadaku.”

Kemudian yang terdepan dari kumpulan itu, menangkupkan tangan mereka dan meletakkannya di dahi, berbicara:

(15, 16)
“Yang Mulia, semua tindakan Anda adalah demi kebahagiaan rakyat Anda, bagaimana mungkin kami membenci Anda karena hal itu? Bahkan (dewa) Brahmā tidak bisa menentang perilakumu.

Yang Mulia, yang berwenang atas kebajikan, adalah pemimpin tertinggi kami. Untuk alasan inilah, apapun yang menyenangkan Yang Mulia tentunya menyenangkan kami juga. Sungguh, engkau hanya memikirkan kesenangan dan kebaikan kami.”

Setelah orang-orang terkemuka di kota dan desa menerima perintahnya dengan cara ini, raja meminta seluruh petugas kota dan kerajaan untuk menyebar, memberi tahu mereka untuk memperhatikan perilaku para rakyat, dengan tujuan untuk menahan pelaku kejahatan. Di berbagai tempat hal ini diumumkan dengan tabuhan gendering, hari demi hari, dengan seperti ini:

(17)
“Raja, sang penyedia keamanan, menjamin keselamatan bagi setiap orang yang terus-menerus memupuk kejujuran dan perilaku yang baik bagi yang bajik. Namun, dengan niat untuk melakukan upacara pengorbanan manusia demi kepentingan rakyatnya, raja menginginkan seribu korban manusia yang diambil dari mereka yang senang melakukan perbuatan jahat.

(18)
Oleh karena itu, siapa pun yang selanjutnya secara tidak bermoral terlibat dalam perilaku buruk, mengabaikan perintah raja kita, yang bahkan dipatuhi oleh raja-raja lain dan pengikut-pengikutnya, akan dibawa menjadi korban pengorbanan atas perbuatannya sendiri. Orang-orang akan menyaksikan penderitaannya yang menyedihkan, ketika ia merana karena kesakitan dan tubuhnya terikat di tempat pengorbanan.”

Ketika para penduduk mengetahui bahwa raja mereka mengawasi para pelaku kejahatan untuk dijadikan korban pada upacara pengorbanannya ― setelah mereka mendengar pengumuman kerajaan yang menakutkan itu hari demi hari, dan melihat para utusan raja yang ditunjuk untuk mengawasi dan menangkap orang-orang jahat muncul di berbagai tempat ― mereka meninggalkan segala keterikatan mereka pada perilaku buruk, dan menumbuhkan niat mereka dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan ajaran moral dan pengendalian diri.

Mereka menghindari setiap kesempatan untuk membenci dan bermusuhan, dan menyelesaikan pertengkaran dan perbedaan mereka dengan saling mencintai dan saling menghargai. Patuh terhadap ucapan orangtua dan para guru, bersemangat dalam kemurahan hati dan berbagi keramahan, sopan santun, kerendahan hati dengan sesame di antara mereka. Mereka hidup seperti di Kṛta Yuga.

(19)
Ketakutan terhadap kematian telah membangkitkan pemikiran tentang kehidupan yang akan datang dalam diri mereka; rasa takut menodai kehormatan keluarga mereka telah menggerakkan perhatian mereka untuk menjaga nama baik mereka; kemurnian hati mereka yang besar telah memperkuat rasa malu mereka. Hal-hal ini sedang bekerja, dan orang-orang segera diistimewakan oleh perilaku mereka yang tak bercela.

(20)
Meskipun setiap orang menjadi lebih berniat untuk menjaga perilaku yang benar dari sebelumnya, tetap saja para utusan raja tidak mengurangi kewaspadaan mereka dalam mencari para pelaku kejahatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah orang-orang untuk terjatuh dari kebenaran.

(21)
Raja, mendapat kabar dari utusan-utusannnya di wilayahnya, merasa sangat bersukacita. Dia menganugerahkan banyak hadiah kepada para utusan itu sebagai imbalan atas kabar baik yang mereka ceritakan kepadanya, dan memerintahkan para menterinya:

(22-24)
“Perlindungan terhadap warga-wargaku adalah tujuan tertinggiku. Sekarang, mereka telah menjadi layak untuk menjadi penerima hadiah pengorbanan, dan untuk tujuan pengorbananku, aku telah menyediakan kekayaan ini.

Baiklah, aku berniat untuk menyempurnakan pengorbananku dengan cara yang kuanggap benar. Biarlah setiap orang yang menginginkan uang, yang diharapkan bisa menjadi bahan bakar untuk kebahagiaannya, datang dan menerimanya dari tanganku dengan sesuka hati. Dengan cara ini kesusahan dan kemiskinan yang mengganggu negara kita dapat segera disingkirkan.

Sungguh, setiap aku memikirkan tekad kuatku untuk melindungi rakyat-rakyatku dan bantuan besar yang kuperoleh dari kalian ― rekan-rekanku yang luar biasa dalam tugas ini ― seringkali kurasakan penderitaan rakyat-rakyatku membangkitkan kemarahnku, membara dalam pikiran bagai api yang berkobar.”

Para menteri menerima perintah kerajaan dan segera pergi untuk melaksanakannya. Mereka memerintahkan agar tempat-tempat berdana didirikan di semua desa, kota, dan pasar, juga di semua stasiun di jalan raya. Hal ini dilakukan agar orang-orang miskin dapat memperoleh pemberian-pemberian yang dapat memuaskan keinginan mereka, sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh raja.

(25)
Maka kemiskinan pun lenyap, dan setelah menerima kekayaan dari raja, orang-orang mengenakan bermacam-macam pakaian dan perhiasan yang indah, mempertunjukkan kemegahan seperti pada hari-hari besar.

(26)
Kemuliaan raja, yang semakin besar oleh sanjungan-sanjungan dari para penerima yang bersukacita atas pemberiannya, menyebar ke segala arah, seperti serbuk bunga teratai yang terbawa oleh riak kecil di sebuah telaga, menyebar ke permukaan yang lebih besar lagi.

(27)
Dan setelah seluruh rakyat ― sebagai akibat dari tindakan bijak yang diambil oleh penguasa mereka ― bersungguh-sungguh dalam perilaku bajik, wabah dan malapetaka terkalahkan oleh pertumbuhan kualitas-kualitas yang mendukung kemakmuran. Wabah dan malapetaka memudar, setelah kehilangan cengkeraman mereka.

(28)
Musim-musim saling berganti tepat waktu, menyenangkan setiap orang dengan keteraturan mereka. Akibatnya, bumi menghasilkan berbagai jenis jagung dalam jumlah yang banyak, juga berlimpahnya air serta teratai yang murni dan biru di dalam seluruh wadah air.

(29)
Tidak ada wabah penyakit yang menyerang umat manusia; tanaman obat menjadi lebih berkhasiat daripada sebelumnya; musim hujan datang tepat waktu dan teratur; dan planet-planet bergerak dalam jalur yang menguntungkan.

(30)
Tidak ada bahaya yang perlu ditakuti, baik itu dari luar ataupun dalam negeri, atau karena adanya ketidakseimbangan unsur alam. Melanjutkan tindakan baik dan pengendalian diri, menumbuhkan perilaku yang baik dan kesantunan, para rakyat di negara itu menikmati keistimewaan masa Kṛta Yuga.

Kemudian, dengan kekuatannya, raja melakukan upacara pengorbanan dengan cara yang sesuai dengan (aturan) Dharma, mengakhiri penderitaan orang miskin bersama dengan wabah penyakit dan malapetaka. Negara pun dipenuhi dengan rakyat-rakyatnya yang makmur dan berkembang, memancarkan kebahagiaan yang menggembirakan. Oleh karena itu, para rakyat tidak pernah bosan untuk mengucap syukur kepada raja mereka, memperluas kemasyhurannya ke segala arah.

Suatu hari salah satu pejabat tertinggi kerajaan, yang hatinya berkeyakinan (sejati), berbicara demikian kepada raja: “Ini adalah ucapan yang benar dalam kebenaran.

31. Raja, karena mereka selalu berurusan dengan semua jenis urusan, tertinggi, terendah, dan menengah, jauh melampaui kebijaksanaan orang-orang bijak mana pun.

Karena, Yang Mulia, Anda telah memperoleh kebahagiaan rakyat Anda baik di kehidupan maupun di kehidupan berikutnya, sebagai akibat dari pengorbanan Anda yang dilakukan dalam kebenaran, bebas dari tindakan salah penyembelihan hewan yang dapat dicela. Masa-masa sulit telah berlalu dan penderitaan akibat kemiskinan telah berhenti, karena manusia telah diteguhkan dalam sila perilaku yang baik. Apa lagi yang perlu dikatakan? Rakyat-rakyat Anda gembira.

(32)
Kulit kijang hitam yang menutupi anggota tubuh Anda ini mirip dengan bintik di permukaan bulan yang cerah, keindahan alami dari sikap Anda juga tidak dapat terhalang oleh pengendalian diri yang Anda pikul, karena Anda menjadi seorang dīkṣita. Kepala Anda, yang dihiasi dengan tata rambut yang sesuai dengan ritual dīkṣā, memiliki kilau tetap indah saat dihiasi dengan kemegahan payung kerajaan. Dan, yang tak kalah pentingnya, dengan kemurahan hati Anda, Anda telah melampaui kemasyhuran dan mengurangi kesombongan dari mereka yang dikenal telah melakukan seratus pengorbanan.

(33)
Wahai penguasa yang bijak, upacara pengorbanan mereka lakukan demi mencapai beberapa tujuan sesungguhnya adalah tindakan keji, karena menyebabkan penderitaan kepada pada makhluk hidup. Sebaliknya, pengorbanan Anda yang merupakan monumen kemuliaan Anda ini, sepenuhnya sesuai dengan perilaku Anda yang indah dan keengganan Anda pada kejahatan.

(34)
Oh! Berbahagialah para rakyat yang berada di dalam perlindunganmu! Sungguh tidak ada lagi ayah yang bisa menjadi wali yang lebih baik bagi anak-anaknya.”

Yang lainnya berucap:

(35)
“Jika orang kaya berdana, mereka biasanya didorong untuk melakukannya dengan harapan dapat menanam kebajikan dan perilaku baik itu dilakukan juga demi keinginan untuk memperoleh penghargaan yang tinggi di antara manusia atau keinginan untuk mencapai alam surga setelah kematian. Namun praktik berdana yang Anda lakukan itu memberikan manfaat kepada orang lain, yang tidak dapat ditemukan kecuali pada mereka yang berhasil baik itu dalam pembelajaran maupun dalam berlatih dalam kebajikan.”

Dengan cara inilah, mereka yang hatinya murni tidak bertindak sesuai dengan bujukan orang yang tak bajik. Mengetahui hal ini, hati yang murni harus diupayakan.

[Dalam pelajaran spiritual bagi para pangeran, juga, ini harus dikatakan:

“Siapa yang menginginkan kebaikan kepada rakyatnya, dirinya berusaha,
Dengan demikian mendatangkan keselamatan, kemuliaan, kebahagiaan.
Tiada orang lain yang dapat menjadi raja seperti ini.”

Dan dapat ditambahkan sebagai berikut: “(Pangeran) yang mengejar kemakmuran materi, harus bertindak sesuai dengan ajaran agama, menganggap perilaku religius rakyatnya sebagai sumber kemakmuran.”

Lebih lanjut, hal ini di sini untuk dikatakan: “Melukai hewan tidak pernah membawa kebahagiaan, tetapi berdana, pengendalian diri, penahanan nafsu dan sejenisnya memiliki kekuatan ini; untuk alasan inilah dia yang merindukan kebahagiaan harus mengabdikan dirinya pada kebajikan-kebajikan ini.”

Dan juga ketika sedang berkhotbah tentang Sang Tathāgata: “Dengan cara ini Sang Bhagavā menunjukkan kecenderungannya untuk memperhatikan kepentingan dunia, ketika beliau masih dalam kehidupan sebelumnya.”]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *