JATAKAMALA 5 – AVIṢAHYAŚREṢṬHI-JĀTAKA

Jātakamālā 5 – Aviṣahyaśreṣṭhijātakam
(Kisah tentang Avisahya)

Jātakamālā 5 – Aviṣahyaśreṣṭhijātakam
(Kisah tentang Avisahya)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Baik itu rasa takut terhadap kehilangan harta benda maupun harapan terhadap kekayaan di masa depan, tidak akan membuat orang bajik berkekurangan dalam praktik memberi, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada saat ketika Guru Agung kita masih menjadi Bodhisattva, beliau hidup sebagai seorang kepala sebuah perkumpulan, terlahir dari sebuah keluarga terpandang. Dia memiliki banyak timbunan kebajikan: kemurahan hati, kesopanan, moralitas, pembelajaran suci, pengetahuan spiritual, kerendahan hati, dan sebagainya. Kekayaannya yang melimpah membuatnya tampak seperti Kubera. Dia menghabiskannya dengan menerima semua orang sebagai tamunya dan mempraktikkan dāna bagai pengorbanan yang kekal (sattra). Singkatnya, dia adalah seorang dermawan terbaik dan hidup untuk kebaikan umat manusia. Karena dia tidak terkalahkan oleh kejahatan, keegoisan, dan lainnya, dia dikenal dengan nama Aviṣahya (yaitu, “Yang Tak Terkalahkan”).

(1)
Pemandangan para pengemis memiliki efek yang sama padanya, seperti yang dia alami kepada para pengemis. Bagi kedua pihak itu adalah penyebab utama kegembiraan, karena itu menghancurkan ketidakpastian tentang pencapaian objek yang diinginkan.

(2)
Saat diminta memberi, dia tidak mampu mengatakan “tidak”. Rasa welas asihnya yang besar tidak menyisakan ruang di hatinya untuk melekat pada kekayaan.

(3)
Kegembiraannya naik ke puncak tertinggi, ketika pengemis mengambil hal-hal terbaik dari rumahnya. Karena dia tahu yang disebut sebagai barang-barang itu adalah sumber bencana kekerasan dan berat, dan karena itu menyebabkan ketidakpuasan dalam waktu singkat dan tanpa alasan yang jelas.

(4)
Biasanya, kekayaan, yang digabungkan dengan ketamakan, dapat disebut sebagai pedati di jalan menuju kemalangan. Sebaliknya, dengan dia, mereka (kekayaan itu) mendukung kebahagiaan dirinya sendiri dan orang lain; barang-barangnya nampak berguna sesuai dengan namanya.

Jadi, Sang Bodhisattva menganugerahkan hadiah besar kepada orang-orang yang mengemis di sekitar, dan memuaskan mereka sepenuhnya, memberi kepada masing-masing sesuai dengan keinginannya dan dengan murah hati, dan menghiasi hadiahnya dengan memberi hormat kepada para pemohon.

Ketika Śakra, raja para dewa, mendengar tentang kemurahan hatinya yang luhur, ia tercengang terdengan keheranan dan ingin mencoba keteguhan tekadnya. ia membuat persediaan sehari-hari berupa uang, biji-bijian, perhiasan, pakaian menghilang hari demi hari; “Mungkin rasa takutnya terhadap kehilangan barang-barangnya dapat menggodanya untuk mementingkan diri sendiri.” Namun demikian, Bodhisattva tetap bertekad pada kebajikan berdana.

(5)
Seiring dengan barang-barangnya yang lenyap, seperti tetesan air yang terkena pancaran matahari, begitu sering pula ia kembali memerintahkan barang-barangnya untuk diambil dari rumahnya, seolah-olah sedang terbakar, dan melanjutkan pemberiannya yang besar.

Śakra, raja para dewa, memahami Bodhisattva tetap tekun seperti biasanya dalam berdana, meskipun kekayaannya selalu berkurang. Kekagumannya bertambah. Sekarang dia menyembunyikan seluruh kekayaannya dalam satu malam, kecuali seutas tali dan sebuah sabit.

Ketika Bodhisattva terbangun saat fajar seperti biasanya, dia tidak melihat barang-barang rumahnya, baik itu perabotan, uang, biji-bijian, atau pakaian, atau bahkan pembantu-pembantunya. Rumahnya tampak kosong, sunyi, dan sedih, seolah-olah dirampok oleh para rākṣasa; singkatnya, hal itu begitu menyedihkan. Kemudian dia mulai merenungkan masalah itu dan mencari-cari, tetapi dia tidak menemukan apa pun yang tersisa selain seutas tali dan sebuah sabit. Dan dia berpikir sebagai berikut: “Mungkin seseorang yang tidak terbiasa mengemis, tetapi tidak ingin mencari nafkah dengan tenaganya sendiri, dengan cara ini telah menunjukkan kebaikan kepada rumahku. Dalam hal ini, barang-barangku telah digunakan dengan baik. Namun, jika karena kesalahanku, seseorang yang merasa iri hati dengan status tinggiku, menyebabkan mereka hilang tanpa menjadi berguna bagi siapa pun, itu sangat disayangkan.

(6)
Kerapuhan dari persahabatan dengan keberuntungan telah aku ketahui jauh sebelumnya; tetapi fakir miskin menjadi sedih karenanya, karena inilah hatiku sakit.

(7)
Ketika datang ke rumahku yang kosong, bagaimana perasaan mereka, para pengemis, yang sudah lama terbiasa dengan kenikmatan hadiah dan keramahtamahan dariku? Bukankah mereka akan seperti orang-orang kehausan yang datang ke kolam yang mengering?”

Namun demikian, Bodhisattva tidak menyerah pada kesusahan dan kesedihan. Dia justru menjaga keteguhan pikirannya. Meskipun dalam kondisi ini, dia tidak mampu meminta-minta kepada orang lain, bahkan teman karibnya sekalipun, karena dia tidak pernah menjalani mata pencahariannya dengan mengemis. Apalagi, karena dia sendiri merasa sulit untuk mengemis, maka rasa iba terhadap orang yang mengemis menjadi semakin besar. Kemudian sang Bodhisattva ― yang masih dengan tekad untuk memberikan makanan, penyambutan baik, dan sejenisnya kepada para pengemis ― mengambil tali dan sabit itu, dan pergi untuk menyiangi rumput hari demi hari. Dengan sedikit uang yang dia peroleh dari menjual rumput, dia memenuhi kebutuhan para pengemis.

Tetapi Śakra, raja para dewa, melihat ketenangannya yang tak tergoyahkan dan pengabdiannya terhadap berdana bahkan dalam keadaan sangat miskin sekalipun, tidak hanya dipenuhi dengan keheranan, tetapi juga dengan kekaguman. Menunjukkan tubuh dewanya yang indah, dia berdiri di udara dan berbicara kepada Bodhisattva untuk mencegahnya berdana: “Perumah tangga,

(8-10)
Bukan pencuri yang merampok kekayaanmu, atau air, atau api, atau pangeran. Ini adalah kemurahan hatimu sendiri, yang telah membawamu ke dalam kondisi ini, yang membuat teman-temanmu merasa khawatir.

Untuk alasan inilah aku memberitahumu, demi kebaikanmu sendiri: tahanlah kecintaanmu yang menggebu-gebu terhadap berdana. Meskipun engkau miskin saat ini, jika engkau tidak memberi, engkau mungkin akan mendapatkan kembali kekayaan indahmu yang dulu.

Dengan mengonsumsi terus-menerus meski sesedikit apa pun, harta memudar; dengan mengumpulkan, sarang semut menjadi tinggi. Bagi dia yang melihat ini, satu-satunya cara untuk meningkatkan kepemilikannya adalah dengan menahan diri.”

Akan tetapi, Bodhisattva menunjukkan pemikirannya yang tinggi dan praktik dāna yang terus-menerus, ketika ia menjawab Śakra dengan cara ini:

(11)
“Seorang pria (ārya), betapapun tertekannya, hampir tidak akan melakukan apa pun yang tercela (anārya), wahai engkau Yang Bermata Seribu! Jangan biarkan kekayaan seperti itu menjadi milikku, wahai Śakra, jika untuk mendapatkannya aku harus hidup sebagai orang kikir.

(12, 13)
Siapakah, yang menganggap dirinya bagian dari keluarga yang jujur, yang akan menyerang orang-orang malang yang ingin menemukan obat untuk kesedihan mereka dengan mengemis seperti hendak mati?

Jadi, mungkinkah orang seperti aku ini, harus menerima permata, atau kekayaan, atau bahkan alam di antara para dewa, dan tidak menggunakannya untuk tujuan menyenangkan wajah para pengemis, yang menjadi pucat karena rasa sakit meminta?

(14)
Penerimaan seperti itu, yang hanya akan cenderung meningkatkan sifat mementingkan diri sendiri yang buruk, bukan untuk memperkuat kecenderungan memberi, harus sepenuhnya ditinggalkan olehku; karena itu adalah malapetaka yang terselubung.

(15)
Kekayaan berubah-ubah bagai kilatan petir; itu mungkin datang kepada semua orang, dan itu adalah penyebab dari banyak bencana; tetapi berdana adalah sumber kebahagiaan. Dengan demikian, bagaimana mungkin seorang bangsawan berpegang teguh pada keegoisan?

(16)
Oleh karena itu, Śakra, engkau telah menunjukkan sifat baikmu kepadaku, aku juga berterima kasih atas simpati dan ucapan harapan baikmu; namun hatiku terlalu terbiasa dengan kegembiraan yang disebabkan oleh berdana. Lalu, bagaimana ini bisa menyenangkan dengan cara yang salah?

(17)
Namun, bagaimanapun juga, kumohon engkau tidak marah akibat hal ini! Memang, tidak mungkin untuk menyerang benteng karakter asliku dengan kekuatan kecil.”

Śakra berkata: “Perumah tangga, apa yang engkau gambarkan adalah tindak tanduk bagi orang kaya, yang harta dan lumbungnya penuh hingga puncak, bagi mereka berbagai macam pekerjaan telah dilakukan dengan baik (oleh para pelayannya), yang telah menjamin masa depannya, dan telah mendapatkan kekuasaan di antara manusia, tetapi perilaku itu tidak sesuai dengan kondisimu. Lihat,

(18-20)
Engkau harus mengumpulkan kekayaan yang melebihi kemegahan pesaing-pesaingmu yang seperti matahari terlebih dahulu, melalui berdagang secara jujur baik itu dengan mengikuti kecerdasanmu sendiri atau dengan mengikuti jalur perdagangan tradisional keluargamu, selama itu sesuai dengan nama baikmu. Maka pada kesempatan yang tepat, tunjukanlah kemewahanmu kepada orang-orang, dan bergembiralah kerabat serta teman-temanmu.

Kemudian, setelah memperoleh penghormatan yang pantas bahkan dari bagian raja dan menikmati nikmatnya keberuntungan seperti pelukan dari seorang kekasih yang penuh kasih sayang, jika kemudian muncul keinginan untuk berdana ataupun kesenangan duniawi, tidak ada yang akan menyalahkanmu.

Tetapi kecintaan terhadap berdana belaka, tanpa kepemilikan harta, hanya membuat seseorang datang kepada bencana, seperti burung yang ingin terbang di udara dengan sayap yang belum bertumbuh sempurna.

(21)
Oleh karena itu, engkau harus memperoleh kekayaan dengan cara berlatih menahan diri dan mengejar tujuan yang sederhana, dan sementara itu melepaskan kerinduan untuk berdana. Dan bukankah engkau tidak melakukan kejahatan apapun, jika engkau tidak memberi karena tidak memiliki apa-apa?”

Bodhisattva menjawab: “Kumohon Yang Mulia hendaknya tidak mendesakku.

(22, 23)
Bahkan dia yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan orang lain, harus melakukan pemberian, bukan memedulikan kekayaan. Karena kemewahan yang besar tidak memberinya kegembiraan seperti itu, karena kegembiraan disebabkan oleh kepuasan yang dia nikmati dengan menundukkan ketamakan melalui perbuatan berdana.

Ditambah lagi, bahwa kekayaan belaka tidak membawa kita ke surga, sedangkan beramal itu sendiri sudah cukup untuk memperoleh reputasi yang suci. Lebih jauh lagi, kekayaan adalah penghalang untuk menundukkan keegoisan dan sifat buruk lainnya. Kalau begitu, siapakah yang semestinya tidak mempraktikkan dāna?

(24)
Bagaimanapun juga, dia yang melindungi makhluk-makhluk yang dikelilingi oleh usia tua dan kematian, ingin menyerahkan dirinya dalam praktik dāna, digerakkan oleh welas asih; dia yang karena penderitaan orang lain dilarang untuk menikmati kesenangan. Katakanlah, apa guna baginya kegembiraan yang sangat besar itu, seperti yang engkau miliki?

Dengarkan juga ini, wahai raja para dewa.

(25)
Durasi hidup kita tidak pasti seperti kemakmuran dari harta kekayaan kita. Setelah merenungkan ini, kita tidak boleh mementingkan kekayaan kita saat bertemu dengan fakir miskin.

(26)
Jika satu gerbong telah melewati lintasan di tanah, yang kedua akan melewati lintasan itu dengan yakin, dan seterusnya. Oleh karena itu, aku tidak akan menolak jalan baik yang pertama ini, bukan lebih memilih untuk membawa keretaku ke jalan yang salah.

(27)
Dan jika aku sekali lagi mendapatkan kekayaan yang besar, itu pasti akan menyenangkan pikiran para pengemis: dan untuk saat ini, bahkan dalam kondisi ini, aku akan memberikan dana sesuai dengan kemampuanku. Dan semoga aku tidak pernah ceroboh dalam menepati ikrar amalku, Śakra!”

Terhadap kata-kata ini, Śakra, raja para dewa, dengan damai sepenuhnya berseru dengan pujian: “Luar biasa, luar biasa,” dan menatapnya dengan kekaguman dan kebaikan, berbicara:

(28, 29)
“Orang-orang (lain) mengejar kekayaan dengan segala cara, baik itu dengan cara rendah maupun kasar dan merusak reputasi mereka, tanpa memedulikan bahaya, karena mereka terikat pada kesenangan mereka sendiri dan tersesat oleh ketidakpedulian mereka.

Sebaliknya, engkau tidak keberatan kehilangan kekayaanmu, atau kekurangan kesenanganmu, maupun tergoda olehku; Menjaga pikiranmu tetap teguh dalam meningkatkan kesejahteraan orang lain, engkau telah menunjukkan kebesaran sifatmu yang luar biasa!

(30)
Ah! Betapa hatimu bersinar dengan kilau keagungan yang luar biasa, dan betapa ia telah menghapus kegelapan perasaan mementingkan diri sendiri sepenuhnya, bahkan setelah kehilangan kekayaanmu, harapan untuk memulihkannya tidak dapat merusaknya dengan mengurangi kemurahan hatinya!

(31)
Namun, karena engkau menderita atas penderitaan orang lain, dan digerakkan oleh upaya welas asih demi kebaikan dunia, tidak mengherankan bagaimanapun juga, bahwa aku tidak dapat menghalangi engkau untuk berdana. Sekecil gunung yang cerah bersalju yang diguncang oleh angin.

(32)
Tetapi untuk meningkatkan nama baikmu melalui cobaan, aku menyembunyikan kekayaanmu itu. Tidak lain dari percobaan sebuah permata, yang meskipun indah, dapat mencapai nilai puncak dari sebuah permata terkenal.

Kalau begitu, tuangkanlah pemberian-pemberianmu kepada para pengemis, puaskanlah mereka seperti awan hujan besar yang memenuhi kolam. Demi kebaikanku, engkau tidak akan pernah mengalami kehilangan kekayaanmu, dan engkau harus memaafkan perilakuku terhadapmu. “

Setelah memujinya, Śakra mengembalikan harta besarnya kepadanya, dan memperoleh pemaafannya, kemudian dia menghilang di tempat.

Maka dengan cara inilah, orang bajik tidak akan membiarkan diri mereka kekurangan dalam kebajikan praktik memberi baik itu karena hilangnya kekayaan mereka atau karena mengharapkan kekayaan.

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *