Jātakamālā 24 – Mahākapijātakam
(Kisah Kera Besar)

Jātakamālā 24- Mahākapijātakam
(Kisah Kera Besar)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Orang-orang bajik tidak terlalu merasa menderita oleh rasa sakit mereka sendiri, tetapi mereka merasa lebih menderita ketika mengetahui orang-orang yang menyakiti mereka telah kehilangan kebahagiaannya. Inilah yang akan diajarkan sekarang.

Di sebuah wilayah yang diberkati di Himavat, tanahnya diliputi dengan berbagai bijih logam yang berbeda, dengan minyak yang beraroma harum dan beragam; dengan hutan-hutan megah yang menjadi pakaiannya, seolah-olah merupakan mantel berwarna sutra gelap. Lereng dan turunan dari tempat itu dihiasi oleh pemandangan yang indah, yang menyelaraskan ketidaksetaraan warna, bentuk dan kombinasi, sehingga seolah-olah telah ditata dengan sedemikian rupa dengan penuh perhatian.

Di tempat rekreasi para Vidyādhara ini, dibasahi oleh air dari berbagai aliran gunung yang melewatinya, penuh dengan lubang, jurang, dan ngarai yang dalam, bergema dengan suara dengungan lebah yang pelan, dibelai oleh angin sepoi-sepoi yang mengipasi berbagai jenis pohon dengan bunga, buah, dan batangnya yang indah. Dikisahkan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai seekor kera berukuran besar yang hidup sendirian. Meski terlahir sebagai seekor hewan, dia tidak kehilangan kesadarannya terhadap Dharma; dia bersyukur, berwatak mulia, dan memiliki kesabaran yang besar serta berwelas asih, inilah sifat-sifat yang tidak akan pernah meninggalkannya.

(1)
Meski hutan-hutan, pegunungan besar, dan samudera di bumi telah musnah beratus kali baik oleh air, api, atau angin; tetapi welas asih Bodhisattva yang agung tidak pernah padam.

Maka, hidup bagai seorang petapa, ia hanya menyantap makanan sederhana yang terdiri dari dedaunan dan buah-buahan dari pohon-pohon hutan; menunjukkan welas asih dalam berbagai keadaan dan cara kepada makhluk-makhluk yang dia temui dalam lingkup kekuasaannya, demikianlah Sang Mahātmā hidup di kawasan hutan tersebut.

Suatu ketika seorang pria berkeliaran ke segala arah untuk mencari sapi liar, kemudian tersesat, dan sama sekali tidak dapat menentukan arah berdasarkan langit, berkeliaran secara acak, dan sampai di tempat itu. Di sana, karena kelelahan oleh rasa lapar, haus, panas, dan letih, serta menderita karena api kesedihan yang berkobar di dalam hatinya, dia duduk di bawah pohon, tertekan oleh beban kesedihannya yang sangat berat. Melihat ke sekeliling, ia melihat sejumlah buah tinduka yang berwarna sangat kuning kecokelatan, yang telah matang dan jatuh dari pohonnya.

Rasa lapar yang sangat menyiksanya membuat buah itu terasa sangat manis baginya. Setelah menikmatinya, ia merasakan keinginan yang sangat kuat untuk mengetahui asal-usul buah itu, dan setelah melihat ke semua sisi dengan tajam, dia menemukan pohon yang merupakan asal buah tersebut. Pohon ini berakar di tepi air terjun yang miring, dengan buah-buahnya yang telah matang dengan warna kuning kecoklatan yang menggantung di dahan-dahannya. Mendambakan buah-buahan tersebut, pria itu mendaki lereng tersebut, dan memanjat pohon tinduka, mencapai sebuah dahan dengan buah yang menjorok ke arah jurang. Keinginannya untuk mendapatkan buah itu mendorongnya untuk menelusurinya sampai akhir.

(2)
Tiba-tiba dahan yang menggantung itu tidak mampu menanggung beban yang terlalu berat, sehingga patah dengan suara yang keras dan terjatuh, seolah-olah ditebang dengan sebuah kapak.

Dan, bersama dengan dahan itu, dia jatuh tertelungkup di jurang dalam yang dikelilingi dinding batu curam di semua sisinya, seperti sebuah lubang; tetapi karena dia dilindungi oleh dedaunan dan jatuh ke air yang dalam, dia berhasil keluar tanpa mengalami patah tulang. Setelah keluar dari air, dia pergi ke segala arah, mencari cara agar dia bisa menyelamatkan diri, tetapi tidak melihatnya. Karena dia tidak menemukan jalan keluar dan menyadari bahwa dia akan segera kelaparan di sana, dia merasa putus asa akan hidupnya, dan disiksa oleh panah kesedihan yang menusuk hati hingga air mata kesedihan membasahi wajahnya. Diliputi oleh keputusasaan dan pikiran yang menyakitkan, dia meratap dengan cara ini.

(3)
“Aku telah jatuh ke jurang ini, di tengah hutan yang jauh dari jangkauan manusia. Siapa lagi yang dapat menemukanku, selain sang kematian?

(4)
Siapakah yang dapat menyelamatkanku dari tempat ini, di mana aku telah terlempar, seperti binatang buas yang terjerat dalam perangkap? Tiada sanak-saudara, tiada teman yang berada di dekatku, yang ada hanyalah sekawanan nyamuk yang menghisap darahku.

(5)
Tidak! Melewati malam di dalam lubang ini akan menyembunyikanku dari pandangan alam semesta. Aku tidak akan lagi melihat berbagai keindahan taman, hutan, pepohonan, dan sungai. Tak ada lagi langit yang gemerlap dengan hiasan permata dari bintang-bintang yang bertebaran. Kegelapan yang pekat, seperti malam di tengah bulan gelap, menyelimutiku.”

Sambil meratap, pria itu bertahan di sana selama tiga hari dengan meminum air dan memakan buah tinduka yang jatuh bersama dirinya.

Pada saat itu sang kera besar yang sedang mengembara di dalam hutan itu dengan tujuan untuk mencari makanan, datang ke tempat itu seolah-olah diberi isyarat oleh dahan-dahan pohon tinduka yang digerakkan oleh angin. Ia mendaki ke atasnya dan melihat ke atas air terjun, melihat pria itu terbaring di sana dan membutuhkan bantuan. Dia juga melihat mata dan pipinya yang sudah cekung, dan anggota tubuhnya yang kurus kering, pucat, menderita kelaparan. Situasi buruk dari pria itu membangkitkan welas asih sang kera besar, yang mengesampingkan urusannya mencari makanan. Ia memusatkan perhatiannya pada pria itu dan dengan suara manusia mengucapkan hal berikut:

(6)
“Engkau yang berada di jurang yang tidak dapat dijangkau oleh manusia. Tolong katakan kepadaku, siapakah engkau dan apa yang menyebabkan engkau bisa berada di sana?”

Kemudian pria itu, mengarahkan matanya ke kera besar, menundukkan kepalanya dan melipat tangannya sebagai pemohon, berbicara:

(7, 8)
“Aku adalah seorang manusia, wahai makhluk gemilang. Setelah tersesat dan berkeliaran di hutan, aku mengalami kesusahan ini, sambil mencari buah dari pohon ini.

Aku tertimpa musibah yang berat ini saat jauh dari teman-teman dan sanak saudara. Aku memohon padamu, wahai pelindung pasukan kera, jadilah pelindungku juga.”

Kata-kata ini berhasil membangkitkan rasa welas asih tanpa batas dari Sang Mahāsattva.

(9)
Seseorang yang dalam kesusahan, tanpa teman atau sanak saudara yang membantunya, memohon bantuan dengan tatapan cemas dan tangan tertangkup, akan membangkitkan welas asih bahkan pada hati musuhnya sekalipun; bagi yang berwelas asih, ini akan menarik perhatiannya.

Kemudian Bodhisattva, merasa kasihan dan menghiburnya dengan kata-kata yang baik.

(10)
“Jangan berpikir bahwa engkau telah kehilangan segalanya karena jatuh ke jurang ini, atau bahwa engkau tidak memiliki sanak saudara untuk membantumu. Aku akan melakukan semua hal yang akan mereka lakukan kepadamu. Jangan takut.”

Dan setelah mengucapkan penghiburan, Bodhisattva memberikan tinduka dan buah-buahan lainnya kepada pria tersebut. Kemudian dengan tujuan untuk menyelamatkannya, dia pergi ke tempat lain, melatih dirinya dengan memanjat sambil membawa batu seberat manusia di punggungnya. Setelah mengetahui kapasitas kekuatannya dan merasa yakin bahwa dia mampu membawa pria itu keluar dari air terjun, dia turun ke dasar air, dan tergerak oleh welas asih, mengucapkan kata-kata ini kepada pria itu:

(11)
“Mari, naiklah ke atas punggungku dan berpegang erat padaku, sementara aku akan mengeluarkanmu dan membuat tubuhku berguna.

(12)
Bagi orang bajik, tubuh ini tidaklah berguna, kecuali jika digunakan sebagai alat untuk memberi manfaat bagi sesama makhluk hidup.”

Pria itu setuju, dan setelah dengan hormat membungkuk kepada kera, menaiki punggungnya.

(13)
Jadi dengan orang itu di punggungnya, kera itu membungkuk dengan rasa sakit akibat beban yang sangat berat. Namun, karena intensitas kebaikan hatinya dan dengan keteguhan pikiran yang tak tergoyahkan, dia berhasil menyelamatkannya meskipun dengan susah payah.

(14)
Dan setelah membebaskannya, dia menikmati kegembiraan tertinggi, tetapi juga merasa sangat lelah, sehingga dia berjalan dengan langkah yang lemah dan terhuyung-huyung, dan memilih beberapa lempengan batu berwarna kelabu untuk berbaring, agar dia bisa beristirahat.

Karena kemurnian hati dan sudah menolongnya, Bodhisattva tidak mencurigai bahwa pria itu berbahaya, dan berkata kepadanya dengan rasa percaya:

(15, 16)
“Bagian hutan yang mudah dimasuki ini terbuka bebas bagi para binatang buas. Oleh karena itu, agar tidak seorang pun dapat membunuhku dan menghancurkan kebahagiaan masa depannya sendiri dengan menyerangku saat aku beristirahat karena kelelahan, engkau harus berhati-hati melihat ke segala arah dan menjagaku maupun dirimu sendiri. Tubuhku benar-benar lelah, dan aku ingin tidur sebentar.”

Pria itu berjanji akan melakukannya. Ia berpura-pura jujur dengan mengatakan: “Tidurlah, tuan, selama yang engkau suka. Semoga nanti engkau bangun dengan perasaan menyenangkan! Aku akan berada di sini untuk menjagamu.” Tetapi ketika Bodhisattva sudah tertidur karena kelelahan, hal-hal jahat muncul di dalam pikirannya.

(17)
“Sumber penghidupanku di sini hanyalah akar-akaran yang diperoleh dengan sulit atau buah-buahan yang hanya bisa kuperoleh secara kebetulan. Bagaimana tubuh kurusku dapat menopang kehidupan dengan makanan-makanan tersebut, terlebih untuk memulihkan kekuatan?

(18)
Dan bagaimana aku akan berhasil melintasi hutan belantara yang sulit dilewati ini, jika tubuhku lemah? Namun, dari tubuh kera ini aku bisa memiliki makanan yang cukup untuk keluar dari hutan belantara yang menyulitkan ini.

(19)
Meskipun dia telah berbuat baik kepadaku, aku mungkin dapat memakannya karena dia telah diciptakan seperti itu. Aku boleh melakukannya, karena aturan dalam masa-masa sulit memperbolehkannya pada saat ini. Untuk alasan ini, aku harus mendapatkan perbekalan dari tubuhnya.

(20)
Tapi aku hanya bisa membunuhnya saat dia tidur nyenyak dan terlelap dengan penuh kepercayaan. Karena jika dia diserang dalam pertarungan terbuka, bahkan seekor singa pun tidak dapat dijamin menang.

Karena itu, aku tidak boleh kalah saat ini.” Setelah mengambil keputusan seperti itu, manusia jahat itu, yang pikirannya tercemari oleh nafsu jahat yang telah menghancurkan rasa terima kasih, kesadarannya akan aturan moral, dan bahkan perasaan welas asih dari dalam dirinya, tidak memikirkan tubuhnya yang sangat lemah, dan hanya mendengarkan keinginannya yang besar untuk melakukan tindakan keji itu, mengambil sebuah batu, dan menjatuhkannya tepat di atas kepala kera besar.

(21, 22)
Tetapi, karenanya tangannya gemetar karena kelemahan dan tergesa-gesa, juga karena nafsunya yang terlalu besar, batu itu, yang dilempar dengan keinginan untuk membuat kera itu tertidur dalam kematian, justru membangunkan tidurnya.

Batu itu tidak menghantam kepala kera dengan beban penuhnya, sehingga tidak menghancurkan kepalanya berkeping-keping; kepalanya hanya memar karena mengenai salah satu ujung batu, dan batu itu jatuh ke bumi dengan suara yang menggelegar.

(23, 24)
Bodhisattva, yang kepalanya terluka oleh batu, melompat dengan tergesa-gesa dan melihat sekelilingnya agar dia bisa menemukan orang yang melukainya. Ia tidak melihat siapa pun kecuali pria yang berdiri di hadapannya dalam sikap malu, bingung, takut, dan sedih, mengungkapkan kebingungannya dengan rona wajahnya yang pucat pasi, yang telah kehilangan kecerahannya; ketakutan yang muncul secara tiba-tiba telah mengeringkan tenggorokannya, tetesan keringat menutupi tubuhnya, dan dia tidak berani mengangkat pandangannya.

Segera setelah kera besar menyadari bahwa pria itu sendiri adalah pelaku kejahatan, tanpa memikirkan rasa sakit dari lukanya lagi, dia merasa dirinya benar-benar tergerak. Dia tidak menjadi marah, dia juga tidak ditundukkan oleh perasaan murka. Dia terbawa oleh perasaan welas asihnya kepada pria yang telah melakukan perbuatan jahat itu. Menatapnya dengan mata yang dibasahi oleh air mata, dia berkata:

(25, 26)
“Teman, bagaimana engkau, seorang manusia, dapat melakukan tindakan seperti ini? Bagaimana engkau dapat membayangkannya? Bagaimana engkau dapat melakukannya?

Engkau, yang telah melanggar janjimu sendiri untuk menjagaku dari musuh-musuh yang ingin menyakitiku dan menyerangku!

(27)
Aku merasa bangga karena telah melakukan suatu perbuatan yang sulit dilakukan, tetapi engkau menyingkirkan rasa banggaku, karena engkau telah melakukan perbuatan yang lebih sulit lagi untuk dilakukan.

(28)
Setelah dibawa kembali dari mulut kematian, engkau yang telah diselamatkan dari suatu jurang, kini sesungguhnya telah jatuh ke jurang yang lain!

(29)
Berusaha di atas ketidaktahuan merupakan hal yang keji dan paling kejam! Kebodohanlah yang menjerumuskan makhluk-makhluk menderita ke dalam kesusahan, (menipu mereka) dengan harapan palsu tentang kemakmuran.

(30, 31)
Engkau telah menghancurkan dirimu sendiri, menyalakan api kesedihan dalam diriku, mengaburkan kemegahan reputasimu, menghalangi kecintaanmu terhadap kebajikan-kebajikanmu sebelumnya, dan menghancurkan kepercayaan kepadamu. Kini engkau menjadi sasaran dari panah celaan. Manfaat besar apa yang engkau harapkan dengan bertindak seperti itu?

(32)
Pikiran bahwa engkau telah terjatuh dalam kejahatan karena diriku lebih membuatku menderita daripada rasa sakit dari luka ini, dan aku tidak memiliki kekuatan untuk menghapus kejahatan itu.

(33, 34)
Kalau begitu, pergilah bersamaku dan tetaplah berada di sisiku, tetapi ingatlah untuk selalu berada di depanku, karena engkau tidak dapat dipercaya. Aku akan membawamu keluar dari hutan yang berbahaya ini ke jalan yang mengarah pada tempat tinggal manusia. Janganlah berkeliaran sendirian di dalam hutan ini dalam keadaan kurus dan tidak tahu jalan, karena engkau akan diserang oleh makhluk yang akan menyakitimu, membuat upayaku untuk menyelamatkanmu menjadi sia-sia.

Dengan penuh welas asih kepada orang itu, Sang Mahātmā membawanya ke perbatasan wilayah yang berpenduduk, dan setelah mengantarnya, berkata lagi:

(35)
“Teman, engkau telah mencapai tempat tinggal manusia; sekarang engkau dapat meninggalkan kawasan hutan ini dengan semak belukar dan hutan belantara yang menakutkan. Semoga perjalananmu bahagia dan semoga engkau berusaha menghindari tindakan jahat. Karena menuai buah tindakan jahat adalah saat-saat yang sangat menyakitkan.”

Maka kera besar yang mengasihani pria itu, mengajarinya seolah-olah dia adalah muridnya; setelah itu ia kembali ke tempat tinggalnya di hutan. Tetapi orang yang telah melakukan perbuatan yang sangat keji dan jahat itu, tersiksa oleh api penyesalan yang menyala-nyala, dan tiba-tiba diserang penyakit kusta yang mengerikan. Sosoknya berubah, kulitnya dipenuhi dengan tonjolan yang menjadi bisul dan pecah, membasahi tubuhnya dengan isi bisul itu dan membuatnya berbau sangat busuk.

Ke negeri mana pun dia datang, dia menyebabkan ketakutan bagi manusia; begitu mengerikan bentuknya yang telah berubah. Penampilannya yang tidak menyerupai manusia maupun suaranya yang berubah menunjukkan rasa sakitnya. Orang-orang menganggapnya sebagai perwujudan makhluk halus, mengusirnya, mengancamnya dengan tongkat dan pemukul serta kata-kata ancaman yang kasar.

Pada suatu hari, ketika sedang berkeliaran di suatu hutan, dia terlihat oleh seorang raja yang sedang berburu di sana. Saat melihat penampilannya yang sangat mengerikan – karena dia tampak seperti preta, sisa-sisa pakaiannya yang kotor akhirnya terlepas, sehingga dia kesulitan untuk menutupi rasa malunya – raja itu, tergerak oleh rasa ingin tahu yang bercampur dengan ketakutan, bertanya kepadanya.

(36, 37)
“Tubuhmu cacat karena kusta, kulitmu penuh bisul; engkau tampak pucat, kurus, dan sengsara; rambutmu juga kotor oleh debu.

Siapa engkau? Apakah engkau seorang preta, atau asura, atau yaksa, atau pūtana? Atau jika itu penyakit, makhluk hidup apa yang bisa menunjukkan sedemikian banyak penyakit seperti itu?”

Pria itu, membungkuk kepada sang putra mahkota, menjawab dengan suara yang bergetar: “Aku adalah manusia, wahai raja agung, bukanlah makhluk halus.” Dan ketika ditanya lagi oleh raja, bagaimana dia bisa menjadi seperti itu, dia mengakui perbuatan jahatnya, dan menambahkan kata-kata berikut:

(38)
“Penderitaan ini merupakan bunga dari pohon yang telah kutanam, yakni pengkhianatan kepada temanku. Oh, pasti buahnya akan lebih menyedihkan dari ini.

(39)
Oleh karena itu, engkau harus menganggap perbuatan curang terhadap seorang teman sebagai musuhmu. Engkau harus memperlakukan baik teman-teman yang sudah berbaik hati kepadamu.

(40)
Mereka yang berperilaku jahat kepada teman-teman mereka, akan berada dalam keadaan yang menyedihkan di dunia ini. Dari sini engkau dapat menyimpulkan apa yang akan terjadi pada kehidupan selanjutnya, mereka yang pikirannya tercemar oleh ketamakan dan kejahatan lainnya, yang mencoba mencelakai teman-teman mereka.

(41)
Sebaliknya, ia, yang pikirannya dipenuhi dengan kebaikan dan cinta kasih kepada teman-temannya, memperoleh reputasi yang baik, dipercaya oleh teman-temannya, dan menikmati manfaatnya. Dia akan memiliki pikiran yang bahagia dan ketenangan, musuh-musuhnya akan menganggapnya sebagai orang yang sulit untuk disakiti, dan akhirnya dia akan mendapatkan tempat tinggal di surga.

(42)
Demikianlah, setelah mengetahui kekuatan dan akibat dari perilaku baik dan jahat kepada teman, wahai raja, berpegang teguhlah pada jalan yang diikuti oleh orang-orang yang bajik. Dia yang mengikuti ini akan mencapai kebahagiaan.”

Maka dengan cara inilah, orang-orang bajik tidak terlalu merasa menderita oleh rasa sakit mereka sendiri, tetapi mereka merasa lebih menderita ketika mengetahui orang-orang yang menyakiti mereka telah kehilangan kebahagiaannya.

[Demikianlah dikatakan, ketika berkhotbah tentang keagungan Sang Tathāgata, dan ketika sedang mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian; begitu juga ketika berhadapan dengan kesabaran dan kesetiaan terhadap teman; juga ketika menunjukkan keburukan dari perbuatan jahat.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *