Jātakamālā 23 – Mahābodhijātakam
(Kisah Mahābodhi)

Jātakamālā 23 – Mahābodhijātakam
(Kisah Mahābodhi)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Welas asih yang dirasakan oleh para bajik kepada penyokongnya tidak akan berkurang, meskipun ada luka yang terjadi pada mereka. Demikianlah rasa syukur mereka yang telah menyerap kesabaran. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada saat Sang Bhagavā adalah seorang Bodhisattva, beliau adalah seorang pertapa pengembara bernama Mahābodhi. Ketika masih berumah tangga, ia telah mempelajari ia telah mempelajari berbagai cabang ilmu duniawi dan seni secara menyeluruh. Setelah itu, setelah meninggalkan keduniawia dan mengerahkan dirinya demi manfaat bagi dunia, ia mengarahkan pikirannya lebih sungguh-sungguh untuk mempelajari ajaran-ajaran suci dan memperoleh penguasaan dalam ilmu itu.

Berkat timbunan jasa kebajikan, keagungan kebijaksanaan dan pengetahuannya tentang dunia, dan keahliannya yang unggul dalam seni berbincang dengan manusia, ke negara mana pun dia pergi, ia dicari sebagai kawan, dan teman-temannya disenangi oleh para terpelajar maupun oleh para pangeran yang dilindungi oleh para terpelajar, oleh para Brāhmana yang hidup di dunia, dan juga oleh para pertapa lainnya.

(1)
Kebajikan memperoleh kemegahannya dengan muncul di atas dasar perbuatan baik, tetapi dengan keanggunan praktiknya, mereka akan mendapatkan kasih sayang manusia dan dipuji dengan penuh hormat bahkan oleh musuh-musuhnya sekalipun, yang berkewajiban untuk melakukannya demi reputasi mereka sendiri.

Sang Mahātmā, mengembara dengan tujuan berbuat baik kepada para umat manusia di desa-desa, kota-kota, pasar, negara, kerajaan, kediaman kerajaan, telah mencapai wilayah seorang raja yang ― setelah mendengar tentang kemegahan dari banyak kebajikannya ― bersukacita mengetahui kedatangannya.

Setelah diberi tahu hal itu jauh sebelumnya, sang raja telah membangun tempat tinggal untuk pertapa itu di sebuah tempat yang menyenangkan di taman kesukaannya sendiri. Pada saat pertapa itu datang, sang raja memintanya untuk memasuki kerajaannya dengan cara yang paling terhormat, menemuinya dan menunjukkan tanda penghormatan lainnya. Dia memperhatikan dan mendengarkan ajarannya, seperti seorang murid yang mematuhi guru spiritualnya.

(2)
Bagi seorang pecinta kebajikan, kedatangan seorang tamu bajik yang datang dengan penuh percaya diri ke rumahnya yang kaya raya merupakan semacam pesta.

Dan sebagai bagiannya, Bodhisattva memberikan khotbah harian tentang ajaran agama yang menyenangkan baik di telinga maupun di hati, yang dia persiapkan secara perlahan untuk berjalan di atas jalan menuju pembebasan.

(3)
Mereka yang mencintai Dharma berkeinginan untuk mengajarkan ajaran agama kepada orang-orang yang belum menunjukkan ketertarikan, karena mereka akan melakukannya atas dasar welas asih terhadap sesamanya. Bagaimana mungkin mereka tidak mengajari mereka yang ingin menerima ajaran dan membuka hatinya, yang bagaikan bejana murni?

Tetapi para menteri raja itu, meskipun dihormati karena pendidikan mereka, juga para penasihatnya, meskipun juga diperlakukan dengan hormat, tidak dapat menerima penghormatan yang terus diberikan kepada keagungan kebajikan Bodhisattva yang terus meningkat. Kecemburuan telah menodai pikiran mereka.

(4)
Kemuliaan dan kemasyhuran seseorang yang menunjukkan kemampuannya untuk mempesona umat manusia dengan keunggulan kebajikannya, cukup untuk menyalakan api rasa iri hati pada mereka yang dihormati hanya karena keahlian mereka.

Mereka tidak dapat mengalahkannya dalam debat terbuka tentang topik-topik ajaran spiritual, dan pada saat yang sama juga merasa sedih melihat raja yang semakin taat kepada Dharma. Kemudian, untuk memunculkan ketidakpuasan raja terhadap Bodhisattva, mereka akan melakukan sesuatu. Kemudian mereka berkata, “Yang mulia tidak boleh menaruh kepercayaan pada pertapa pengembara bernama Bodhi itu. Jelas bahwa dia adalah mata-mata dari raja pesaing Anda, yang telah mengetahui ketaatan Yang Mulia terhadap kebajikan dan kebenaran. Orang pintar ini memanfaatkan lidahnya yang lembut, halus, dan menipu, untuk membujuk Anda ke dalam kebiasaan buruk dan membocorkan tindakan Anda.

Dia berpura-pura menjadi seorang pengikut Dharma, memerintahkan Yang Mulia untuk secara khusus mempraktikkan welas asih dan menumbuhkan rasa malu, mendorong Anda untuk mengambil kehidupan religius yang tidak sesuai dengan tugas kerajaan dan militer Anda. Menghambat kemajuan harta (artha) dan kesenangan (kāma), juga tunduk pada bahaya akibat mengikuti kebijakan yang buruk. Betul, bahwa dia menasihati Anda dengan murah hati, menyarankan tindak-tanduk yang harus Anda ikuti. Meskipun demikian, dia sering berbicara dengan utusan raja-raja lain, dan dia sangat asing dengan isi panduan kebijaksanaan bernegara yang membahas tugas-tugas raja. Oleh karena inilah, hati kami dipenuhi dengan ketakutan.”

Kata-kata seperti itu diucapkan dengan maksud untuk memecah-belah, diulang berkali-kali oleh banyak orang yang berpura-pura memedulikan kebaikan sang raja, sehingga memberikan pengaruh. Kedekatan dan rasa hormatnya terhadap Bodhisattva menyusut oleh rasa tidak percaya, dan sikap terhadapnya menjadi berubah.

(5)
Demikianlah fitnah, bagai rangkaian petir dahsyat yang menggelegar, menembus telinga manusia. Apakah ada seseorang yang dapat tetap tak tergoyahkan olehnya, tetap percaya dan teguh dalam keyakinan terhadap kekuatannya sendiri?

Kurangnya rasa percaya membuat raja tidak lagi mengasihi dan menghormati Sang Bodhisattva seperti sebelumnya. Tetapi Bodhisattva, karena kemurnian hatinya, tidak mempermasalahkannya; “Sang raja teralihkan oleh banyak pekerjaan,” pikirnya. Namun, ketika dia merasakan sikap dingin dan kurangnya perhatian dari para pejabat kerajaan, dia mengerti bahwa dia telah membuat raja merasa tidak senang. Dia mengambil tiga peralatannya sebagai seorang pertapa, yakni tongkatnya, wadah airnya, dan mangkuk makanannya; bersiap untuk pergi. Raja, mendengar keputusannya, karena ia masih tergerak oleh sisa-sisa cinta kasihnya yang dulu, juga sebagian dari dirinya tidak ingin mengabaikan sopan santun dan formalitas, mendatanginya dan berpura-pura ingin menahannya, berkata:

(6)
“Untuk alasan apa engkau memutuskan untuk pergi, meninggalkan kami secara tiba-tiba? Apakah engkau mengeluhkan tentang kurangnya perhatian dari kami, sehingga membuat engkau merasa takut? Jika ini masalahnya, engkau telah mencurigai kami tanpa alasan, ini hanyalah ketidaksengajaan.”

Sang Bodhisattva menjawab:

(7)
“Kepergianku memiliki alasan yang bagus. Bukan karena masalah sepele seperti perlakuan buruk yang membuatku jengkel, tetapi karena ketidakjujuranmu, engkau tidak lagi menjadi wadah kebenaran. Atas alasan inilah aku pergi.”

Pada saat itu anjing peliharaan kesayangan raja datang berlari ke arah Bodhisattva dengan sikap tidak bersahabat dan menggonggong dengan mulut yang terbuka lebar. Menunjuk anjing ini, Bodhisattva berkata lagi: “Biarkanlah hewan ini menjadi saksi dari kejadian ini, Yang Mulia.

(8, 9)
Dulu anjing ini senang berada di sisiku, mengikuti contoh darimu. Tapi kini dia memperlihatkan perasaanmu dengan gonggongannya, karena dia tidak tahu bagaimana cara untuk berpura-pura. Tentunya, dia pasti telah mendengar kata-kata kasar darimu tentang diriku, seperti yang akan terjadi ketika cinta kasih telah dihancurkan; dan sekarang, jujur, dia bertindak sesuai dengan mereka, agar dia bisa menyenangkanmu; karena begitulah seperti itulah para pelayan yang memakan roti milik tuannya.”

Teguran ini membuat raja merasa malu, dan membuatnya menunduk. Ketajaman pikiran Bodhisattva menyentuhnya dan menggerakkan hatinya. Dia pikir adalah tidak pantas untuk berpura-pura lebih lanjut lagi, dan membungkuk hormat kepadanya, berbicara:

(10)
“Engkau memang menjadi bahan pembicaraan seperti yang kau katakan. Orang-orang yang lancang itu telah mengatakannya di dalam dewanku, dan aku, yang terlarut dengan berbagai urusan, mengabaikan masalah itu. Engkau harus memaafkanku dan tinggal di sini. Kumohon, jangan pergi.”

Bodhisattva menjawab: “Tentunya, bukan karena perlakuan buruk yang membuatku ingin pergi, Yang Mulia. Aku pun juga tidak didorong oleh kebencian. Tetapi mengingat sekarang bukan waktu yang tepat untuk tinggal di sini, Yang Mulia, untuk alasan inilah aku pergi. Pertimbangkanlah ini.

(11)
Jika entah karena keterikatan atau sikap apatis, aku tidak pergi sekarang, pasti pada waktunya nanti, setelah semua keramahan yang ditunjukkan kepadaku ini memudar, aku akan diusir.

(12)
Aku akan meninggalkanmu bukan dengan hati yang sakit oleh kebencian, tetapi karena inilah jalan yang tepat untuk kuikuti sekarang. Kebaikan-kebaikanmu sebelumnya tidak akan terhapus dari hati orang yang bajik hanya karena sebuah penghinaan.

(13)
Tetapi orang yang tidak baik hati tidak layak untuk menjadi pelindung, tidak lebih dari sebuah kolam kering yang akan menolong seseorang yang kekurangan air. Jika keuntungan dapat diperoleh dari pihak yang seperti itu, dibutuhkan banyak kehati-hatian untuk mendapatkannya, hasilnya pun akan kecil dan bermasalah.

(14)
Tetapi, dia yang menginginkan kemudahan dan tidak menyukai kesulitan, hanya harus mendatangi pelindung yang telah menenangkan pikirannya, dengan ketenangan yang menyerupai danau besar berisi air murni di musim gugur. Demikianlah perilaku orang bajik diketahui seperti ini.

(15)
Selanjutnya, dia yang menolak niatan untuk berbakti, mendatangi seseorang yang membenci dirinya sehingga memunculkan penderitaan pada diri sendiri, atau lambat dalam mengingat kebajikan-kebajikan sebelumnya – orang-orang seperti itu tidak seperti manusia yang sesungguhnya.

(16)
Persahabatan dihancurkan baik oleh kurangnya hubungan dan perhatian, juga oleh permintaan yang terlalu sering. Oleh karena itu, dengan maksud untuk melindungi sisa persahabatan kita karena aku telah menetap di sini, sekarang aku mohon pamit.”

Raja berkata: “Jika Yang Mulia memiliki tekad yang kuat untuk pergi, berpikir bahwa kepergianmu sangat diperlukan, maka sudilah untuk menyenangkan kami dengan kembali lagi ke sini. Bukankah engkau juga mengatakan bahwa persahabatan harus dijaga dengan baik?

Bodhisattva menjawab: “Yang Mulia, hidup di dunia adalah sesuatu yang tunduk pada banyak rintangan, karena banyak sekali musuh dalam berbagai bentuk malapetaka yang menyertainya. Mempertimbangkan hal ini, aku tidak dapat berjanji bahwa aku akan datang kembali. Aku hanya dapat mengungkapkan keinginanku untuk bertemu kembali denganmu di lain waktu, ketika mungkin ada alasan yang sangat diperlukan untuk datang.”

Setelah menenangkan raja dengan cara ini, yang melepasnya dengan cara yang paling terhormat, ia beranjak dari kediamannya. Karena merasa pikirannya tidak nyaman bila berhubungan dengan orang-orang yang hidup dalam keduniawian, Bodhisattva menetap di suatu tempat di dalam hutan. Dengan berdiam di sana, dia mengarahkan pikirannya pada latihan meditasi dan tak lama kemudian ia mencapai keempat tingkatan dhyāna dan lima jenis pengetahuan transenden (abhijñā).

Ketika dia sedang menikmati kebahagiaan ketenangan yang luar biasa, ingatan tentang raja, yang disertai dengan perasaan welas asih, muncul di benaknya. Dan, karena dia mengkhawatirkan keadaan sang raja, dia mengarahkan pikirannya kepadanya, dan melihat bahwa para menterinya masing-masing membujuk dia untuk mengikuti prinsip-prinsip ajaran (palsu) yang dia anut. Salah satu di antara mereka berusaha untuk meyakinkan dia tentang ajaran yang ketiadaan sebab-akibat, menggunakan contoh-contoh di mana hukum sebab-akibat sulit untuk dipahami.

(17)
“Apa,” ucapnya, “Penyebab dari bentuk, warna, susunan, tekstur dan sebagainya dari tangkai, kelopak, tangkai sari dan buah dari teratai? Siapa yang menyebabkan perbedaan jenis bulu burung di dunia ini? Seluruh alam semesta ini ada tanpa alasan selain karena memang demikianlah sifatnya. Segala sesuatu merupakan hasil dari sifat-sifat esensial dan inherennya sendiri.

Yang lain, yang menganut ajaran bahwa ada makhluk tertinggi (Īśvara) sebagai sebab pertama, menjelaskan kepadanya tentang prinsip-prinsip ajarannya.

(18)
“Tidak mungkin alam semesta ini ada tanpa sebab. Ada suatu makhluk yang mengaturnya, yang tunggal dan abadi. Akibat dari kehendak transendental makhluk inilah, dunia diciptakan dan dihancurkan.

Yang lain, sebaliknya, membuatnya bingung dengan doktrin ini: “Alam semesta ini adalah hasil dari perbuatan-perbuatan lampau, yang menjadi penyebab nasib baik dan buruk; diri sendiri tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk mengubahnya.

(19)
Sesungguhnya, bagaimana mungkin suatu makhluk dapat menciptakan berbagai zat dan sifat yang berbeda-beda pada waktu yang bersamaan? Alam semesta ini merupakan akibat dari perbuatan sebelumnya. Sebab dia yang terampil dalam memperjuangkan kebahagiaannya pun mengalami kemalangan.”

Yang lain lagi membujuknya untuk hanya mengikuti kenikmatan-kenikmatan indria, melalui penalaran yang didengar oleh para penganut doktrin pemusnahan.

(20)
“Potongan-potongan kayu memiliki warna, sifat, dan bentuk yang berbeda-beda. Hal ini tidak dapat dikatakan ada sebagai hasil dari tindakan, namun hal-hal ini ada, dan mereka tidak muncul lagi setelah musnah. Demikian pula dengan dunia ini. Untuk alasan inilah, seseorang harus menjadikan kesenangan sebagai tujuan utama kehidupan.”

Yang lainnya berpura-pura mengajari raja tentang tugas-tugas kerajaan, menyarankannya untuk mengikuti praktik-praktik yang diajarkan dalam pengetahuan para Kṣatriya, mengikuti ajaran (nīti)  tata negara yang berliku-liku, tercemari oleh kekejaman dan bertentangan dengan kebenaran (Dharma).

(21)
“Engkau harus memanfaatkan rakyat-rakyatmu, bagaikan pohon-pohon rindang, karena mereka terbukti cocok untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu, berusahalah untuk meningkatkan kemuliaanmu dengan menunjukkan rasa syukur kepada mereka, hingga engkau tidak ingin lagi memanfaatkannya. Mereka kemudian dapat dijadikan sebagai persembahan dalam upacara pengorbanan.”

Demikianlah menteri-menteri itu ingin menyesatkan raja, melalui doktrin ajaran palsunya masing-masing.

Mengetahui bahwa sang raja akan jatuh ke jurang ajaran palsu  karena bergaul dengan orang-orang jahat dan membiarkan dirinya diarahkan oleh orang-orang yang dia percayai, Sang Bodhisattva tersentuh oleh perasaan welas asih dan memikirkan beberapa cara untuk menyelamatkannya.

(22)
Orang-orang bajik, sebagai akibat dari praktik kebajikan mereka yang terus-menerus, mengingat kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan kepada mereka, sedangkan kejahatan yang mereka alami luruh dari pikiran mereka, bagaikan air yang menetes jatuh dari kelopak teratai.

Setelah memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan, Bodhisattva ― melalui kesaktiannya ― menciptakan seekor kera besar, untuk diambil kulitnya, lalu membuat seluruh tubuh kera itu menghilang. Bodhisattva mengenakan kulit itu dan muncul di pintu masuk istana raja.

Setelah diantar oleh penjaga pintu, dia diterima di hadapan kerajaan. Dia melewati para penjaga yang ditempatkan di luar, dan melalui berbagai pelataran yang dipenuhi oleh para perwira, Brāhmana, tentara, utusan, dan penduduk kota yang terkemuka, dan memasuki aula pertemuan yang pintu-pintunya dijaga oleh para penjaga pintu dengan pedang dan tongkat dari luar. Sang raja sedang duduk di singgasananya, dikelilingi oleh kumpulan orang-orang terpelajar dan bijaksana, berpakaian megah dan tertata rapi. Raja datang menemuinya, dan menunjukkan segala rasa hormat kepada seorang tamu. Setelah bertukar pujian dan kata-kata sambutan yang baik seperti biasanya, ketika Bodhisattva duduk di tempat yang ditawarkan kepadanya, sang raja ― yang penasaran dengan kulit kera itu ― bertanya kepadanya bagaimana dia mendapatkannya:

“Siapa yang mempersembahkan kulit kera ini pada Yang Mulia, yang melakukan kebaikan besar bagi dirinya sendiri melalui perbuatan itu?”

Bodhisattva menjawab: “Aku mendapatkannya sendiri, Yang Mulia, aku tidak menerimanya dari orang lain. Saat duduk atau tidur di tanah keras yang hanya beralaskan jerami tipis, tubuh ini menderita, dan kewajiban spiritual tidak dapat dilakukan dengan nyaman. Kemudian, aku melihat seekor kera besar di tempat pertapaan dan berpikir: ‘Oh! Inilah alat yang tepat untuk melakukan tugas-tugas spiritualku, yakni kulit dari kera ini! Dengan duduk atau tidur di atasnya, aku akan dapat menyelesaikan kewajiban-kewajiban spiritualku, tanpa memikirkan tempat duduk kerajaan dengan kain yang paling berharga terbentang di atasnya.” Setelah memikirkan hal ini, aku segera menaklukkan hewan itu dan mengambil kulitnya.

Mendengar cerita itu, raja yang sopan dan berpendidikan tinggi tidak menjawab apa pun kepada Bodhisattva, tetapi menundukkan pandangannya karena merasa malu. Akan tetapi, para menterinya, yang sebelumnya telah menaruh dendam pada Bodhisattva, memanfaatkan kesempatan ini untuk menyatakan pendapat mereka. Mereka menatap raja dengan wajah berseri-seri dan menunjuk ke arah Bodhisattva, berseru: “Betapa pertapa ini benar-benar  taat dan mengabdikan dirinya pada terhadap ajaran spiritualnya, yakni kesenangannya sendiri! Sungguh ia sangat teguh dengan ajarannya sendiri! Betapa mahirnya ia dalam mewujudkan tujuannya! Sungguh mengherankan, meski sendirian dan kurus kering dalam pertapaan, dia masih mampu untuk menaklukkan seekor kera yang begitu besar, yang baru saja memasuki tempat pertapaannya! Apapun yang terjadi, semoga pertapaannya berhasil!

Bodhisattva, tanpa kehilangan ketenangan batinnya, menjawab mereka dengan berkata: “Para Yang Mulia yang menyalahkanku, janganlah mengabaikan prinsip keadilan dari ajaran kalian. Sungguh ini bukanlah cara yang tepat untuk memuliakan ajaran kalian sendiri. Yang Mulia harus mempertimbangkan hal berikut ini.

(23)
Dia yang menghina ajaran-ajaran musuhnya dengan menggunakan kata-kata yang bertentangan dengan ajarannya sendiri, sesungguhnya sedang merendahkan musuhnya dengan merendahkan dirinya sendiri.”

Setelah menegur menteri-menteri itu secara bersamaan, Sang Bodhisattva, yang ingin menegur mereka sekali lagi secara satu per satu, berbicara kepada menteri yang menyangkal hukum sebab-akibat dengan cara seperti ini:

(24)
“Engkau mengakui bahwa alam semesta ini merupakan akibat dari sifat-sifat yang esensial dan inheren. Sekarang, jika ini benar, mengapa engkau menyalahkanku? Apa salahku, jika kera ini mati karena kodratnya? Oleh karena itu, aku telah membunuhnya dengan benar.

(25)
Namun, jika aku telah bersalah karena membunuhnya, jelas bahwa kematiannya ini disebabkan oleh suatu sebab. Karena itu, engkau harus meninggalkan ajaran non-kausalitas maupun menggunakan pemikiran yang tidak sesuai denganmu.

(26)
Selanjutnya, jika susunan, warna, dan lain-lain pada tangkai, kelopak, dan sebagainya dari bunga teratai bukanlah akibat dari suatu sebab, bukankah seharusnya mereka dapat selalu ditemukan dan ada di mana-mana? Tetapi tidak demikian, mereka berasal dari biji yang berada di dalam air dan seterusnya; di mana jika kondisi ini ditemukan, mereka akan muncul, bukan di tempat kondisi itu tidak ditemukan.

(27)
Dia yang menyangkal adanya faktor-faktor penyebab melalui penalaran yang disertai dengan penjelasan, bukankah orang itu sedang mengabaikan ajarannya sendiri? Sebaliknya, jika dia menolak untuk menggunakan penalaran, bagaimana mungkin mereka dapat mempertahankan penjelasannya?

(28)
Dan lebih jauh lagi, dia yang mengatakan bahwa hukum sebab-akibat itu tidak ada ketika dia tidak dapat memahami penyebab dari suatu peristiwa tertentu, bukankah dia akan menjadi marah ketika mereka mengetahui bahwa ada penyebab dari sesuatu, dan melawannya dengan makian?

(29)
Dan jika penyebabnya tidak terlihat, mengapa engkau dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada penyebab? Karena ada sebab yang tidak dapat kita pahami, misalnya terik matahari yang tidak lagi terlihat saat matahari terbenam.

Lebih jauh lagi, tuan,

(30)
Demi kebahagiaan, engkau mengejar hal-hal yang engkau inginkan dan menghindari hal-hal yang menghalanginya. Dengan cara yang sama pula engkau melayani raja. Kendati demikian, apakah engkau masih berani menyangkal hukum sebab-akibat?

(31)
Dan, jika engkau masih bersikeras dengan ajaran non-kausalitas, maka kematian kera ini tidak berasal dari penyebab apa pun. Maka mengapa engkau menyalahkanku?”

Jadi dengan penjelasan-penjelasan yang gambling, Sang Mahātmā membuat pendukung ajaran non-kausalitas itu kebingungan.

Kemudian, kepada orang yang percaya pada sosok makhluk tertinggi, dia berkata: “Engkau juga tidak boleh menyalahkanku, wahai tuan yang terhormat. Menurut ajaranmu, tuanmu adalah penyebab segalanya. Lihatlah.

(32, 33)
Jika ada sosok makhluk tertinggi yang melakukan segalanya, maka bukankah dia yang membunuh kera itu? Mengapa engkau dapat menyalahkanku karena kesalahan makhluk lain?

Namun, jika engkau menganggap dia tidak melakukan pembunuhan terhadap kera yang gagah berani itu karena rasa welas asihnya, bagaimana engkau bisa dengan lantang menyatakan bahwa makhluk tertinggi itu adalah penyebab dari alam semesta ini?

Selain itu, seperti yang engkau yakini, bahwa segala sesuatu (diciptakan dan) dilakukan oleh makhluk tertinggi,(

(34)
Mengapa engkau berharap untuk menyenangkan makhluk tertinggi melalui pujian, permohonan, dan sejenisnya? Makhluk yang menciptakan dirinya sendiri itu pasti sudah menentukan tindakan-tindakan yang akan engkau lakukan.

(35)
Namun jika engkau berkata bahwa engkau melakukannya atas kehendakmu sendiri, engkau tetap tidak dapat menyangkal bahwa dialah yang menentukan perilakumu. Dia yang berkehendak melalui sifat maha kuasanya adalah pelaku dari sebuah tindakan.

(36, 37)
Sekali lagi, jika makhluk tertinggi itu adalah pelaku dari segala kejahatan, seberapapun banyaknya pebuatan jahat yang telah dilakukan, maka kebajikan apa yang ia miliki sehingga engkau harus memupuk ketaatan kepadanya?

Di sisi lain, jika bukan dia yang melakukannya karena dia membenci kejahatan, maka tidak tepat untuk mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh makhluk tertinggi.

(38, 39)
Lebih jauh lagi, kekuasaan makhluk tertinggi itu harus bertumpu pada suatu tatanan kebenaran (Dharma) atau pun pada sesuatu yang lain. Jika dia berasal dari Dharma, maka makhluk tertinggi itu tidak mungkin ada sebelum Dharma.

Jika dia dipengaruhi oleh beberapa penyebab eksternal, maka dia lebih pantas disebut sebagai pengikut, bukan penguasa, karena dia bergantung pada sesuatu.

Namun demikian, jika terlepas dari pemikiran ini, terikat pada doktrin keyakinan dan tanpa merenungkan dengan baik kemungkinan maupun ketidakmungkinannya,

(40)
Engkau yang teguh dalam meyakini bahwa sang makhluk tertinggi adalah penyebab tunggal dari seluruh alam semesta, mengapa kemudian engkau menyalahkanku dalam pembunuhan kera tersebut, yang telah diputuskan oleh sang makhluk tertinggi?

Demikianlah pemikiran yang terhubung dengan baik dengan berbagai argumen yang meyakinkan, Sang Mahātmā membuat sang menteri pengikut makhluk tertinggi (Īśvara) itu terdiam.

Dan beralih ke menteri yang merupakan pendukung doktrin karma, dia menyapanya dengan cara yang sangat terampil, mengatakan: “Seharusnya engkau pun juga tidak mencelaku. Menurut pendapatmu, semuanya merupakan akibat dari karma. Untuk alasan ini, aku memberitahumu,

(41)
Jika segala sesuatu harus dikaitkan secara eksklusif dengan kekuatan karma, maka monyet ini telah dibunuh dengan benar olehku. Dia telah terbakar oleh api liar dari karmanya sendiri. Apa kesalahanku sehingga engkau harus menyalahkanku?

(42)
Di sisi lain, seandainya aku telah melakukan tindakan buruk dengan membunuh kera, maka akulah penyebab kematiannya, bukan tindakan lampaunya. Selanjutnya, jika engkau menyatakan bahwa karma selalu menghasilkan karma yang baru, maka tidak ada yang akan mencapai pembebasan terakhir dalam sistem ajaranmu.

(43)
Jika penderitaan dapat berganti menjadi kebahagiaan – dan jika kebahagiaan yang sudah ada harus berganti menjadi penderitaan, maka kita dapat menyimpulkan bahwa nasib baik dan buruk bergantung secara khusus kepada tindakan lampau.

(44)
Namun, pada kenyataannya, kita tidak meliaht aturan tentang munculnya kebahagiaan dan penderitaan ini di mana pun. Tindakan lampau bukanlah penyebab satu-satunya dan keseluruhan dari hal-hal tersebut. Dengan demikian, berhentinya karma baru adalah hal yang mungkin. Dan kekurangan ini, dari mana engkau harus mendapatkan “karma lama” (yang sangat diperlukan untuk mempertahankan Alam Semesta)?

(45)
Namun, jika engkau kukuh pada doktrin karmamu, atas alasan apa engkau dapat mengatakan bahwa aku yang telah menyebabkan kematian kera itu?

Dengan cara inilah Sang Mahātmā memberikan penjelasan yang tak terbantahkan, membuatnya terdiam seolah-olah dia telah bersumpah untuk diam.

Selanjutnya Bodhisattva, sambil tersenyum, berkata kepada seorang menteri yang merupakan penganut doktrin pemusnahan: “Betapa kehormatanmu begitu bersemangat untuk menyalahkanku, jika setidaknya engkau benar-benar pendukung doktrin pemusnahan.

(46)
Jika tidak ada masa depan setelah kematian, mengapa kita harus menghindari perbuatan jahat, dan untuk apa kita harus menjunjung tinggi perbuatan baik? Orang bijak akan berperilaku mengikuti keinginannya sendiri, sesuatu yang paling dia sukai. Jika ajaran ini benar, maka aku tidak bersalah karena telah membunuh kera itu.

(47, 48)
Namun, jika rasa takut terhadap pendapat masyarakat menyebabkan seseorang menghindari perbuatan buruk dan mengikuti jalan kebajikan, bagaimanapun juga, ia tidak akan luput dari kritik masyarakat, karena ketidaksesuaian antara kata-kata dan perbuatannya. Kebahagiana juga tidak dapat diperoleh dengan mudah dengan mengikuti pendapat masyarakat.

Dengan demikian, bukankah orang seperti itu, yang membiarkan dirinya disesatkan oleh doktrin yang sia-sia dan menipu, merupakan orang bodoh yang paling menyedihkan?

Sesuai pernyataanmu, ketika engkau mengatakan:

(49)
‘Potongan-potongan kayu memiliki perbedaan dalam warna, sifat dan bentuk. Perbedaan itu tidak dapat dikatakan ada sebagai hasil dari karma, namun mereka ada, dan mereka tidak muncul lagi setelah lenyap. Demikian pula dengan dunia ini. Mohon beri tahu aku, apa alasanmu untuk mempercayai hal itu, setelah semua ini?

(50)
Meskipun demikian, jika engkau bertahan pada keyakinan terhadap doktrin pemusnahan, apa alasan engkau mencela pembunuh kera atau manusia?”

Maka Bodhisattva membungkam penganut pemusnahan itu dengan sanggahan yang terlihat anggun.

Kemudian dia berbicara kepada menteri yang sangat ahli dalam pengetahuan bernegara. “Apa alasanmu untuk mencelaku juga, jika engkau benar-benar menganggap tindak-tanduk yang diajarkan dalam pengetahuan bernegara itu benar?

(51)
Menurut doktrin itu, sesungguhnya, perbuatan baik ataupun jahat harus dilakukan demi keuntungan materi; barulah setelah berada dalam puncak kekuasaan, seseorang harus membagikan kekayaannya kepada orang lain, melakukan tindakan sesuai kebenaran (Dharma) demi keuntungannya sendiri.

Atas dasar inilah aku memberitahumu.

(52)
Jika demi kepentingan pribadi, engkau dapat mengingkari kejujuran meskipun kepada kerabat dekatmu sendiri, maka apa alasanmu mencelaku yang telah membunuh kera itu demi mendapatkan kulitnya, mempraktikkan aturan yang juga diajarkan dalam doktrinmu?

(53)
Di sisi lain, jika perbuatan seperti itu harus disalahkan karena kekejamannya dan disertai dengan akibat yang buruk, bagaimana engkau bisa mengikuti pengetahuan yang tidak mengakui hal tersebut?

(54)
Jika itu adalah perwujudan dari kebijakan di dalam sistem ajaranmu, bagaimana engkau dapat memutuskan penilaian yang benar dan salah? Oh! Sungguh tidak tahu malu, dia yang menindas kemanusiaan dan mengajarkan ketidakadilan melalui ajaran-ajaran hukum yang berkuasa!

(55)
Namun demikian, meski engkau tetap mempertahankan doktrin palsu itu, yang telah ditentukan dalam ajaran sektemu secara jelas, maka bukan aku yang harus disalahkan atas kematian kera itu, karena aku mengikuti peraturan yang diajarkan di dalam ajaranmu.”

Maka dengan cara ini, Sang Mahātmā menaklukkan para menteri itu dengan serangan yang kuat, meskipun mereka memiliki pengaruh yang kuat terhadap para majelis, terlepas dari rasa tidak tahu malu mereka. Dan ketika dia mengerti bahwa dia telah memenangkan pertemuan dengan raja, dia ingin menghilangkan kesedihan yang ada di hati mereka karena pembunuhan kera itu. Bodhisattva berbicara kepada raja, mengatakan: “Sebenarnya, Yang Mulia, aku tidak pernah membunuh makhluk hidup apapun. Aku menggunakan kesaktianku. Kulit ini berasal dari kera yang kuciptakan sendiri untuk pembicaraan ini. Karena itu, jangan keliru dalam menilaiku.” Demikianlah, dia menghilangkan ilusi (kulit kera) yang dia buat sendiri dengan kesaktiannya. Kemudian, melihat bahwa raja dan para majelisnya sudah siap untuk menerima ajaran baru, dia berkata:

(56)
“Siapakah, yang mengetahui bahwa semua hal berasal dari sebab-sebab; yang mengetahui bahwa dirinya bertindak atas kehendak bebasnya; yang percaya bahwa ada kehidupan lain setelah ini; yang mempertahankan prinsip-prinsip yang benar; yang menghargai welas asih – dapat membunuh makhluk hidup apa pun?

Pertimbangkanlah, wahai putra yang agung.

(57)
Bagaimana mungkin seseorang yang percaya pada ajaran kebenaran yang rasional dapat melakukan suatu perbuatan yang tidak akan dilakukan oleh penyangkal kausalitas, atau orang yang percaya pada ketergantungan mutlak, atau para materialistis, atau pengikut ajaran perpolitikan, demi sedikit kemuliaan?

(58)
Keyakinan seseorang, baik yang benar maupun yang salah, merupakan motif yang mendorongnya untuk melakukan tindakan yang sesuai dengannya. Karena orang-orang menunjukkan prinsip-prinsip keyakinan mereka melalui ucapan dan tindakan mereka, karena tujuan mereka selaras dengan tindak-tanduk yang sudah ditetukan oleh keyakinan mereka

(59)
Dan untuk alasan inilah pengetahuan yang baik harus dihargai, sedangkan pengetahuan yang buruk harus ditinggalkan, karena itu adalah sumber malapetaka. Seseorang harus menempuhnya dengan cara ini: berkawan dengan yang bajik, tetapi menjauhkan diri dari yang jahat.

(6o)
Pernah ada para pertapa – yang lebih tepat disebut asura – mengembara dengan jubah pertapa, tetapi tidak menundukkan indra mereka. Merekalah yang merusak orang-orang awam dengan pandangan salah mereka, seperti ular yang menyebabkan kerusakan melalui racunnya.

(61)
Suara-suara yang sumbang dari para penganut doktrin non-kausalitas dan lainnya, mengungkapkan sifat asli mereka, seperti para serigala yang memperlihatkan diri melalui lolongan mereka sendiri. Untuk alasan inilah, orang yang bijak seharusnya tidak bergantung pada orang-orang yang seperti itu, lebih baik memedulikan kebaikan mereka sendiri, jika dia memiliki kemampuan untuk melakukannya.

(62)
Tiada seorang pun, betapapun termasyhur kejayaannya di dunia, yang patut berteman dengan orang yang tidak layak, bahkan demi kepentingannya sendiri. Bahkan bulan pun kehilangan keindahannya ketika digelapkan oleh musim dingin yang muram.

(63)
Oleh karena itu, hindarilah berkawan dengan orang-orang yang menghindari kebajikan dan datangilah mereka yang tahu cara mengembangkan kebajikan. Buat kemuliaanmu bersinar dengan membuat rakyat-rakyatmu mencintai kebajikan dan melenyapkan kesenangan mereka terhadap hal-hal buruk.

(64)
Dengan mematuhi Dharma, engkau membuat sebagian besar rakyat-rakyatmu berperilaku baik dan tetap pada jalan yang mengarah ke alam yang lebih tinggi. Sekarang engkau harus melindungi rakyat-rakyatmu dan mengerahkan upayamu untuk tujuan ini. Dengan demikian, pergilah kepada Dharma; aturan kedisiplinannya (vinaya) membuat jalannya indah.

(65)
Sucikan perilaku moralitas (śīla), muliakan dirimu sebagai seorang dermawan, arahkan pikiran cinta kasihmu kepada orang-orang asing, seolah-olah mereka adalah kerabatmu sendiri, dan semoga engkau memerintah di atas tanahmu untuk waktu yang lama dengan kebenaran dan ketaatan yang tidak terputus terhadap tugas-tugasmu! Dengan cara inilah engkau akan memperoleh kebahagiaan, kemuliaan, dan kelahiran yang lebih tinggi.

(66)
Jika dia gagal melindungi para petani, para pembayar pajaknya, baik petani maupun peternak, mereka yang bagaikan pohon berlimpah bunga dan buah; seorang raja akan mendapatkan kesulitan sehubungan dengan hasil panennya.

(67)
Jika dia gagal melindungi mereka yang hidup dengan berjual beli barang, pedagang, dan penduduk kota, yang memuaskannya dengan membayar pajak, seorang raja akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri sehubungan dengan harta kekayaannya.

(68)
Demikian juga seorang pangeran yang mengeluhkan pasukannya dengan tanpa alasan, gagal untuk menghormatinya, dan mengabaikan pasukan militernya yang telah menunjukkan keberanian mereka di medan perang dan ahli dalam persenjataan, tentu saja raja seperti itu akan ditinggalkan oleh kemenangan dalam pertempuran.

(69)
Dengan cara yang sama, seorang raja yang menodai perilakunya dengan mengabaikan orang-orang bajik, unggul dalam moralitas atau pengetahuan maupun kekuatan supranatural (yoga) dan gemilang dalam mengamati batin, akan kehilangan kegembiraannya di alam surga.

(70)
Seperti orang yang memetik buah mentah, membunuh benih tanpa mendapatkan sarinya, demikian pula seorang raja yang menaikkan upeti secara tidak sah, menghancurkan negaranya tanpa memperoleh keuntungan dari mereka.

(71)
Di sisi lain, bagai pohon yang berkelimpahan sifat-sifat unggul, memberikan kenikmatan buahnya saat matang; maka dengan cara yang sama sebuah negara, yang dilindungi dengan baik oleh penguasanya, memberikan ajaran kebenaran, kemakmuran dan kesenangan.

(72)
Dekatkanlah dirimu dengan para pelayan yang setia, pandai dan bijaksana dalam memajukan kebaikanmu, juga teman-teman yang jujur, serta keluargamu, ikatlah hati mereka dengan kata-kata yang menyenangkan dan sanjunglah mereka melalui pemberianmu.

(73)
Oleh sebab itu, biarkanlah Dharma selalu menjadi pedoman tindakanmu, dengan pikiran yang tertuju untuk melindungi keselamatan rakyat-rakyatmu. Semoga engkau, sembari melindungi rakyat-rakyatmu dengan menegakkan keadilan yang bebas dari keberpihakan dan kebencian, juga melindungi seluruh dunia ini untuk dirimu!”

Demikianlah Sang Mahātmā menuntun sang raja untuk menjauhi jalan yang salah berupa ajaran-ajaran palsu dan mengarahkan raja beserta pengikutnya ke Jalan Mulia. Setelah itu dia langsung melayang ke angkasa, dihormati oleh para hadirin dengan kepala tertunduk hormat dan tangan tertangkup, dan kembali ke kediamannya di dalam hutan.

Maka dengan cara inilah, welas asih yang dirasakan oleh para bajik kepada penyokongnya tidak akan berkurang, meskipun ada luka yang terjadi pada mereka. Demikianlah rasa syukur mereka yang telah menyerap kesabaran. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Mempertimbangkan demikian, seseorang tidak boleh melupakan kebaikan sebelumnya karena hal yang sepele.

Juga, ketika berkhotbah tentang Sang Buddha, dapat dikatakan: “Dengan cara inilah Bhagavā, bahkan sebelum Beliau mencapai Kebijaksanaan Tertinggi, telah mengalahkan ajaran-ajaran guru lain dan mengajarkan Kebenaran.”

Selanjutnya, ketika mencela ajaran yang salah atau sebaliknya ketika memuji keyakinan yang benar, cerita ini harus ditambahkan, dengan mengatakan: “Dengan cara ini ajaran palsu tidak dapat memberikan penjelasan yang kuat, karena tidak memiliki dukungan, dan harus dihindari.”


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *