Jātakamālā 21 – Cuḍḍabodhijātakam
(Kisah Cuḍḍabodhi)

Jātakamālā 21 – Cuḍḍabodhijātakam
(Kisah Cuḍḍabodhi)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Dengan menahan amarahnya, seseorang menenangkan musuh-musuhnya; tetapi dia yang melakukan sebaliknya justru mengobarkan amarah mereka. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva, Sang Mahāsattva, lahir di dunia ini di dalam keluarga Brāhmana mulia yang menikmati kemasyhuran besar dari praktik kebajikan mereka yang agung, memiliki tanah yang besar dan aman, dihormati oleh raja dan disukai oleh para dewa. Dalam perjalanan waktu dia tumbuh dewasa, dan setelah menerima sakramen-sakramen sebagaimana mestinya, ketika dia mengerahkan usahanya untuk unggul dalam pembelajaran, dalam waktu singkat dia menjadi terkenal di dalam perkumpulan orang-orang terpelajar.

(1)
Bagai permata berharga yang dikenali oleh ahli perhiasan,
Bagai seorang pahlawan yang dikenali di dalam medan perang,
Demikianlah kemasyhuran seseorang yang terpelajar akan terungkap dengan sendirinya,
di dalam perkumpulan para orang terpelajar.

Sekarang ketika Sang Mahātmā, karena ketaatannya terhadap Dharma dalam berbagai kehidupan sebelumnya dan batinnya yang tercerahkan oleh kebijaksanaan, sehingga telah terbiasa dengan pelepasan keduniawian, rumahnya tidak terasa menyenangkan lagi baginya. Dia mengerti bahwa kesenangan duniawi merupakan kediaman dari kejahatan dan keburukan, karena mereka disertai oleh ketidaknyamanan yang disebabkan oleh perselisihan, pertengkaran, kemelekatan, dan tunduk kepada (kehilangan kekayaan atau kehilangan dari sisi) raja, atau karena air, api, pencuri, maupun sanak saudara yang tidak bersahabat. Maka, dia begitu yakin bahwa hal-hal itu tidak akan pernah menghasilkan kepuasan.

Oleh karena itu, dia menghindari hal-hal itu seperti makanan beracun dan kemelekatan diri, kemudian dia memotong rambut dan janggutnya, meninggalkan kecemerlangan yang delusif dari pakaian perumah tangga, dan mengenakan jubah kumal berwarna jingga, menjalani keadaan mulia dari kehidupan pertapa yang disiplin oleh aturan dan dibatasi oleh ikrar. Istrinya, yang sangat mencintainya, juga ikut memotong rambutnya dan meninggalkan perhatiannya terhadap penampilan tubuhnya maupun mempercantik tubuhnya dengan perhiasan. Kemudian, dengan hanya dihiasi oleh keindahan alami dari jasmani dan kebajikannya, dia menutupi bagian tubuhnya dengan jubah berwarna jingga, mengikuti suaminya.

Ketika Sang Bodhisattva memahami tekadnya untuk ikut pergi bersamanya ke hutan pertapaan, mengetahui bahwa seorang wanita yang halus tidak layak untuk kehidupan pertapa, dia berbicara kepadanya: “Sayangku, sungguh, engkau sekarang telah menunjukkan kasih sayangmu yang tulus, namun ini sudah cukup. Jangan bertahan dalam tekadmu untuk menjadi pendampingku di hutan. Akan lebih cocok bagimu untuk tinggal di tempat di mana wanita lain yang telah meninggalkan keduniawian menetap; dengan merekalah engkau harus hidup. Melewatkan malam dengan tinggal di hutan ini adalah hal yang sulit. Lihatlah.

(2)
Pemakaman, rumah-rumah gurun, dan gunung,
juga hutan yang dipenuhi oleh binatang buas,
itulah tempat peristirahatan para pertapa tanpa rumah;
Di mana pun mereka sedang berada ketika matahari terbenam,
Di sanalah mereka beristirahat.

(3)
Para pertapa tekun bermeditasi, sehingga mereka menyukai berjalan sendirian,
Bahkan mereka pun juga tidak menyukai pemandangan seorang wanita.
Oleh sebab itu, berhentilah dari tujuanmu,
Keuntungan apa yang bisa engkau peroleh dari kehidupan tanpa rumah ini?

Tetapi dia yang dengan tegas telah memutuskan untuk menemaninya, menjawabnya dengan mata yang sembab oleh air mata:

(4, 5)
Jika engkau menganggap kepergianku bersamamu,
sebagai hal yang meletihkan dan bukan menyenangkan,
Apakah itu karena aku mengharapkan sesuatu,
yang akan membuatku menderita dan membuatmu susah?
Tetapi aku tidak dapat hidup tanpamu.
Maafkanlah aku, karena tidak patuh terhadap perintahmu kali ini.

Dan meskipun Bodhisattva mengulangi permohonannya, istrinya tidak pernah kembali ke rumahnya. Kemudian Bodhisattva berhenti menentangnya dan diam-diam merasa menderita karena kehadirannya. Seperti halnya cakravāka betina mengejar pasangannya, demikian pula istrinya pergi bersamanya dalam pengembaraannya melalui desa-desa, kota-kota maupun pasar-pasar.

Suatu hari setelah waktu makan, ia melakukan meditasi mendalam (dhyāna) seperti biasa di bagian hutan yang sepi. Tempat itu memiliki pemandangan yang indah, dihiasi dengan banyak pohon yang memberikan banyak keteduhan, seolah-olah ditunggui oleh sinar matahari yang mengintip di berbagai sudut melalui dedaunan lebat dengan kelembutan cahaya bulan, pun serbuk dari berbagai bunga menyebar ke tanah. Sungguh itu adalah tempat yang indah.

Di sore hari dia bangkit dari meditasinya yang mendalam, dan menjahit kain bersama untuk membuat pakaian. Dan tidak jauh darinya, istrinya, pendamping kehidupan tanpa rumahnya, menghiasi batang pohon dengan kemegahan kecantikannya di bawah naungan pohon itu, duduk bagaikan seorang dewa, bermeditasi dengan objek dan cara yang telah diajarkan oleh Bodhisattva.

Saat itu adalah musim semi, ketika taman dan hutan berada dalam kondisi terindahnya. Di semua sisi terdapat tunas yang muda dan lembut berlimpah; kemudian terdengar dengungan lembut kerumunan lebah yang berkeliaran, serta kicauan kegembiraan yang dibunyikan oleh burung kukuk yang hendak kwain. Danau dan kolamnya dihiasi dengan teratai dan bunga lili air yang bermekaran, menjadi daya tarik bagi mata; di sana tiupan angin lembut beraroma harum dan wangi bunga yang beraneka ragam. Untuk menikmati keindahan musim semi itu, raja dari negeri itu melakukan perjalanan berkeliling hutan, dan datang ke tempat itu.

(6, 7)
Sungguh menggembirakan bagi pikiran saat melihat kawasan hutan di musim semi, ketika berbagai kumpulan bunga membuatnya cerah, seolah-olah musim itu menyelimuti mereka dengan kemegahannya, ketika burung kukuk dan burung merak bernyanyi, dan lebah yang mabuk mengeluarkan suara mendengung, ketika rerumputan yang lembut dan segar menutupi bumi dan teratai memenuhi kolam air. Maka kebun-kebun itu adalah taman bermain bagi sang dewa cinta.

Saat melihat Bodhisattva, raja dengan hormat mendekatinya, dan setelah memberikan salam serta kata-kata pujian seperti biasanya, sang raja duduk terpisah. Kemudian, saat melihat pertapa perempuan dengan penampakan yang sangat indah itu, keindahan sosoknya mengganggu hatinya. Meskipun sang raja memahami bahwa dia pasti merupakan pendamping dari tugas-tugas keagamaannya, dan karena hawa nafsunya, dia berpikir untuk membawanya pergi.

Raja bertemu dengan pertapa

(8)
Tetapi setelah mendengar tentang kekuatan besar dari para petapa, bahwa api murka mereka dapat menembakkan kutukan sebagai nyalanya, ia menahan diri dari perbuatan hina yang gegabah terhadapnya, meskipun dewa cinta telah menghancurkan etika moral (yang mungkin telah menahannya).

Kemudian pikiran ini muncul di benaknya: “Biarkan aku memeriksa sejauh mana kekuatan yang diperolehnya dari pertapaan, sehingga aku akan dapat bertindak dengan cara yang benar, bukan sebaliknya. Jika pikirannya dikuasai oleh cinta kasih yang menggebu terhadap wanita itu, tentu saja, dia tidak memiliki kekuatan yang diperoleh melalui pertapaan. Tetapi jika dia terbukti tidak berhasrat atau menunjukkan sedikit ketertarikan kepadanya, maka dia mungkin memiliki kekuatan agung itu.” Setelah mempertimbangkan demikian, sang raja berkeinginan untuk membuktikan bahwa Bodhisattva memiliki kekuatan dari pertapaan, lalu berpura-pura mengharapkan kebaikannya. “Katakanlah, pertapa, dunia ini penuh dengan penipu dan petualang yang pemberani. Tidak pantas bagi Yang Mulia untuk ditemani oleh seseorang yang begitu rupawan sebagai pendamping tugas spiritual Yang Mulia di dalam hutan yang terpencil, di mana engkau kekurangan perlindungan. Jika dia dilukai oleh seseorang, pasti orang-orang akan mencelaku juga.

(9, 10)
Misalkan, ketika hidup di daerah yang sepi ini, seseorang yang tidak mempedulikan kalian berdua, seorang pertapa yang meninggalkan pertapaannya dan kebenaran, harus membawanya pergi dengan paksa, apa lagi yang dapat engkau lakukan dalam kejadian itu selain meratap karena dia?

Memanjakan diri dalam kemarahan sungguh menggelisahkan pikiran dan menghancurkan kemuliaan kehidupan spiritual, hal itu cenderung merugikan. Oleh karena itu, membiarkannya tinggal di tempat berpenghuni adalah keputusan yang terbaik. Lagipula, apa gunanya pendamping wanita bagi para petapa?”

Bodhisattva menjawab: “Yang Mulia telah mengatakan kebenaran. Namun dengarkanlah pada apa yang akan kulakukan dalam keadaan seperti itu.

(11)
Siapa pun yang melakukan hal itu kepadaku,
Ia sedang dihasut oleh kesombongan dan digerakkan oleh kesembronoan,
Sebenarnya, selagi aku hidup, aku tidak akan melepaskannya,
Awan hujan seperti itu tidak akan pernah tahan terhadap debu.

Sang raja dengan busurnya

Kemudian raja berpikir: “Dia sangat tertarik kepadanya, dia tidak memiliki kekuatan dari pertapaan,” dan membenci Sang Bodhisattva sehingga tidak takut untuk melukainya. Mengikuti nafsunya, dia memerintahkan pelayannya yang bertugas untuk zenana: “Pergi dan bawa pertapa wanita ini ke dalam istana para selirku.” Mendengar perintah ini, sang wanita ― seperti rusa yang diserang oleh binatang buas ― menunjukkan rasa takut, khawatir, dan cemas melalui raut wajahnya (yang berubah), matanya dipenuhi air mata, dan terbawa oleh kesedihan, dia meratap dengan suara yang agak goyah:

(12)
“Bagi umat manusia yang diliputi oleh penderitaan, raja adalah tempat perlindungan yang terbaik, bahkan dianggap seperti seorang ayah. Namun siapa yang dapat meminta bantuan kepada raja, jika raja itu sendiri yang bertindak sebagai pelaku kejahatan?

(13)
Sungguh buruk! Apakah para penjaga dunia (lokapālā) telah diberhentikan dari tugas mereka, atau sesungguhnya mereka tidak ada sama sekali, atau mereka telah mati? Karena mereka tidak berusaha untuk melindungi orang-orang yang tertindas. Mungkin Dharma itu sendiri hanyalah sekadar nama.

(14)
Tetapi mengapa aku menyalahkan para dewa, sementara tuanku sendiri dengan demikian tetap diam, tidak merasa terusik oleh nasibku? Apakah engkau tidak tergerak untuk melindungi orang asing yang diperlakukan dengan buruk oleh orang-orang jahat sekali pun?

(15)
Dengan kutukannya melalui petir, dia bisa mengubah gunung menjadi debu jika dia mengucapkan kata ‘binasa’, tetapi dia hanya tetap terdiam dalam keheningan ketika istrinya terluka! Dan aku harus hidup untuk melihat hal ini, sungguh aku wanita yang celaka!

(16)
Atau apakah aku adalah orang jahat yang tidak pantas dikasihani setelah mengalami kesusahan ini? Tetapi para pertapa harus berperilaku dengan welas asih terhadap siapa pun yang sedang dalam kesusahan. Bukankah itu adalah tindak-tanduk mereka yang tepat?

(17)
Aku menduga saat ini engkau mengingat penolakanku untuk meninggalkanmu, ketika engkau memerintahkanku untuk kembali ke rumah. Sungguh buruk! Apakah kemudian malapetaka ini merupakan kebahagiaan yang aku dambakan, karena memenuhi keinginanku sendiri meskipun itu bertentangan dengan keinginanmu?”

Petugas membawa pertapa perempuan ke atas tandu

Sembari meratap, pertapa wanita itu berpikir apa lagi yang dapat dia lakukan, selain menangis dan meratap, menangis dengan sendu? Di depan mata Bodhisattva, para pelayan kerajaan yang mematuhi perintah raja membawa wanita itu ke atas kereta untuk pergi ke zenana (istana para selir). Bodhisattva telah menekan amarahnya yang kuat dengan kekuatan ketenangannya, dan sedang menjahit kainnya seperti sebelumnya tanpa gangguan sedikit pun, setenang dan sehening biasanya. Kemudian raja berbicara kepadanya:

(18)
“Engkau mengucapkan kata-kata kemarahan yang mengancam dengan suara yang keras dan menunjukkan kekuatan, tetapi sekarang, saat melihat keindahan itu direbut di depan matamu, engkau tetap diam dan dipandang rendah karena tidak memiliki kekuatan.

(19)
Mengapa, tunjukkanlah kemurkaanmu, baik dengan kekuatan tanganmu atau dengan kekuatan luar biasa yang telah engkau kumpulkan sebagai hasil dari pertapaanmu. Dia yang tidak mengetahui arah kemampuannya sendiri, mengikatkan diri pada sesuatu yang tidak bisa dia pertahankan, orang seperti itu kehilangan kemegahannya, kau tahu.”

Bodhisattva menjawab: “Ketahuilah bahwa aku telah memenuhi janjiku, Yang Mulia.

(20)
Dia yang pada saat itu siap menentangku
untuk bertindak dan berjuang – aku tidak melepaskannya,
tetapi menahannya, memaksanya untuk diam,
akuilah bahwa aku telah memenuhi janjiku

Keteguhan pikiran Bodhisattva yang dalam itu, yang dibuktikan dengan ketenangannya, berhasil  menggugah raja untuk menghormati kebajikan pertapa itu. Dan raja mulai merenungkan: “Brāhmana ini pasti telah mengisyaratkan sesuatu yang lain dengan berbicara demikian, dan aku tidak memahami pikirannya, melakukan tindakan gegabah.” Perenungan yang muncul dalam dirinya ini, mendorongnya untuk bertanya kepada Bodhisattva:

(21)
“Siapakah orang lain yang bertindak melawanmu dan tidak dibebaskan olehmu, betapapun dia berjuang, tidak lebih dari debu yang terangkat oleh awan hujan? Siapa yang engkau diamkan saat itu?”

Bodhisattva menjawab: “Dengarkanlah, pangeran agung.

(22)
Dia, yang kedatangannya merampas pandangan terang dan kemunculannya dapat dilihat dengan jelas oleh seseorang, bangkit di dalam diriku, tetapi aku menekannya; Kemarahan adalah nama makhluk itu, adalah bencana bagi yang mengembangkannya.

(23)
Dia, yang pada kemunculannya membuat musuh umat manusia bersukacita, bangkit di dalam diriku, tetapi aku menekannya, adalah kemarahan yang akan menyebabkan kegembiraan bagi musuh-musuhku.

(24)
Dia, yang ketika meledak, membujuk manusia untuk tidak berbuat baik dan membutakan mata hati, dia yang aku taklukkan, wahai raja; namanya adalah kemarahan.

(25)
Ya, aku telah menghancurkan makhluk ganas mengerikan yang muncul di dalam diriku, kemarahan itu, yang menjadi penyebab seseorang meninggalkan kebaikannya dan kehilangan jasa kebajikan yang telah diperoleh sebelumnya.

(26)
Seperti api yang melalui proses pergesekan, muncul dari sebatang kayu hingga hancurnya batang kayu itu; dengan cara yang sama pula amarah, yang meledak akibat pandangan salah yang muncul di dalam batin seorang manusia, menuju kehancurannya.

(27)
Dia yang tidak mampu meredakan panas amarah yang membakar hati, ketika meluap dengan ganas bagaikan api, orang seperti itu kurang dihargai; reputasinya memudar, seperti sinar rembulan yang menyinari bunga teratai, memudar dalam rona fajar.

(28)
Tetapi dia yang tidak menghiraukan hinaan dari orang lain, menganggap kemarahan sebagai musuh yang sesungguhnya, reputasi orang seperti itu bersinar dengan cerah, seperti kilau pertanda baik yang melintas pada cakram bulan sabit.

Lebih jauh lagi, kemarahan juga diikuti oleh kualitas penting lainnya yang berbahaya.

(29)
Seseorang yang pemarah, meskipun gemerlap dengan perhiasan, akan terlihat buruk rupa, karena api murka telah mengambil kemegahan dari keindahannya. Dan meskipun berbaring di atas kasur yang bernilai, dia tidak dapat beristirahat dengan tenang, karena hatinya terluka oleh panah amarah.

(30)
Dibuat bingung oleh amarah, seseorang lupa untuk menjaga sisinya untuk mencapai kebahagiaan yang sesuai bagi dirinya sendiri, berlari ke jalan yang salah, sehingga ia kehilangan kebahagiaan yang terdiri dari reputasi baik, seperti bulan yang kehilangan kilaunya pada bagian gelap dari siklusnya.

(31)
Dengan murka dia melemparkan dirinya sendiri ke dalam kehancuran, terlepas dari upaya teman-temannya untuk menahannya. Dia masuk ke dalam amarah kebencian yang bodoh, dan daya pikirnya terganggu, dia tidak dapat membedakan antara apa yang baik dan buruk untuknya.

(32)
Terbawa oleh amarahnya, ia akan melakukan perbuatan jahat yang harus disesali melalui kemalangan selama ratusan tahun. Bisakah musuh, yang marah karena terluka parah, melakukan sesuatu yang lebih buruk dari itu?

(33)
Kemarahan adalah musuh di dalam diri kita, inilah yang aku ketahui. Siapakah yang dapat menanggung jalan bebas dari keangkuhannya?

(34)
Untuk alasan inilah aku tidak melepaskan amarah, meskipun hal itu memberontak di dalam diriku. Siapakah yang dapat menyengsarakan dirinya karena mengabaikan musuh yang dapat menyebabkan kerusakan seperti itu?”

Kata-kata yang menyentuh hati dan kesabaran luar biasa yang telah dibuktikan olehnya ini berhasil menyentuh, melembutkan dan mengubah pikiran sang raja yang kemudian berkata:

(35)
“Sungguh, ketenangan batinmu tercermin dari kata-kata yang telah engkau ucapkan ini! Tapi, mengapa engkau harus menggunakan banyak kata? Aku tertipu karena tidak memahamimu.”

Sang raja mengambil keputusan

Setelah memuji Bodhisattva demikian, dia mendekatinya dan bersujud di kakinya, mengakui kesalahannya. Dan dia juga melepaskan pertapa wanita itu, dan setelah mendapatkan pengampunannya, menawarkan dirinya sebagai pelayan Bodhisattva.

Dengan menahan amarahnya, seseorang menenangkan musuh-musuhnya; tetapi dia yang melakukan sebaliknya justru mengobarkan amarah mereka.

[Kisah ini juga harus diceritakan sehubungan dengan ucapan-ucapan yang memuji kesabaran, yaitu “dengan cara inilah perasaan yang tidak bersahabat ditenangkan dengan keramahan, dan dengan pengendalian diri, kebencian tidak boleh tumbuh,” dan “dengan cara ini dia yang melenyapkan kemarahan bertindak menguntungkan keduanya.”

Demikian juga ketika menguraikan keburukan dari kemarahan, dan membicarakan kualitas batin Sang Tathāgata.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *