Jātakamālā 20 – Śresthijātakam
(Kisah Sang Bendahara)

Jātakamālā 20 – Śresthijātakam
(Kisah Sang Bendahara)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Dianggap memiliki kebajikan yang sebenarnya tidak mereka miliki, orang-orang bajik terdorong untuk memilikinya. Mempertimbangkan hal ini, seseorang hendaknya berjuang untuk kebajikan; seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika Bodhisattva terlahir sebagai seorang bendahara raja yang terkenal karena ilmunya, kebangsawannya, dan perilakunya yang sederhana. Dia memiliki cita-cita dan kepandaian yang tinggi, serta jujur dalam berusaha. Pembelajarannya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan mendalam dan keanggunannya dalam berbicara menarik perhatian. Atas dasar welas asihnya dan melalui kepemilikannya atas tanah yang luas, dia membuat kebahagiaan dari kekayaannya mengalir ke segala arah melalui pemberian amalnya yang besar. Demikianlah dia dianggap sebagai permata para perumah tangga.

(1)
Karena pada dasarnya dia menyukai kebenaran, dihiasi dengan kualitas-kualitas (yang diperoleh), pembelajaran suci dan sejenisnya, orang-orang biasa memandangnya sebagai orang yang layak dihormati di atas yang lainnya.

Suatu hari, ketika Sang Bodhisattva pergi ke istana raja untuk suatu urusan, ibu mertuanya datang ke rumahnya untuk menemui putrinya. Setelah menyambutnya dan menanyakan kondisi kesehatan seperti biasanya, terjadilah percakapan empat mata dengan putrinya, istri Bodhisattva. Dia berbalik untuk mengajukan pertanyaan kepadanya seperti ini: “Apakah suamimu mengabaikanmu, sayangku. Apakah dia tahu cara untuk menunjukkan perhatian kepadamu? Apakah suamimu membuatmu sedih karena kelakuan buruknya?” Dan istrinya menjawab dengan wajah tertunduk malu-malu dengan nada lembut: “Perilaku bajik seperti yang ia lakukan hampir tidak dapat ditemui di mana pun, bahkan pada seorang pengembara yang telah meninggalkan keduniawian.”

Tetapi ibunya, yang pendengaran dan pemahamannya terganggu oleh usia tua, tidak memahami makna dari ucapan putrinya ini dengan baik, karena kata-kata itu diucapkan dengan suara yang agak rendah dengan malu-malu. Setelah mendengar penyebutan seorang pengembara yang telah meninggalkan keduniawian, dia menarik kesimpulan bahwa menantunya telah menjadi seorang pertapa. Dia menangis, dan dikuasai oleh kesedihan yang kuat, larut dalam ratapan dan meratapi putrinya. “Tindak tanduk dan perilaku bajik apakah yang diperlihatkan olehnya yang meninggalkan dunia dengan cara ini, meninggalkan keluarga yang penuh kasih sayang? Dan apa hubungan antara dia dengan pelepasan keduniawian?

(2)
Apa alasan orang seperti dia, yang muda, tampan, halus, terbiasa dengan kehidupan yang nyaman, kesayangan raja, harus merasakan panggilan untuk kehidupan hutan?

(3)
Bagaimana ini bisa terjadi? Tidak ada satu pun dari pihak keluarga yang telah berbuat salah kepadanya dan usianya belum tua, tubuhnya belum dihinggapi penyakit. Mengapa dia tiba-tiba pergi tanpa rasa sakit, meninggalkan rumahnya yang berlimpah kekayaan?

(4)
Dia dihiasi oleh perilaku yang baik, dengan kebijaksanaan dan rasa cinta terhadap kebenaran, penuh welas asih untuk orang lain – bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan gegabah dan tanpa welas asih untuk keluarganya sendiri?

(5)
Karena kebiasaannya menghormati para Śramaṇa dan Brāhmana, teman-teman dan relasi, keluarganya sendiri dan orang-orang yang menderita, dan karena dia menganggap perilaku tanpa noda sebagai kekayaannya (yang tertinggi), katakanlah, hal apa yang tidak dapat dia dapatkan di dunia, yang dia cari di hutan?

(6)
Meninggalkan istrinya yang suci dan setia, pendamping kewajiban-kewajiban agamanya, bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa dengan cintanya yang mendalam pada Dharma, dia justru sedang melanggar jalan Dharma?

(7)
Aduh! Sangat disayangkan! Demikianlah nasib yang begitu buruk, bahwa pria dapat meninggalkan keluarga yang mereka cintai tanpa sedikit pun berwelas asih! Apakah ia mampu mencapai bagian terkecil dari kesucian yang ia kejar?

Ketika istri Bodhisattva mendengar ratapan yang memilukan dan tulus dari ibunya karena suaminya telah meninggalkan keduniawian, ia menjadi khawatir dan terpengaruh. Wajahnya yang muram mengungkapkan kesedihan pikirannya yang sedang diguncang oleh serangan kesedihan dan rasa sakit yang mendadak. Dia benar-benar melupakan topik dan asal mula percakapan mereka, lalu merenungkan:

“Suamiku telah meninggalkan keduniawian, dan ibuku mendengar kabar sedih itu sehingga datang ke sini untuk menghiburku.” Setelah memutuskan demikian, wanita muda yang kekanak-kanakan itu mulai meratap dan menangis, dan pingsan setelah menangis kencang. Anggota keluarga yang lain dan para pelayan mendengar masalah itu, menjadi sangat tertekan dan menangis tersedu-sedu. Mendengar suara itu, para tetangga, teman, saudara, dan kerabat lainnya, kepala keluarga Brāhmana; singkatnya, sebagian besar warga, karena mereka sangat dekat dengan sang bendahara, berkumpul di sekitar rumahnya.

(8)
Dia selalu berbagi dalam nasib baik dan buruk mereka. Orang-orang, setelah mempelajari perilaku ini darinya, menunjukkan simpati yang sama dengannya dalam kedua keadaan tersebut.

Sekarang, ketika Bodhisattva berada dalam jalan pulang dari kediaman raja, mendekati tempat tinggalnya, dia mendengar suara ratapan dari rumahnya, dan melihat banyak orang berkumpul di sana. Dia memerintahkan pelayannya untuk pergi dan mencari tahu apa yang terjadi, yang setelah mendapatkan informasi itu kembali dan melapor kepadanya.

(9)
“Ada desas-desus yang tidak kuketahui asal mulanya, bahwa Yang Mulia telah meninggalkan rumahnya yang kaya untuk menjadi seorang pertapa. Berita ini telah membuat banyak orang berkumpul di sini karena merasa peduli.”

Setelah mendengar kata-kata ini, Sang Mahāsattva merasakan sesuatu seperti rasa malu. Hatinya yang murni terkejut dan menganggapnya seperti teguran. Kemudian dia masuk ke dalam perenungan ini: “Oh! Betapa aku merasa terhormat dengan pendapat orang-orang ini!

(10)
Setelah sebagian warga berpendapat tinggi terhadap kebajikanku, jika aku masih berpegang teguh pada kehidupan rumah tangga, bukankah aku adalah seorang pengecut?

(11)
Aku akan membuat diriku dikenal sebagai orang yang melekat pada kejahatan, berperilaku buruk dan pembenci kebajikan; dan akibatnya akan kehilangan harga diri yang sekarang aku nikmati dari para orang bajik. Hidup seperti itu adalah hidup yang tidak akan menyokongku.

(12)
Untuk alasan ini, sebagai imbalan atas kehormatan yang diberikan oleh pendapat masyarakat kepadaku, aku akan menghormati mereka lagi dengan menyadarinya, dan terpengaruh dengan ketertarikan terhadap hutan pertapaan, melepaskan diri dari rumahku beserta sifat buruknya yang menghasilkan hasrat jahat.”

Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisattva segera berbalik dan ingin mengumumkan sesuatu kepada sang raja: “Bendahara ingin bertemu dengan Yang Mulia sekali lagi.” Setelah diizinkan menghadap sang raja, dan mengucapkan salam seperti biasanya, dia ditanya oleh raja tentang alasannya kembali, dan dia menjawab: “Aku ingin meninggalkan keduniawian. Mohon izinkan aku, Yang Mulia.”

Mendengar ini, sang raja merasa gelisah dan khawatir, dan mengucapkan kata-kata penuh kasih ini:

(13)
“Apa yang membuatmu merasa sakit, selama aku yang mencintaimu lebih dari teman dan sanak saudaramu ini masih hidup, sehingga engkau ingin menarik diri ke hutan, seolah-olah aku tidak dapat membebaskanmu dari rasa sakit itu baik dengan kekayaanku, kebijakanku atau kekuatan besarku?

(14)
Apakah engkau kekurangan uang? Ambillah milikku. Apakah ada kesedihan yang membuatmu menderita? Aku akan menyembuhkannya. Atau apakah untuk tujuan lain sehingga engkau ingin mundur ke hutan, meninggalkan hubungan antara engkau dan aku, yang memohon kepadamu dengan cara ini?

Untuk kata-kata raja yang penuh perhatian dan penghormatan ini, dia menjawab dengan meyakinkan melalui intonasi yang ramah:

(15)
“Bagaimana mungkin bisa timbul kesedihan pada orang-orang yang dilindungi oleh lenganmu, atau kesedihan yang disebabkan oleh kurangnya kekayaan? Oleh karena itu, bukan kesedihan yang mendorongku untuk menarik diri ke dalam hutan, tetapi ada alasan lain. Dengarkanlah alasanku.

(16)
Beredar kabar, Yang Mulia, bahwa aku telah mengambil ikrar untuk menjadi seorang pertapa. Kerumunan orang meratapinya dan menangis karena kesedihan. Karena alasan inilah aku ingin hidup dalam kesunyian hutan, karena aku telah dinilai sebagai orang yang mampu memahami tujuan bajik ini.”

Sang raja menjawab: “Yang Mulia seharusnya tidak meninggalkan kami hanya karena rumor belaka. Harga diri orang-orang seperti engkau tidak bergantung pada opini publik, mereka juga tidak memperoleh maupun kehilangan kebajikan-kebajikan termasyhur berdasarkan kabar burung.

(17)
Desas-desus berasal dari imajinasi yang tak terkendali. Setelah keluar dari negeri, hal itu menyebar bebas dan tidak terkendali. Dia yang dengan sungguh-sungguh memikirkan kabar burung seperti itu sungguh tidak masuk akal, dan lebih tidak masuk akal lagi, dia yang bertindak sesuai dengan kabar burung itu!

Bodhisattva berkata: “Tidak, tidak, Yang Mulia, jangan berbicara seperti itu! Pendapat tinggi seseorang harus dijunjung tinggi. Apakah Yang Mulia berkenan untuk mempertimbangkan hal ini.

(18)
Yang Mulia, ketika seseorang menjadi terkenal karena kesuciannya, orang itu tidak boleh tertinggal di belakang reputasinya. Jika sebenarnya dia bajik, tetapi, tidak lebih dari itu, rasa tahu malunya harus mendorongnya untuk menanggung sendiri beban kebajikan itu.

(19)
Sebab jika dia bertindak sesuai dengan pendapat tinggi tentang kebajikannya itu, maka kemasyhurannya akan semakin bersinar; sedangkan dia akan menjadi seperti sumur yang mongering jika bertindak sebaliknya.

(20)
Jika dia tidak bertindak sesuai dengan reputasi kebajikannya, yang akan menyebar hingga pengetahuan lebih lanjut menguak kebenarannnya, prasangka tentangnya saat ini akan menghancurkan nama baiknya. Setelah dihancurkan, akan sulit baginya untuk mendapatkan nama baiknya kembali.

(21)
Mengingat demikian, aku akan meninggalkan keluarga dan harta bendaku, karena barang-barang itu adalah akar dari perselisihan dan masalah, layak untuk dihindari bagai ular berkerudung hitam dengan kepala yang murka. Itu tidak seperti engkau, Yang Mulia, menentang tekadku ini.

(22)
(Jangan memberiku uang.) Aku tahu, engkau terbiasa menunjukkan perhatian dan rasa terima kasihmu kepada pelayan-pelayan setiamu; namun untuk apa seorang pengembara tanpa rumah akan menggunakan uangnya, apakah kebutuhannya membutuhkan barang-barang dan nafsu duniawi?”

Setelah mengucapkan itu, Sang Mahāsattva membujuk raja untuk memberinya izin. Setelah itu dia segera berangkat ke hutan.

Tetapi teman-teman, saudara-saudara, dan kerabat-kerabat pergi menemuinya, meneteskan air mata dan memeluk kakinya, berusaha mencegahnya. Beberapa menghalangi jalannya, berada di hadapannya dengan tangan menelungkup hormat. Beberapa lagi berusaha membimbingnya menuju arah rumahnya (dengan memaksa lembut), dengan pelukan maupun upaya pembujukan lainnya. Yang lainnya, didorong oleh cinta kasih mereka sehingga memanggilnya dengan cara yang agak kasar, mengungkapkan kesalahan mereka dalam beberapa cara atau lainnya. Beberapa juga mencoba meyakinkannya bahwa dia harus memperhatikan teman-teman dan keluarganya, yang kepada merekalah dia harus berwelas asih. Yang lain juga mengarahkan upaya mereka untuk meyakinkannya dengan argumen, menggabungkan teks-teks suci dengan penalaran deduktif, untuk menyampaikan bahwa keadaan perumah tangga adalah yang paling suci.

Ada orang lain lagi yang mengerahkan diri mereka dengan cara yang berbeda untuk membuatnya melepaskan rencananya; sebagian menjelaskan sulitnya hidup di hutan pertapaan, sebagian mendesaknya untuk memenuhi kewajiban dan tugasnya di dunia sampai akhir, sebagian mengungkapkan keraguan mereka tentang keberadaan sesuatu seperti jasa kebajikan di kehidupan selanjutnya. Ketika dia melihat teman-temannya menentang pelepasan keduniawian dan dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menghalangi kepergiannya ke hutan dengan wajah yang basah oleh air mata, pemikiran ini muncul di benaknya:

(23)
“Jika seseorang bertindak sembarangan, sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang mengaku sebagai temannya untuk menjaga kebaikan temannya, meskipun dengan cara yang kasar. Ini dinyatakan sebagai jalan yang benar untuk bertingkah laku di antara orang bajik. Terlebih lagi, jika kebaikan yang mereka sarankan sekaligus merupakan sesuatu yang menyenangkan.

(24)
Tetapi bagi mereka, bagaimana mungkin lebih memilih kehidupan rumah dan dengan berani menghalangiku dari kehidupan hutan, seolah mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk?

(25)
Orang mati atau orang yang berada dalam bahaya kematian adalah orang yang harus ditangisi, demikian juga orang yang terjatuh dari kebenaran. Tapi apa arti tangisan ini bagiku yang masih hidup tetapi ingin tinggal di dalam hutan?

(26)
Seandainya perpisahan denganku menjadi penyebab kesedihan mereka, mengapa mereka tidak tinggal di hutan bersamaku? Namun jika mereka lebih memilih rumah mereka daripada bersamaku, mengapa mereka memboroskan air mata mereka?

(27)
Tetapi karena keterikatan pada keluarga mencegah mereka menjalani kehidupan sebagai pertapa, bagaimana mungkin mereka tidak pernah mempertimbangkan hal itu dalam begitu banyak kelahiran?

(28)
Aku telah merasakan banyak ketulusan persahabatan mereka dalam saat-saat sulit, dan sekarang lihatlah persahabatan yang mengakar itu, diwujudkan dalam air mata mereka. Namun, bagiku itu tampak seperti tipuan, karena mereka tidak mengikuti teladanku.

(29, 30)
Sebesar itulah penghargaan mereka terhadap teman yang pantas untuk dihargai, yang membuat mata mereka penuh dengan air mata, kepala mereka tertunduk dengan hormat dan, kata-kata mereka terputus dengan isak tangis, berusaha keras untuk menghalangi kepergianku. Tetapi cinta kasih mereka kepadaku seharusnya membawa mereka kepada cita-cita terpuji ini dan ikut pergi mengembara bersamaku, janganlah mereka tampak seperti sedang bersandiwara di dalam pertunjukan drama, yang memalukan bagi orang bajik!

(31)
Jika ada orang yang sedang berada kesusahan, meskipun dia adalah orang yang sangat jahat, setidaknya ada dua atau tiga teman akan menemaninya; tetapi sangat sulit, bagi seseorang yang betapa pun hebatnya dalam kebajikan, untuk mendapatkan satu orang kawan ketika dia hendak berangkat ke hutan!

(32)
Mereka yang berada di dalam pertempuran, ketika bahaya mendekat dari gajah-gajah yang murka, mereka terbiasa memberikan contoh (tanpa rasa takut) kepadaku, bahkan mereka tidak mengikutiku saat ini, ketika aku akan memimpin mereka ke hutan. Apakah aku dan mereka adalah orang yang sama seperti sebelumnya?

(33)
Aku tidak mengingat pernah melakukan kesalahan apa pun yang dapat menghancurkan perasaan mereka. Mungkin perilaku teman-temanku ini berasal dari kepedulian terhadap apa yang mereka anggap sebagai kebahagiaanku.

(34)
Ataukah karena kurangnya kebajikanku yang menghalangi mereka untuk menjadi temanku di hutan? Karena siapakah yang memiliki kekuatan untuk mengendurkan hati seseorang yang telah dimenangkan oleh kebajikan?

(35)
Tetapi untuk apa aku berdiam merenungi orang-orang ini? Tentu saja, karena mereka tidak dapat memahami keburukan yang melekat dalam kehidupan rumah tangga, sekalipun betapa nyatanya itu, mata mereka tertutup sehingga tidak melihat kebajikan yang dapat ditemukan di hutan pertapaan!

(36)
Mereka tidak mampu berpisah dengan kesenangan duniawi, yang merupakan penyebab penderitaan baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya; tetapi mereka mampu mengabaikan hutan pertapaan yang dapat membebaskan diri dari penderitaan, dan juga mengabaikankku! Ini sungguh tidak masuk akal!

(37)
Oh, teman-temanku dan seluruh makhluk dijauhkan dari ketenangan akibat ketidakbajikan oleh delusi itu, yang akan aku hancurkan secara paksa kapan pun melalui kekuatan besar dari hidup di dalam hutan pertapaan!”

Demikianlah dia merenung. Dan setelah memustikan demikian, dia mengabaikan berbagai permohonan yang penuh kasih sayang dari teman-temannya, menjelaskan kepada mereka tekadnya yang teguh dengan cara yang baik dan lembut, dan berangkat pergi ke hutan pertapaan.

Dengan cara inilah, dianggap memiliki kebajikan yang sebenarnya tidak mereka miliki, orang-orang bajik terdorong untuk memilikinya. Mempertimbangkan hal ini, seseorang harus berusaha untuk merealisasikan kebajikan.

[Untuk alasan ini, seorang yang bajik, yang dihormati karena kebajikannya sebagai seorang bhiksu atau sebagai umat awam, harus benar-benar berusaha untuk dihiasi dengan kebajikan yang sesuai dengan keadaan itu. Selanjutnya, cerita ini dapat dikemukakan dengan tujuan untuk menunjukkan sulitnya mencari kawan dalam kehidupan spiritual.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *