Jātakamālā 19 – Bisajātakam
(Kisah Batang Teratai)

Jātakamālā 19 – Bisajātakam
(Kisah Batang Teratai)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang telah belajar untuk menghargai kebahagiaan dari tidak melekat, akan menjauhi kesenangan duniawi. Mereka akan menolaknya bagai menolak tipu daya dan kesakitan. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Sang Bodhisattva terlahir di keluarga Brāhmana yang terkenal karena kebajikan dan mereka bebas dari perbuatan tercela. Dia memiliki enam orang adik laki-laki yang memiliki kebajikan yang sama dengannya. Mereka, karena menyayangi dan menghormatinya, selalu meneladaninya. Dia juga memiliki saudara perempuan yang merupakan adik ketujuh. Setelah mempelajari Veda beserta dengan ilmu-ilmu tambahannya, juga Upaveda, ia memperoleh kemasyhuran dan penghormatan yang tinggi dari masyarakat karena pembelajarannya. Dia melayani ayah dan ibunya dengan penuh bakti, memuja mereka bagai dewa, dan mengajarkan saudara-saudaranya tentang berbagai cabang ilmu bagai seorang guru spiritual atau seorang ayah. Dia berdiam di dunia ini, menjadi ahli dalam seni yang berkaitan dengan urusan duniawi dan diunggulkan oleh perilakunya yang baik. Tetapi dalam perjalanan waktu, orangtuanya meninggal, memunculkan rasa kehilangan yang sangat memukul hatinya. Setelah melakukan upacara pemakaman untuk mereka dan menghabiskan beberapa hari untuk berkabung, dia mengumpulkan saudara-saudaranya, berkata kepada mereka:

(1, 2)
“Ini adalah hal yang pasti terjadi di dunia, merupakan sumber kesedihan dan rasa sakit yang mendalam. Pada akhirnya kematian akan memisahkan kita dari mereka yang telah hidup bersama selama beberapa waktu, tak peduli seberapa lama mereka telah bersama. Untuk alasan inilah aku ingin menjalani kehidupan tanpa rumah, di dalam jalan terpuji menuju pencerahan, sebelum musuh kita yang bernama kematian menangkapku dalam keadaan yang terikat pada kehidupan perumah tangga.

Setelah memutuskan ini, aku harus menasihati kalian semua. Keluarga Brāhmana kita memiliki kepemilikan yang sah dari beberapa kekayaan yang diperoleh dengan cara yang jujur. Dengan harta itu, kalian dapat menopang diri kalian sendiri. Kemudian, kalian harus menetap di sini sebagai perumah tangga yang hidup dengan cara yang selaras. Hendaknya kalian semua memiliki niat untuk saling mencintai dan menghormati, serta berhati-hatilah untuk tidak mengendurkan ajaran moral dan praktik perilaku yang benar. Teruslah mempelajari Veda dengan tekun, bersiaplah untuk memenuhi kebutuhan teman-temanmu, tamu-tamumu, dan sanak saudaramu. Singkat kata, utamakanlah kebenaran di atas segalanya.

(3)
Selalu berperilaku baik, mematuhi pelajaran Veda, dan senang dalam berdana; kalian harus menjaga kehidupan perumah tangga sebagaimana seharusnya.

(4)
Dengan cara ini, nama baik kalian tidak hanya akan meningkat, kebajikan dan kekayaan kalian – yang merupakan hakikat kesejahteraan – pun tidak hanya meluas, kalian mungkin mengharapkan terlahir dengan bahagia dalam kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, jangan melakukan kecerobohan apa pun selama menjalani kehidupan perumah tangga.”

Tetapi saudara-saudaranya, yang mendengarnya berbicara tentang kehidupan tanpa rumah, merasakan kesedihan dalam hati karena tidak mengharapkan perpisahan. Wajah mereka basah oleh air mata kesedihan, dan membungkuk berbicara kepadanya dengan hormat: “Luka yang disebabkan oleh panah kesedihan dari kematian ayah kita belum sembuh, janganlah menggosoknya lagi dengan garam kesedihan yang baru ini.

(5)
Bahkan sekarang luka itu masih terbuka di benak kita karena kematian ayah kita. Oh! Engkau harus menarik kembali tekadmu, wahai saudara yang bijaksana. Engkau tidak boleh menaburkan garam pada luka kami.

(6)
Atau, jika memang engkau yakin bahwa keterikatan pada rumah itu tidak layak, atau bahwa kebahagiaan kehidupan hutan adalah jalan menuju pembebasan, mengapa engkau ingin pergi ke hutan sendirian, meninggalkan kami di rumah ini tanpa pelindung?

Maka, keadaan hidupmu akan menjadi hidup kamu juga. Kami juga akan ikut meninggalkan keduniawian.”

Sang Bodhisattva menjawab:

(7)
“Orang-orang yang belum membiasakan diri dengan ketidakmelekatan akan mengikuti keinginan duniawi. Sebagai aturan, mereka memandang sama antara menyerahkan dunia atau jatuh ke jurang.

Mengingat demikian, aku menahan diri dan tidak mendesak kalian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, meskipun mengetahui perbedaan antara kedua kehidupan tersebut. Tetapi jika pilihanku menyenangkan kalian juga, mari kita tinggalkan rumah kita bersama-sama!” Maka ketujuh bersaudara itu, dengan saudara perempuan mereka sebagai yang kedelapan, menyerahkan harta kekayaan dan barang-barang berharga mereka, menginggalkan teman, sanak-saudara, dan kerabat mereka yang menangis; dan mereka beralih ke kehidupan pertapaan. Dan berkat persahabatan yang dilandasi cinta kasih, satu orang pelayan laki-laki dan satu orang pelayan perempuan juga ikut berangkat ke hutan bersama mereka.

Di suatu tempat tertentu di dalam hutan, terdapat sebuah danau besar yang airnya berwarna biru jernih. Tempat itu menunjukkan keindahan yang menyala cemerlang ketika tempat tidur lotusnya diperluas, menawarkan keceriaaan ketika sekelompok bunga lili air memekarkan kelopaknya dan kawanan lebah selalu bersenandung di sana. Di tepi danau itu mereka membangun gubuk beratap daun sebanyak jumlah mereka masing-masing, menempatkan mereka agak jauh satu sama lain, tersembunyi di bawah bayangan pepohonan di tengah-tengah kesendirian yang indah. Di sana mereka bertempat tinggal, mengabdikan diri pada ikrar dan ketaatan mereka sendiri, dan pikiran mereka berfokus pada praktik meditasi.

Pada setiap hari kelima mereka memiliki kebiasaan mengunjungi Bodhisattva untuk mendengarkan khotbah Dharma darinya. Kemudian ia menyampaikan khotbah yang membangun untuk menunjukkan kepada mereka jalan menuju kedamaian dan ketenangan pikiran. Dalam khotbah-khotbahnya ia menasihati mereka untuk bermeditasi, meninggalkan keburukan yang timbul dari kesenangan duniawi, menunjukkan rasa puas yang berasal dari ketidakmelekatan, mencela kemunafikan, ucapan yang tidak bermakna, kemalasan dan keburukan-keburukan lainnya. Dia memberikan kesan yang mendalam kepada pendengarnya.

Pelayan perempuan mereka, didorong oleh rasa hormat dan cinta kasih, tidak berhenti melayani mereka yang masih berada di hutan. Dia memiliki kebiasaan menarik batang teratai (yang bisa dimakan) dari danau dan meletakkannya di atas daun teratai besar di tempat yang bersih di tepi danau. Ketika dia selesai menyiapkan makanan, dia akan mengumumkan waktu makan dengan mengambil dua potong kayu dan membenturkannya satu sama lain, lalu meninggalkan tempat tersebut. Kemudian para pertapa itu, setelah melakukan doa dan persembahan yang benar dan seperti biasanya, akan datang ke tepi danau satu demi satu sesuai dengan usia mereka, dan masing-masing setelah mengambil bagiannya secara berurutan, kembali ke gubuknya. Di sana mereka akan menikmati makanan dengan cara yang telah ditentukan dan menghabiskan sisa waktu mereka dengan bermeditasi. Dengan latihan ini mereka menghindari bertemu satu sama lain, kecuali pada waktu berkhotbah.

Moralitas, cara hidup, dan perilaku yang tidak tercela seperti itu, serta kecintaan terhadap ketidakmelekatan, dan kebiasaan bermeditasi seperti itu membuat mereka terkenal hingga di mana-mana. Śakra, raja para dewa, setelah mendengar reputasi mereka, datang ke tempat tinggal mereka dengan tujuan untuk mencobai mereka. Ketika dia mengetahui ketekunan mereka dalam bermeditasi, kemurnian mereka dari perbuatan buruk, kebebasan mereka dari nafsu dan keteguhan yang berasal dari ketenangan mereka, pendapatnya yang tinggi tentang kebajikan mereka tumbuh semakin kuat, dan dia menjadi semakin ingin mencobanya.

(8)
Dia yang tinggal di kedalaman hutan tanpa keinginan apa pun, yang hanya menginginkan ketenangan pikiran, kebajikannya memunculkan rasa hormat dari dalam hati orang-orang berbudi luhur.

Śakra, raja para dewa, melihat pelayan wanita mengumpulkan makanan berupa batang teratai yang dapat dimakan, seputih dan selembut gigi gajah muda, mencucinya dan mengaturnya dalam porsi yang sama di atas meja di atas daun teratai berwarna hijau zamrud, berhati-hati untuk menghiasi setiap bagian dengan menambahkan beberapa kelopak dan benang sari. Setelah mengumumkan waktu makan kepada para pertapa suci, seperti biasa, dengan suara benturan potongan kayu, dia meninggalkan tempat. Pada saat itu Śakra, dengan tujuan menguji Bodhisattva, membuat makanan pada bagian pertama menghilang (dari daun teratai).

(9)
Ketika masalah muncul dan kebahagiaan menghilang, maka ada kesempatan untuk mengukur keteguhan hati dari dia yang bermoral, karena pada saat itulah mulai terlihat.

Ketika Bodhisattva, datang ke tempat bagian pertama, menyadari bahwa tangkai yang dapat dimakan itu hilang dari atas daun teratainya, sementara hiasan kelopak bunga dan bunga sari berceceran, dia berpikir: “Seseorang telah mengambil makanan bagianku.” Kemudian, tanpa merasakan gelisah atau marah di dalam hatinya, ia kembali ke gubuknya, memasuki praktik meditasinya seperti yang biasa ia lakukan. Dia juga tidak memberitahu pertapa suci lainnya tentang masalah ini untuk menghindari kesedihan mereka. Dan mereka yang berpikir bahwa ia telah mengambil batang Teratai bagiannya, mengambil bagian mereka juga seperti biasa, secara berurutan dan dalam urutan yang tepat, dan memakannya beberapa kali secara masing-masing di gubuknya; dan setelah itu mereka terserap dalam meditasi. Dengan cara yang sama Śakra menyembunyikan batang Teratai bagian Bodhisattva pada hari kedua, ketiga, keempat dan kelima. Tetapi efeknya sama. Pikiran sang Bodhisattva tetap tenang seperti biasanya, dan sepenuhnya bebas dari masalah.

(10)
Orang bajik menganggap bergejolaknya pikiran, bukan padamnya kehidupan, sebagai kematian. Karena alasan inilah orang bijak tidak pernah merasa gelisah, bahkan ketika hidupnya dalam bahaya sekalipun.

Pada sore hari (yang kelima) itu, para Ṛṣi pergi ke gubuk daun Bodhisattva, seperti yang biasa mereka lakukan, untuk mendengarkan khotbah Dharma darinya. Saat melihatnya, mereka melihat tubuhnya yang sangat kurus. Pipi dan matanya tampak cekung, kemegahan wajahnya telah memudar, dan suaranya yang nyaring telah kehilangan suara penuhnya. Namun, betapapun kurusnya, dia tetap indah untuk dilihat seperti bulan sabit; karena kebajikan, kebijaksanaan, keteguhan, dan ketenangannya tidak berkurang. Oleh karena itu, setelah datang ke hadapannya dan memberi penghormatan seperti biasa, mereka bertanya dengan penuh khawatir tentang penyebab tubuh kurusnya itu. Dan Bodhisattva menceritakan hal itu kepada mereka sesuai dengan yang telah dialaminya.

Para pertapa itu, yang tidak menyangka bahwa salah satu di antara mereka sendiri yang telah melakukan tindakan yang tidak pantas seperti ini, dan yang merasa sangat khawatir dengan rasa sakitnya, mengungkapkan kesedihan mereka dengan seruan, dan mengarahkan pandangan mereka ke tanah karena merasa malu. Tetapi Śakra dengan kekuatannya menghalangi pemikiran mereka, sehingga mereka tidak bisa mengetahui penyebab hilangnya makanan tersebut. Kemudian saudara laki-laki Bodhisattva, yang lahir setelahnya, menunjukkan pikirannya yang waspada dan tidak bersalah, mengucapkan protes yang luar biasa ini:

(11)
“Wahai Brāhmana, semoga dia yang telah mengambil batang terataimu akan memperoleh sebuah rumah, yang kekayaan dekorasinya menunjukkan kekayaan pemiliknya, mendapatkan seorang istri yang sesuai keinginan hatinya, dan semoga dia diberkati dengan banyak anak dan cucu!”

Kakak kedua berkata:

(12)
“Wahai Brāhmana terkemuka, semoga dia yang telah mengambil batang terataimu, yang dinodai dengan keterikatan yang kuat pada keduniawian, semoga dia memakai karangan dan untaian bunga, beserta bubuk cendana, pakaian, dan perhiasan yang bagus, disentuh oleh anak-anaknya yang sedang bermain!”

Kakak ketiga berkata:

(13)
“Semoga dia yang telah mengambil batang terataimu sekali saja, menjadi seorang petani yang setelah memperoleh kekayaan sebagai hasil dari peternakannya dan senang dengan celotehan anak-anaknya, menikmati kehidupan rumah tangga tanpa memikirkan waktu ketika kehidupannya di dunia ini berakhir!”

Saudara keempat berbicara:

(14)
“Semoga dia yang telah didorong oleh keserakahan untuk mengambil batang terataimu, memerintah seluruh bumi sebagai seorang raja, dipuja oleh para raja yang melayaninya dalam sikap rendah hati bagai para budak, menundukkan kepala mereka yang bergetar!”

Saudara kelima berbicara:

(15)
“Semoga dia menjadi pendeta keluarga raja yang memiliki mantra-mantra kuat dan sejenisnya, semoga dia juga diperlakukan dengan hormat oleh raja, siapa pun itu dia yang telah mengambil batang terataimu!”

Saudara keenam berkata:

(16)
“Semoga dia yang lebih berkeinginan untuk memiliki batang teratai dan bukan kebajikanmu, menjadi guru terkenal yang menguasai Veda dan menikmati penyembahan sebagai pertapa dari orang-orang yang berkerumun untuk melihatnya!”

Sang teman berbicara:

(17)
“Semoga dia yang tidak bisa menaklukkan keserakahannya terhadap batang terataimu memperoleh sebuah desa yang sangat baik yang diberkahi dengan empat kelimpahan (berlimpah dalam populasi, jagung, kayu dan air) dari raja, dan semoga dia mati tanpa menundukkan nafsunya!”

Pelayan laki-laki itu berkata:

(18)
“Semoga dia menjadi kepala desa, hidup bahagia bersama rekan-rekannya, terlena oleh tarian dan nyanyian wanita, dan tidak pernah mendapat kerugian dari pihak raja, dia yang menghancurkan kepentingannya sendiri demi batang teratai itu!”

Saudara perempuan berkata:

(19)
“Semoga orang yang memberanikan diri mengambil tangkai teratai dari orang sepertimu, menjadi seorang wanita dengan kecantikan dan penampilan yang luar biasa, semoga seorang raja memperistrinya dan menempatkannya sebagai kepala selirnya yang terdiri dari seribu perempuan!”

Pelayan perempuan itu berkata:

(20)
“Semoga dia sangat senang dalam menyantap makanan manis sendirian secara diam-diam, mengabaikan seseorang yang berbudi luhur, dan sangat bersukacita ketika dia mendapat hidangan lezat; dia yang menaruh hatinya pada batang terataimu, bukan pada kebenaranmu!”

Kemudian tiga penghuni hutan juga telah datang ke tempat itu untuk mendengarkan khotbah Dharma, yaitu seorang Yakṣa, seekor gajah, dan seekor kera. Mereka telah mendengar percakapan itu dan diliputi oleh rasa malu dan kebingungan yang luar biasa. Di antara mereka, Yakṣa membuktikan ketidakbersalahannya, mengucapkan di hadapan mereka bantahan ini:

Gajah berbicara:

(21)
“Semoga dia yang gagal menentangmu demi tangkai teratai, mendapatkan tempat tinggal di Biara Agung, dipercayakan dengan tugas memperbaiki (kota) Kacaṅgalā, dan diwajibkan untuk membuat satu buah jendela setiap hari!”

(22)
“Wahai Muni yang paling agung, semoga dia keluar dari hutan yang indah ini dan masuk ke dalam kelompok manusia, terbelenggu dengan enam ratus rantai yang kokoh, dan merasakan sakit akibat tongkat tajam pengendali, dia yang telah mengambil batang terataimu!

Kera itu berkata:

(23)
“Semoga dia yang tergerak oleh keserakahan sehingga mengambil tangkai terataimu, akan memakai karangan bunga dan kerah timah akan mengelilingi lehernya, dipukul dengan tongkat di hadapan seekor ular, dan dengan karangan bunga panjang tergantung di bahunya, hidup di dalam rumah (manusia)!”

Sebagai jawaban, Bodhisattva menyapa mereka semua dengan kata-kata yang meyakinkan dan baik, menunjukkan ketidakmelekatannya yang telah mangakar dalam.

(24)
“Semoga dia yang dengan salah mengatakan ‘mereka telah menghilang,’ meskipun dia memilikinya, memperoleh kesenangan duniawi sesuai dengan keinginan hatinya dan mati sebagai perumah tangga. Dan semoga mereka yang telah mencurigai seseorang melakukan tindakan serupa juga mengalami nasib yang sama!

Ungkapan protes mereka yang luar biasa, yang menunjukkan kebencian mereka terhadap kenikmatan duniawi, membangkitkan rasa heran dan rasa hormat pada Śakra, sang raja para dewa. Dia menunjukkan dirinya dalam wujud yang cemerlang, dan mendekati para Ṛṣi itu, berkata seolah-olah diliputi dengan kebencian: “Kalian seharusnya tidak berbicara begitu.

(25)
“Kenikmatan-kenikmatan itu – yang didambakan oleh mereka yang menginginkan kebahagiaan sedemikian rupa dengan berjuang hingga melewatkan tidurnya dan melakukan segala bentuk pertapaan maupun kerja keras – kalian mengecam, menyebutnya sebagai ‘kesenangan duniawi!’ Mengapa engkau menilai begitu?”

Bodhisattva berkata: “Tuan, kenikmatan indria disertai dengan penderitaan yang tak berkesudahan. Dengarlah, aku akan memberi tahu engkau secara singkat, apa pandangan dari para Muni yang membuat mereka menjauhi kenikmatan indria.

(26)
Karena hal-hal tersebutlah, manusia terjebak dan menanggung kematian, kesedihan, kelelahan, bahaya, dalam berbagai penderitaan singkat. Demi mendapatkannya, para raja menindas kebenaran, dan jatuh ke dalam neraka setelah kematian sebagai akibatnya.

(27)
Ketika ikatan persahabatan tiba-tiba merenggang, ketika manusia memasuki jalan yang kotor dan salah demi kepentingan diri sendiri, ketika mereka kehilangan nama baik mereka dan setelahnya bertemu dengan penderitaan ― bukankah hal-hal itu disebabkan oleh kenikmatan indriawi?

(28)
Melalui cara inilah, kesenangan duniawi cenderung menghancurkan segala kondisi manusia, yang tertinggi, menengah maupun yang terendah, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Para Muni, yang berkehendak untuk melatih diri, menjauhi mereka, seolah itu adalah ular-ular yang sedang marah.”

Kemudian Śakra, raja para dewa, menyetujui kata-katanya dengan mengatakan, “Sungguh baik,” dan ketika dia telah tersentuh oleh kebesaran pikiran para Ṛṣi itu, dia mengaku bahwa dia sendirilah yang telah melakukan pencurian itu.

(29, 30)
“Suatu pendapat yang tinggi tentang kebajikan dapat diuji dengan pencobaan. Mempertimbangkan demikian, aku menyembunyikan batang teratai untuk menguji engkau. Dan sekarang, betapa beruntungnya dunia karena memiliki Muni sepertimu, yang kemuliaannya telah teruji oleh kenyataan. Ambilah batang teratai ini, sebagai bukti dari perilaku sucimu yang konstan.”

Dengan kata-kata ini dia menyerahkan batang-batang teratai itu kepada Bodhisattva. Tetapi Bodhisattva mencela caranya yang lancang dan tidak pantas, yang meski disampaikan dengan rendah hati, namun menunjukkan harga dirinya yang mulia.

(31)
“Kami bukan kerabatmu, bukan rekanmu, kami juga bukan pemain peran maupun penghiburmu. Apa alasan kedatanganmu ke sini, wahai raja para dewa, untuk bermain-main dengan para Ṛṣi dengan cara seperti ini?”

Mendengar kata-kata ini, Śakra, raja para dewa, dengan tergesa-gesa menanggalkan penampilan dewatanya ― yang cemerlang dengan anting-antingnya, hiasan kepalanya, dan kilatan cahayanya ― dan dengan hormat membungkuk kepada Bodhisattva, berbicara demikian untuk menenangkannya:

(32)
“Wahai engkau yang bebas dari segala keegoisan, berkenanlah untuk memaafkan aku atas perbuatan ceroboh yang telah aku lakukan dengan tujuan yang sudah kusebutkan tadi; maafkanlah aku bagai seorang ayah, bagai seorang guru.

(33)
Wajar bagi mereka yang matanya belum terbuka oleh kebijaksanaan untuk menyinggung orang lain, bahkan jika mereka sederajat sekalipun. Demikian pula wajar bagi para bijaksana yang telah memahami kebenaran untuk memaafkan pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Dengan alasan ini, aku memohon agar hatimu tidak merasa marah terhadap perbuatan itu.”

Setelah menenangkannya, Śakra menghilang di tempat.Mereka yang telah belajar untuk menghargai kebahagiaan dari tidak melekat, akan menjauhi kesenangan duniawi. Mereka akan menolaknya bagai menolak tipu daya dan kesakitan.


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *