Jātakamālā 18 – Aputrajātakam
(Kisah Seorang Tanpa Anak)

Jātakamālā 18 – Aputrajātakam
(Kisah Seorang Tanpa Anak)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Kehidupan sebagai perumah tangga dipenuhi dengan kekhawatiran yang bertentangan dengan tujuan spiritual. Karena itulah, mereka yang mencari jati diri tidak menyukai kehidupan yang seperti itu. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva lahir dalam keluarga kaya yang terkenal karena kebajikan dan perilaku baik mereka, sehingga mereka terpandang dalam komunitas dan sangat dihargai oleh orang-orang. Keluarga itu bagai sumur yang menyegarkan bagi orang-orang yang terlahir baik; mereka berbagi harta benda dan bahan makanan mereka dengan para Śramaṇa dan Brāhmana; rumah mereka terbuka untuk teman dan kerabat; orang miskin dan pengemis hidup dari pemberian mereka; para pengrajin mendapatkan penghidupan dan perlindungan dari mereka; dan dengan kekayaan mereka yang luar biasa, mereka diizinkan untuk membantu dan beramah tamah kepada raja.

Dilahirkan dalam keluarga ini, dia bertumbuh seiring dalam perjalanan waktu, mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap bernilai tinggi di dunia, sementara ia mengalihkan pikirannya dengan semangat yang sama untuk berbagai seni dan pengetahuan yang sebenarnya tidak diwajibkan kepadanya. Karena pendidikannya yang ulung, sosoknya yang rupawan menyenangkan mata manusia, dan pengetahuan tentang dunia yang ia tunjukkan tanpa melanggar Dharma, ia memenangkan hati sesama warganya, yang menganggapnya sebagai saudara mereka.

(1,2)
Bukan karena ikatan keluarga yang membuat mereka menghormati hubungan kita, pun kita tidak menganggap orang lain sebagai orang asing karena mereka tidak memiliki hubungan dengan kita.

          Kebajikan atau keburukannya, itulah yang membuat seseorang menganggap orang lain sebagai kerabat atau bukan.

Tetapi Sang Mahāsattva telah membiasakan dirinya dengan ketidakduniawian.

(3)
Dia pernah mengalami kehidupan berumah tangga, dan mengetahui bahwa itu adalah keadaan yang tidak sesuai dengan praktik kewajiban agama, karena rasa sakit untuk mencari keuntungan tentu tersirat di dalamnya. Di sisi lain, dia memahami kebahagiaan dalam hutan pertapaan. Maka, pikirannya menjadi terlepas dari kesenangan kehidupan berumah tangga.

Ketika ayah dan ibunya meninggal, di dalam hatinya dia merasakan kehawatiran besar. Dia meninggalkan rumah dan tanah miliknya yang indah, yang berjumlah ratusan ribu, yang sepatutnya diberikan kepada teman-teman dan kerabatnya, orang miskin, para Śramaṇa, dan para Brāhmana; setelah itu dia meninggalkan rumahnya.

Dia melewati desa-desa, kota-kota dan wilayah-wilayah, melalui kerajaan-kerajaan dan ibukotanya, dan menempati tempat tinggalnya di dataran tinggi berkayu tertentu di sekitar kota. Di sana ia segera menjadi terkemuka dengan ketenangannya, ucapannya, dan perilakunya. Ketenangan indranya, yang merupakan hasil dari praktik meditasi yang lama, adalah alami dan tidak dibuat-buat. Bahasanya menyenangkan pikiran dan telinga, dan meskipun menunjukkan kebijaksanaannya, ia masih dipenuhi dengan kerendahan hati; dia memberikan khotbah tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Terkemuka oleh pembelajarannya yang kukuh, oleh kelembutannya dalam berbicara kepada pendengar yang dia hormati, dan oleh keterampilan yang dia tunjukkan dalam menelusuri batas antara tindakan yang diperkenankan dan yang dilarang oleh Dharma.

Perilakunya, yang dihiasi dengan praktik-praktik seperti yang pantas dilakukan oleh seorang petapa tanpa rumah, sesuai dengan yang disetujui oleh para bajik. Dan ketika orang-orang yang ingin tahu tentang pribadinya, menyadari bagaimana dia telah meninggalkan derajat tinggi di dunia, mereka semakin mencintainya.

(4)
Sungguh, kebajikan akan tampak lebih menarik ketika ditemukan pada orang-orang yang berkedudukan tinggi, seperti halnya sinar rembulan menjadi lebih indah ketika menyinari objek yang bagus.

Setelah mendengar bahwa dia telah menetap di tempat itu, beberapa teman dan rekan dari ayahnya datang menemuinya, tergerak karena menghargai tinggi kebajikannya. Setelah berbincang seperti biasa mengenai kesehatannya, pengunjung itu memperkenalkan dirinya kepada pertapa itu dan memberitahunya tentang hubungannya dengan pihak ayah. Kemudian terjadilah percakapan di antara mereka, di mana teman tersebut mengucapkan kata-kata yang penuh perhatian ini: “Yang Mulia mungkin telah bertindak tanpa pertimbangan, meninggalkan dunia pada zaman ini tanpa memperhatikan keluargamu dan (memelihara) garis keturunanmu.

(5)
Untuk apa engkau meninggalkan tempat tinggalmu yang kaya, mengarahkan pikiranmu pada kehidupan hutan? Mereka yang mempraktikkan kehidupan yang bajik dapat menjalankan Dharma ini di rumah mereka maupun di padang belantara.

(6,7)
Lalu, mengapau engkau menyerahkan dirimu pada kehidupan yang menyakitkan, seolah-olah merangkul penjelmaan kemiskinan ini? Engkau menopang dirimu dengan sedekah yang diperoleh dari pemberian orang asing, tidak dianggap lebih daripada seorang tunawisma.

Ditutupi dengan kain lusuh, tanpa saudara dan teman, engkau menyembunyikan diri di tempat tinggal ini di tengah-tengah hutan. Bahkan mata musuhmu sekalipun akan berlinang air mata jika mereka melihatmu dalam kondisi seperti ini.

(8)
Karena itu, kembalilah ke rumah ayahmu. Tentu saja, kekayaan hartanya harus engkau ketahui juga. Tinggalah di sana, pada saat yang sama engkau dapat memenuhi kewajiban spiritualmu dan keinginanmu untuk memiliki seorang putra yang berbudi luhur.

Karena demikianlah, sesungguhnya engkau tahu:

(9)
Bahkan rumah seorang pekerja upahan pun terasa nyaman bagai sumur air tawar, apalagi tempat tinggal mewah yang mudah diperoleh, yang gemerlap dengan kekayaan!”

Tetapi pikiran Bodhisattva telah dimurnikan oleh ambrosia yang lezat dan menenangkan, yang disebut sebagai ketidakmelekatan. Hatinya sudah berpegang teguh padanya, karena dia tahu betul perbedaan antara kehidupan seorang perumah tangga dan kehidupan hutan; dan ajakan untuk menikmati kesenangan duniawi membuatnya merasa tidak nyaman, seperti membicarakan tentang makanan kepada orang yang sedang kenyang. Maka dia menjawab:

(10)
“Engkau mengucapkan itu karena perhatianmu kepadaku, dan karena itu kata-katamu tidak terlalu membuatku merasa sedih. Namun demikian, jangan gunakan istilah ‘kenyamanan’ ketika berbicara tentang seseorang yang hidup di dunia.

(11)
Kehidupan perumah tangga adalah keadaan yang sangat tidak nyaman, terlepas dari ia memiliki uang atau tidak. Orang kaya bekerja keras untuk menjaga kekayaannya, sedangkan orang miskin bekerja keras untuk mendapatkannya.

(12)
Sekarang, karena tidak ada kenyamanan yang dapat ditemukan dalam keadaan itu, baik bagi orang kaya maupun orang miskin, maka bersenang-senang di dalamnya adalah sebuah kebodohan. Akibatnya sama seperti kejahatan.

Mengenai pernyataanmu bahwa seorang perumah tangga juga dapat menjalankan aturan-aturan Dharma, tentu saja ini benar. Tetapi menurutku itu adalah hal yang sangat sulit. Kehidupan di dunia ini penuh dengan urusan-urusan yang bertentangan dengan ajaran Dharma, dan membutuhkan banyak jerih payah. Pertimbangkanlah baik-baik, tuan.

(13)
Kehidupan perumah tangga tidak cocok bagi orang yang tidak menginginkan apa-apa, tidak cocok bagi orang yang tidak pernah berbohong, tidak cocok bagi orang yang tidak pernah menggunakan kekerasan, atau seseorang yang tidak pernah menyakiti orang lain.

Dan dia yang hatinya terikat pada kenyamanan kehidupan berumah tangga, harus berusaha untuk mengamankannya dengan cara ini.

(14)
Jika engkau mengabdikan diri pada Dharma, engkau harus meninggalkan rumahmu, dan sebaliknya, bagaimana mungkin ada Dharma bagi orang yang melekati rumahnya? Dari ketenangan, jalan Dharma memperoleh cita rasanya, sedangkan jalan seorang perumah tangga penuh dengan kesibukan dan gangguan.

(15,16)
Karena kehidupan seorang perumah tangga bertentangan dengan Dharma, siapa yang setelah mendapatkan pemahaman sejati tentang dirinya, akan menaatinya? Sungguh, dia yang karena kesenangan pernah tergoda untuk mengabaikan Dharma, akan merasa dirinya tidak memiliki pengendalian diri sama sekali untuk mendapatkan kesenangan itu.

Selain itu, mereka juga akan kehilangan reputasi baik, diikuti oleh kemalangan dan penyesalan. Karena alasan inilah, para bijaksana menghindari kehidupan seperti itu, yang mendatangkan kesenangan yang bertentangan dengan Dharma; mereka lebih melihatnya sebagai kemalangan.

Lebih jauh lagi aku harus berpikir, pernyataan bahwa hidup di dunia menghasilkan kebahagiaan hanyalah didukung oleh keyakinan (tidak didukung dengan bukti).

(17,18)
Rasa sakit yang disebabkan oleh mendapatkan kekayaan atau dengan menjaganya tidak pernah berhenti bagi perumah tangga. Dia lebih dari siapa pun rentan terhadap pembunuhan, penahanan, dan bencana lainnya. Bahkan jika seorang raja, dia tidak akan puas dengan kekayaannya, tidak lebih dari laut yang diguyur oleh hujan.

Bagaimana mungkin ada kebahagiaan dalam keadaan di mana seseorang terus-menerus merindukan objek-objek indra daripada menyempurnakan diri? Orang seperti itu dapat diibaratkan dengan seseorang yang mencoba menyembuhkan luka dengan menggosoknya.

Sesungguhnya, dalam kebenaran, aku berani mengatakan,

(19)
Biasanya, kemakmuran materi membuat perumah tangga menjadi sombong, keturunan sebagai bangsawan membuatnya angkuh, kekuatan membuatnya menjadi kasar. Kemarahannya dibangkitkan oleh kesedihan, dan kesulitan membuatnya sedih. Maka kapan kehidupan seperti itu dapat memberikan ketenangan?

Dan untuk alasan inilah aku akan membujuk Yang Mulia untuk tidak menentang tekadku.

(20)
Rumah adalah kediaman dari banyak penderitaan yang berat. Hal itu dihantui oleh ular bernama kesombongan, keangkuhan, dan hawa nafsu. Di dalamnya, kebahagiaan dari ketenangan yang indah pun hancur. Lalu siapa yang akan memilih tempat tinggal yang rapuh itu?

(21)
Sedangkan di hutan, rumah bagi orang yang tidak menginginkan apa pun, pikiran menjadi tenang, menikmati kebahagiaan dari ketidakmelekatan. Mungkinkah ada kepuasan yang sedemikian besarnya di surga milik Śakra?

(22)
Mengingat itu, aku senang berada di tengah-tengah hutan, meskipun tertutup oleh kain lusuh dan mendapatkan penghidupan melalui kebaikan hati dari orang asing. Aku tidak merindukan kebahagiaan yang dinodai oleh ketidakbenaran. Aku membencinya seperti makanan yang dilumuri racun; aku telah mendapatkan pencerahan tentang diriku.”

Kata-kata yang meyakinkan ini berhasil membuat teman ayahnya terkesan, yang kemudian menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Bodhisattva dengan menjamunya makan dengan cara yang paling terhormat.

Maka, dengan cara ini, mereka yang hanya merindukan kebenaran meninggalkan kehidupan sebagai perumah tangga, memahami bahwa keadaan itu dipenuhi dengan kekhawatiran yang bertentangan dengan tujuan spiritual.

[Ketika membahas tentang kebajikan ketidakmelekatan, hal ini harus dikemukakan: “Mereka yang pernah merasakan ketidakmelekatan tidak akan kembali kepada kesenangan duniawi.”]

Versi Pāli dari cerita ini tidak ditemukan dalam Pāli Jātaka maupun dalam Cariyāpiṭaka. Keseluruhan kisah ini tidak lain adalah permohonan untuk kebajikan pelepasan keduniawian, naiṣkrama[ṇa], yang didandani dalam bentuk cerita, dan dapat berfungsi sebagai semacam pengantar untuk kisah-kisah berikutnya, di mana keadaan seorang petapa dimuliakan


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *