Jātakamālā 27 – Mahākapijātakam
(Kisah Raja Kera)

Jātakamālā 27 – Mahākapijātakam
(Kisah Raja Kera)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang meneladani perilaku orang-orang berbudi akan memenangkan hati musuh-musuh mereka. Inilah yang akan diajarkan sebagai berikut.

Di tengah Himavat terdapat daerah yang diberkati, yang tanahnya ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan dengan khasiat yang berbeda-beda, ditumbuhi ratusan pohon-pohon hutan beragam dan susunan cabang, ranting, bunga, dan buah yang beraneka ragam. Tempat itu diairi oleh aliran gunung yang airnya memiliki kejernihan seperti kristal, dan menggemakan bermacam-macam suara kumpulan burung. Di hutan itulah konon Bodhisattva menetap sebagai seorang kepala pasukan kera. Meski terlahir sebagai seekor hewan, ia tetap mempraktikkan kerelaan hati dan welas asih; sehingga kecemburuan, keegoisan, dan kekejaman tidak dapat merasuki pikirannya, yang seolah-olah sedang diperangi oleh ia yang berpihak pada kebajikan.

Ia menetap di sebuah pohon banyan yang tinggi besar, yang berdiri tegak menghadap langit bagai puncak gunung, yang dianggap sebagai penguasa hutan itu, dan dengan dahan-dahan tebalnya yang ditumbuhi dedaunan gelap menyerupai kumpulan awan. Dahan-dahan itu agak melengkung, dipenuhi dengan buah-buahan unggul dengan ukuran yang melebihi buah lontar, dengan rasa yang sangat manis dan warna serta aroma yang menyenangkan.

(1) Orang-orang berbudi, meski terlahir sebagai hewan sekalipun, masih memiliki sisa jasa kebajikan untuk meningkatkan kebahagiaan teman-temannya, yang untuk merekalah jasa kebajikan itu digunakan; dengan cara yang sama seperti sisa kekayaan orang-orang di negeri seberang dapat memenuhi keinginan teman-teman mereka.

Salah satu cabang pohon itu tergantung di atas sungai yang mengaliri tempat itu. Bodhisattva, yang berpandangan jauh ke depan, telah menginstruksikan kawanan keranya dengan cara ini: “Kalian harus selalu mencegah cabang yang satu ini menghasilkan buah; karena jika itu terjadi, tidak seorang pun di antara kalian yang akan merasakan buah dari pohon ini lagi.”

Namun terjadilah bahwa kera-kera itu mengabaikan satu buah banyan muda karena ukuran buahnya yang tidak terlalu besar, tersembunyi di dalam rongga daun yang telah ditekuk oleh semut. Kemudian buah itu tumbuh dengan warna, aroma, rasa, dan tekstur yang baik. Setelah matang, tangkainya terlepas dan buahnya jatuh ke sungai. Buah itu menyusuri sungai dan akhirnya tersangkut di sebuah pagar yang dipasang atas permintaan seorang raja yang sedang berenang bersama selir-selirnya di sungai itu.

(2) Menyebarkan aroma harum yang luar biasa dan menyenangkan di hidung, aroma buah itu mengalahkan aroma lain yang berasal dari karangan bunga, rum, dan minyak wangi wanita yang sedang mandi, meskipun aromanya telah diperkuat oleh para wanita yang sedang berkumpul satu sama lain.

(3) Aroma ini segera membuat para wanita terpesona; mereka menikmatinya dengan tarikan napas panjang dan mata setengah tertutup. Dan karena penasaran untuk mengetahui asal-usulnya, mereka mengarahkan pandangan mereka ke segala arah.

Digerakkan oleh rasa ingin tahu, mereka mengarahkan pandangan mereka ke sekeliling, hingga para wanita melihat bahwa buah banyan, yang ukurannya melebihi buah lontar matang, sedang menempel pada jaring pagar. Setelah menemukannya, mereka tidak dapat mengalihkan pandangan mereka dari buah itu. Sang raja juga merasa penasaran untuk mengetahui tentang buah itu. Dia membawanya, dan setelah diperiksa oleh seorang tabib yang andal, dia mencicipinya sendiri.

(4) Rasa yang luar biasa membangkitkan kekaguman sang raja, bagai rasa dalam pertunjukan drama yang luar biasa, yang mempesona para penonton dengan penampilan yang baik, membangkitkan kekaguman mereka.

(5) Jika sebelumnya warna dan aromanya yang luar biasa sudah mengejutkannya, sekarang cita rasanya memenuhinya dengan kekaguman tertinggi, dan membuatnya gelisah dengan nafsu.

Meskipun sudah terbiasa dengan makanan lezat, sang raja menjadi sangat ingin menikmati kenikmatan itu sehingga dia berpikir:

(6) “Jika seseorang tidak memakan buah-buahan itu, maka buah apa yang sesungguhnya dapat dinikmati seseorang dari kerajaannya? Dia yang mendapatkan buat yang seperti ini benar-benar adalah seorang raja, yang menjalankan kekuasaan kerajaan tanpa perlu bekerja keras.”

Oleh karena itu, setelah memutuskan untuk mencari tahu asal-usul buah itu, dia berpikir, “Sungguh, pohon yang luar biasa ini, dari mana pun buah ini berasal, letaknya pasti tidak jauh dari sini dan berada di tepi sungai. Buah itu tidak mungkin berada di dalam air untuk waktu yang lama, karena buah ini mempertahankan warna, aromanya, dan rasanya tetap utuh, serta tidak rusak dan tidak menunjukkan tanda pembusukan. Oleh karena itu, adalah hal yang mungkin untuk menemukan asalnya.”

Setelah memutuskannya, karena dia dikuasai oleh keinginan yang kuat untuk memeroleh rasa yang lezat itu, dia menghentikan kegiatan olahraga airnya, dan setelah mengambil tindakan yang sesuai untuk menjaga ketertiban di ibukotanya (selama ketidakhadirannya), dia berangkat sambil ditemani oleh sekelompok besar orang bersenjata yang diperlengkapi untuk perjalanan jauh. Bersama mereka, dia menyusuri sungai dan menikmati pengalaman yang berbeda dan beragam, selayaknya perjalanan di kawasan hutan, melewati semak-semak yang dihantui oleh binatang buas, melihat hutan dengan keindahan alam yang luar biasa, dan menakuti gajah dan rusa dengan suara suara genderang. Akhirnya dia tiba di dekat pohon itu, tempat yang sulit didekati oleh manusia.

(7) Seperti gumpalan awan yang menggantung ke bawah karena beban airnya, sang penguasa pepohonan nampak jauh dari mata sang raja, mendominasi pohon-pohon lain yang terlihat seolah memandangnya ke atas sebagai raja mereka, dan menyerupai wujud gunung meskipun berada di dekat gunung yang curam.

Bau yang sangat harum, yang lebih harum dari aroma buah mangga matang, yang menyebar darinya dan tercium oleh para tentara seolah-olah sedang menyambut mereka, membuat raja merasa yakin bahwa ini adalah pohon yang dia cari. Ketika mendekat, dia melihat ratusan kera memenuhi dahan dan cabang pohon itu dan sedang asyik memakan buahnya.

Dari dalam dirinya, muncul kemarahan terhadap makhluk-makhluk itu karena merampas apa yang sangat ia dambakan, dan ia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang, “Pukul mereka! Pukul mereka! Usir mereka, hancurkan mereka semua, para kera bajingan ini!”. Dan para prajurit itu bersiap-siap untuk menembakkan anak panah dari busur mereka, berteriak untuk menakut-nakuti para kera; sedangkan yang lainnya mengangkat gumpalan tanah, tongkat, dan tombak untuk dilemparkan ke arah mereka. Mereka menyerbu pohon, seolah-olah mereka akan menyerang benteng musuh.

Tetapi Bodhisattva telah mengetahui bahwa pasukan kerajaan yang berisik itu bergerak mendekatinya dengan kegaduhan dan kegemparan yang bersuara keras, seperti gelombang laut yang terguncang oleh angin kencang; dia melihat serangan telah dilakukan pada semua sisi pohonnya yang luar biasa dengan hujanan anak panah, tombak, gumpalan tanah, dan tongkat yang menyerupai hujan petir; dan dia melihat kera-keranya tidak dapat melakukan apa-apa selain berteriak ketakutan dengan suara sumbang, sementara mereka memandang ke arahnya dengan wajah pucat karena merasa putus asa. Batinnya tergerak oleh rasa welas asih yang terdalam.

Karena dirinya terbebas dari penderitaan, kesedihan, dan kecemasan; ia menghibur suku keranya, dan naik ke puncak pohon untuk menyelamatkan mereka, berkeinginan untuk melompat ke puncak gunung di dekatnya. Meskipun tempat itu hanya dapat dicapai dengan berbagai lompatan berturut-turut, Sang Mahāsattva, berkat rasa kepahlawanannya yang luar biasa, melintas seperti seekor burung dan berhasil mencapai tempat itu.

(8) Kera-kera lain tidak akan mampu melintasi celah itu bahkan dalam dua lompatan berturut-turut sekalipun, tetapi dia, yang berani, dengan cepat melintasinya dengan satu lompatan tunggal, seolah-olah jaraknya pendek.

(9) Welas asihnya telah memupuk tekadnya yang kuat, tetapi rasa kepahlawanannyalah yang membawanya kepada kesempurnaan. Maka dia berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakannya, dan dengan kesungguhan usahanya dia berhasil memikirkan jalan menuju tempat itu.

Setelah menaikinya, di suatu tempat yang tinggi di lereng gunung, ia menemukan sebuah tongkat yang panjang dan kuat, yang tertancap dalam dan kuat, yang panjangnya melampaui jarak antara gunung dan pohon. Dia mengikatkan tongkat itu ke kakinya, dan setelah itu dia melompat kembali ke pohon. Tetapi karena jaraknya sangat jauh dan kakinya terikat, Bodhisattva hampir tidak berhasil meraih dahan pohon yang terdekat.

(10) Kemudian, sambil berusaha memegang dahan itu dan menjaga agar tongkatnya tetap terentang, dia memmberi perintah kepada sukunya, memberi sinyal kepada mereka untuk segera turun dari pohon.

Dan kera-kera itu, ketika mereka bingung karena ketakutan, setelah menemukan jalan keluar itu, bergegas memanfaatkannya, dengan liar menyerbu tubuh raja kera tanpa mempedulikannya, dan melarikan diri dengan selamat melalui tongkat itu.

(11) Saat tak henti-hentinya diinjak oleh kaki para kera yang ketakutan itu, tubuhnya mulai kehilangan keteguhannya, tetapi pikirannya tidak kehilangan keteguhannya yang luar biasa.

Melihat hal ini, raja dan anak buahnya merasa sangat terkejut.

(12) Penampilan kekuatan dan kebijaksanaan yang begitu indah, dikombinasikan dengan altruisme yang begitu besar dan welas asih kepada makhluk lain, dapat membangkitkan rasa heran pada benak mereka yang mendengarnya, terlebih lagi pada orang-orang yang menyaksikannya.

Kemudian raja memerintahkan anak buahnya, “Pemimpin kera ini, meskipun tubuhnya gemetar dan diremukkan oleh kaki-kaki kera yang merasa gelisah karena ketakutan, melindas tubuhnya yang berdiam dalam posisi yang sama dalam waktu yang lama, pasti sudah merasa sangat lelah. Tentunya, dia tidak akan bisa melepaskan diri dari postur yang sulit ini sendirian. Oleh karena itu, segera pasang kanopi di bawah tempat dia berada, kemudian tongkat dan ranting banyan harus ditembakkan secara bersamaan, masing-masing dengan satu anak panah.” Dan mereka melakukannya.

Kemudian raja memerintahkan agar kera itu diangkat dengan lembut dari kanopi dan diletakkan di atas dipan yang empuk. Di sana dia berbaring tanpa sadar, pingsan akibat rasa sakit dari luka-lukanya dan kelelahannya. Setelah luka-lukanya diolesi dengan mentega murni dan salep lain yang cocok untuk menghilangkan luka memar, ia mulai tersadar. Ketika ia telah pulih kembali, ia dikunjungi oleh raja yang penuh dengan rasa ingin tahu, rasa kagum, dan rasa hormat. Setelah menanyakan tentang kesehatannya, melanjutkan ucapannya sebagai berikut:

(13) “Engkau menjadikan tubuhmu sebagai jembatan bagi kera-kera itu, dan tidak berbelas kasihan atas hidupmu sendiri untuk menyelamatkan mereka. Siapakah engkau bagi mereka atau siapakah mereka bagimu?

(14) Jika engkau menganggapku sebagai orang yang layak untuk mendengar hal ini, kumohon katakan padaku, wahai kera yang terkemuka. Menurutku tiada ikatan persahabatan yang dapat mengikat pikiran seseorang untuk mampu melakukan tindakan serupa.

Sebagai jawaban atas kata-kata ini, Bodhisattva, juga sebagai balas budi atas keinginan raja untuk membebaskannya, memperkenalkan dirinya dengan cara yang sesuai. Dia berkata:

(15) “Mereka, yang selalu bertindak sesuai dengan perintahku, memberiku tanggung jawab sebagai pemimpin mereka. Dan akupun terikat kepada mereka dengan kasih sayang bagai seorang ayah terhadap anak-anaknya, telah mengorbankan diriku untuk menanggungnya; demikianlah aku melakukannya.

(16) Inilah, wahai penguasa yang perkasa, jenis hubungan yang ada di antara mereka dan aku. Hubungan ini telah mengakar sepanjang waktu dan telah meningkatkan perasaan persahabatan yang ada di antara hewan-hewan dari spesies yang sama. Tempat kami tinggal bersama telah memperkuat hubungan itu menjadi kasih sayang yang bersifat timbal balik seperti sanak saudara.”

Mendengar ini, sang raja menjawab dengan penuh kekaguman:

(17) “Para menteri dan pejabat lainnya harus melayani kepentingan raja mereka, bukan raja yang melayani kepentingan mereka. Maka untuk apa Yang Mulia mengorbankan diri demi para pengikut-pengikutmu?”

Sang Bodhisattva menjawab: “Yang mulia, memang demikianlah pengetahuan tentang kepemimpinan (rājanīti), tetapi bagiku tampaknya ada sesuatu yang sulit untuk kuikuti.

(18) Sangat menyakitkan untuk mengabaikan rasa sakit yang berat dan tak tertahankan, sekalipun jika penderitanya itu adalah seseorang yang tidak mengenal kita. Terlebih lagi jika yang menderita adalah mereka yang dekat seperti keluarga kita sendiri, yang pikirannya berniat untuk memuja kita!

(19) Maka, ketika melihat kesusahan dan keputusasaan yang melanda kera-kera itu karena bahaya yang muncul secara mendadak, kesedihan yang luar biasa memenuhi pikiranku, tidak memberiku ruang untuk memikirkan kepentingan pribadiku.

(20) Melihat busur yang membujur dan anak panah berkilauan yang terbang ke atas dari segala sisi, juga mendengar suara tali busur yang mengerikan, maka aku melompat dari pohon ke gunung dengan tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan lebih lanjut lagi.

(21) Kemudian – demi penderitaan teman-temanku yang malang, dengan perasaan takut yang sangat tinggi, aku kembali kepada mereka – aku mengikatkan tongkat di kakiku, dari bambu yang berakar kuat, sesuai dengan tujuan dari upayaku.

(22) Maka aku melompat sekali lagi, melompat dari sisi gunung ke pohon, untuk menyelamatkan teman-temanku, dan dengan tanganku, aku mencapai dahan terdekat yang terulur seperti tangan yang menyambutku.

(23) Dan ketika aku tergantung di sana dengan tubuh terjulur di antara tongkat dan dahan pohon yang terentang itu, teman-temanku melarikan diri dengan senang hati, berlari tanpa ragu di atas tubuhku.

Raja, yang merasakan kegembiraan yang meluap-luap, yang bahkan dalam kondisi yang menyedihkan pun memancar dari Sang Mahātmā, dan merasa sangat penasaran akan hal itu, kembali berbicara kepadanya:

(24) “Kebaikan apa yang diperoleh Yang Mulia, dengan meremehkan kesejahteraan diri sendiri dan mengorbankan diri untuk bencana yang mengancam makhluk lain?”

Bodhisattva menjawab:

(25) “Sesungguhnya, wahai raja, tubuhku hancur; tetapi pikiranku benar-benar sehat, karena aku akan menghilangkan kesusahan mereka, yang kepada merekalah aku telah menjalankan kepemimpinan dalam waktu lama.

(26) Bagai para pahlawan yang telah mengalahkan musuh-musuhnya yang angkuh di dalam pertempuran, mengenakan tanda-tanda indah dari kehebatan mereka sebagai perhiasan pada tubuh mereka, demikianlah aku menanggung rasa sakit ini dengan senang hati.

(27) Sekarang aku telah membayar kemakmuran yang aku dapatkan sebagai kepala suku, kepada mereka yang tidak hanya menunjukkan penghormatan dan pemujaan, tetapi juga kasih sayang mereka kepadaku.

(28) Untuk alasan inilah, rasa sakit jasmaniah ini tidak membuatku menderita, demikian pula dengan berpisah dari teman-temanku, atau hancurnya kesenanganku, atau kedekatanku dengan kematian yang telah aku timbulkan dengan bertindak demikian. Bagiku ini adalah sebuah perayaan besar.

(29, 30) Kepuasan diri yang diperoleh sebagai akibat kebajikan sebelumnya, ketenangan perhatian yang disebabkan olehnya, ketenaran tanpa cela, kehormatan dari raja, rasa tanpa takut terhadap kematian, dan penerimaan yang akan diperoleh dari perilaku bersyukurku dari para bajik: kualitas-kualitas baik yang merupakan tempat kediaman kebajikan luar biasa ini telah kuperoleh dengan terjatuh dalam keadaan malang, wahai engkau yang [kukuh] bagai sebatang pohon! Namun raja yang tidak berwelas asih terhadap pengikutnya akan menemui keburukan yang berkebalikan dari kebajikan-kebajikan ini.

(31) Karena, jika seorang raja tidak memiliki kebajikan, jika dia telah menghancurkan kemasyhurannya dan kejahatan telah menempati dirinya, katakanlah, apa lagi yang bisa dia harapkan selain pergi menuju api neraka yang menyala-nyala?

(32) Untuk alasan inilah aku telah menjelaskan kekuatan kebajikan dan kejahatan kepadamu, wahai putra mahkota yang kuat. Oleh karena itu, pimpinlah wilayahmu dengan kebenaran, karena keberuntungan menunjukkan kasih sayangnya yang berubah-ubah bagai seorang wanita.

(33) Kepada pasukannya, tidak hanya prajurit tetapi juga binatang perang, para pejabatnya, rakyat-rakyatnya, baik itu penduduk kota maupun desa, mereka yang tidak memiliki pelindung; dan baik kepada Śramaṇa dan Brāhmana; kepada mereka semualah seorang raja harus berusaha untuk memberikan kebahagiaan yang kondusif untuk kebaikan mereka, seolah-olah dia adalah ayah bagi mereka.

(34) Inilah cara untuk meningkatkan jasa kebajikan, kekayaan, dan kemuliaan. Engkau dapat menikmati kemakmuran baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Dengan jenis kebahagiaan seperti ini yang dimiliki oleh para raja suci zaman dahulu (rājarṣi) dan dapat dicapai dengan mempraktikkan simpati terhadap rakyat-rakyatmu, semoga engkau menjadi termasyhur, wahai raja para manusia!”

(35) Setelah menginstruksikan kepada raja yang bersikap seperti seorang murid, mendengarkannya dengan penuh perhatian dan menjunjung tinggi kata-katanya, dia meninggalkan tubuhnya yang lumpuh karena rasa sakit yang berlebihan, dan naik ke surga.

Maka dengan cara inilah, mereka yang meneladani perilaku orang-orang berbudi akan memenangkan hati musuh-musuh mereka. Mengingat hal ini, dia yang berkeinginan untuk mendapatkan cinta kasih dari manusia harus meniru perilaku orang berbudi.

[Kisah ini juga harus dikemukakan, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata. “Para makhluk tidak mampu membawa keuntungan bagi diri mereka sendiri seperti Sang Bhagavā membawa keuntungan bagi makhluk lain.”

Demikian juga, ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian, ketika berkhotbah tentang welas asih, dan juga ketika sedang mengajar para pangeran, dalam hal ini dikatakan: “Dengan cara inilah seorang raja harus berbelas kasih kepada rakyat-rakyatnya.”Kisah ini dapat dikemukakan juga, ketika mengobati rasa syukur. “Dengan cara inilah orang berbudi menunjukkan rasa syukur mereka.”]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *