Jātakamālā 28 – Kṣāntijātakam
(Kisah Kṣāntivādin)

Jātakamālā 28 – Kṣāntijātakam
(Kisah Raja Kera)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Sesungguhnya, tidak ada hal yang tidak dapat ditanggung oleh mereka yang telah sepenuhnya melatih kesabaran dan menjaga ketenangan. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu ketika, Bodhisattva terlahir sebagai seorang pertapa yang telah meninggalkan keduniawian. Dia telah melihat bahwa kehidupan sebagai perumah tangga hanya menyisakan sedikit ruang untuk kebajikan, sebab diliputi oleh pekerjaan-pekerjaan yang buruk; oleh karena itulah kehidupan duniawi didatangi oleh banyak keburukan dan kejahatan, serta tidak cocok untuk ketenangan, karena keduniawian menyiratkan banyaknya ketertarikan material (artha) dan kenikmatan indriawi (kāma); kehidupan duniawi terpapar oleh masuknya hawa nafsu yang mengotori: cinta, kebencian, kegilaan, kecemburuan, kemarahan, nafsu, kesombongan, keegoisan, dan lainnya; melibatkan hilangnya rasa malu dan nilai-nilai spiritual, serta merupakan tempat kediaman dari ketamakan dan nafsu jahat.

Di sisi lain, setelah memahami kehidupan tanpa rumah ― yang menghindari kepemilikan material dan objek-objek indriawi ― sebagai keadaan yang menyenangkan dan sepenuhnya bebas dari kejahatan. Dengan mengetahui demikian, ia menjadi seorang pertapa yang terkemuka dalam perilakunya, pembelajarannya, ketenangan pikirannya, kerendahan hatinya, dan pengendalian dirinya. Sesuai dengan ikrarnya, ia berceramah mengenai kesabaran dan mengajarkan Dharma dari sudut pandang tersebut. Orang-orang pun melupakan nama pribadinya dan nama keluarganya, memberinya nama baru dengan memanggilnya sebagai Kṣāntivādin (sang pengkhotbah kesabaran).

(1) Seringkali, mereka yang menunjukkan keunggulan dalam pengetahuan, pertapaan, atau seni, atau yang memiliki keunikan tertentu, memeroleh nama panggilan baru dari orang lain.

(2) Demikian pula dengan pertapa ini, nama aslinya terlupakan dan ia memeroleh panggilan Kṣāntivādin; yang berasal dari kekuatan kesabarannya dan keinginannya untuk menghiasi umat manusia, seperti dirinya sendiri, dan dengan kebajikan itulah ia terus menerus berkhotbah tentang topik tersebut.

(3) Ketekunan dan keteguhannya yang kuat terlihat dari ketenangannya yang tidak tergoyahkan, bahkan ketika dilukai oleh orang lain sekalipun, serta khotbahnya yang luar biasa tentang hal itu, membuat dirinya dikenal sebagai seorang Muni.

Kediaman Sang Mahātmā adalah suatu tempat di sebuah hutan yang indah dengan penampilan bagai taman yang menawan; menghasilkan bunga dan buah-buahan di setiap musim, meliputi kolam air murni yang dihiasi oleh teratai putih dan biru. Dengan menetap di sana, dia memberikan kesucian pertapaan untuk tempat itu.

(4) Karena di manapun orang-orang bijak yang dihiasi dengan kebajikan-kebajikan unggul itu menetap, tempat itu adalah tempat yang sangat membawa keberuntungan dan indah, yang merupakan tempat suci untuk melakukan ziarah (tirtha dan sebuah pertapaan.

Dia dihormati oleh para dewa yang tinggal di sana, dan juga sering dikunjungi oleh orang-orang yang mencintai kebajikan dan mengharapkan pembebasan. Kepada para tamu-tamunya itu, dia menunjukkan kemurahan hati yang tinggi dengan menghibur mereka melalui khotbah-khotbahnya tentang kesabaran yang menyenangkan telinga dan hati mereka.

Suatu ketika di musim panas, karena cuaca yang panas, raja negeri itu memutuskan untuk menghibur dirinya di perairan danau hutan yang jernih itu. Bersama selir-selirnya, ia melakukan perjalanan ke tempat yang indah dan menawan itu di hutan.

(5) Dia berkeliaran di hutan itu bersama dengan keindahan selir-selirnya yang menyebar di semua sisi, membuatnya semakin megah dengan aktivitas olahraga antara dirinya dengan istri-istrinya yang nakal.

(6) Di dalam bungalo, di bawah pohon-pohon hutan dengan gaun bunga-bunga yang mekar, dan di dalam air dengan teratai yang mengembang, sang raja merasa senang dengan kegembiraan yang tidak terkendali dari para wanita.

(7) Sambil tersenyum, dia melihat gerakan lemah gemulai dari rasa takut dan ekspresi yang indah di wajah beberapa selirnya yang diganggu oleh lebah, yang terpikat oleh wewangian parfum dan urapan yang dicampur dengan aroma karangan bunga dan minuman keras.

(8) Meskipun mereka telah menghiasi telinga mereka dengan bunga-bunga yang paling indah dan rambut mereka telah mengenakan banyak karangan bunga, para wanita masih tidak memiliki bunga yang cukup banyak. Demikian pula sang raja masih belum cukup melihat permainan nakal mereka.

(9) Dia melihat para wanita yang berkumpul seperti untaian manik itu sekarang berada di bungalo, sedang menunggu sekelompok teratai yang terkadang mengambang di atas air seperti lebah yang terbang di sekitar pohon bunga.

(10) Bahkan siulan burung kukuk, tarian burung merak, dan senandung lebah dikalahkan oleh suara gumaman, tarian, dan nyanyian para wanita itu.

(11) Bunyi genderang kerajaan yang sekuat gemuruh guntur, membuat burung-burung merak mengeluarkan teriakan khas mereka dan membentuk lingkaran pada ekor mereka yang lebar, seolah-olah mereka adalah pemeran yang sedang memuja sang raja melalui karya seni mereka.

Kemudian, setelah menikmati kesenangan berjalan-jalan di hutan yang seperti taman itu dengan puas bersama selir-selirnya, ia merasa lelah dengan permainan yang tak henti-hentinya dan mabuk menguasai pikirannya. Sang raja kemudian meletakkan dirinya di atas tempat duduk kerjaan miliknya yang sangat berharga di bawah bungalo yang indah, dan tertidur pulas.

Ketika para wanita merasa bahwa tuan mereka tidak lagi sibuk dengan mereka dan karena mereka tidak merasa puas dengan berbagai keindahan hutan yang membuat mereka terpesona, mereka pindah dari tempat itu, dan bergumam dalam kelompok yang dibentuk sesuai dengan keinginan mereka, mencampur suara gemerincing perihasan mereka dengan suara gumaman percakapan mereka.

(12) Diikuti oleh lencana kekuasaan yang berdaulat, payung kerajaan, kipas ekor kerajaan, kursi kerajaan dan sebagainya, yang dihiasi dengan ornamen emas dan ditandu oleh budak wanita, para wanita berjalan dengan tanpa kendali dan ceroboh.

(13) Mengabaikan permohonan para pelayan wanita, mereka yang didorong oleh rasa kesal memetik bunga-bunga indah dan ranting-ranting pohon yang berada dalam jangkauan mereka dengan serakah.

(14) Meskipun mereka memiliki banyak bunga, baik sebagai hiasan dan disusun sebagai karangan bunga, dalam perjalanan tidak ada satupun semak yang disisakan bersana bunganya ataupub pepohonan yang ranting-rantingnya melambai tanpa mengupasnya, karena keserakahan.

Dalam perjalanan mereka menjelajahi hutan, yang keindahannya telah menangkap pikiran mereka, para selir raja mendekati pertapaan Kṣāntivādin. Meskipun mengetahui kekuatan pertapaan dan keteguhan hati dari sang Muni, mereka yang bertanggung jawab atas istri-istri kerajaan itu tidak berani mencegah mereka masuk karena merasa sungkan terhadap para selir dan juga takut sang raja akan tersinggung dengan intervensi mereka. Maka istri-istri raja, yang seolah-olah terpesona dengan kemegahan pertapaan itu dengan keindahannya yang bertambah melalui kesaktian (penghuninya), memasuki pertapaan tersebut dan melihat Muni yang agung duduk di sana dengan kaki bersila di bawah sebuah pohon. Sungguh pemandangan yang menguntungkan dan memurnikan untuk dilihat.

Ketenangannya memancarkan kelembutan di wajahnya, kedalaman pikirannya yang luar biasa menginspirasi rasa kagum, wajahnya menampilkan kemuliaan pertapaan dan, berkat latihan dhyāna yang tekun, ia menunjukkan ketenangan yang indah dan indra yang tidak terganggu, meskipun subjek meditasi yang paling tinggi hadir dalam pikirannya. Singkatnya, ia bagai perwujudan Dharma. Kegemilangan pertapaannya menaklukkan pikiran istri-istri kerajaan itu, dan melihatnya saja sudah cukup untuk membuat mereka meninggalkan kecerobohan, kesembronoan, dan keangkuhan mereka. Oleh karena itu mereka pergi kepadanya dengan sikap rendah hati, dan duduk dengan hormat membentuk lingkaran di sekelilingnya.

Dia memberikan salam kepada mereka, kemudian menyambut mereka dan mengatakan hal-hal yang baik dan sopan yang menyenangkan kepada mereka; menjawab pertanyaan mereka dan memberikan hadiah berupa khotbah agama, berceramah dalam istilah-istilah yang mudah dipahami dan mengilustrasikan penjelasannya tentang Dharma yang disertai dengan contoh-contoh.

(15) “Dia yang setelah terlahir sebagai manusia, dan dilahirkan dengan organ dan indra yang lengkap, sehat dan kuat, tanpa cacat apa pun, kemudian lalai melakukan perbuatan baik setiap hari karena kurangnya perhatian – sesungguhnya orang seperti itu telah banyak tertipu; bukankah dia tunduk pada kematian?

(16) Sekalipun seorang pria terlahir unggul karena kelahirannya, wajahnya, usianya, kekuatannya yang lebih tinggi, atau kekayaan hartanya, tetapi dia tidak akan pernah menikmati kebahagiaan di kehidupan selanjutnya; kecuali dia memurnikan diri dengan berdana, berperilaku yang baik (śīla), dan melakukan kebajikan lainnya.

(17) Karena sesungguhnya, dia yang meskipun terlahir tanpa kemuliaan dan nasib baik sekalipun, tetapi dia membenci kejahatan, melakukan praktik dana, perilaku baik dan sebagainya; orang seperti itu akan dikunjungi oleh setiap jenis kebahagiaan di kehidupan selanjutnya, seperti laut yang didatangi oleh air sungai pada musim hujan.

(18) Bagi dia yang terlahir unggul karena keturunannya, wajahnya, usianya, kekuatannya yang lebih tinggi, atau kekayaan hartanya, kecintaan terhadap kebajikan adalah perhiasan yang paling pantas di dunia ini; sedangkan untaian emas miliknya hanya menunjukkan kekayaannya semata.

(19) Bagai bunga yang menghiasi pohon, bagai kilat yang menghiasi awan hujan, dan bagai danau dihiasi oleh bunga teratai dan seroja bersama dengan para lebah yang mabuk; demikian pula latihan penyempurnaan kebajikan merupakan perhiasan bagi para makhluk hidup.

(20) Manusia berbeda-beda dalam hal kesehatan, durasi hidup, kecantikan atau ketampanan, kekayaan, dan kelahiran dapat digolongkan sebagai rendah, menengah dan tinggi. Perbedaan ini tidak terjadi begitu saja, pun tidak disebabkan oleh pengaruh eksternal. Perbedaan ini merupakan akibat dari tindakan manusia (karma).

(21) Mengetahui bahwa inilah hukum bagi keberadaan manusia, dan mengingat bahwa hidup ini rapuh dan tidak tetap, seseorang harus menghindari perbuatan jahat dan mengarahkan hatinya pada perilaku bajik. Karena inilah jalan menuju kemashyuran dan kebahagiaan.

(22) Tetapi pikiran yang penuh dengan kekotoran bertindak bagai api, membakar kebaikan bagi diri sendiri dan sesama. Oleh karena itu, dia yang takut terhadap kejahatan harus menghindari kekotoran batin dengan hati-hati, dengan mengembangkan apa yang merupakan sebaliknya.

(22) Betapapun membaranya api, akan padam jika bertemu dengan sungai besar yang dipenuhi dengan air. Demikian pula api yang berkobar di dalam pikiran seseorang akan padam, jika ia mengandalkan kesabaran yang akan melayaninya baik di dalam kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya.

(24) Oleh karena itu, kesabaran memiliki manfaat besar. Dia yang mempraktikkan kesabaran akan menghindari kejahatan, karena dia telah mengalahkan penyebabnya. Dia tidak akan menimbulkan permusuhan, karena dia mengembangkan cinta kasih. Demikianlah, dia akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati, dan kemudian menikmati kehidupan yang berbahagia. Pada akhirnya dia akan tiba di surga (dengan mudah) seolah-olah dia sedang memasuki rumahnya, berkat ketaatannya dalam melakukan jasa kebajikan.

Selain itu, wahai para wanita, kukatakan bahwa kebajikan dari kesabaran ini,

(25) Dikenal sebagai sifat bajik yang lebih unggul; sebagai pengembangan tertinggi yang dapat diperoleh dari jasa kebajikan dan reputasi baik; sebagai pemurnian yang dapat dicapai tanpa menyentuh air; sebagai kekayaan tertinggi yang diberikan oleh sifat-sifat baik.

(26) Kesabaran juga dipuji sebagai keteguhan batin yang indah dari para orang berbudi yang tidak terpengaruh oleh rasa sakit yang dilakukan orang lain kepada mereka; demikianlah karena mereka telah memperoleh sifat-sifat kṣamā yang indah.

(27) Kesabaran adalah perhiasan bagi mereka yang kuat; kekuatan yang tertinggi bagi para perpata; dan hujan bagi api kejahatan, yang memadakan kemalangan baik dalam kehidupan ini maupun kehidupan selanjutnya.

(28) Kesabaran adalah baju perang bagi orang berbudi, menumpulkan anak-anak panah yang ditembakkan oleh lidah orang-orang jahat kepada mereka. Kesabaran mengubah senjata-senjata itu menjadi bunga-bunga pujian, yang teruntai dalam kemuliaan mereka.

(29) Kesabaran diajarkan sebagai penakluk delusi yang menghalangi Dharma, dan merupakan alat yang mudah untuk mencapai pembebasan. Maka, siapakah yang kemudian tidak berusaha sebaik mungkin untuk melatih kesabaran, kebajikan yang pasti membawa kebahagiaan?”

Dengan cara inilah Sang Mahātmā menghibur para tamu wanita itu dengan khotbah yang membangun.

Sementara itu, sang raja terbangun setelah puas tidur; keletihannya sudah hilang, tetapi matanya masih berat dan lesu dalam kondisi mabuk yang belum sepenuhnya hilang. Dia ingin melanjutkan kegiatannya, dan bertanya dengan wajah yang masam kepada para pelayan perempuan yang menjaga tempat duduknya mengenai keberadaan istri-istrinya. “Yang Mulia,” mereka menjawab, “Mereka sekarang sedang menghiasi bagian lain dari hutan, untuk mengagumi kemegahan yang sedang mereka tapaki.”

Setelah diberitahu demikian oleh para pelayan, sang raja ― yang dengan penuh semangat ingin melihat para istri kerajaan bercakap dan bertindak, ingin melihat bagaimana mereka tertawa dan bercanda dengan bebas dan tanpa kendali ― bangkit dari tempat duduknya, ditemani oleh para prajurit wanitanya yang membawakan payungnya, jubah atasnya, dan pedangnya, kemudian diikuti oleh para kasim dari istana selirnya, mengenakan baju besi mereka dan dengan tongkat bambu di tangan mereka, berbaris menyusuri hutan untuk menyusul mereka.

Mudah untuk mengikuti jalan yang telah mereka ambil; karena jalan yang mereka lewati dipenuhi dengan banyak macam kembang, bunga, ranting, dan getah merah dari buah pinang yang telah mereka kunyah. Dalam waktu singkat, sang raja tiba di tempat pertapaan itu.

Tidak lama setelah melihat bahwa Ṛṣi Kṣantivādin yang teragung sedang dikelilingi oleh istri-istrinya, sang raja diliputi oleh amarah yang meluap-luap. Kegilaan menguasainya, sebagian karena dia sudah lama memusuhinya dan menaruh dendam padanya, sebagian lagi karena pikirannya masih terganggu oleh kondisi mabuk dan pikirannya diliputi oleh kecemburuan. Pengendalian dirinya lemah sehingga dia tidak dapat mengendalikan raut wajahnya, mengabaikan tata krama dan kesopanan, dan tunduk pada kemurkaan.

Tetesan keringat muncul di wajahnya, tubuhnya gemetar, alisnya berkerut, dan matanya memerah, menyipit, berputar, membelalak. Keelokan, keanggunan, dan ketampanan sosoknya telah memudar. Dia menyatukan kedua tangannya, dan menggosoknya, meremas cincin jarinya dan mengguncangkan gelang emasnya, memarahi Ṛṣi yang luar biasa itu, mengucapkan banyak makian dan berseru,”Hei!”

(30) “Siapakah bajingan yang melukai keagungan kami dengan mengarahkan tatapannya pada istri-istri kami? Orang munafik ini bertindak seperti seorang pemburu burung di dalam penyamaran sebagai seorang Muni!”

Kata-kata ini membuat para kasim merasa khawatir dan tidak tenang, yang kemudian berkata kepada raja: “Yang Mulia seharusnya tidak berbicara seperti itu. Orang ini adalah seorang Muni yang telah memurnikan dirinya dalam waktu yang lama melalui ikrar, pengendalian diri, dan pertapaan; namanya adalah Kṣāntivādin.” Namun sang raja sedang berada dalam pikiran yang menyimpang, tidak memedulikan kata-kata mereka, dan melanjutkan: “Aduh! Aduh!

(31) Maka sudah lama sekali sejak orang munafik ini, yang menyamar sebagai pertapa suci yang terkemuka, telah menipu orang-orang dengan kepalsuannya!

Baiklah, kalau begitu, aku akan mengungkapkan sifat asli dari orang munafik ini, meskipun dia menutupinya dalam pakaian pertapan dan menyembunyikannya dengan baik melalui tipu daya dan muslihatnya,” Setelah berbicara demikian, dia mengambil pedangnya dari tangan seorang penjaga wanita (yang memegangnya) dan bergegas ke arah sang Ṛṣi suci dengan tekad untuk menyerangnya, seolah-olah dia adalah pesaingnya.

Para istri kerajaan, yang telah diberitahu oleh pelayan mereka tentang kedatangan raja, melihat wajahnya yang halus berubah menjadi sangat menderita karena kemarahan. Dengan ekspresi cemas yang menunjukkan kesulitan dan ketakutan, mereka pergi meninggalkan sang Ṛṣi suci. Kemudian mereka menemui raja, berdiri di dekatnya dengan tangan tertangkup dan terangkat ke wajah mereka, dengan tampilan bagai kumpulan bunga teratai di musim gugur, ketika kecerahan bunga mulai mengintip keluar dari kuncupnya.

(32) Namun sikap anggun, kerendahan hati, dan kecantikan mereka tidak berhasil menenangkan pikiran sang raja yang sedang terbakar oleh api kemarahan.

Para selir yang sudah mulai pulih dari rasa takut mereka, menyadari bahwa sang raja yang telah diubah oleh kemarahan sedang berjalan membawa senjata menuju arah sang Ṛṣi suci dengan ganas, merekapun mengelilinginya dan memohon kepadanya, “Yang Mulia, kami mohon, janganlah melakukan tindakan sembrono ini! Kumohon jangan, karena orang ini adalah Yang Mulia Kṣantivādin.”

Raja, bagaimanapun juga, karena kejahatan hatinya, menjadi semakin marah dan berpikir: “Tentu saja, dia telah mendapatkan hati mereka.” Dia memarahi mereka karena telah berani memohon kepadanya, mengerutkan kening dan menatap marah pada mereka, bengis karena kecemburuan telah menguasai pikirannya. Setelah itu, dia menoleh kepada kasimnya dan menggelengkan kepalanya sehingga mahkota kerajaan dan anting-antingnya bergetar, dia berkata sambil melirik istri-istrinya:

(33) “Orang ini hanya berbicara tentang kesabaran, tetapi dia tidak mempraktikkannya. Contohnya, dia tidak bisa menolak ketamakan untuk berhubungan dengan wanita.

(34) Lidahnya sama sekali tidak sesuai dengan perbuatannya, apalagi hatinya yang berniat jahat. Apa yang telah dilakukan oleh pria dengan indra yang tidak terkendali ini di dalam hutan pertapaan, sehingga dia harus menirukan ikrar dan berpakaian serta duduk dalam sikap munafik seperti orang suci?”

Raja yang berada dalam keadaan murka menegur ratu-ratunya dan menunjukkan hatinya yang keras, membuat mereka merasa sedih dan menderita, karena mereka mengetahui sifat ganasnya dan sifat keras kepalanya yang membuatnya tidak dapat dibujuk. Para kasim, yang juga merasa khawatir, cemas, dan menderita, memberi isyarat dengan tangan mereka bahwa mereka harus mundur. Maka mereka pergi, menundukkan wajah mereka dengan malu dan mengharapkan yang terbaik bagi para Ṛṣi.

(35) “Kami telah menyebabkan kemurkaan sang raja terhadap pertapa suci yang tidak bersalah dan telah menaklukkan dirinya sendiri, yang terkenal karena kebajikannya. Bagaimanakah ini akan berakhir? Dengan satu atau lain cara, sang raja akan melakukan suatu perbuatan yang tidak pantas, dan pada saat itulah dia akan membuat amarahnya menghancurkan dirinya sendiri.

(36) Raja ini akan menghancurkan kerajaannya sendiri dan kemuliaan yang telah diperolehnya dengan melukai tubuh Muni itu beserta dengan pertapaannya, dan sekaligus membuat pikiran kita yang tidak bersalah ini menderita pada saat yang bersamaan!”

Setelah para ratu meratap dan menghela napas – karena apa lagi yang bisa mereka lakukan baginya? – mereka pergi, sedangkan sang raja dengan murka mendatangi sang Ṛṣi yang suci, mengancamnya dengan pedang terhunus. Melihat sang Bodhisattva, yang meskipun diserang demikian, tetap menjaga ketenangannya agar tidak berubah dengan keteguhan yang tak tergoyahkan, sang raja menjadi lebih bersemangat, dan berkata kepadanya:

(37) “Betapa terampilnya dia dalam berpura-pura suci, bahwa dia bahkan menatapku seolah-olah dia adalah seorang Muni, bertahan dalam kesombongannya yang penuh tipu daya!”

Akan tetapi, berkat latihan kesabarannya yang terus-menerus, Bodhisattva sama sekali tidak merasa terganggu. Bodhisattva, tanpa rasa heran, memahami bahwa tindakan permusuhan tersebut berasal dari kemurkaan sang raja sehingga dia bertindak sedemikian rupa. Dia telah membuang semua pengendalian dirinya untuk bersopan santun dan berperilaku baik, dan kehilangan kemampuan untuk membedakan antara hal yang baik dan buruk baginya. Bodhisattva mengasihani raja itu, dan mengatakan sesuatu dengan welas asih:

(38) “Bertemu dengan tidak dihormati bukanlah hal yang aneh di dunia ini; untuk alasan ini, karena ini mungkin juga merupakan akibat dari nasib (buah dari karma lampau) dan karena rasa bersalah, aku tidak merasa keberatan. Tetapi ini membuatku sedih karena aku tidak dapat menunjukkan sambutan yang baik kepadamu, bahkan dengan suaraku, karena merekalah yang datang kepadaku.

Dengarkanlah hal ini, wahai penguasa.

(39) Engkau, yang berkewajiban untuk membawa orang-orang jahat ke jalan yang benar dan bertindak demi kepentingan para makhluk, tidaklah perlu untuk melakukan tindakan gegabah. Oleh karena itu, sebaiknya engkau merenungi tindakanmu.

(40) Sesuatu yang baik dapat dianggap jahat; sebaliknya, sesuatu yang jahat mungkin dapat dianggap baik. Kebenaran tentang apa yang harus dilakukan pada saat tertentu seringkali tidak dapat dipahami secara utuh sebelum melakukan penyelidikan melalui pemikiran tentang berbagai kemungkinan tindakan.

(41) Tetapi seorang raja, yang memperoleh pemahaman sejati tentang tindak tanduknya yang benar melalui perenungan, dan setelah itu melakukan rencananya dalam kebenaran melalui kebijakannya, akan selalu menghasilkan pengembangan dharma, artha dan kāma kepada rakyat-rakyatnya; dia pun juga tidak akan kehilangan ketiga unsur kemakmuran itu sendiri.

(42) Untuk alasan ini, murnikanlah pikiranmu dari sifat tergesa-gesa, dan hanya niatkanlah dirimu pada tindakan yang membawa reputasi baik. Sesungguhnya, pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang berpangkat tinggi akan dicela dengan keras.

(43) Di hutan pertapaan yang dilindungi oleh tangan perkasamu, sebenarnya engkau tidak akan membiarkan orang lain melakukan tindakan yang dicela oleh para bijaksana dan merusak perilaku baik. Mengapa kini engkau sendiri yang bertindak dengan cara ini, wahai raja?

(44) Jika selir-selirmu kebetulan datang ke tempat pertapaanku bersama dengan pelayan laki-laki mereka, apa kesalahanku sehingga engkau membiarkan dirimu termakan oleh amarah?

(45) Bagaimanapun juga, seandainya aku melakukan beberapa kesalahan di sini, kesabaran seharusnya menenangkanmu, tuanku. Kesabaran, sungguh, merupakan perhiasan utama dari orang yang kuat, karena kesabaran menunjukkan kepandaiannya dalam menjaga harta kebajikannya.

(46) Tiada yang lebih menghiasi seorang raja selain kesabarannya, termasuk anting-anting biru tua yang berkilauan di wajahnya maupun permata cemerlang dari mahkota kerajaan. Maka, kuharap engkau tidak mengabaikan kebajikan itu.

(47) Singkirkanlah sifat lekas marah yang tidak pernah layak untuk diandalkan, tetapi pertahankanlah kesabaran (dengan hati-hati) seperti wilayah kekuasaanmu sendiri. Sesungguhnya, perilaku indah para putra mahkota yang menunjukkan penghormatan kepada para petapa membawa kepada kebahagiaan.”

Tetapi sang raja mengabaikan ucapan yang lembut bagai bunga yang telah disampaikan oleh Sang Muni kepadanya. Dia mencemooh Ṛṣi yang paling terkemuka itu dengan berkata: “Sekarang mari kita lihat keteguhanmu pada kesabaran,” dan setelah berbicara demikian dia mengarahkan pedang tajamnya ke tangan kanan Sang Muni, yang sedikit terangkat ke arah raja untuk mencegahnya, dengan jari-jarinya yang halus dan panjang ke atas. Demikianlah sang raja memotong tangan Sang Muni dari lengannya seperti memotong teratai dari tangkainya.

(53) Namun Bodhisattva tidak begitu banyak merasakan sakit, bahkan setelah tangannya dipotong – demikianlah keteguhannya dalam menjaga ikrar kesabarannya – dia justru merasa sedih memikirkan sang pemotong, melihat kemalangannya di masa depan, yang akan jatuh mengerikan dan tidak dapat diperbaiki pada seseorang yang hingga kini masih terbiasa dengan kesenangan.

Dia berpikir: “Aduh! dia telah bertindak di luar batas kebaikannya, dia tidak lagi menjadi orang yang patut untuk dinasihati,” dan bersimpati kepadanya, seperti yang dilakukan oleh para tabib kepada orang sakit, dia tetap diam. Namun sang raja terus mengucapkan kata-kata yang mengancam kepadanya.

(54) “Dan dengan cara ini tubuhmu akan dipotong-potong sampai mati. Berhentilah dari kemunafikan pertapaanmu, dan tinggalkanlah kepalsuan yang jahat itu.”

Bodhisattva tidak menjawab. Dia mengerti bahwa sang raja telah tuli terhadap nasihat dan telah memahami kekerasan hatinya. Kemudian raja secara berturut-turut dan dengan cara yang sama memotong tangan Yang Mulia yang satunya, kedua lengannya, telinga dan hidungnya, dan kakinya.

(55) Namun Sang Muni yang terunggul ini tidak merasa sedih atau marah ketika pedang tajam jatuh ke tubuhnya. Pemahaman bahwa anggota tubuhnya pada akhirnya akan berakhir dan kebiasaannya melatih kesabaran terhadap semua orang membuatnya begitu kuat.

(56) Karena terbiasa berwelas asih, pikiran orang berbudi tidak dapat dijangkau oleh perasaan sedih terhadap dirinya sendiri. Bahkan ketika dia melihat anggota tubuhnya dipotong, kesabarannya tetap tak tergoyahkan, sedangkan melihat sang raja terjatuh dari kebenaran membuatnya bersedih.

(57) Sesungguhnya, orang-orang berwelas asih yang piawai dalam mempertahankan ketenangan mereka tidak terlalu menderita oleh rasa sakit yang timbul dalam diri mereka, karena mereka justru bersedih terhadap penderitaan orang lain.

(58) Sang raja, setelah melakukan perbuatan yang kejam itu, segera diserang demam yang panas seperti api, dan ketika dia keluar dari taman, tanah tiba-tiba terbuka dan menelannya.

Setelah menelan sang raja, bumi terus mengeluarkan suara yang menakutkan dengan nyala api muncul dari celah-celahnya. Hal ini menyebabkan kekhawatiran yang besar di sekitar, dan membuat bingung serta menakuti para pelayan kerajaan. Para menteri raja, mengetahui keagungan kekuatan pertapaan Sang Muni itu dan menganggapnya sebagai malapetaka bagi sang raja, merasa cemas, tidak ingin membiarkan Ṛṣi suci itu membakar seluruh negeri karena raja. Dengan pemahaman itu, mereka datang kepada Ṛṣi suci, dan membungkuk kepadanya, memohon kepadanya dengan tangan tertangkup agar beruntung.

(59) “Semoga raja itu, yang didorong oleh pikirannya yang gila sehingga menempatkanmu ke dalam keadaan ini dengan tindakan yang sangat gegabah, menjadi bahan bakar bagi api kutukanmu. Tetapi kami mohon, jangan bakar kotanya!

(60) Kami mohon, jangan hancurkan orang-orang yang tidak bersalah, para wanita dan anak-anak, orang tua dan orang sakit, para Brāhmana maupun orang miskin karena kesalahannya! Jadilah engkau sebagai pecinta kebajikan, menjaga kerajaan sang raja dan kebenaranmu sendiri.”

Sebagai jawaban atas hal ini, Bodhisattva menghibur mereka: “Jangan takut,” katanya, “Tuan-tuan,

(61, 62) Mengenai raja yang baru saja memotong tangan dan kakiku, telinga dan hidungku, melukai seorang petapa tak berdosa yang tinggal di hutan dengan pedangnya, bagaimana mungkin orang sepertiku mengharapkan celaka baginya atau memikirkan pikiran seperti itu? Semoga raja itu berumur panjang dan tidak ada kejahatan yang menimpanya!

(63) Makhluk yang tunduk pada kesedihan, kematian dan penyakit, ditundukkan oleh keserakahan dan kebencian, ditelan oleh tindakan jahatnya, adalah orang yang harus dikasihani. Siapakah yang dapat marah dengan orang yang seperti itu?

(64) Dan seandainya perilaku itu yang ia sukai, semoga perbuatan buruknya menjadi matang (sebagai akibat yang tak terhindarkan) dengan tidak merugikan orang lain kecuali diriku sendiri! Karena bagi orang-orang yang terbiasa dengan kesenangan, bertemu dengan penderitaan adalah menyakitkan dan tak tertahankan, bahkan untuk waktu yang singkat sekalipun.

(65) Tetapi sekarang, karena aku tidak dapat melindungi raja yang telah memusnahkan kebahagiaannya sendiri dengan cara ini, untuk alasan apa aku harus menyerah pada ketidakberdayaanku dan menikmati kebencian terhadapnya?

(66) Bahkan tanpa campur tangan raja sekalipun, setiap orang yang terlahir harus menghadapi penderitaan yang muncul dari kematian dan sebagainya. Oleh karena itu, kelahiranlah yang harus dihindari. Karena tanpa keberadaan, dari apa dan dari manakah penderitaan muncul?

(67) Selama banyak kalpa dan dalam berbagai kelahiran, aku telah kehilangan tubuhku yang tidak berharga ini dengan berbagai cara. Bagaimana mungkin aku melepaskan kesabaranku karena hancurnya rangka tubuh ini? Bukankah itu seperti aku menyerahkan permata berkualitas terbaik demi sebuah jerami?

(68) Tinggal di dalam hutan, taat pada ikrar pelepasan keduniawianku, seorang pengkhotbah kesabaran, dan akan segera menjadi mangsa kematian, bagaimana mungkin aku ingin membalas dendam? Jangan merasa takut lagi kepadaku. Pergilah, semoga kedamaian bersamamu!”

(69) Setelah menginstruksikan hal tersebut dan pada saat yang sama mengakui mereka sebagai muridnya dalam ajaran kebijaksanaan, sang Muni yang terunggul, yang menjaga keteguhannya tak tergoyahkan dalam kesabaran, meninggalkan kediaman duniawinya dan terlahir di alam surga.

Maka, sungguh, bagi mereka yang telah sepenuhnya menyerap kebajikan kesabaran dan hebat dalam menjaga ketenangan mereka, tidak ada yang tidak tertahankan.

[Demikianlah dikatakan ketika berbicara tentang kebajikan kesabaran, menjadikan Sang Muni sebagai teladan. Karena sifat buruk dari gegabah dan murka, seperti raja sebagai contoh, cerita ini juga harus diceritakan. Dan ketika menguraikan konsekuensi menyedihkan dari kenikmatan indriawi, dengan mengatakan: “Dengan cara ini, enikmatan indra menuntun seseorang menjadi kecanduan trhadap perilaku jahat yang membawanya ke dalam kehancuran.” Itu juga dapat diceritakan dengan tujuan menunjukkan ketidakkekalan dari kemakmuran materi.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *