Jātakamālā 29 – Brahmajātakam
(Kisah Penghuni Brahmaloka)

Jātakamālā 29 – Brahmajātakam
(Kisah Penghuni Brahmaloka)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Pandangan salah merupakan hal yang membawa konsekuensi buruk, sehingga mereka yang mengikuti pandangan salah perlu mendapatkan welas asih dari para orang berbudi. Inilah yang akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva, guru kita, setelah mengumpulkan simpanan karma baik dengan berlatih dhyāna secara terus-menerus, memeroleh kelahiran di Brahmaloka (alam Brahma) sebagai akibat matangnya jasa kebajikan itu. Namun, karena dia selalu mempraktikkan welas asih di kehidupan sebelumnya, kebahagiaan yang tinggi di Brahmaloka yang telah diperolehnya sebagai akibat dari keunggulan dhyāna tidak menghancurkan kerinduannya untuk membantu makhluk lain.

(1) Dengan memanjakan diri dalam kesenangan indriawi maupun materi, orang-orang duniawi menjadi tidak waspada. Tetapi para orang berbudi, meski terserap dalam meditasi, betapapun idealnya, tidak akan lalai dalam membantu orang lain.

Suatu ketika Sang Mahātmā sedang menatap alam kenikmatan di bawah, di mana welas asih menemukan tempat yang tepat, karena tempat ini merupakan alam yang dikunjungi oleh ratusan bentuk penderitaan dan bencana yang berbeda-beda, terdiri dari unsur-unsur penyakit moral, bencana, permusuhan sesama makhluk hidup, dan kenikmatan indriawi.

Dan dia melihat raja Videha yang bernama Aṅgadinna sedang melakukan kesalahan di tengah hutan belantara dengan keyakinan yang keliru, sebagian disebabkan oleh pergaulannya yang salah dengan teman-teman yang buruk, sebagian juga karena ia sangat terikat pada pandangan-pandangan salah. Sang raja dibujuk seperti ini: “tidak ada kehidupan lain setelah kehidupan ini, sehingga bagaimana mungkin ada konsekuensi dari perbuatan baik atau jahat?” dan sesuai dengan keyakinan ini, kerinduannya terhadap praktik spiritual menjadi padam. Sang raja menjadi enggan berdana, enggan berperilaku baik (śīla), memandang rendah terhadap hal-hal yang membawa kepada kehidupan spiritual, dan karena kurangnya keyakinan, memunculkan niat buruk terhadap teks-teks ajaran agama. Dia menertawakan kisah-kisah tentang alam lain, dan hanya menunjukkan sedikit hormat kepada para Śramaṇa and Brāhmana yang dia pandang rendah. Dia menyerahkan dirinya kepada kesenangan indriawi.

(2) Dia yang teguh dalam keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian, di mana karma baik dan jahat dapat menghasilkan buah kebahagiaan dan malapetaka, orang seperti itu akan menghindari perbuatan jahat dan mengerahkan dirinya untuk menjadi bajik. Tetapi dengan ketiadaan keyakinan seperti itu, seseorang menuruti keinginannya sendiri.

Raja itu, yang secara salah melekati pengetahuan palsu itu, akan memeroleh konsekuensi yang buruk dan menjadi sumber malapetaka bagi rakyat-rakyatnya, sehingga membangkitkan welas asih sang Mahātmā Devarṣi itu. Suatu ketika, sang raja yang selalu digerakkan oleh kenikmatan indriawi itu sedang berdiam di sebuah bungalo yang indah dan sepi, Bodhisattva turun dari alam Brahma dengan kecemerlangan yang menyala-nyala di depan matanya. Saat melihat makhluk bercahaya yang berkobar bagai nyala api, bersinar bagai kumpulan kilat, dan menyebarkan kecemerlangan cahaya yang terang bagai kumpulan sinar matahari, sang raja yang diliputi oleh kilau itu merasa terkejut dan bangkit dari kursinya untuk menemuinya dengan hormat dengan tangan yang tertangkup. Dengan hormat dia melihat ke arah Bodhisattva (yang melayang di udara) dan berkata:

(3) “Langit merupakan tempat kakimu berpijak, seolah-olah itu adalah bumi, wahai engkau yang memiliki kaki bagai bunga teratai; Engkau memancarkan cahaya dengan luas, membawa kilau matahari. Siapakah engkau, yang wujudnya menggembirakan mata?”

Sang Bodhisattva menjawab:

(4) “Wahai raja, perkenalkan, aku adalah salah satu dari para Devarṣi yang mencapai alam Brahma, dengan kekuatan pikiran, keterikatan dan ketekunan yang kuat pada praktik spiritual yang mengalahkan kemelakatan dan kebencian, kedua musuh yang sombong itu, seperti dua kepala pasukan yang angkuh dalam pertempuran.”

Setelah mendengar kata-kata itu, sang raja menyambut tamu itu secara ramah dengan air untuk membasuh kakinya dan air arghya sambil menyertai penghormatan ini dengan kata-kata sambutan yang baik dan sejenisnya. Kemudian, sambil menatap wajahnya dengan rasa kagum, dia berkata: “Sungguh luar biasa sosokmu, wahai Ṛṣi Agung. Sungguh, kekuatanmu yang sakti.

(5) Tanpa bersandar pada dinding sebuah bangunan, engkau dapat berjalan di atas langit semudah di atas bumi. Beritahu aku, wahai engkau yang cerah berkilau bagai kilatan petir, bagaimana engkau mendapatkan kesaktian ini?

Bodhisattva menjawab:

(6) “Wahai raja, kekuatan sakti seperti ini merupakan hasil dari meditasi (dhyāna), perilaku baik tanpa noda (śīla), dan pengendalian indra yang sangat baik, yang telah aku praktikkan di dalam kehidupan lain sehingga mereka menjadi unsur penting dari sifatku.”

Raja bertanya: “Apakah kehidupan setelah kematian itu benar-benar ada?” Sang Brahma menjawab: “Sesungguhnya, baginda, ada alam setelah kematian.” Raja kembali bertanya: “Tetapi, tuanku, bagaimana aku dapat mempercayainya?” Bodhisattva berkata: “Ini adalah kebenaran yang nyata, Yang Mulia, yang dapat dibuktikan melalui penalaran dengan cara pembuktian biasa (pramāṇa): melalui persepsi oleh indra dan sebagainya. Hal ini dicontohkan oleh pernyataan orang-orang yang dapat dipercaya, dan dapat diuji dengan metode pemeriksaan yang akurat. Renungkanlah ini:

(7) Surga, dengan hiasan matahari, bulan dan bintang-bintang, juga berbagai konstelasi dengan beragam wujud, merupakan alam setelah kematian yang nyata dan terlihat. Jangan biarkan pikiranmu ditumpulkan oleh keragu-raguan sehingga tidak memahami kebenaran ini.

(8) Selanjutnya ada orang-orang yang melalui praktik dhyana dan ketajaman ingatan mereka, dapat mengingat kehidupan mereka yang sebelumnya. Dari sini juga harus disimpulkan bahwa ada kehidupan setelah ini. Dan aku sendiri, bukankah aku telah memperlihatkanmu sebuah bukti?

(9) Selain itu, engkau juga dapat menyimpulkan keberadaannya dari hal ini: adanya pencapaian yang tinggi dalam kecerdasan menunjukkan bahwa terdapat keberadaan lampau dari kecerdasan itu. Kecerdasan yang belum sempurna di dalam janin adalah kelanjutan kecerdasan yang tidak terputus dari kehidupan sebelumnya.

(10) Selanjutnya, bagian untuk menangkap materi pengetahuan itulah yang disebut kecerdasan (buddhi). Oleh karena itu, pasti ada lingkup aktivitas kecerdasan pada awal keberadaan. Tetapi tidak mungkin untuk menemukannya di dalam kehidupan ini, karena ketiadaan mata dan organ indra lainnya (pada janin muda). Melalui penyimpulan, tempat di mana ia dapat ditemukan adalah di dalam kehidupan lain.

(11) Melalui pengalaman, diketahui bahwa anak yang berbeda dari orang tua yang sama memiliki sifat yang berbeda. Fakta ini tidak dapat muncul tanpa sebab, sehingga ini merupakan kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh dari kehidupan sebelumnya.

(12, 13) Anak yang baru lahir, meskipun kemampuan pikirannya belum terbentuk secara utuh dan organ-organ indranya masih belum tajam, berusaha untuk mendekati payudara tanpa diajarkan dan dalam keadaan yang hampir tertidur lelap. Hal ini membuktikan bahwa dalam kehidupan sebelumnya dia telah melatih dirinya untuk mengambil makanan dengan cara yang tepat.

Latihan penyempurnaan pikiran mempertajam kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dalam berbagai tindakan khusus.

Mungkin, karena engkau tidak terbiasa dengan gagasan tentang keberadaan kehidupan lain, engkau mungkin masih ragu tentang pernyataan terakhir. Mungkin engkau memikirkan hal ini:

(14) ‘Lalu teratai yang menutup dan membuka sendiri, apakah merupakan bukti bahwa mereka telah mempraktikkan gerakan-gerakan itu di kehidupan lain? Jika hal ini tidak diakui, mengapa engkau menegaskan bahwa upaya bayi untuk menyusu merupakan akibat dari upaya yang telah dilakukan pada kelahiran sebelumnya?’

Maka engkau wajib mengesampingkan keraguan itu dengan mempertimbangkan bahwa dalam satu kejadian terdapat dorongan, dan terdapat kebebasan dalam kejadian lainnya. Pengerahan upaya tidak terjadi dalam kasus itu, tetapi terjadi dalam kasus ini.

(15) Dalam kasus teratai, membuka dan menutupnya kelopak bergantung pada waktu, tetapi upaya untuk mengambil payudara tidak demikian. Lagi pula, tidak ada pengerahan upaya dalam teratai, tetapi dalam kasus menyusu jelas ada. Kekuatan mataharilah yang menyebabkan bunga teratai mekar.

Dengan cara ini, Yang Mulia, melalui pemeriksaan yang teliti dan cermat, adalah mungkin untuk meyakini adanya kehidupan setelah kematian.”

Tetapi karena sang raja sangat terikat pada pengetahuan palsu yang dia anut, juga karena perilaku salahnya yang besar, merasa tidak nyaman mendengar cerita tentang kehidupan lain itu, dan berbicara: “Mengapa, wahai Ṛṣi agung,

(16) Jika kehidupan selanjutnya bukanlah momok untuk menakuti anak-anak, atau jika menurutmu aku perlu untuk mempercayainya, maka pinjamkanlah aku lima ratus niṣka di sini, dan aku akan mengembalikan seribu kepadamu dalam kehidupan berikutnya.”

Raja, sesuai dengan kebiasaannya yang tidak tahu malu telah mengucapkan kata-kata yang tidak pantas ini tanpa ragu-ragu, seolah-olah sedang memuntahkan racun dari keyakinannya yang salah. Namun Bodhisattva menjawabnya dengan cara yang sangat tepat.

(17) “Dalam kehidupan ini, mereka yang ingin menggunakan uang mereka dengan tujuan untuk meningkatkan jumlahnya, tidak akan memberikannya kepada orang jahat, orang serakah, orang bodoh, maupun orang yang pemalas. Sebab kekayaan yang diberikan kepada orang-orang seperti itu cenderung merusak mereka.

(18) Tetapi jika mereka melihat seseorang yang tahu malu, dengan indra yang sepenuhnya tenang, dan terampil dalam perdagangan; kepada orang seperti itulah mereka menawarkan pinjaman, sekalipun tanpa saksi. Pemberian uang seperti itu menghasilkan kebahagiaan.

(19) Demikianlah garis perilaku yang sama harus diikuti, wahai raja, sehubungan dengan utang yang dapat dibayar dalam kelahiran selanjutnya. Tidak cocok bagiku untuk memberi pinjaman seperti itu kepadamu, seseorang yang berperilaku jahat karena ajaran salah yang engkau anut.

(20) Karena, ketika pada saat engkau berada di neraka akibat tindakan kejammu sendiri yang berasal dari ajaran salah, engkau akan berbaring di sana, meradang kesakitan dan pikiranmu tidak berdaya, siapakah yang akan memanggilmu demi utang seribu niṣka?

(21) Di sana wilayah langit tidak bersinar dalam keindahan feminin oleh sinar matahari dan rebulan, penghancur tabir kegelapan mereka. Cakrawala juga tidak terlihat bersama dengan hiasan kumpulan bintangnya, yang seperti danau dihiasi oleh bunga lili air yang tidak tertutup.

(22) Di sana adalah tempat orang-orang berkeyakinan salah berdiam sebagai kehidupan selanjutnya, diselimuti oleh kegelapan yang pekat, dengan angin sedingin es bertiup di sana, menembus hingga ke tulang-tulang dan terasa sangat menyakitkan. Siapakah orang bijaksana yang akan memasuki neraka itu demi mendapatkan uang?

(23) Beberapa mengembara di dasar neraka dalam waktu yang lama, yang terbungkus dalam kegelapan yang pekat dan kusam dengan asap yang menyengat; mereka menderita di sana, menarik kain mereka yang compang-camping yang terikat pada tali kulit, dan menangis kesakitan sesering mereka tersandung satu sama lain.

(24) Demikian juga orang lain dengan kaki yang terus-menerus terluka berlari ke segala arah di Neraka Jvalatkukūla, merindukan pembebasan dari sana, tetapi mereka tidak mencapai akhir dari kesalahan maupun hidup mereka.

(25) Para pelayan Yama yang kejam mengukir anggota tubuh orang lain seperti tukang kayu, mengikatnya dengan cara yang berbeda-beda, dan membentuknya dengan pisau tajam, seolah-olah mereka sedang ditempa dalam kayu segar.

(26) Orang lain kulitnya dilucuti, mengerang kesakitan, atau bahkan kehilangan daging mereka, menjadi tengkorak hidup, tetapi mereka tidak bisa mati, tetap hidup oleh tindakan jahat mereka sendiri. Begitu juga dengan orang lain yang dipotong-potong.

(27) Yang lain menarik kereta perang yang menyala-nyala untuk waktu yang lama. Mereka memakai potongan api yang lebar di mulut mereka dan tunduk pada tali kekang dan tongkat berwarna kuning kecokelatan, berapi-api. Lantai tempat mereka menarik terbuat dari besi, dipanaskan oleh api yang tak henti-hentinya menyala.

(28) Sebagian lagi, tubuh mereka hancur ketika mereka bertemu gunung Saṁghāta dan hancur menjadi debu oleh serangannya; namun demikian, bahkan dalam penderitaan besar dengan tingkat yang paling parah sekalipun, mereka tidak dapat mati sebelum karma buruk mereka dimusnahkan.

(29) Beberapa lainnya ditumbuk menjadi debu dengan alu kuningan besar dan menyala di palung berpijar api selama lima ratus tahun penuh, namun mereka tetap tidak kehilangan nyawa.

(30) Yang lainnya tergantung dengan kepala atau bahkan kaki mereka ke pohon-pohon yang merah membara seperti karang dari permukaan yang kasar, ditumbuhi duri-duri besi tajam yang menyala-nyala. Mereka dipukuli para pelayan Yama, yang mencaci mereka dengan seruan keras.

(31) Yang lain menikmati buah dari perilaku mereka, berbaring di atas tumpukan besar bara api, menyala dan menyerupai emas cair. Mereka (tak berdaya) dihadapkan pada nasib mereka, tidak bisa berbuat apa-apa selain berbaring dan mengerang kesakitan.

(32) Beberapa melolong dengan lidah yang menjulur dari mulut mereka, sementara tubuh mereka diliputi oleh rasa sakit yang berat yang disebabkan oleh ratusan tombak tajam di atas tanah yang diterangi oleh rangkaian api yang keluar dari sana. Pada saat itu mereka dibuat percaya bahwa ada kehidupan di luar ini.

(33) Ada orang lain yang kepalanya dilingkari dengan mahkota kuningan yang menyala-nyala; lainnya direbus dalam pot kuningan. Tubuh yang lainnya terluka oleh sengatan tajam dari hujanan senjata, dan dimangsa oleh kerumunan binatang buas yang menggerogoti mereka hingga ke tulang.

(34) Yang lain lagi, kelelahan karena kerja keras, memasuki air asin Vaitaraṇī, tetapi air itu menyakitkan untuk disentuh bagai api, dan daging mereka terkikis dari tubuh mereka ketika berada di dalamnya, tetapi tidak mengikis hidup mereka yang dipertahankan oleh tindakan jahat mereka.

(35) Dan mereka yang menderita karena siksaan hebat yang disebabkan oleh pembakaran, telah beralih ke (neraka bernama) Asucikuṇapa berupa kolam air tawar, bertemu di sana dengan rasa sakit yang tak tertandingi. Tulang mereka dibawa ke pembusukan oleh ratusan cacing.

(36) Di tempat lain, orang lain mengalami rasa sakit karena terbakar untuk waktu yang lama. Dikelilingi oleh api, tubuh mereka menyala seperti tongkat besi yang dikelilingi oleh nyala api. Namun mereka tidak terbakar menjadi abu, tetap hidup oleh tindakan mereka.

(37) Ada penggergajian orang dengan gergaji api, pemotongan orang dengan pisau cukur yang tajam. Sedangkan yang lain, kepala diremukkan dengan palu yang diayunkan dengan cepat, sehingga membuat mereka berteriak kesakitan. Ada pemanggangan di atas api tanpa asap yang dialami oleh orang lain, dipasang di atas lubang besi lebar yang menembus tubuh mereka. Lainnya lagi dipaksa untuk meminum kuningan cair yang tampak seperti api yang menyala-nyala, yang membuat mereka menangis mentah-mentah.

(38) Beberapa diserang oleh anjing bertutul dengan kekuatan besar yang dengan gigi tajam mereka merobek daging dari anggota badan mereka; mereka jatuh ke tanah dengan tubuh terkoyak, menangis keras karena kesakitan.

(39) Itulah siksaan yang luar biasa di berbagai neraka. Jika engkau, terdorong oleh karmamu, sekali telah mencapai keadaan itu, siapakah yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu, sementara pada saat itu engkau kesakitan dengan kemuraman dan pikiranmu menderita karena kelelahan dan kesedihan?

(40) Mungkin saja engkau tinggal di neraka tempayan yang diisi dengan mayat orang jahat dan sulit untuk didekati karena nyala api, yang memanaskan mereka dan membuat engkau bergerak tak berdaya terkena penderitaan direbus. Lalu siapa yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu pada saat itu?

(41) Atau engkau dapat berbaring dengan kaki terikat pada peniti besi yang menyala-nyala atau di atas tanah yang panas membara oleh api yang menyala-nyala. Sementara engkau akan menangis dengan sedih, tubuhmu terbakar habis, siapakah yang akan berpikir untuk mengingatkanmu tentang utang itu pada saat itu?

(42) Siapa yang akan meminta utang itu darimu, ketika engkau telah mencapai tingkat penghinaan yang menyedihkan itu, mengalami penderitaan yang mengerikan dan bahkan tidak dapat memberikan jawaban apa pun?

(43) Atau seandainya tulang-tulangmu tertusuk oleh angin sedingin es yang bahkan menghancurkan kekuatan rintihan, atau suaramu yang mengeluarkan raungan kesakitan, ketika engkau akan dicabik-cabik, maka siapakah yang berani meminta uang itu di kehidupan lain?

(44) Atau, jika engkau lebih suka terkena luka-luka yang disebabkan oleh para pelayan Yama, atau berbaring di tengah api yang menyala-nyala, atau jika anjing dan gagak memakan daging dan darahmu, siapakah yang akan mendesakmu dengan permintaan uang di kehidupan lain?

(45) Selain itu, ketika engkau menjalani siksaan tanpa henti dengan serangan, potongan, pukulan, atau pembelahan; dengan dibakar, diukur, digiling, atau dibelah; singkatnya, (tubuhmu) dirobek dengan cara yang sangat berbeda-beda, bagaimana seharusnya engkau mampu mengembalikan utang itu kepadaku pada saat itu?”

Gambaran yang sangat menakutkan tentang neraka memengaruhi sang raja. Mendengarnya, dia menjadi waspada dan meninggalkan ketaatannya terhadap ajaran yang salah. Dan setelah memeroleh keyakinan tentang adanya kehidupan setelah kematian, dia membungkuk kepada Ṛṣi yang termasyhur itu dan berbicara:

(46) ​​“Setelah diberitahu tentang siksaan di neraka yang berbeda-beda, pikiranku hampir larut dalam rasa takut. Di sisi lain aku merasakan rasa cemas yang membara, mengingat bagaimana aku bisa berlindung dari rasa sakit yang mengerikan itu.

(47) Karena aku berpandangan dangkal, aku berjalan di jalan yang salah, pikiranku disesatkan oleh pandangan salah. Sekarang, izinkan Yang Mulia menjadi pemanduku di sini. Engkau tahu jalan yang benar. Engkau adalah pemanduku dan perlindunganku, wahai Muni.

(48) Bagai matahari terbit yang mengusir kegelapan, demikian pula engkau telah menghilangkan kegelapan dari keyakinan salahku. Dengan cara yang sama, wahai Ṛṣi, engkau harus mengajariku jalan yang benar sehingga aku tidak akan mencapai kesengsaraan setelah kematian.”

Kemudian, setelah Bodhisattva memahami bahwa perasaan dan pemahaman sang raja telah mengubah pandangannya menjadi lebih baik dan sekarang telah menjadi wadah yang sesuai untuk menerima Dharma, ia mulai mengajari sang raja – karena dia berwelas asih kepadanya, seperti seorang ayah terhadap putranya, atau seorang guru terhadap muridnya – dalam cara ini:

(49) “Jalan mulia menuju surga adalah jalan yang dilalui oleh raja-raja kuno, yang menunjukkan kecintaan mereka kepada kebajikan, berperilaku seperti murid yang baik terhadap para Śramaṇa dan Brāhmana, dan menunjukkan welas asih mereka kepada rakyat-rakyatnya melalui perilaku mereka sendiri.

(50) Oleh karena itu, taklukkanlah ketidakadilan yang sangat sulit untuk ditaklukkan, dan kalahkanlah ketamakan yang sangat sulit untuk dikalahkan! Sehingga engkau dapat menunggangi makhluk bercahaya ke kota sang penguasa surga, kota dengan gerbang emas yang gemerlap dan permata yang paling indah.

(51) Semoga penerimaanmu terhadap ajaran yang dihargai oleh para bajik, yang engkau terima saat pikiranmu masih terbiasa dengan ajaran yang salah, tetap teguh. Tinggalkanlah ajaran salah, yang merupakan sistem ketidakadilan yang diserukan oleh orang-orang yang bermaksud memuaskan orang-orang bodoh.

(52) Karena engkau telah mengambil jalan (yang benar), wahai raja, maka ketika engkau berkehendak berjalan di atasnya dengan perilaku bajik yang telah ditetapkan oleh Dharma, engkau menghancurkan kebencian terhadap kebajikan di dalam hatimu.

(53) Oleh karena itu, biarlah kekayaanmu menjadi alat untuk memperoleh kebajikan, dan praktikanlah welas asih kepada rakyat-rakyatmu, yang merupakan sebuah hal yang menguntungkan dan akan meningkatkan kebahagiaanmu sendiri. Teguhlah dalam menjaga pengendalian indra yang unggul dan perilaku baik. Dengan cara ini engkau tidak akan menemui kemalangan dalam kehidupan selanjutnya.

(54) Biarlah pemerintahanmu, wahai raja, memperoleh seluruh kecemerlangannya dari kilauan perbuatan-perbuatanmu yang berjasa; biarlah itu diandalkan oleh mereka yang mempraktikkan perbuatan baik, dan menjadi indah dengan kemurniannya. Memerintah dengan cara demikian, engkau berjuang untuk kebahagiaan sejatimu bersama-sama dengan kepentingan materimu, dan memusnahkan penderitaan para makhluk, dengan demikian meningkatkan kemuliaanmu dengan cara yang indah.

(55) Di sini (di bumi) engkau berdiri di atas kereta perang kerajaanmu. Biarkan pujian dari para bajik menjadi kusirmu. Biarlah tubuhmu sendiri, yang melahirkan kebajikan, menjadi keretamu. Biarkan cinta kasih menjadi porosnya, pengendalian diri dan amal sebagai rodanya, dan keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengumpulkan jasa kebajikan menjadi tongkat porosnya.

(56) Kendalikanlah kuda-kudamu, organ-organ indramu, dengan kekang yang indah bernama perhatian. Jadikanlah kehati-hatian sebagai tongkatmu dan ambil senjatamu dari gudang pembelajaran suci. Biarlah rasa malu menjadi perabot keretamu, kerendahan hati sebagai tiangnya yang indah, dan kesabaran sebagai kuknya. (Berdirilah di atas kereta itu,) Engkau akan mengendarainya dengan terampil, jika engkau teguh dalam pengendalian diri yang berani.

(57) Dengan menahan ucapan-ucapan buruk, engkau akan membuatnya pergi tanpa derak roda; jika engkau mengucapkan kata-kata yang indah, suara mereka akan menjadi berat dan dalam. Dengan tidak pernah melanggar pengendalian diri, engkau akan menjaga keretamu dari kelonggaran bagian-bagian penyusunnya. Engkau akan tetap pada arah yang benar, jika engkau menghindari tersesat di jalan berliku dari tindakan jahat.

(58) Dengan menggunakan kendaraan (yāna) ini, cemerlang dengan kilau kebijaksanaan, dihiasi oleh bendera kemasyhuran dan panji-panji ketenangan yang berkibar tinggi, dan diikuti oleh welas asih sebagai kehadirannya, engkau akan bergerak ke arah paramātmā dan engkau tidak akan turun ke alam neraka, wahai raja.”

Setelah kegelapan pengetahuan salah yang ada dalam pikiran sang raja dicerahkan oleh sinar cemerlang dari kata-kata Sang Bodhisattva, dan menunjukkan kepadanya jalan menuju kebahagiaan dengan jelas, Sang Mahātmā menghilang di tempat. Tetapi raja, setelah mendapatkan pengetahuan yang mendalam tentang kehidupan selanjutnya, memeluk Dharma dengan sepenuh hatinya; dan dirinya sendiri serta para pejabatnya, warga kotanya, dan rakyat-rakyatnya menjadi berniat untuk melakukan dana, menguasai diri sendiri, dan mempraktikkan pengendalian diri.

Dalam cara inilah, maka, mereka yang mengikuti pandangan salah perlu mendapatkan welas asih dari para orang berbudi, karena pandangan salah merupakan hal yang membawa konsekuensi buruk.

[Kisah ini juga dapat dikemukakan melalui simpulan ini: “Dengan cara inilah  mendengarkan khotbah Dharma yang Luhur (Saddharma) dipenuhi dengan keyakinan yang meluap-luap.” Atau dengan ini: “Dengan cara inilah mendengarkan Dharma yang dibabarkan oleh orang lain dapat membangkitkan keyakinan yang menghasilkan kepercayaan yang benar.”

Dan ketika menambahkannya dalam khotbah tentang pujian bagi orang-orang yang berbudi luhur, demikian juga tentang topik kesabaran, dapat dikatakan bahwa: “Dengan cara inilah orang berbudi akan menangkis serangan musuh dengan menasihati musuh mereka demi kebaikannya, dan mereka akan melakukannya tanpa kekerasan karena mereka terbiasa dengan kesabaran.”Juga ketika membahas saṁvega harus dikatakan: “Dalam cara inilah perasaan dari pikiran membuat seseorang cenderung untuk mempedulikan keselamatannya.”


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *