Jātakamālā 30 – Hastijātakam
(Kisah Sang Gajah)

Jātakamālā 30 – Hastijātakam
(Kisah Sang Gajah)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Bagi orang berbudi rasa sakit adalah sebuah hadiah, jika itu menjadi kebahagiaan bagi orang lain. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu ketika sang Bodhisattva terlahir sebagai seekor gajah besar. Dia menetap di suatu hutan yang pantas untuk para gajah, yang berhiaskan dahan-dahan muda dari pepohonan indah, yang ujungnya tampak jelas oleh ranting-ranting, bunga-bunga, dan buah-buahnya. Di bawah dasarnya tersembunyi bermacam jenis semak, pepohonan, dan rerumputan. Semua itu dikelilingi oleh pegunungan dan dataran tinggi, seolah ditawan oleh keindahan hutan yang menawan dan tidak akan merindukan tempat lain. Hutan itu adalah tempat tinggal hewan-hewan gunung, dengan danau yang airnya melimpah dan dalam. Tempat itu jauh dari tempat tinggal manusia, dikelilingi oleh gurun luas di segala sisi tanpa pohon, semak, dan air. Di sana tinggalah seekor gajah yang menyendiri.

(1) Ia tinggal di sana bagai seorang pertapa, bersenang hati dengan dedaunan dari pepohonan, batang teratai dan air, dan dengan kepuasan hati dan ketenangan.

Suatu ketika, saat Bodhisattva sedang mengembara di dekat perbatasan hutan itu, ia mendengar suara manusia dari sisi hutan belantara. Kemudian ia berpikir: “Ada apa ini? Pertama-tama, arah ini tidak menuju jalan ke negara mana pun; juga tidak mungkin kelompok pemburu harus melintasi hutan belantara sebesar ini. Aku juga tidak yakin bila mereka sedang berupaya untuk menangkap teman-teman gajahku, karena diperlukan upaya yang amat keras.

(2, 3) Tentunya, orang-orang ini tersesat, pemandu mereka kehilangan arah, atau diusir karena kemarahan raja atau karena kesalahan mereka sendiri.

Demikianlah suara bising yang kudengar, yang bukanlah suara-suara kegembiraan, keceriaan, dan kesenangan; melainkan suara-suara yang tidak bersemangat, seperti orang-orang yang menangis dalam kesedihan yang luar biasa.

Apapun itu, aku akan mengetahui hal yang sebenarnya.” Setelah merenung demikian, Bodhisattva tergerak oleh rasa welas asihnya, bergegas berjalan maju ke arah datangnya suara keramaian itu. Ketika dia mendengar lebih jelas suara-suara ratapan yang menyedihkan dan memilukan itu, yang tidak menyenangkan bagi telinga, Sang Mahātmā memahami bahwa suara itu merupakan teriakan minta tolong yang diucapkan oleh orang-orang yang menderita, kemudian ia berlari dengan kecepatan yang lebih tinggi lagi dengan pikiran yang dipenuhi dengan kerinduan rasa welas asih.

Setelah meninggalkan semak-semak, tiba di padang pasir yang kosong tanpa vegetasi, dia sudah melihat tubuh orang-orang yang berteriak minta tolong dari jauh, mengarahkan pandangan mereka ke arah hutan. Mereka berjumlah tujuh ratus orang, dan kelelahan karena rasa lapar, haus, dan lelah. Orang-orang itu, di sisi lain, melihat Bodhisattva mendatangi mereka, menyerupai puncak yang bergerak dari gunung yang tertutup salju, atau gumpalan kabut putih yang kental, atau awan musim gugur yang didorong ke arah mereka oleh angin kencang; dan ketika mereka diliputi oleh kesedihan dan keputusasaan, pemandangan ini sangat menakutkan bagi mereka. Dalam ketakutan, mereka berpikir: “Aduh! sekarang kita pasti sudah tersesat!” tetapi mereka tidak bisa berusaha untuk melarikan diri karena rasa lapar, haus, dan lelah telah menghancurkan energi mereka.

(4) Tidak berdaya karena rasa lapar, haus, dan lelah, dan karena semangatnya yang rendah, mereka tidak bersiap untuk melarikan diri, meskipun bahaya sudah tampak dekat.

Bodhisattva yang merasakan kecemasan mereka, berseru: “Jangan takut! Jangan takut! Kalian tidak perlu takut denganku,” menenangkan mereka, mendekat, mengangkat belalainya dan menunjukkan ujungnya yang lebar, lembut, dan berwarna merah tua seperti tembaga. Tergerak oleh rasa welas asih, dia bertanya kepada mereka: “siapakah kalian, tuan-tuan, dan bagaimana kalian bisa sampai pada keadaan ini?

(5) Wajah-wajah pucat kalian tampak kusam oleh debu dan matahari, kalian kurus dan menderita oleh kesedihan dan keputusasaan pikiran. Siapakah kalian dan apa alasan kalian datang ke sini?”

Mendengar ia berucap dengan bahasa manusia, kata-kata ini tidak hanya menunjukkan sifat damai, tetapi juga keinginannya untuk membantu, sehingga orang-orang itu kemudian memulihkan kepercayaan diri mereka dan seluruh rombongan membungkuk kepadanya. Kemudian mereka berbicara:

(6) “Ledakan kemarahan raja telah meniup kami hingga ke wilayah ini, jauh dari pandangan sanak saudara kami yang sedih melihat pengusiran itu, wahai raja para gajah.

(7) Namun, sejujurnya, pasti masih ada sisa-sisa nasib baik kami dan beberapa keberuntungan terhadap kami sehingga kami telah menarik perhatianmu, yang lebih baik dari teman dan sanak saudara.

(8) Dengan melihat tanda-tanda keberuntunganmu, kami tahu bahwa kami telah melewati malapetaka kami. Sesungguhnya siapakah yang setelah melihatmu, bahkan dalam mimpi sekalipun, tidak akan selamat dari kesusahan?”

Kemudian gajah yang agung itu berbicara: “Nah, terdiri dari berapa orangkah kalian, wahai tuan-tuan?” Dan para manusia menjawab:

(9, 10) “Wahai makhluk yang berwujud cantik, kami berjumlah seribu orang ketika sang raja meninggalkan kami di sini, tetapi banyak dari kami karena tidak terbiasa dengan kesulitan, telah binasa karena kelaparan, kehausan, dan kesedihan.

Dan sekarang, wahai raja gajah, kami memperkirakan ada tujuh ratus yang masih hidup, yang akan terbenam dalam mulut kematian, memandang kepadamu saat perwujudan penghiburan datang kepada kami untuk memberi pertolongan.

Dengan kata-kata ini Sang Mahāsattva, karena kebiasaan welas asihnya, tergerak untuk menangis dan mengucapkan terima kasih kepada mereka: “Sungguh disayangkan!

(11) Oh! Betapa pikiran raja itu bertolak belakang dengan kelembutan, tanpa rasa malu, dan sedikit mencemaskan tentang kehidupan di alam selanjutnya! Oh! Betapa indranya telah tertangkap oleh kemegahan kerajaannya, sesuatu yang mudah berubah seperti kilatan cahaya, buta terhadap kebaikannya sendiri!

(12) Oh! Dia tidak mengerti bahwa kematian sudah dekat, aku mengira dia juga tidak diajarkan tentang akhir kejahatan yang tidak menyenangkan! Sungguh disayangkan! Oh, para raja yang malang dan tak berdaya, yang karena lemahnya penilaian mereka, tidak sabar dalam mendengarkan ucapan-ucapan (nasihat).

(13) Dan, sesungguhnya, kekejaman terhadap makhluk hidup ini dilakukan demi sebuah tubuh, sarang penyakit yang mudah rusak! Sungguh sedih atas ketidaktahuannya!”

Sambil membiarkan matanya yang penuh dengan welas asih dan kelembutan menatap orang-orang itu, pikiran ini muncul di dalam kepala sang gajah: “Tersiksa oleh kelaparan, kehausan dan kelelahan, dan tubuh mereka menjadi sangat lemah, bagaimana mereka dapat melewati hutan belantara itu? sejauh banyak yojana, mereka tidak dapat menemukan air maupun naungan, kecuali mereka memiliki makanan yang sehat. Hutan tempat gajah juga tidak menyediakan makanan yang layak untuk mereka, bahkan untuk satu hari sekalipun, tanpa diragukan lagi. Namun demikian, jika mereka memeroleh perbekalan mereka dari daging anggota tubuhku dan menggunakan ususku sebagai pengganti kantung, memasukkan air ke dalamnya, mereka akan mampu menyeberangi gurun ini; namun tidak jika sebaliknya.

(14) Oleh karena itu, izinkanlah aku, demi mereka, untuk menggunakan tubuhku, tempat tinggal ratusan penyakit ini, sebagai rakit bagi banyak orang yang sedang diliputi oleh penderitaan ini, untuk melintasi kesengsaraan mereka.

(15) Terlahir sebagai manusia adalah kondisi yang tepat untuk mencapai kebahagiaan, baik itu kebahagiaan surgawi ataupun pembebasan akhir, dan sulit untuk mencapai kondisi itu. Semoga keuntungan ini tidak hilang bagi mereka!

(16) Selanjutnya, karena mereka datang ke dalam jangkauan wilayah kekuasaanku, aku berhak untuk menyebut mereka sebagai tamu-tamuku. Mereka berada dalam kesusahan dan tidak memiliki sanak saudara, maka aku harus menunjukkan lebih banyak welas asih kepada mereka.

(17) Dan wadah yang memiliki banyak kelemahan ini, lapisan dasar dari berbagai jerih payah yang disebabkan oleh penyakit tanpa akhir, kumpulan kesengsaraan ini, yang bernama ‘tubuh’, sekarang, setelah waktu yang lama, akhirnya akan berfungsi dengan baik, berfungsi untuk membantu orang lain.”

Kemudian sebagian dari mereka, yang sangat menderita oleh rasa lapar, haus, lelah, dan panas, setelah bersujud kepadanya dengan tangan tertangkup dan mata yang basah dengan air mata, seperti pengemis, meminta air kepadanya melalui isyarat tangan mereka, sedangkan yang lain berbicara kepadanya dengan kata-kata yang menyedihkan:

(18) “Bagi kami yang tidak memiliki sanak saudara, engkau adalah sanak saudara, engkau adalah penyelamat dan perlindungan kami. Berkenanlah untuk melindungi kami dengan cara yang engkau anggap terbaik, Yang Mulia!”

Yang lainnya lagi yang memiliki lebih banyak energi pikiran, memintanya untuk menunjukkan kepada mereka tempat untuk menemukan air dan cara untuk keluar dari gurun yang mengerikan itu.

(19, 20) “Jika di sini ada kolam atau sungai dengan air yang dingin, atau mungkin air terjun, jika pohon rindang di atas sebidang rumput dapat ditemukan di sini, beri tahu kami, wahai pemimpin para gajah.

Dan jika engkau berpikir mungkin untuk keluar dari gurun ini, tunjukkan welas asih dan tunjukkan arah kepada kami.

Kami telah tinggal di hutan belantara ini selama berhari-hari. Oleh karena itu, bantulah kami untuk melewatinya.”

Kemudian Sang Mahātmā yang merasa hatinya semakin berluap rasa welas asih atas permintaan mereka yang menyedihkan, mengangkat belalainya yang sebesar gulungan ular yang perkasa, menunjukkan kepada mereka gunung, di mana mereka dapat melarikan diri dari hutan belantara, dan berbicara: “Di bawah gunung ini ada sebuah danau besar yang dihiasi oleh bunga teratai, putih dan merah, dan berisi air yang murni. Oleh karena itu, pergilah dengan cara ini. Dengan air danau itu kalian dapat memuaskan dahaga, menghilangkan lelah dan letih kepanasan.

Kemudian, melanjutkan perjalanan, tidak jauh dari tempat itu kalian akan menemukan mayat seekor gajah yang jatuh dari dataran tinggi pegunungan. Daging dari anggota tubuhnya harus kalian ambil untuk bekal dalam perjalanan, dan sediakanlah air bagi diri kalian dengan memasukkan ke dalam perutnya sebagai pengganti kantung; setelah itu kalian harus pergi berjalan lebih jauh ke arah yang sama. Maka kamu akan melewati padang gurun ini tanpa banyak kesulitan.”

Dengan kata-kata yang menghibur seperti itu, Sang Mahātmā mendorong mereka untuk berangkat, sedangkan dirinya sendiri berlari cepat melalui jalan lain, naik ke puncak gunung itu. Berdiri di sana, hendak merelakan tubuhnya sendiri untuk menyelamatkan tubuh orang-orang itu, dia memperkuat tekadnya dengan sungguh-sungguh, melalui pemikiran ini:

(21) “Tindakan ini tidak mengarah pada pencapaian tingkat tinggi untuk diriku sendiri, tidak pula keagungan seorang raja manusia, pemilik payung kerajaan, maupun surga dengan cita rasa tunggal dari kenikmatan-kenikmatannya yang tidak tertandingi, maupun kebahagiaan dalam kelahiran Brahma, atau bahkan kebahagiaan pelepasan;

(22) Tetapi jika ada manfaat dari diriku dalam upaya untuk membantu orang-orang yang tersesat di padang gurun, semoga aku menjadi penyelamat dunia, untuk makhluk-makhluk yang berbuat salah di padang gurun Saṁsāra!”

Setelah memutuskan demikian, dan tidak memedulikan kematian menyakitkan yang akan dirasakannya dengan remuk dalam kedalaman itu, karena kegembiraannya, Sang Mahātmā merelakan tubuhnya sesuai dengan rencananya dengan melemparkan dirinya sendiri ke bawah gunung yang curam itu.

(23) Saat jatuh, ia bersinar seperti awan musim gugur atau seperti bulan yang tenggelam di belakang gunung tempat itu, atau seperti penutup salju dari puncak gunung itu, terlempar ke bawah dengan kecepatan dahsyat dari angin yang digerakkan oleh sayap Garuḍa.

(24) Dengan suara angin puyuh yang keras, ia menjatuhkan dirinya, mengguncang tidak hanya bumi dan gunung-gunung, tetapi juga pikiran Māra yang dikuasai oleh nafsu kekuasaan. Dan dalam kejatuhannya, dia menundukkan baik itu para penjalar hutan maupun para dewa hutan.

(25) Tidak diragukan lagi, pada saat itu para dewa yang tinggal di sekitar hutan itu merasa sangat terkejut. Kegembiraan mereka membuat bulu-bulu di tubuh mereka merinding, dan mereka mengayunkan tangan ke langit, jari-jari halus mereka mengarah ke atas.

(26) Beberapa menaburkannya hujan bunga yang lebat, beraroma manis dan diwarnai dengan bubuk cendana. Yang lain menutupi jasadnya dengan pakaian bagian atas mereka, terbuat dari bahan surgawi yang tidak ditenun dan gemerlap dengan hiasan emas; yang lain menurunkan perhiasannya.

(27) Yang lainnya lagi memujanya dengan nyanyian pujian yang telah mereka ciptakan dengan sungguh-sungguh, dan dengan bersikap añjali, tangan mereka yang tertangkup menyerupai kuncup bunga teratai yang sedang terbuka. Sebagian dari mereka menghormatinya dengan kepala tertunduk, menurunkan mahkota indah mereka, dan dengan doa penghormatan.

(28) Beberapa mengipasinya dengan angin yang menyenangkan, seperti merangkai karangan bunga (buih) di atas ombak dan diharumkan dengan aroma yang dipinjam dari serbuk bunga. Yang lainnya memegang kanopi awan tebal di langit di atas kepalanya.

(29) Beberapa didorong oleh rasa bakti untuk membuat surga menggemakan pujiannya dengan suara genderang surgawi. Dan lebih lagi, yang lain menghiasi pohon-pohon dengan ranting-ranting, bunga-bunga, dan buah-buahan baru yang muncul sebelum waktunya.

(30) Langit mengambil kemegahan indah musim gugur, sinar matahari tampak lebih panjang, dan samudra bergetar dan mengguncang permukaan ombaknya karena tidak sabar untuk pergi dan mengunjunginya karena kegembiraan.

Sementara orang-orang itu, mengikuti jalan yang ditunjukkan kepada mereka, telah mencapai danau; dan setelah menyegarkan diri dan memulihkan diri dari panas, kehausan, dan kelelahan, melakukan seperti yang telah diinstruksikan oleh Sang Mahātmā, dari dari jarak yang tidak jauh mereka melihat tubuh seekor gajah yang telah mati beberapa saat sebelumnya. Dan mereka berpikir: “Betapa gajah ini sangat mirip dengan pemimpin gajah yang tadi itu!

(31) Apakah dia mungkin saudara dari makhluk perkasa itu, atau kerabatnya, atau salah satu putranya? Kenyataannya, kita melihat sosok cantik yang mirip dengan puncak salju dalam tubuh ini, meskipun telah hancur.

(32) Terlihat seperti kumpulan kilauan berbagai kelompok bunga teratai, seperti wujud nyata dari sinar rembulan, atau seperti wujudnya yang dipantulkan oleh cermin.”

Tetapi beberapa di antara mereka yang memiliki penilaian yang lebih tajam tentang masalah ini mulai merenungkan sebagai berikut: “Sejauh yang kami lihat, hewan ini, yang kecantikannya melebihi gajah-gajah di seperempat dunia, adalah gajah itu sendiri, yang telah melemparkan dirinya sendiri dari dataran tinggi ini, agar dia dapat menyelamatkan kita dari kesusahan tanpa memiliki kerabat dan teman.” (Dan setelah memahami demikian, mereka berkata):

(33) “Suara yang kami dengar, seperti angin puyuh, seperti gempa bumi, pasti disebabkan oleh kejatuhannya.

(34) Tubuh ini sebenarnya adalah miliknya, memiliki rona putih kekuningan yang sama dengan akar teratai dan ditutupi dengan rambut yang sama seputih sinar rembulan dan dihiasi dengan bintik-bintik halus. Ini adalah kakinya yang seperti kura-kura dengan kuku-kuku putih. Dan ini adalah tulang punggung yang sama melengkung dengan anggun menyerupai busur.

(35) Juga ini adalah wajah yang sama panjang dan penuh, dihiasi dengan aliran sari yang harum. Dan ini adalah kepala yang sama, tingginya, keberuntungannya, tidak pernah tersentuh oleh tongkat penjinak, berdiri di atas leher yang kuat.

(36) Ini adalah sepasang gading berwarna madu yang sama; mereka dengan bangga menanggung tanda (kejayaannya), ditutupi dengan debu merah dari lereng gunung. Dan inilah belalai itu dengan ujung seperti jari yang panjang, yang dengannya dia menunjukkan kepada kita jalan ini.

Oh! Sesungguhnya ini adalah keajaiban yang aneh!

(37) Ah! Persahabatan yang begitu besar telah dia tunjukkan kepada kita, tanpa terlebih dahulu menanyakan tentang keluarga kita, perilaku dan keyakinan kita, kepada kita yang hancur karena kemalangan dan tidak pernah didengar olehnya sebelumnya! Betapa besar kebaikannya bagi teman-teman dan saudara-saudaranya!

Dengan berbagai cara kami menghormat kepadanya, Yang Termasyhur itu!

(38) Membantu orang-orang seperti kita, orang-orang yang menderita, diliputi ketakutan, kesedihan dan keputusasaan, dia yang berwujud gajah menahannya, seolah seorang berbudi yang jatuh.

(39) Di manakah dia diajari tentang kebaikan yang luar biasa ini? Pada kaki guru seperti apa dia duduk di hutan? Ada pepatah terkenal, ‘tidak ada keindahan sosok yang menyenangkan tanpa kebajikan’ telah dicontohkan dalam dirinya.

(40) Oh! Betapa dengan keagungan sifatnya yang luar biasa dia telah memanifestasikan keberuntungan yang diharapkan dari (sosok beruntungannya)! Sesungguhnya, bahkan di dalam tubuhnya yang telah mati, kepuasan dirinya muncul dalam kulitnya yang bersinar seperti gunung Salju, seolah-olah sedang tertawa senang!

Oleh karena itu, siapa yang akan membiarkan dirinya memakan tubuh makhluk yang sangat berbudi luhur ini, yang karena kebaikannya, melampaui kasih sayang sanak saudara dan teman-temannya, yang dengan cara demikian membantu kita sehingga siap mengorbankan bahkan nyawanya sendiri demi kebermanfaatan kita? Tidak, lebih baik kita membayarnya utang syukur kita dengan mengkremasi tubuhnya dengan ritual dan ibadah yang tepat.”

Berpikir demikian, mereka berduka, seolah-olah bencana yang terjadi pada keluarga telah menimpa mereka; mata mereka menjadi sembab karena air mata dan mereka meratap dengan suara yang tersendat-sendat.

Tetapi beberapa dari mereka yang memiliki sudut pandang yang lebih kuat, memahami sikap mereka dan memahami perbedaan situasi, berbicara kepada mereka: “Sesungguhnya, dengan melakukan hal itu gajah yang luar biasa ini tidak berharap disembah ataupun dipuja. Karena seperti yang kita tahu, rencananya telah terwujud sehingga kita harus menghormatinya.

(41) Karena dengan tujuan menyelamatkan kita, dia yang merupakan sosok asing bagi kita, bahkan tidak mengenal kita, dengan cara ini meninggalkan tubuhnya yang dia sayangi untuk tamu-tamunya, yang lebih dia sayangi lagi.

(42) Karena alasan ini, adalah tepat untuk memenuhi rencananya. Jika tidak, bukankah usaha makhluk itu akan menjadi sia-sia?

(43) Dengan penuh cinta kasih dia telah menawarkan seluruh hartanya untuk menjamu tamu-tamunya. Kalau begitu, akankah kita membuat kemurahan hatinya menjadi tidak berbuah dengan tidak menerimanya?

(44) Oleh karena itu, kita wajib untuk menghormatinya dengan menerimanya seperti kata-kata seorang guru, juga kita akan menjamin kesejahteraan diri kita sendiri.

(45) Setelah mengatasi kesulitan kita, akan menjadi waktu yang tepat untuk memujanya baik secara bersama-sama atau masing-masing, dan melakukan upacara perkabungan yang tepat untuk gajah yang luar biasa ini sebagai sanak saudara yang telah meninggal.”

Oleh karena itu, mereka yang mengingat bahwa pemimpin gajah itu telah bertekad untuk menyelamatkan mereka dari hutan belantara, mematuhi kata-katanya. Mereka mengambil perbekalan mereka dari tubuh Bodhisattva, dan mengisi ususnya dengan air, menggunakannya sebagai kantung air. Kemudian mengikuti arah yang telah dia tunjukkan kepada mereka, mereka dengan selamat melintasi hutan belantara itu.

Dengan cara inilah, bagi orang berbudi rasa sakit adalah sebuah hadiah, jika itu menjadi kebahagiaan bagi orang lain.

[Begitulah yang dikatakan ketika memuji orang yang benar. Demikian pula, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata atau tentang mendengarkan dengan perhatian pada khotbah Dharma.

Ketika membahas tentang cara memperoleh sifat menguntungkan, ini harus dikatakan: “Dengan cara ini, sifat menguntungkan yang diperoleh melalui latihan (moralitas) muncul kembali dalam kelahiran baru.”

Kisah ini juga dapat diceritakan ketika menunjukkan kebajikan yang terkandung dalam kebiasaan berdana. “Maka kebiasaan meninggalkan benda-benda materi membuat kita mudah melepas bahkan melepas kemelekatan terhadap diri sendiri.”Pada kata-kata yang diucapkan oleh Sang Bhagavā pada saat nirvāna sempurna-Nya, ketika beliau dihadiri dengan bunga-bunga surgawi dan musik-musik surgawi: “Sesuatu seperti ini, sebenarnya, bukanlah cara yang benar, Ānanda, untuk memuaskan Sang Tathāgata,” cerita ii dapat berfungsi sebagai komentar, dengan mengambil contoh: “Dengan cara inilah, pemujaan terdiri dari pemenuhan rencana (orang yang dihormati), bukan dengan persembahan wewangian, karangan bunga, dan sejenisnya.]


[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *