Jātakamālā 11 – Śakrajātakam
(Kisah tentang Sakra)

Jātakamālā 11 – Śakrajātakam
(Kisah tentang Sakra)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Tiada kesulitan maupun kesulitan dari sebuah kekuasaan yang dapat mengendurkan kebajikan welas asih Sang Mahātmā terhadap para makhluk hidup. Ini akan diajarkan sekarang.

Pada masa ketika Bodhisattva, yang telah lama mempraktikkan perbuatan baik dengan baik; dan mengembangkan kemurahan hati, pengendalian diri, pengawasan diri dan welas asih, mengarahkan tindakannya yang luar biasa untuk kepentingan orang lain. Suatu ketika dikisahkan bahwa ia terlahir sebagai Śakra, raja para dewa,

(1)
Keagungan Pemimpin Surgawi bersinar di tingkatan yang lebih tinggi
dan menunjukkan keagungan yang lebih besar, karena posisi itu telah jatuh menjadi bagiannya.
Seperti sebuah istana yang dihiasi selubung dinding indah yang digemerlapkan oleh sinar rembulan.

(2)
Demikianlah kemilau dari negara yang perkasa itu, menaklukkan putra-putra Diti
yang berani melawan serbuan gajah-gajah dunia dan menghadapi gading-gadingnya.
Kecemerlangan itu adalah miliknya.
Tetapi meskipun dia dengan mudah menikmati kebahagiaan itu, atas kehendaknya sendiri,
kebahagiaan itu tidak menodai hatinya dengan kesombongan.

Memimpin langit dan bumi dengan cara yang benar, dia memperoleh kemuliaan yang luar biasa, yang meliputi seluruh alam semesta. Para Asura tidak mampu menahan kemasyhuran atau kebahagiaan sangat indah yang dia nikmati, dan berperang melawannya. Mereka berbaris untuk bertemu dan melawannya dengan pasukan gajah, kereta perang, pasukan berkuda, dan pasukan infanteri yang sangat besar, dan suasana menjadi lebih mengerikan, karena mereka terseret dalam barisan pertempuran yang penuh kesombongan dan membuat suara yang menakutkan bagai di samudra lepas. Melalui kobaran api dari berbagai jenis senjata mereka untuk menyerang dan bertahan, mereka terlihat menakutkan.

(3)
Meskipun dia terikat pada moralitas yang benar,
namun di dalam hatinya merasakan keinginan untuk terlibat dalam hiruk-pikuk pertempuran.
Dia terdorong untuk melakukannya karena kesombongan musuh-musuhnya,
merasa bahwa rakyat-rakyatnya berada dalam bahaya,
yang kedamaiannya sudah terganggu secara tidak menyenangkan,
juga oleh kepatuhannya terhadap tradisi kerajaan dan ajaran tata negaranya.

Maka dia menaiki kereta emas unggulannya, tempat seribu kuda unggul ditugaskan. Depan kereta ini dihias dengan sebuah panji indah yang melayang tinggi dengan gambar Arhat sebagai lambangnya. Tampilan luarnya sangat cemerlang berkat kilau yang dipantulkan oleh bermacam-macam batu dan permata berharga yang menghiasinya, disertai dengan kecerahan yang menyinari sisi-sisinya dan yang berasal dari berbagai senjata api yang beragam jenis, berujung tajam, dan siap untuk digunakan di kedua sisi kereta. Di bagian dalamnya ditutupi dengan selimut putih halus. Berdiri di atasnya dan dikelilingi oleh pasukan surgawinya yang besar dengan berbagai pasukan, gajah, kereta, kuda dan infanteri, Bodhisattva bertemu dengan kekuatan Asura tepat di garis perbatasan samudera.

(4)
Maka pertempuran besar pun terjadi, merusak ketegangan rasa takut
seperti perisai dan baju besi yang ditembus oleh pukulan senjata
yang mereka gunakan untuk bertarung satu sama lain.

(5, 6)
Berbagai teriakan terdengar dalam riuh pergulatan itu.
“Diam! Tidak dengan cara ini! Lihat! Di mana kau sekarang?
Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku! Kau adalah orang mati!”

(7)
Gajah-gajah dari kedua sisi saling menyerbu
dengan amarah yang meningkat
karena bau sari yang mengalir,
seperti gunung yang terguncang oleh angin di akhir zaman.

(8)
Bagai awan hitam yang menakutkan, kereta-kereta itu menyapu medan tempur;
panji-panji mereka melayang seperti kilat, dengan suara gemerincing
seperti gemuruh guntur yang mereka timbulkan.

(9)
Anak panah yang tajam berterbangan di antara kedua pasukan,
terjatuh di tengah-tengah prajurit baik para dewa dan asura,
mengenai panji dan payung kerajaan, busur dan tombak,
perisai dan baju tempur, dan kepala manusia.

(10)
Pada akhirnya pasukan Śakra melarikan diri karena ketakutan
oleh pedang dan anak panah yang berapi-api dari para asura.
Raja para dewa bertahan sendirian di medan pertempuran,
menghalangi para musuh dengan kereta perangnya.

Ketika Matali, kusir kereta paja para dewa, menyadari bahwa pasukan asura dengan semangat tinggi dan gembira sedang mendekati mereka dengan suara teriakan perang dan kemenangan yang keras, sedangkan pasukan para dewa telah bersiap untuk terbang pergi, dia berpikir bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mundur. Matali memutar balik kereta raja para dewa. Saat mereka mulai terbang naik, Śakra, raja para dewa, melihat beberapa sarang elang di atas pohon yang berada tepat segaris dengan tiang kereta, sehingga mereka harus dihancurkan. Tidak lama setelah melihatnya, diliputi oleh welas asih, dia berkata kepada Matali, kusirnya:

(11)
“Sarang burung di pohon ini dipenuhi dengan anak-anak burung yang belum bersayap.
Bawalah keretaku sedemikian rupa sehingga sarang-sarang ini tidak akan rusak karena tertimpa tiang kereta.”

Matali menjawab: “Namun kumpulan asura itu akan menyusul kita, tuan.”

Śakra berkata: “Tidak apa-apa. Lakukanlah dengan berhati-hati untuk menghindari sarang burung elang ini.” Kemudan Matali menjawab:

(12)
“Saya tidak mungkin memutar kereta untuk menyelamatkan burung-burung, wahai yang bermata teratai.
Di belakang kita ada segerombolan musuh yang dalam waktu tertentu dapat mengalahkan para dewa.”

Pada saat ini Śakra, raja para dewa, digerakkan oleh welas asihnya yang terdalam, menunjukkan kebaikan hatinya yang luar biasa dan niatnya yang teguh.

(13)
“Baiklah,” katanya, “putar keretanya.
Aku lebih baik mati karena pukulan tongkat yang mengerikan dari para pemimpin asura
daripada hidup dengan rasa bersalah dan tidak terhormat,
jika aku harus membunuh makhluk malang yang sedang ketakutan itu.”

Matali berjanji untuk melakukannya, dan membalikkan keretanya, yang ditarik oleh seribu kuda.

(14)
Para musuh yang telah menyaksikan kepahlawanannya dalam pertempuran,
melihat bahwa kereta itu berputar ke arah mereka, menjadi bingung dan ketakutan.
Barisan mereka tersisih seperti awan hujan gelap yang terbawa oleh angin.

(15)
Di tengah kekalahan, jika seorang pria memalingkan wajahnya
ke arah musuh dan menghalangi jalan pasukan musuh,
kadang-kadang akan menaklukan kesombongan dan keangkuhan pihak yang menang
dengan keberanian heroiknya yang tidak terduga.

(16)
Pemandangan barisan pasukan musuh yang hancur
membangkitkan semangat para dewa, membuat mereka kembali.
Para asura, yang ketakutan dan melarikan diri,
tidak berpikir lagi untuk bersatu dan melawan.

(17)
Para dewa, yang kegembiraannya bercampur dengan rasa malu,
memberi penghormatan kepada raja mereka yang cemerlang dan
indah oleh pancaran cahaya kemenangan.
Kemudian dia kembali diam-diam dari medan pertempuran ke kotanya,
di mana istrinya sudah menunggu dengan tidak sabar.

Dengan cara inilah kemenangan diperoleh dalam pertempuran itu. Dan karena alasan inilah pepatah mengatakan:

(18)
Orang yang berpikiran rendah melakukan perbuatan jahat sebagai akibat dari kekejaman mereka.
Pria biasa, meskipun menyedihkan, akan melakukannya ketika mengalami kesulitan.
Tetapi yang bajik, bahkan ketika hidupnya dalam bahaya,
tidak dapat melanggar batas pantas perilaku mereka seolah samudera menjadi pembatasnya.

[Dengan cara ini Sang Bhagavā telah lama melindungi kehidupan para binatang bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri dan harus kehilangan kekuasaan surgawi. Dengan mengingat bahwa orang bijak sungguh tidak pantas untuk menyakiti makhluk hidup, apalagi berbuat kejahatan kepada mereka, orang yang bajik harus berniat mempraktikkan welas asih terhadap para makhluk hidup.

Dan ungkapan bahwa Dharma sesungguhnya menjaga dia yang berjalan dalam kebenaran (dharma), harus dikemukakan di sini juga.

Demikian pula (cerita) ini dapat ditambahkan ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata, dan ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan perhatian.

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *