Jātakamālā 14 – Supāragajātakam
(Kisah tentang Suparaga)

Jātakamālā 14 – Supāragajātakam
(Kisah tentang Suparaga)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Ketika berdiam dalam Dharma, mengucapkan kebenaran sudah cukup untuk menghilangkan malapetaka. Maka apa lagi yang perlu dikatakan untuk menjelaskan kebaikan dari menjalankan Dharma? Mengetahui hal ini, seseorang harus menaati Dharma. Inilah yang akan diajarkan sekarang.

Dalam salah satu kelahiran lampaunya, Bodhisattva merupakan seorang nahkoda yang sangat terampil. Sebagai sifat para Bodhisattva yang tidak berubah, berkat ketajaman alamiah dari pikiran mereka, apapun cabang ilmu pengetahuan atau jenis seni yang ingin mereka ketahui, mereka akan melampaui yang paling bijaksana di dunia.

Oleh karena itu, Sang Mahatman memiliki setiap kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi nahkoda andal. Mengetahui jalan gemilang para dewata, dia tidak pernah bingung dengan wilayah langit karena mengenal tanda-tanga langit yang berbeda, yang permanen, yang sesekali, dan yang ajaib dengan sempurna. Ia terampil dalam menetapkan waktu tertentu adalah tepat atau tidak tepat. Melalui berbagai pertanda, mengamati ikan, warna air, jenis tanah, burung, bebatuan, dan sebagainya, dia tahu bagaimana memastikan bagian laut dengan benar. Lebih jauh lagi, ia adalah seseorang yang waspada, tidak mudah mengantuk dan tertidur; mampu menahan kelelahan akibat dingin, panas, hujan, dan sejenisnya. Ia berhati-hati dan sabar.

Dia terampil dalam seni mengemudikan kapal dan membawanya pulang, menjalankan profesinya sebagai orang yang mengantar para pedagang menuju tujuan mereka melalui laut. Dan karena pelayarannya sangat berhasil, dia diberi nama Supāraga. Pelabuhan tempat dia tinggal memiliki nama yang sama dengannya, yang sekarang dikenal sebagai Sūpāraga. Bahkan di masa tuanya, para pedagang yang menginginkan perjalanan lancar akan meminta bantuannnya, yang terkenal sebagai orang yang beruntung. Mereka memohon dengan sangat hormat, mengajaknya ikut di kapal mereka.

Maka, suatu kali terjadi bahwa para pedagang yang berdagang dengan Tanah Emas, yang datang dari Bharukaccha, merindukan perjalanan yang makmur, tiba di kota Supāraga dan meminta Bodhisattva untuk berangkat bersama mereka. Dia menjawab mereka:

(1)
“Bantuan apa yang kalian harapkan dari dalam diriku?
Usia tua telah menguasaiku, membuat penglihatanku berkurang;
dan sebagai akibat dari banyaknya kerja keras yang telah aku tanggung, perhatianku menjadi lemah.
Bahkan dalam pekerjaan fisik, aku merasa kekuatanku telah hampir habis.”

Para pedagang berkata: “Kami sangat mengenal kondisi tubuh Yang Mulia. Tetapi kami mengetahui bahwa engkau sudah tidak mampu untuk bekerja, sehingga kami tidak akan menyusahkanmu atau memberikan tugas apa pun sebagai tanggung jawabmu. Kami mencarimu karena alasan lain.

(2)
Debu yang disentuh dan disucikan oleh kakimu ― yang bagai teratai itu ―
akan membawa keberuntungan bagi kapal kami, sehingga perjalanan di atas laut akan menjadi nyaman,
bahkan jika diserang oleh bahaya besar sekalipun.
Dengan pemikiran inilah kami datang untuk mencarimu.”

Sang Mahātmā, meskipun tunduk pada lemahnya usia tua, naik ke atas kapal itu karena berwelas asih kepada mereka. Keikutsertaannya membangkitkan kegembiraan bagi seluruh pedagang itu, karena mereka merasa yakin bahwa perjalanan ini akan berhasil. Kemudian, dalam perjalanan, mereka tersesat di tempat kediaman para ular yang merupakan pasukan Asura. Pātāla yang sulit untuk ditembus, wadah air yang sangat besar, samudera besar yang dihantui oleh berbagai jenis ikan dan menggemakan suara ombak yang tidak pernah tenang, sedangkan angin terus mendorong sehingga mereka terbawa olehnya. Di bagian dasarnya terbentang berbagai jenis tanah yang menyembunyikan bermacam-macam batu mulia dan permukaannya dihiasi oleh berbagai buih seolah membentuk rangkaian bunga.

(3)
Rona biru tua yang seperti tumpukan batu safir terhampar di atas permukaan air,
seolah-olah langit meleleh oleh panasnya pancaran sinar matahari.
Mereka kehilangan pandangan terhadap garis pantai
dan berlari di atas lautan dalam yang mengelilingi mereka di semua sisi.

Setelah mereka berada di laut lepas, pada sore hari saat sinar matahari mulai kehilangan terangnya, suatu peristiwa besar dan sangat menakutkan muncul kepada mereka.

(4)
Tiba-tiba laut menjadi mengerikan. Angin kencang muncul,
menyebabkan suara air yang menakutkan, mencambuk permukaannya
sehingga tertutupi oleh buih yang tersebar oleh ombak yang pecah
Seluruh laut dibuat gaduh dari dasarnya.

(5)
Terguncang oleh badai, massa air yang sangat besar diaduk
dan digulung dengan kecepatan yang luar biasa.
Lautan menjadi tampak mengerikan,
seperti bumi dengan pegunungannya yang bergetar pada saat akhir dunia.

(6)
Seperti ular berkepala banyak yang mendesis,
awan berwarna hitam kebiruan dengan lidah api petirnya menutupi matahari,
tanpa henti menghasilkan suara gemuruh yang mengerikan.

(7)
Matahari, yang pancaran sinarnya disembunyikan oleh awan tebal, terbenam secara perlahan.
Kemudian kegelapan memunculkan dirinya, memanfaatkan waktu malam, dan meningkat.

(8, 9)
Dihujani oleh pancuran anak panah air hujan, ketinggian laut meningkat seolah-olah sedang marah,
dan kapal yang malang itu sangat terguncang seolah-olah sedang merasa takut,
membuat para penumpangnya merasa ketakutan, yang memunculkan sifat asli mereka
yang berbeda-beda sesuai dengan kualitas yang melekat pada mereka.

Beberapa diliputi oleh penderitaan dan tidak bisa berkata-kata karena ketakutan,
beberapa berperilaku berani dan sibuk bekerja untuk menghindari bahaya,
dan beberapa tenggelam dalam doa kepada dewa pelindung mereka.

Sekarang, angin kencang membuat air laut naik dan kapal melaju mengikuti arus. Para pedagang tidak menemukan daratan selama berhari-hari, mereka juga tidak mengamati pertanda-pertanda laut yang menguntungkan. Pertanda-pertanda yang mereka lihat, karena adalah hal baru bagi mereka, membuat mereka menjadi semakin sedih dan bingung karena ketakutan dan keputusasaan. Tetapi Supāraga, Sang Bodhisattva, menghibur mereka dengan mengatakan: “Kalian tidak boleh bingung dengan laut yang terombang-ambing dalam keadaan kacau; bukankah kita sedang menyeberangi samudra besar? Tidak ada alasan yang masuk akal bagi Yang Mulia untuk menikmati penderitaan. Mengapa?

(10, 11)
Kejahatan tidak dapat disingkirkan oleh kesedihan; oleh karena itu janganlah berkecil hati.
Tetapi dengan keberanian, mereka yang bijaksana melakukan apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi berbagai kesulitan tanpa kesulitan.

Maka, singkirkanlah kesedihan dan kekesalan itu, mulailah bekerja,
manfaatkanlah kesempatan untuk bekerja.
Energi dari orang bijak, yang dikobarkan oleh keteguhan pikiran,
adalah tangan yang menggenggam keberhasilan dalam berbagai hal.

Hendaknya kalian masing-masing bertekad untuk melakukan tugas khusus.” Dan para pedagang, dengan cara ini dikuatkan oleh Sang Mahātmā, merindukan pemandangan daratan dan melihat ke bawah laut, melihat makhluk-makhluk yang memiliki sosok manusia dan tampak seolah-olah mengenakan baju zirah perak; mereka melihat makhluk-makhluk itu menyelam ke atas dan ke bawah permukaan air. Ketika mereka telah mempertimbangkan dengan baik sosok dan pertanda makhluk-makhluk tersebut, mereka memberi tahu Supāraga tentang fenomena itu, mengungkapkan keheranan mereka. “Sesungguhnya, di sini kita bertemu di lautan luas dengan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini sebenarnya adalah

(12)
Beberapa makhluk yang tidak seperti prajurit para asura, mengenakan baju zirah perak,
dengan penampilan garang dan hidung buruk rupa yang menyerupai kuku berkaki empat;
sepertinya mereka sedang berolahraga di air laut,
tanpa henti menembak dan menyelam ke atas dan ke bawah permukaannya.”

Supāraga berkata: “Mereka bukan manusia maupun asura, melainkan ikan, pastinya. Janganlah takut pada mereka. Lagipula,

(13)
Kita terdorong jauh dari kedua pelabuhan. Ini adalah laut yang disebut Khuramālin.
Karena itu, kalian harus mencoba untuk berputar kembali.”

Tetapi mereka tidak dapat berbelok karena derasnya arus laut dan angin kencang yang terus berhembus mengejar mereka, mendorong kapal ke arah yang sama. Dan saat mereka maju lebih jauh ke laut, mereka melihat laut lainnya yang bersinar dengan kilau perak dan tampak cerah dengan kumpulan busa putih pada ombaknya. Melihat pemandangan yang menakjubkan ini, mereka bertanya kepada Supāraga:

(14)
“Laut besar apakah ini, yang seolah-olah mengenakan kain linen putih halus
dan menyelubungi perairannya dengan buihnya?
Terlihat menampung sinar bulan yang cair di permukaannya,
dan seolah-olah menunjukkan wajah tertawa di sekelilingnya.”

Supāraga berkata: “Aduh! kita menembus terlalu jauh.

(15)
Itu adalah laut Dadhimālin, yang disebut sebagai ‘samudra-susu’.
Tidaklah bijaksana untuk melangkah lebih jauh,
setidaknya jika masih mungkin untuk kembali.”

Para pedagang berkata: “Sudah tidak mungkin mengurangi kecepatan kapal, apalagi mengubah arahnya. Kapal didorong terlalu cepat oleh arus, dan angin bertiup berlawanan.”

Sekarang, setelah menyeberangi lautan itu, para pedagang melihat laut lain, yang ombaknya bergulung-gulung diwarnai dengan kemegahan emas yang menyerupai warna api merah kecoklatan. Dipenuhi dengan keheranan dan keingintahuan, mereka memberitahukannya kepada Supāraga.

(16)
“Sekarang terlihat seolah-olah ombak yang tinggi dan cerah
yang telah diwarnai dengan rona cerah matahari terbit.
Bagi kami mereka tampak seperti api yang besar dan menyala-nyala.
Katakanlah, laut apakah ini dan apa namanya?”

Supāraga menjawab:

(17)
“Agnimālin adalah nama terkenal dari laut ini.
Akan sangat bijaksana, sungguh, jika kita berputar balik sekarang.”

Demikianlah, Sang Bodhisattva, yang berwawasan luas, hanya memberi tahu mereka nama laut itu, tetapi menyembunyikan penyebab perubahan warna airnya. Setelah menyeberangi laut itu, para pedagang melihat bahwa warna laut berubah lagi; sekarang warnanya mirip dengan belukar rumput kuśa yang matang, dan airnya diterangi oleh kilau batu topas dan safir; dan didorong oleh rasa ingin tahu, mereka bertanya kepada Supāraga:

(18)
“Laut apa yang berada di depan pandangan kami saat ini?
Perairannya berwarna bilah rumput kuśa yang matang.
Pecahnya ombak yang ditiup angin memahkotainya dengan ornamen buih beraneka warna,
dan membuatnya tampak seperti ditumbuhi bunga.”

Supāraga berkata: “Para pedagang, kalian harus berusaha untuk kembali sekarang. Sangat tidak disarankan untuk pergi lebih jauh.

(19)
Ini adalah laut bernama Kuśamālin.
Seperti gajah yang tidak mengindahkan tongkat,
ia akan menyeret kapal dengan paksa bersama dengan ombaknya yang tak tertahankan,
dan akan mengambil kesenangan kita.

Dan para pedagang, karena tidak mampu memutar balik kapal, betapapun beraninya mereka mengerahkan diri, pada akhirnya menyeberangi laut itu. Kemudian mereka melihat laut lain, yang airnya berwarna kehijauan seperti berasal dari perpaduan kemilau zamrud dan beril, dan mereka bertanya kepada Supāraga:

(20)
“Laut yang kita lihat sekarang memiliki penampakan lain.
Perairannya memiliki kilau hijau zamrud dan menyerupai padang rumput yang indah;
mereka dihiasi dengan buih yang indah seperti bunga lili air. Laut yang mana lagi ini?”

Atas hal ini Sang Mahātmā, yang hatinya sakit saat melihat malapetaka yang akan menimpa para pedagang, menghela napas panjang dan dalam, dan berkata dengan nada rendah:

(21)
“Kalian sudah pergi terlalu jauh. Akan sulit untuk kembali dari sana.
Laut ini, Nalamālin, sudah dekat dengan ujung dunia.”

Ketika mereka mendengar jawaban itu, para pedagang malang itu benar-benar menderita. Pikiran mereka kehilangan tenaga, anggota tubuh mereka menjadi tidak berdaya, dan duduk dalam kesedihan yang mendalam. Mereka tidak melakukan apa-apa selain menghela nafas. Dan setelah menyeberangi laut itu juga, pada sore hari, ketika matahari dengan lingkaran sinarnya yang semakin redup seolah akan memasuki samudra, terdengar suara yang membingungkan dan sangat besar, menusuk telinga dan hati para pedagang. Kebisingan yang naik dari dalam laut ini seperti suara laut yang mengamuk, atau suara guntur yang muncul bersamaan, atau rumpun bambu yang terbakar dan berderak.

Mendengarnya, mereka tiba-tiba melompat dari tempat duduk mereka, gemetar ketakutan dan merasa sangat gelisah. Mereka memeriksa lautan di sekitar, merasakan massa air yang sangat besar jatuh ke bawah seolah-olah melewati tebing atau jurang. Pemandangan yang mengkhawatirkan itu memenuhi mereka dengan ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan yang luar biasa. Mereka pergi kepada Supāraga, berkata:

(22)
“Kami mendengar suara yang besar sekali dari jauh,
hampir menusuk telinga kami dan menghancurkan pikiran kami,
seolah-olah Sang Penguasa Sungai sedang marah,
dan seluruh massa air laut ini tampaknya jatuh ke dalam jurang yang mengerikan.
Maka katakanlah, laut apakah itu, dan menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan sekarang?”

Kemudian Bodhisattva berkata dengan gelisah: “Aduh! Sayang sekali!” dan melihat ke bawah ke laut, berbicara:

(23)
“Kalian telah datang ke tempat yang mengerikan itu, di mana tidak ada yang pernah kembali,
pintu masuk kematiannya yang seperti mulut, adalah mulut Mare yang terkenal itu.”

Mendengar hal ini para pedagang malang, yang memahami bahwa telah mencapai mulut Mare, harus melepaskan seluruh harapan hidup mereka, merasa tertekan oleh ketakutan akan kematian.

(24-26)
Beberapa dari mereka menangis dengan keras atau meratap dan berteriak.
Yang lain tidak melakukan apa-apa, mematung dalam kekhawatiran.
Beberapa dengan pikiran sedih memuja para dewa, terutama raja para dewa,
yang lain meminta tolong kepada para Āditya, Rudra, Marut, Vasu, dan kepada sāgara [laut] itu sendiri.

Yang lainnya menggumamkan berbagai doa,
dan ada juga yang memberikan penghormatan yang pantas kepada Devī.
Beberapa lagi pergi kepada Supāraga, dan dalam berbagai cara meratap dengan menyedihkan.

(27-29)
“Terlatih dalam kebajikan berwelas asih kepada orang lain,
engkau memiliki kebiasaan membebaskan rasa takut dari mereka yang berada dalam kesulitan.
Sekarang telah tiba waktunya untuk menggunakan kekuatanmu yang berlebihan itu.

Maka, putuskankah, wahai orang bijak, setelah menyelamatkan kami yang tertekan,
yang tak berdaya, yang telah berlindung kepadamu.
Lautan dalam murkanya akan menelan kita dengan mulut Mare-nya sekarang,
seperti suapan makanan.

Ini bukan seperti dirimu jika
mengabaikan penumpang malang ini binasa dalam gelombang yang bergulir.
Samudera besar mematuhi perintahmu.
Karena itu, hentikanlah amarahnya.”

Tetapi Sang Mahātmā merasa hatinya tertekan oleh rasa welas asih yang besar dan menghibur para pedagang malang dengan mengatakan ini: “Masih ada cara untuk menyelamatkan kita pada saat ini. Itu muncul di pikiranku. Aku akan menggunakannya. Tetapi kalian harus menunjukkan keberanian sejenak.”

Ketika para pedagang mendengar ini, harapan bahwa masih ada pertolongan, setelah itu, menghidupkan kembali keberanian mereka, dan memusatkan seluruh perhatian mereka padanya, mereka menjadi diam. Tetapi Supāraga, sang Bodhisattva, setelah melemparkan pakaian atasnya di satu bahu dan menekuk lutut kanannya di geladak kapal, melakukan penghormatannya kepada para Tathāgata, dengan sepenuh hatinya terserap oleh perbuatan bakti itu; setelahnya dia berkata kepada rombongan: “Jadilah kalian, pedagang laut yang terhormat, dan kalian, dewa-dewa yang berbeda, yang memiliki tempat tinggalmu di langit, saksi-saksiku.

(30)
Sejak aku mengingat diriku, sejak saat aku menyadari perbuatanku,
aku tidak mengingat pernah menyakiti makhluk hidup apapun.

(31)
Semoga dengan kekuatan ucapan kebenaran ini, beserta dengan kekuatan simpanan jasa kebajikanku,
semoga kapal berlayar dengan aman tanpa mencapai mulut Mare!”

Dan begitu besar kekuatan kebenaran Sang Mahātmā, begitu besar juga kemegahan jasa kebajikannya, sehingga arus dan angin berubah ke arah yang berlawanan dan membuat kapal mundur. Para pedagang yang melihat kapal itu berputar kembali, bergembira dengan kekaguman dan kegembiraan tertinggi, dan mengungkapkan penghormatan mereka kepada Supāraga dengan membungkuk hormat, mengatakan kepadanya bahwa kapal itu berputar kembali. Kemudian Bodhisattva memerintahkan mereka untuk tenang dan mengangkat layar dengan cepat. Dan karena diperintahkan demikian, mereka yang bertanggung jawab atas pekerjaan itu, setelah mendapatkan kembali dengan gembira kemampuan dan energi mereka, melakukan apa yang dia katakan.

(32)
Kemudian, gemerlap dengan sayap terbentang indah dari layar putihnya,
dan dipenuhi dengan suara ceria dan tawa awak kapal, kapal melaju di atas laut,
bagai flamingo di langit yang jernih dan tak berawan.

Sekarang ketika kapal, yang disukai oleh arus dan angin, pulang kembali dengan mudah seperti kereta-kereta surgawi yang bergerak di udara, dan dapat dikatakan sedang terbang sesuai keinginannya, pada waktu itu, ketika kegelapan yang berkumpul meluas jauh dan lebar, dan langit, tidak lagi dihiasi oleh cahaya senja yang redup, mulai memunculkan ornamen konstelasinya di cakrawala, di mana masih tersisa cahaya redup, pada saat itu, kemudian, dari dimulainya kuasa malam, Supāraga berbicara kepada para pedagang seperti ini: “Baiklah, para pedagang, saat menyeberangi laut Nalamālin dan yang lainnya, kalian harus menarik pasir dan batu dari dasar laut dan membebankan kapal kalian sebanyak mungkin yang bisa ditampung. Dengan latihan ini dia akan menjaga sisinya tetap kukuh jika diserang oleh badai yang ganas; selain itu, pasir dan kerikil yang diucapkan sebagai keberuntungan, pasti akan menguntungkanmu.” Dan para pedagang, setelah ditunjukkan tempat yang cocok selama ini oleh para dewa, yang melakukannya karena kasih sayang dan penghormatan kepada Supāraga, dari sana menyusun apa yang mereka maksud dengan pasir dan batu, dan memuat kapal mereka dengan beban itu. Tapi, sebenarnya, pasir dan batu-batu itu adalah beril dan permata lainnya. Dan dalam perjalanan satu malam itu mereka mencapai Bharukaccha.

(33)
Saat fajar tiba, mereka melihat dengan gembira kapal mereka penuh dengan harta karun:
perak, emas, safir, beril, dan pada saat yang sama mereka melihat bahwa mereka telah tiba di negara mereka;
dan bergembira dalam sukacita mereka memuji penyelamat mereka.

Dengan cara inilah mengucapkan kebenaran berlandaskan Dharma sudah cukup untuk menghilangkan bencana, apa yang bisa dikatakan lebih untuk menegaskan hasil yang baik dari menjalankan Dharma? Mengingat demikian, seseorang harus menaati Dharma.[Demikian pula, ketika berkhotbah atas bantuan seorang teman yang berbudi, dikatakan: “Dengan cara ini mereka yang bersandar pada seorang teman yang berbudi mencapai kebahagiaan.”]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *