Jataka

Kisah Raja Sibi (Kisah Relief Jatakamala 2)

Ringkasan:

Raja Sibi adalah seorang raja yang sangat dermawan. Dia membangun aula-aula derma di berbagai pelosok negeri agar orang-orang miskin dapat meminta bantuan di sana. Kisah kedermawanannya terkemuka hingga ke negeri seberang, bahkan hingga ke alam dewa. Raja Sakra, raja dari para dewa, kemudian berniat untuk mencobainya. Sakra turun ke bumi, menyamar sebagai seorang pertapa tua yang buta. Pertapa itu kemudian meminta mata Raja Sibi agar dia dapat melihat kembali. Para pejabat kerajaan meminta Raja Sibi untuk tidak memenuhi permintaan itu, tetapi sang raja bersikeras. Dengan bantuan tabib kerajaan, Raja Sibi memberikan kedua matanya kepada pertapa tua itu, dan sang raja menjadi buta. Beberapa waktu kemudian, Sakra muncul kembali di hadapan Raja Sibi dan mengembalikan penglihatannya. Mengetahui bahwa sang raja dapat melihat kembali, rakyat-rakyatnya bersukacita dan Raja Sibi menggunakan kesempatan ini untuk mengajarkan Dharma tentang kedermawanan.


2.1. Raja Sibi Bertemu dengan Para Peminta

Pada suatu masa, karena timbunan karma baik dari kehidupan lampau, Bodhisattva terlahir sebagai Raja para Śibi. Ia memiliki tindak tanduk baik, penuh hormat kepada yang patut dihormati, dan memiliki harta yang berlimpah. Sang raja juga dikenal sebagai sosok yang sangat dermawan. Ia membangun banyak aula untuk bersedekah, di mana orang-orang yang menderita kemiskinan dapat datang untuk mendapatkan derma.

2.2. Raja Sibi Membantu Para Peminta

Berbagai pemberian ia berikan kepada para pengemis: ia memberikan makanan dan minuman kepada mereka yang kelaparan dan kehausan, ia memberikan tempat tidur bagi mereka yang membutuhkan, bahkan sampai karangan bunga, perak, dan emas. Ketenarannya atas kedermawanan ini membuat orang-orang datang dari berbagai daerah untuk mendapatkan pertolongannya. Ketika sang raja melihat mereka dan bisa memberikan derma, perasaannya penuh dengan sukacita.

2.3. Sakra Meminta Mata Raja Sibi

Ketenaran sang raja tidak hanya menyebar ke seluruh negeri, tetapi juga hingga ke alam surga. Śakra, raja dari para dewa, mengetahui kiprah luhur sang raja Śibi. Dalam batinnya penuh tanya, seberapa teguh tekad dari sang raja untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Śakra pun memutuskan untuk mencobanya.

Śakra kemudian turun ke bumi dengan menyamar sebagai seorang Brāhmana tua yang buta. Ia datang ke aula derma dan raja memperhatikan kehadirannya. Atas perintah sang raja, pelayan kerajaan datang kepada Brāhmana tua itu, menanyakan apa permintaannya kepada sang raja. Sang Brāhmana, berjalan mendekati raja, mengucapkan salam dan pujian, kemudian mengucapkan permintaan berikut:

“Aku, seorang tua yang buta, datang kemari dari jauh untuk memohon mata dari Anda, sang raja tertinggi. Untuk menjalankan aktivitas duniawi biasa, satu mata mungkin cukup, wahai raja.”

Sang raja, kemudian bertanya kepada Brāhmana tersebut, “Siapakah yang telah menginstruksikan engkau, wahai Brāhmana yang agung, untuk datang ke sini dan meminta satu mata dariku?”

“Adalah dewa Śakra yang memintaku untuk datang meminta mata kepadamu. Mohon kabulkanlah permintaanku.”

Sang raja, setelah mendengarkan jawaban tersebut, akhirnya menyampaikan persetujuannya untuk memenuhi permintaan sang Brāhmana tua itu. Bahkan, sang raja tidak hanya berniat untuk memberikan satu matanya saja, melainkan keduanya. Para penasihat raja yang mendengar ini kemudian berusaha mencegah raja untuk mengorbankan kedua matanya,

“Yang Mulia, kegemaran besar Anda terhadap amal membuat Anda mengabaikan bahwa ini adalah sebuah kesalahan besar. Berhentilah dan jangan relakan penglihatan Anda!

Apa gunanya penglihatan bagi orang miskin? Agar dia bisa menyaksikan kelimpahan orang lain? Kalau begitu, berilah ia uang; jangan melakukan tindakan yang gegabah”

Namun sang raja sudah meneguhkan hatinya untuk memenuhi permintaan Brāhmana itu. Dengan bantuan para tabib, matanya diambil; kemudian ia menyerahkan kepada Brāhmana yang memintanya itu. Dengan kekuatan batin Dewa Śakra, ia menciptakan ilusi seolah mata tersebut dapat terpasang dengan baik di wajah sang Brāhmana tua. Ketika raja melihat matanya sudah didermakan kepada orang lain, hatinya sungguh bahagia. Ia kemudian menyerahkan lagi satu mata sisanya kepada sang Brāhmana tua tersebut.

Ketika hal ini terjadi, para pejabat kerajaan dan warga yang menyaksikan kejadian ini merasa amat sedih. Namun tidak dengan Śakra, ia justru merasakan kekaguman yang luar biasa kepada sang raja, bahkan ia hampir tidak bisa mempercayai bahwa ada seseorang yang rela mendermakan kedua matanya kepada orang lain.

2.4. Sakra Mengembalikan Mata Raja Sibi

Setelah kejadian itu, ketika luka-luka pada wajah raja sudah sembuh, sang raja duduk bersila di tamannya untuk bermeditasi. Tiba-tiba Śakra turun kembali ke bumi, menampilkan diri di hadapan raja. Pada saat itu, angin bertiup dengan sepoi dan aroma wangi tercium. Menyadari ada kehadiran sesuatu, sang raja bertanya siapakah yang datang itu.

Setelah meperkenalkan diri, Śakra menanyakan, apa yang diinginkan oleh sang raja agar dapat ia kabulkan. Namun raja menolak tawaran itu:

“Kekayaanku hebat, Śakra, pasukanku besar dan kuat; kebutaan saya, bagaimanapun, membuat kematian menyambut saya. Tidak mungkin bagi saya, setelah memenuhi kebutuhan para pengemis, untuk melihat wajah mereka berseri oleh kesenangan dan keceriaan; untuk alasan ini wahai Indra, aku menyukai kematian sekarang.”

Mendengar jawaban itu, Śakra semakin mengagumi keteguhan hati sang raja. Akhirnya ia mengakui bahwa Brahmana tersebut adalah dirinya yang menyamar ke bumi. Dan, dengan kekuatannya, ia mengembalikan penglihatan sang raja Śibi.

2.5. Raja Sibi Mengajarkan Dharma

Dengan kekuatan batinnya juga, Śakra menghadirkan para petugas kerajaan agar bisa menyaksikan keajaiban ini. Menyaksikan penglihatan sang raja sudah kembali, mereka bersorak sorai. Kabar ini terdengar sampai ke kota. Para warga bergembira, mengadakan arakan untuk menyambut kemuliaan sang raja. Kemudian, sang raja duduk di ruang pertemuan, memberikan ceramah untuk kerumunan besar yang ingin merayakannya.

“Memahami ini, warga Śibi, buatlah kekayaanmu berbuah dengan memberi. Ini adalah jalan menuju kemuliaan dan kebahagiaan masa depan baik di dunia ini maupun selanjutnya. Kekayaan adalah hal yang rendah, karena ia tidak bermakna; namun kekayaan memiliki satu keutamaan, yaitu dapat diberikan oleh ia yang bertujuan untuk kesejahteraan para makhluk; karena jika diberikan, itu menjadi harta karun (nidhāna); sedangkan jika tidak, tujuan akhirnya hanyalah kematian (nidhana).

Para warga Śibi bersuka cita atas pembabaran Dharma yang indah ini.

Dia yang setelah berjanji untuk memberi, tidak menepati janjinya, karena didorong oleh ketamakannya, tidakkah dia seharusnya merupakan orang yang paling buruk?

Memahami ini, para Śibi, buatlah kekayaanmu berbuah dengan pemberian dan pelepasan. Ini adalah jalan menuju kemuliaan dan kebahagiaan masa depan baik di dunia ini maupun selanjutnya.

Kekayaan adalah hal yang rendah, karena ia tidak bermakna; namun kekayaan memiliki satu keutamaan, yaitu dapat diberikan oleh ia yang bertujuan untuk kesejahteraan para makhluk; karena jika diberikan, itu menjadi harta karun (nidhāna); sedangkan jika tidak, tujuan akhirnya hanyalah kematian (nidhana).”

Berdasarkan kitab “Jatakamala” karya Acarya Aryasura
Disusun oleh Garvin Goei
Foto relief oleh Bhikkhu Anandajoti

Relief Jatakamala 1

Kisah Harimau Betina (Kisah Relief Jatakamala 1)

Ringkasan:

Bodhisattva terlahir dalam keluarga Brāhmana yang tumbuh dengan pendidikan yang baik, namun meninggalkan keduniawian dan menjadi pertapa pada usia dewasa. Suatu ketika, bersama dengan muridnya yang bernama Ajita, Bodhisattva melihat seekor harimau betina yang kelaparan dan hendak menerkam anak-anaknya. Bodhisattva menyuruh Ajita untuk mencarikan makanan bagi harimau itu, tetapi Bodhisattva menyadari bahwa jika ia tidak segera bertindak, ketiga anak harimau itu akan mati oleh taring-taring induknya.

Setelah merenungi bahwa kehidupan ini tak pantas dilekati, juga disertai oleh rasa welas asih yang mendalam terhadap harimau tersebut, Bodhisattva melompat dari atas tebing, mengorbankan dirinya untuk menjadi santapan harimau yang kelaparan. Harimau betina kemudian menyantap dagingnya dan tidak jadi memakan anak-anaknya. Ajita, menyadari bahwa gurunya telah mengorbankan diri, melakukan pemujaan bersama para dewa.


1.1. Bodhisattva terlahir di dalam keluarga Brāhmana yang taat dalam spiritualitas

Relief Jatakamala 1

Pada suatu masa, Sang Bodhisattva terlahir di alam manusia. Karena timbunan jasa kebajikan yang pernah beliau kumpulkan dalam kelahiran-kelahiran sebelumnya, Bodhisattva terlahir dalam sebuah keluarga Brāhmana yang terhormat dan taat dalam praktik spiritualitas.

Ketika ia dilahirkan, orangtuanya mengundang para pendeta Brāhmana untuk memberikan pemberkatan kepada Bodhisattva.

(Dalam relief ini, Bodhisattva yang masih seorang bayi dipangku oleh ibunya, di mana para Brāhmana sedang melakukan upacara pemberkatan dan ayahnya di sebelah kanan memberikan persembahan kepada Brāhmana).

1.2. Sang Bodhisattva mempelajari berbagai macam pengetahuan

Berkat akumulasi jasa-jasa baik yang ia kumpulkan dalam berbagai kehidupan lampau, Sang Bodhisattva tumbuh besar dalam kemakmuran, kecerdasan, dan kehormatan. Dalam usia yang relatif muda, ia sudah menguasai delapan belas jenis ilmu pengetahuan dan seni. Mengetahui hal ini, para Brāhmana, ksatria, maupun masyarakat umum menghormatinya.

Pada usia dewasa, ia meninggalkan keduniawian dan menjalani hidup sebagai seorang pertapa di dalam hutan. Di sana ia bertemu dengan murid-muridnya dan mengajarkan kebajikan, perhatian penuh, maupun ajaran kebijaksanaan.

3. Bodhisattva dan muridnya mendengar suara auman harimau.

Suatu hari, Bodhisattva dan muridnya yang bernama Ajita mendengar suara geraman hewan buas yang menarik perhatian mereka. Dari atas bukit, mereka melihat seekor harimau betina yang hendak memangsa anak-anaknya karena didera kelaparan. Anak-anak harimau itu tidak menyadari bahaya yang sedang mengintai mereka, sebaliknya, mereka justru merasa aman di dekat ibunya yang sedari tadi sudah mempertimbangkan untuk memangsa mereka. Melihat ini, batin Sang Bodhisattva tersentuh dan mengucapkan,

“Lihatlah betapa tidak berartinya sasāra ini! Hewan ini berusaha memakan anak-anaknya sendiri. Kelaparan membuat ia tidak memahami cinta kasih. Sungguh menyedihkan! Rasa cinta diri yang buas membuat seorang ibu berkeinginan untuk memakan darah dagingnya sendiri!”

Bermaksud menghentikan tindakan harimau betina itu, Bodhisattva meminta Ajita untuk segera mencarikan daging untuk disantap oleh sang harimau, sehingga ia batal memangsa anak-anaknya. Ajita langsung bergegas menuruti perintah gurunya. Namun, tergerak oleh rasa welas asih terhadap harimau betina itu beserta anak-anaknya, Bodhisattva terpikirkan untuk mengorbankan dirinya. Ia tidak ingin harimau betina itu melakukan kesalahan besar, dan tidak ingin anak-anak harimau itu tewas di dalam gigitan induknya sendiri. Sambil merenungi betapa jasmani ini akan melapuk dan tak dapat dilekati, Bodhisattva merenungi:

“Ada dua hal yang membuat seseorang mengabaikan penderitaan orang lain: kemelekatan pada kesenangannya sendiri dan tidak memiliki daya untuk membantu. Tetapi aku tidak merasa senang sementara yang lain menderita, dan aku memiliki daya untuk membantu; mengapa aku harus bersikap acuh?”

Kemudian, dengan kerelaan hati dan welas asih kepada semua makhluk, Bodhisattva melompat dari atas bukit itu. Tubuhnya terjatuh, menimbulkan suara yang cukup kencang sehingga menarik perhatian harimau betina itu. Sang harimau, melihat ada daging manusia yang dapat ia makan, membatalkan untuk memangsa anak-anaknya.

4. Para murid dan dewa memberikan penghormatan

Ajita pun kembali dengan tangan kosong. Namun ia tidak dapat menemukan gurunya, sehingga ia berkeliling mencari keberadaan sang Bodhisattva. Ajita melihat harimau betina itu sedang menyantap daging manusia, dan menyadari bahwa itu adalah jasad dari gurunya. Melihat hal itu, Ajita bersedih karena kehilangan gurunya, namun ia merasa takjub dengan pengorbanan dari Sang Bodhisattva yang bahkan merelakan jasmaninya demi menyelamatkan makhluk lain. Ajita berseru:

“Oh, betapa berwelas-asih guruku kepada mereka yang didera oleh penderitaan! Betapa ia tidak peduli terhadap kesejahteraannya sendiri!”

Ajita kemudian menceritakan hal ini kepada murid-murid Bodhisattva yang lainnya. Mereka memuji teladan gurunya yang begitu luar biasa. Bersama para Gandarwa, Yaksa, Naga, dan pemimpin para Dewa, mereka semua memberikan penghormatan kepada kebajikan Sang Bodhisattva.

“Lihatlah betapa tidak berartinya samsāra ini! Hewan ini berusaha memakan anak-anaknya sendiri. Kelaparan membuat ia tidak memahami cinta kasih. Sungguh menyedihkan! Rasa cinta diri yang buas membuat seorang ibu berkeinginan untuk memakan darah dagingnya sendiri!”

“Ada dua hal yang membuat seseorang mengabaikan penderitaan orang lain: kemelekatan pada kesenangannya sendiri dan tidak memiliki daya untuk membantu. Tetapi aku tidak merasa senang sementara yang lain menderita, dan aku memiliki daya untuk membantu; mengapa aku harus bersikap acuh?”

“Oh, betapa berwelas-asihnya guruku kepada mereka yang didera oleh penderitaan! Betapa ia tidak peduli terhadap kesejahteraannya sendiri! Betapa ia telah menyempurnakan perilaku bajik dan menghancurkan rintangan-rintangannya!”

Berdasarkan kitab “Jatakamala” karya Acarya Aryasura
Disusun oleh Garvin Goei
Foto relief oleh Bhikkhu Anandajoti