JATAKAMALA 12 – Brahmana-jataka

Jātakamālā 12 – Brāhmaṇajātakam
(Kisah tentang Brahmana)

Jātakamālā 12 – Brāhmaṇajātakam
(Kisah tentang Brahmana)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Rasa tahu malu melarang orang bajik untuk melanggar batas perilaku baik mereka. Inilah yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika diceritakan bahwa Bodhisattva terlahir kembali dalam keluarga Brāhmana yang termasyhur, yang bereputasi baik karena garis keturunan dan perilaku mereka. Mereka sangat dihormati dan terkenal, mematuhi tradisi mereka dan menjunjung tinggi pendidikan serta perilaku yang baik. Setelah secara berurutan menerima upacara-upacara pemberkahan yang berbeda: garbhādhāna, puṁsavana, sīmantonnayana, jātakarma, dan sisanya, ia berdiam di rumah gurunya, yang adalah seorang Brāhmana yang terkemuka oleh keunggulan pembelajarannya, oleh kelahirannya, dan oleh praktik tradisinya, dengan tujuan mempelajari Weda.

(1)
Kecepatannya dalam menguasai dan mengingat teks-teks yang diajarkan kepadanya,
baktinya yang taat yang menjadi nama baik keluarganya –
suatu kebajikan dalam perilakunya yang dihiasi oleh ketenangan,
sebuah ornament yang langka di dalam seorang pemuda, membuatnya disukai oleh gurunya.

(2)
Kebajikan yang dipraktikkan tanpa henti adalah mantra sakti
yang dapat memenangkan cinta kasih
bahkan bagi yang sedang terbakar oleh api kebencian,
apalagi bagi mereka yang berhati lembut.

Gurunya, dalam jeda waktu istirahat dalam pembelajaran suci, dengan tujuan menguji moral semua muridnya, sering memberi tahu mereka tentang penderitaannya yang dialami sebagai akibat dari kemiskinannya.

(3)
“Baginya tidak ada bantuan yang diberikan oleh keluarganya,
Tiada kegembiraan yang menjadi miliknya, bahkan pada hari libur,
Dan meminta sedekah yang malang membuatnya sakit.
Keinginan seorang yang miskin, bagaimanakah itu bisa terpenuhi?

(4)
Menjadi miskin berarti diabaikan, dilahirkan untuk berkerja keras,
Merupakan kondisi yang amat sulit, tanpa kesenangan,
dilimpahi oleh kekurangan, menderita tiada henti.”

Bagai kuda unggul yang ditusuk dengan taji, murid-muridnya merasa sangat tersentuh dengan kata-kata guru spiritual mereka, dengan penuh kesungguhan memberikan kepadanya makanan yang lebih banyak dan dipersiapkan lebih baik dari biasanya. Tetapi dia berkata kepada mereka: “Tuan-tuan yang baik, jangan memaksakan diri dengan cara ini. Makanan yang diperoleh dengan meminta setiap hari tidak akan mengurangi penderitaan karena kemiskinan. Jika kalian tidak dapat menanggung kesulitanku, kalian sebaiknya menerapkan ini sebagai upaya kalian untuk mendapatkan kekayaan. Dengan melakukan ini, kalian akan bertindak dengan cara yang benar. Mengapa aku mengatakan demikian?

(5)
Kelaparan dihilangkan oleh makanan, dan kehausan dihilangkan oleh air.
Suara yang mengucapkan mantra bersama dengan obat dapat mengusir penyakit.
Namun kepedihan akibat kemiskinan dihancurkan oleh kekayaan,
yang membuat seseorang dihargai oleh sanak saudaranya.”

Murid-murid menjawab: “Apa yang bisa kami lakukan untukmu? Kami tidak bergembira karena merasa tidak berdaya. Bahkan,

(6, 7)
Jika kekayaan dapat diperoleh dengan cara mengemis seperti makanan,
kami tidak akan membiarkan Anda menderita oleh kemiskinan
dengan cara seperti ini, wahai guru.
Tetapi ini masalahnya:

Cara yang tepat, meskipun lemah, bagi para Brāhmana
untuk memperoleh kekayaan adalah dengan menerima hadiah:
tetapi orang-orang di sini tidak dermawan.
Maka kami tidak berdaya, dan
oleh ketidakberdayaan ini kami diliputi oleh kesedihan.”

Sang guru menjawab: “Tetapi masih ada cara lain untuk mendapatkan uang, dan itu dijelaskan dalam kitab-kitab hukum. Namun, kekuatanku habis karena usia tua, sehingga aku tidak dapat menerapkannya.”

Murid-murid berkata: “Tetapi kekuatan kami tidak dirusak oleh usia tua, guru. Jika kemudian, Anda menganggap kami mampu bertindak berdasarkan peraturan dari kitab-kitab hukum itu, mohon beritahu kami. Dengan demikian kami dapat membalas jerih payah Anda dalam mengajari kami.”

Sang guru berkata: “Tidak, alat untuk menghasilkan uang seperti itu hampir tidak tersedia untuk para pemuda yang pikirannya kurang memiliki tekad yang kuat. Tetapi jika Yang Mulia mendesakku, maka baiklah, kalian dapat belajar dariku tentang salah satu cara tersebut.

(8)
Diajarkan bahwa pada masa-masa sulit,
pencurian adalah mata pencaharian yang diizinkan bagi para Brāhmana.
Menurutku kemiskinan merupakan kesulitan terbesar di dunia ini,
sehingga kita tidak disalahkan untuk menikmati kekayaan orang lain.
Seluruh barang ini, sesungguhnya, adalah milik para Brāhmana.

(9)
Pria-pria seperti kalian, tidak diragukan lagi
akan dapat memperoleh kekayaan melalui kekerasan.
Namun kalian tidak boleh melakukan cara pengambilan seperti itu,
kalian harus memperhatikan reputasi kalian.
Oleh karena itu, kalian harus berusaha di tempat dan waktu
yang tidak akan diketahui oleh orang lain (sendirian).”

Dengan ucapan seperti itu dia mengendurkan kekangan pada murid-muridnya. Oleh karena itu mereka berseru “Baiklah,” menyetujui kata-kata buruknya seolah-olah itu adalah baik, dan mereka semua berkeinginan untuk melakukannya. Semuanya – kecuali sang Bodhisattva.

(10)
Kebaikan hatinya melarangnya untuk menuruti nasihat guru,
dan sebaliknya langsung memaksanya untuk menentangnya,
meskipun tugas itu telah diterima oleh para murid yang lain.

Disertai dengan rasa malu dan tatapan yang sedih, dia menunduk, menghela nafas lembut dan tetap diam. Sang guru menyadari bahwa Bodhisattva tidak menyetujui cara menghasilkan uang yang seperti itu, dan karena dia sangat menghormati kebajikan sang Mahāsattva itu, dia merenung: “Mengapa dia tidak menyetujui pencurian? Apakah karena tindakan itu membutuhkan keberanian atau karena tidak patuh kepadaku? Atau apakah dia benar-benar tahu bahwa itu adalah tindakan yang jahat?” Kemudian untuk mengetahui isi pikirannya yang sesungguhnya, dia berbicara seperti ini kepada Bodhisattva: “Katakanlah, wahai Brāhmana yang mulia,

(11)
Mereka yang terlahir dua kali, tidak mampu menanggung kemalanganku,
bersedia untuk menempuh jalan hidup yang diikuti oleh mereka yang bersemangat dan para pahlawan;
tetapi di dalam dirimu aku tidak menemukan apa pun selain kemalasan dan kelambanan.
Tentu, dirimu tidak terpengaruh oleh kesusahan kami.

(12)
Bukankah penderitaanku sudah jelas?
Seluruhnya terbuka di depan matamu.
Aku telah menjelaskannya dengan ucapan.
Meskipun demikian, engkau tetap diam!
Bagaimana bisa pikiranmu tidak terganggu
dan tidak tersentuh oleh kesedihan?”

Tersentak, Bodhisattva memberi hormat kepada guru, sambil berucap dengan gugup: “Langit melarang perasaan seperti itu! Sesungguhnya, bukan karena menginginkan perhatian atau berhati keras yang menyebabkan terdiam, juga bukan karena aku tidak tergerak oleh penderitaan guruku, melainkan aku berpikir bahwa cara bertindak guru ajarkan kepada kami tidak dapat dilakukan. Tidaklah mungkin untuk melakukan perbuatan jahat tanpa terlihat. Mengapa? Karena tidak mungkin untuk benar-benar sendirian.

(13, 14)
Bagi pelaku kejahatan, tidak ada satupun tempat di dunia ini untuk melakukannya sendirian.
Bukankah para makhluk yang tidak terlihat dan sang Muni yang murni,
yang matanya diberkahi dengan kesaktian, mengawasi tindakan manusia?
Karena tidak melihat mereka, orang bodoh mengira dia sedang sendirian dan melakukan tindakan buruk.

(15)
Lagipula aku sama sekali tidak mengetahui tempat yang sepi tanpa ada orang lain.
Sekalipun aku tidak melihat ada orang lain, bukankah di sana ada diriku sendiri?

(16, 17)
Aku adalah saksi yang jauh lebih cermat atas perbuatanku sendiri daripada orang lain.
Orang lain bisa saja melihatku maupun tidak,
karena pikirannya sibuk dengan urusannya sendiri.
Tetapi diriku, yang bersemangat karena dipenuhi oleh nafsu,
tahu dengan pasti bahwa aku sedang melakukan kejahatan.

Karena alasan inilah, aku menyisihkan diri dari yang lain.” Dan memahami bahwa gurunya tenang dengan penjelasannya, Bodhisattva melanjutkan:

(18)
“Aku juga tidak dapat meyakinkan diriku sendiri
bahwa engkau akan menipu kami dengan cara ini,
hanya demi mendapatkan kekayaan.
Sungguh, siapakah yang mengetahui perbedaan antara kebajikan dan kejahatan,
yang akan membiarkan dirinya tergoda oleh kekayaan dengan menindas kebajikan?

Mengenai tekadku sendiri, aku akan memberi tahu kepadamu tentang itu.

(19)
Lebih baik mengambil mangkuk dan jubah kusam,
melihat kemewahan rumah besar musuhnya sendiri,
daripada dengan tanpa malu mengarahkan pikiran untuk membunuh kebenaran,
bahkan dengan tujuan untuk menjadi raja para dewa!”

Mendengar kata-kata ini gurunya menjadi sangat kagum dan gembira, bangkit dari tempat duduknya, memeluknya, dan berkata kepadanya: “Baiklah, sangat baik, putraku! Sungguh ucapan yang sangat baik, ucapan sangat baik, wahai Brāhmana yang mulia! Ini menjadi kecerdasan tajammu yang dihiasi oleh ketenangan batin.

(20)
Orang bodoh melalaikan tanggung jawabnya, digerakkan oleh berbagai alasan;
tetapi yang bajik tidak membiarkan diri mereka tersesat
meskipun dalam kesulitan terbesar sekalipun.
Pertapaan, pembelajaran, dan kebijaksanaan menjadi kekayaan mereka.

(21)
Bagai bulan yang terbit di musim gugur menghiasi cakrawala, demikian pula
engkau adalah hiasan dari keluargamu yang sepenuhnya tak bernoda.
Teks-teks suci yang telah engkau pelajari bermanfaat penuh bagimu.
Engkau telah memahaminya dengan baik, tampak jelas melalui perilaku baikmu;
dan kerja kerasku dimahkotai dengan keberhasilan, tidak menjadi sia-sia.”

Maka, rasa tahu malu melarang orang bajik untuk melanggar batas perilaku baik mereka. [Untuk alasan inilah para ārya harus memiliki perlindungan yang kuat di dalam rasa malu.

(Kisah ini) harus dikemukakan dengan kata-kataseperti ini: “Dengan cara ini, pengikut setia dari keyakinan kita (āryaśrāvaka), dijaga dengan baik oleh parit rasa malunya, menghindari apa yang berbahaya dan menumbuhkan apa yang bermanfaat.”

Begitu pula dalam ajaran-ajaran yang membahas tentang perasaan malu dan terkait opini masyarakat.]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *