JATAKAMALA 13 – Unmadayanti-jataka

Jātakamālā 13 – Unmādayantījātakam
(Kisah tentang Unmadayanti)

Jātakamālā 13 – Unmādayantījātakam
(Kisah tentang Unmadayanti)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Orang-orang bajik enggan untuk mengikuti jalan hidup yang rendah, bahkan ketika sedang dilanda sakit yang sangat menyedihkan sekalipun. Keteguhan hati mencegah mereka dari tindakan seperti itu. Ini akan diajarkan sebagai berikut

Pada suatu ketika, Sang Bodhisattva, dengan mempraktikkan kebajikan, kejujuran, kemurahan hati, ketenangan pikiran, kebijaksanaan yang tiada banding, dan sebagainya, mengupayakan dirinya untuk kepentingan para makhluk. Dikisahkan bahwa dia adalah raja para Śibi, berperilaku bagai perwujudan dari kebenaran dan pengendalian diri, dan berniat untuk memajukan kesejahteraan rakyat-rakyatnya seperti seorang ayah.

(1)
Bagai seorang ayah yang membimbing putranya,
sang raja menjaga rakyat-rakyatnya dari perbuatan salah
dan menjaga mereka dalam kebajikan-kebajikan mulia
membawa sukacita baik dalam kehidupan ini dan berikutnya.

(2)
Sang raja menjalankan keadilan sesuai jalan kebenaran,
tidak membeda-bedakan sanak saudara dan yang lain,
menghalangi para rakyat dari jalan perilaku yang salah,
bagai tangga penuh bunga menuju surga.

(3)
Sang penguasa memandang bahwa kesejahteraan para makhluk
merupakan akibat dari moralitas dan merupakan tugas tunggalnya.
Sepenuh dirinya bergembira dalam jalan kebenaran
dan tidak dapat membiarkan orang lain melanggarnya.

Di ibu kota kerajaan itu, salah satu warga utama kota memiliki seorang putri yang sangat cantik. Kecantikan yang menawan dari paras dan pesonanya membuat dia tampak seperti perwujudan dari dewi Śrī atau Rati atau salah satu dari para bidadari.

(4)
Tiada seorang pun, kecuali mereka yang tanpa nafsu,
yang setelah melihatnya, mampu mengalihkan pandangan
dari parasnya, kecantikannya yang mempesona
di mata semua orang yang melihatnya.

Dan untuk alasan inilah, para kerabat memanggilnya Unmādayantī (“dia yang membuat tergila-gila”).

Ayahnya memberi tahu raja bahwa dia memiliki anak perempuan yang cantik seperti itu: “Yang Mulia, wanita yang cantik bagai mutiara telah muncul di tanahmu. Semoga Yang Mulia berkenan untuk memutuskan apakah Anda akan menerimanya sebagai istri atau menolaknya.” Kemudian raja memerintahkan beberapa Brāhmana yang dapat mengenali tanda-tanda keberuntungan dari para wanita untuk pergi dan melihat gadis itu, menilai apakah dia akan menjadi istri yang cocok atau tidak baginya. Ayah Unmādayantī membawa mereka ke rumahnya, dan memerintahkan putrinya untuk mengurus tamu-tamunya sendirian. Dia berkata dia akan melakukannya, dan mulai melayani mereka di meja dengan cara yang tepat. Tapi tidak lama kemudian:

(5)
Para brāhmana itu menatapnya, terus melihat wajahnya.
Dewa cinta telah menaklukkan keteguhan mereka.
Mereka kehilangan kendali atas pandangan dan pikiran mereka,
kesadaran mereka tersingkirkan seolah-olah sedang mabuk.

Karena mereka tidak dapat menjaga raut wajah mereka untuk tetap serius, sopan, dan tenang, terutama ketika sedang makan, sang perumah tangga menarik putrinya dari jangkauan pandangan mereka dan menghadirkan dirinya di depan para Brāhmana. Setelah itu mereka pergi dan pulang. Dan mereka mempertimbangkan sebagai berikut: “Kecantikan yang indah dari gadis itu, sesungguhnya, memiliki sifat yang sangat mempesona, ia bertindak seperti mantra yang sangat ajaib. Karena alasan inilah raja tidak pantas melihatnya, apalagi menjadikannya sebagai ratu. Tergila-gila oleh kecantikannya yang luar biasa, tidak dapat diragukan lagi, dia akan mengurangi semangatnya untuk melakukan tugas-tugas agama dan pemerintahannya, dan kelalaiannya untuk menjalankan pekerjaannya dengan baik akan memberi akibat buruk kepada rakyat-rakyatnya, karena itu akan menghalangi sumber keuntungan dan kesejahteraan mereka.

(6)
Bahkan memandang gadis itu akan cukup menjadi penghalang bagi para Muni yang sedang berjuang mengejar kesempurnaan kebijaksanaan; apalagi untuk menghalangi keberhasilan seorang pangeran muda, yang hidup dalam kesenangan dan terbiasa mengarahkan pandangannya kepada objek indriawi.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita bertindak seperti ini.” Setelah memutuskan demikian, mereka pergi ke hadapan raja pada waktu yang tepat dan melaporkan hal ini kepadanya: “Kami telah melihat gadis itu, wahai raja agung. Dia cantik dan memiliki pesona yang indah, tapi tidak lebih lagi; dia memiliki tanda yang tidak menguntungkan, pertanda kehancuran dan ketidakberuntungan. Untuk alasan inilah Yang Mulia seharusnya tidak melihatnya, apalagi menikahinya.

(7)
Istri yang tercela menutupi kemuliaan dan kemewahan dua keluarga; bagai malam mendung tak berembulan yang menyembunyikan keindahan dan tatanan di bumi serta di surga.”

Diberi tahu seperti itu, sang raja membayangkan bahwa dia memiliki tanda-tanda yang tidak menguntungkan dan tidak cocok dengan keluarganya, menjadi tidak berkeinginan lagi untuk memilikinya. Ayah gadis itu, sang perumah tangga, mengetahui ketidaksenangan raja, menikahkan putrinya dengan seorang Abhipāraga, pejabat raja itu sendiri.

Lalu suatu ketika, pada saat perayaan Kaumudī sedang dilaksanakan, sang raja ingin menyaksikan kemegahan pesta di ibukotanya itu. Dia menaiki kereta kerajaannya dan berkendara melewati kota yang menunjukkan pemandangan menyenangkan. Jalan-jalan beserta alun-alunnya telah ditaburi dan dibersihkan; lantai putihnya ditaburi bunga beraneka warna; bendera dan spanduk yang berwarna-warni melayang tinggi; di mana-mana ada tarian dan nyanyian, bersama dengan pertunjukan komedi, dansa, dan musik; aroma-aroma bunga yang berbaur, dupa, bubuk harum, wewangian, karangan bunga, minuman keras, juga minyak wangi dan minyak yang digunakan untuk membersihkan diri, memenuhi udara dengan keharuman; barang-barang bagus ditunjukkan untuk dijual; jalan-jalan utama dipenuhi oleh kerumunan warga kota dan tuan tanah yang bergembira dengan pakaian terbaik mereka.

Saat melakukan perjalanan ini, raja mendekati rumah Abhipāraga. Unmādayantī, yang marah kepada raja karena dia telah menolaknya karena dianggap memiliki tanda-tanda yang tidak menguntungkan, berpura-pura penasaran ingin melihatnya, lalu turun ke jalan, diterangi oleh sosoknya yang gemilang dari atap datar rumahnya, seperti kilatan petir yang menghantam bagian atas awan; sang raja, pikirnya di dalam hatinya, harus mampu menjaga keteguhan pikirannya dan kendali atas indranya yang tak tergoyahkan terhadap pemandangan orang yang tidak beruntung sepertiku. Oleh karena itu, ketika raja, yang penasaran ingin melihat kemegahan ibukotanya, sedang melihat sekeliling, matanya tiba-tiba tertuju padanya, ketika dia sedang menghadap kepadanya. Saat melihatnya, sang raja,

(8, 9)
Meskipun matanya terbiasa dengan daya tarik keindahan para selirnya; meskipun dia mengikuti jalan moralitas, berwatak sederhana, dan telah melatih diri dalam menaklukkan indra-indranya; meskipun dia memiliki derajat yang tinggi dalam keteguhan; meskipun dia memiliki rasa malu yang kuat dan pandangannya takut pada penampilan wanita muda yang sudah dimiliki orang lain – meskipun demikian, dia tidak dapat mencegah kemenangan dari dewa cinta, dan menatap lama wanita itu, tidak berdaya untuk mengalihkan pandangan dari wajahnya.

(10)
“Apakah dia mungkin merupakan perwujudan dari Kaumudī atau dewi dari rumah itu? Apakah dia seorang bidadari ataukah seorang penyihir? Karena tidak ada sosok manusia yang seperti itu.”

Demikianlah sang raja memikirkan itu dan tidak bisa cukup memandanginya; kereta yang lewat tidak bisa menuruti keinginan hatinya. Dia kembali ke istananya seperti orang yang berpikiran kosong, tidak memikirkan apa pun kecuali dia; keteguhan pikirannya telah dikacaukan oleh Manmathā. Kemudian dia diam-diam bertanya kepada kusirnya yang bernama Sunanda:

(11)
“Tahukah engkau, rumah siapakah itu yang dikelilingi oleh tembok putih, dan siapakah dia yang kecantikannya bersinar di sana bagai kilat di awan putih?”

Sang kusir menjawab: “Yang Mulia memiliki seorang pejabat tinggi bernama Abhipāraga. Rumah itu adalah rumahnya, dan wanita itu adalah istrinya, putri Kirīṭavatsa, dan dia dipanggil Unmādayantī.” Setelah mendengar ini, mengetahui dia adalah istri orang lain menyebabkan hatinya berputus asa. Matanya terpaku dalam kesedihan. Beberapa kali dia menghela napas panjang dan dalam, tidak memikirkan apa-apa selain dia, kemudian berbicara sendiri dengan suara rendah:

(12)
“Ah! Sungguh, dia menyandang namanya yang lembut dan terdengar indah. Unmādayantī yang tersenyum manis ini telah membuatku hampir gila.

(13)
Aku akan melupakannya, tetapi aku selalu melihatnya dalam pikiranku. Karena pikiranku bersamanya, atau lebih tepatnya, dia telah menguasai pikiranku.

(14)
Dan pikiran lemah ini adalah salahku karena memikirkan istri orang lain! Tidak diragukan lagi, aku tergila-gila; rasa malu tampaknya telah meninggalkanku, seolah telah tertidur.

15. Sementara asyik membayangkan diriku bersama dengan keanggunan sifatnya, senyumannya, penampilannya, oh suara lempengan logam yang muncul tiba-tiba itu, mengingatkanku kepada suara keras dari tugas-tugas urusan rutin kerajaanku, membangkitkan amarahku.”

Keteguhan hati sang raja diguncang oleh kekuatan cinta yang penuh gairah dengan sedemikian rupa. Dan meskipun dia berusaha untuk menenangkan pikirannya, penampilannya yang lesu dan tubuhnya yang kurus, pikirannya sering terlarut bersama desahan napasnya yang sangat jelas menunjukkan bahwa dia sedang jatuh cinta.

(16)
Betapapun besarnya keteguhannya dalam menyamarkan sakit hatinya, hal itu terwujud dalam raut wajahnya, raut matanya yang kaku, dan anggota tubuhnya yang kurus.

Abhipāraga, pejabat raja, terampil dalam menafsirkan raut wajah dan gerak tubuh yang mengungkapkan perasaan batin. Ketika dia telah mengamati perilaku tuannya dan menemukan penyebabnya, juga karena dia menghormati raja dan mengetahui kekuatan berlebihan dari dewa cinta, dia tahu bahwa hal ini akan berlanjut buruk. Maka dia meminta kepada raja untuk bertemu secara rahasia; yang setelah dikabulkan kepadanya, dia mendatangi tuannya, dan setelah memperoleh izin, menyapanya:

(17, 18)
“Wahai penguasa manusia yang bermata teratai, saat melakukan pemujaan kepada para dewa pada hari ini, seorang Yakṣa menampilkan dirinya di depan mataku dan berkata kepadaku: ‘Bagaimana mungkin kau mengabaikan raja yang telah jatuh cinta kepada Unmādayantī?’ Setelah berbicara demikian, dia segera menghilang, dan aku yang memperhatikan hal ini, mendatangi Anda. Jika ini benar, apakah karena ini Yang Mulia menunjukkan ketidaksukaan kepadaku dengan cara diam?

Oleh karena itu, semoga Yang Mulia berkenan membantuku untuk menerima genggaman tangannya dari tanganku.”

Raja menjadi bingung dan tidak berani mengangkat matanya karena merasa malu. Namun demikian, meskipun dia berada dalam kekuatan cinta, dia tidak membiarkan keteguhannya goyah, karena dia berpengetahuan dalam Dharma dengan latihan dalam waktu yang lama dan baik. Dia pun menolak tawaran itu dengan jelas, “Tidak, itu tidak mungkin. Untuk alasan apa? Dengarlah.

(19)
Aku akan kehilangan jasa kebajikanku dan aku tahu bahwa diriku tidak abadi. Selanjutnya, perbuatan jahatku juga akan diketahui oleh publik. Lagipula, jika api kesedihan membakar hatimu karena perpisahan ini, api itu akan melalapmu dalam waktu yang lama, seperti api yang membakar habis rumput kering.

(20)
Dan perbuatan seperti itu, yang akan menyebabkan penderitaan baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya, dilakukan oleh orang yang tidak bijaksana dan tidak akan pernah dilakukan oleh orang yang bijaksana. Inilah alasannya.”

Abhipāraga menjawab: “Jangan takut bahwa engkau akan melanggar Dharma, Yang Mulia.

(21)
Dengan membantuku melakukan pemberian, engkau akan bertindak sesuai dengan Dharma. Sedangkan jika engkau tidak menerimanya dari tanganku, engkau akan melakukan sebuah kesalahan, karena engkau menghalangi praktik memberi.

Dalam hal ini aku juga tidak melihatnya sebagai kesempatan untuk merusak reputasi Yang Mulia. Mengapa?

(22)
Ini adalah kesepakatan di antara kita; tidak ada orang lain yang perlu mengetahuinya. Oleh karena itu, jangan pikirkan rasa takut akan disalahkan oleh pendapat masyarakat.

Selanjutnya, bagiku ini akan menjadi bantuan, bukan sumber kesedihan. Mengapa demikian?

(23)
Kerusakan apa yang dapat diperoleh hati yang setia melalui kepuasan yang diperoleh dengan melayani kepentingan tuannya? Untuk alasan ini engkau dapat diam-diam menikmati cintamu; jangan mengkhawatirkan kesedihanku.”

Raja menjawab: “Sudahlah, sudah! Tidak ada alasan jahat seperti itu.

(24)
Sesungguhnya, kesetiaanmu yang sangat besar kepadaku sedang menghalangimu untuk memahami bahwa membantu seseorang dengan memberi tidak selalu merupakan tindakan yang benar.

(25)
Siapa yang dengan melampaui kesetiaannya kepadaku tidak mengindahkan hidupnya sendiri, adalah temanku, lebih aku cintai daripada kerabat-kerabatku. Istrinya harus aku hormati sebagai istri seorang teman.

Engkau sedang tidak sehat sehingga membujukku untuk melakukan tindakan salah. Dan apa yang engkau tegaskan, ‘tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya’, apakah kesalahanku akan berkurang karena alasan ini?

(26)
Bagaimana mungkin kebahagiaan dapat diperoleh bagi orang yang melakukan perbuatan buruk, meskipun tidak da yang menyaksikan? Sesedikit dia yang telah mengambil racun yang tak terlihat. Baik para dewa yang berpandangan murni maupun para pertapa suci di antara manusia tidak mungkin tidak menyaksikannya.

Selain itu, aku memberi tahu hal ini kepadamu:

(27)
Siapakah yang akan benar-benar percaya bahwa engkau tidak mencintainya, atau bahwa engkau tidak akan terluka setelah engkau melepaskannya?”

Abhipāraga berkata:

(28)
“Aku, bersama istri dan anak-anakku, adalah budakmu. Engkau adalah tuan dan dewa bagiku. Yang Mulia, pelanggaran apa yang mungkin terjadi jika engkau bertindak sesuka hatimu kepada budak perempuanmu ini?

Adapun engkau menegaskan bahwa aku mencintainya, apakah itu penting?

(29)
Ya, Yang Mulia, dia adalah istriku tercinta, dan karena alasan inilah aku ingin dia diberikan kepadamu. Dia yang telah memberikan sesuatu yang disayanginya di dunia ini, akan menerima objek-objek indah berikutnya yang melebihi segala keindahan.

Oleh karena itu, Yang Mulia dapat membawanya.”

Raja berbicara: “Oh, jangan berkata begitu! Tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Mengapa?

(30)
Aku berani melemparkan diriku pada pedang tajam atau ke dalam api yang menyala-nyala, tetapi aku tidak mungkin dapat menentang Dharma yang selalu kupatuhi, dan yang kepadanya aku berhutang kebahagiaan kerajaanku.”

Abhipāraga berkata: “Jika Yang Mulia tidak mau mengambilnya, karena dia adalah istriku, maka aku sendiri yang akan memerintahkannya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang wanita penghibur, yang boleh dirayu oleh siapa pun. Maka Yang Mulia bisa membawanya. “

Raja menjawab: “Apakah kau sudah gila?

(31)
Jika engkau meninggalkan istrimu yang tidak bersalah, engkau tidak hanya akan mendapat hukuman dariku, tetapi juga akan menjadi bahan celaan, juga mendapatkan kesedihan yang tak terhindarkan baik di kehidupan ini dan selanjutnya.

Berhentilah; jangan memaksakan tindakan buruk. Alihkan pikiranmu pada keadilan dan kejujuran.”

Abhipāraga berkata:

(32)
“Dan jika aku bersikeras, aku benar-benar melakukan tindakan ini yang mungkin merupakan pelanggaran terhadap kebenaran dan dapat dicela oleh para manusia, yang menghilangkan kebahagiaanku – biarlah segala konsekuensi ini terjadi – aku akan dengan senang hati menghadap mereka dengan berani, berkat kegembiraan di dalam batin yang akan kurasakan karena telah membuatmu bahagia.

(33)
Di dunia ini, tiada seorangpun yang kukenal yang lebih layak dari dirimu untuk dipuja dan menerima pemberian, wahai penguasa bumi yang paling perkasa. Kalau begitu, dengan tujuan untuk meningkatkan jasa kebajikanku, sudilah untuk menerima Unmādayantī sebagai pengorbananku, seperti pendeta yang sedang bertugas.”

Raja berkata: “Tidak diragukan lagi, kasih sayangmu yang besar untukku mendorongmu untuk berusaha menyenangkanku tanpa mempertimbangkan apa yang benar dan salah bagimu. Tetapi pertimbangan ini justru mendorongku untuk mencegahmu. Sesungguhnya, ketidakpedulian terhadap celaan manusia sama sekali tidak dapat disetujui. Lihatlah!

(34)
Siapapun, dengan mengabaikan kebenaran, tidak peduli terhadap celaan manusia atau akibar buruk di kelahiran berikutnya, akan memperoleh hal ini: dalam kehidupan ini orang-orang tidak akan mempercayainya; dan pasti, setelah kematian dia akan kehilangan kebahagiaannya.

Dan karena itu aku tekankan ini ke dalam pikiranmu.

(35)
Jangan pernah bersukacita dalam melukai kebenaran demi kehidupan.[4] Engkau akan menghasilkan kejahatan besar dan tidak perlu dipertanyakan lagi, keuntungannya kecil dan meragukan.

Selain itu, engkau juga harus mempertimbangkan hal ini.

(36)
Orang bajik tidak menyukai kesenangan bagi diri mereka sendiri yang diperoleh dengan mengorbankan orang lain, yang membuat mereka menderita dengan membawa mereka ke dalam reputasi buruk dan sejenisnya. Untuk alasan inilah, dengan berdiri di atas dasar kebenaran, aku akan memikul tanggung jawab atas kepentingan pribadiku sendiri tanpa menimbulkan rasa sakit bagi orang lain.”

Abhipāraga menjawab: “Tetapi bagaimana ini bisa dikatakan tidak adil, jika karena digerakkan oleh ketaatan, aku mengutamakan kepentingan tuanku dan Yang Mulia menerimanya sebagai hadiah dariku? Para Śibi, para warga kota dan tuan tanah, juga akan bertanya-tanya: ‘Apa yang tidak adil dari perbuatan ini?’ Oleh karena itu, Yang Mulia, bawalah ia dengan senang hati.”

Raja menjawab: “Sesungguhnya, engkau memiliki keinginan yang kuat untuk membantuku. Tapi renungkanlah ini baik-baik: Siapakah di antara kita yang paling tahu tentang Dharma, seluruh Śibi, engkau, atau aku?”

Kemudian Abhipāraga menjawab dengan cepat:

(37)
“Karena ketekunan dan perhatianmu dalam mematuhi para bijaksana, serta penghargaan besarmu terhadap pengetahuan suci, juga kebijaksanaan batinmu, Yang Mulia sebanding dengan Bṛhaśpati sebagai hakim yang paling kompeten dalam semua hal yang diajarkan dalam ilmu tentang “tiga rangkaian objek (trivarga).”

Raja berkata: “Dengan demikian, engkau tidak boleh menyesatkanku dengan masalah ini. Kenapa kukatakan demikian?

(38)
Kejahatan dan kebaikan rakyat bergantung pada perilaku penguasa mereka. Untuk alasan ini, dan dengan mempertimbangkan kesetiaan rakyatku, aku akan terus mencintai jalan kebajikan di atas segalanya, sesuai dengan reputasiku.

(39)
Seperti sapi yang mengejar banteng ke segala arah, mengikuti Langkah-langkahnya tanpa mengenal benar atau salah, dengan cara yang sama pula para rakyat akan meniru perilaku penguasa mereka dengan tanpa ragu dan tanpa gentar.

Engkau juga harus mempertimbangkan hal ini.

(40)
Jika aku tidak mampu mengatur diriku sendiri, maka bagaimana dengan nasib orang-orang yang mengharapkan perlindungan dariku?

(41)
Dengan demikian, mengingat dan memperhatikan kebaikan rakyat-rakyatku, kebenaranku sendiri, dan nama baikku yang tak bernoda, aku tidak membiarkan diriku tunduk pada nafsu. Aku adalah pemimpin rakyat-rakyatku, banteng dari kawananku.”

Kemudian Abhipāraga, pejabat raja, setelah ditenangkan oleh sang raja, menundukkan kepalanya dan dengan hormat merapatkan tangannya, mengucapkan:

(42)
“Oh! Sungguh para rakyat ini dicintai oleh nasib baik karena memiliki penguasa sepertimu, raja yang terhormat. Kecintaanmu terhadap kebenaran yang benar-benar mengabaikan kesenangan tidaklah mudah untuk ditemukan, bahkan di antara mereka yang berdiam di dalam hutan pertapaan sekalipun.

(43)
Di dalam dirimulah sebutan ‘agung’, oh Mahārāja, merupakan ornamen yang cemerlang. Karena kebajikan yang dianugerahkan kepada orang-orang tanpa kebajikan justru memiliki suara yang agak kasar, seolah digunakan untuk menghina.

(44)
Juga tidak ada alasan lagi bagiku untuk terheran-heran atau gelisah dengan perbuatan agungmu ini, yang merupakan tambang kebajikan, bagai laut yang penuh permata.”

Orang-orang bajik enggan untuk mengikuti jalan hidup yang rendah, bahkan ketika sedang dilanda sakit yang sangat menyedihkan sekalipun. Keteguhan hati  mencegah mereka dari tindakan seperti itu [dan mereka yang berpengetahuan dalam Dharma dalam waktu yang lama dan latihan baik. Dengan pertimbangan inilah, seseorang harus mengupayakan dirinya sendiri dalam mempraktikkan keteguhan dan pedoman Dharma.]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *