JATAKAMALA 22 – Hamsa Jataka

Jātakamālā 22 – Haṁsajātakam
(Kisah tentang Angsa)

Jātakamālā 22 – Haṁsajātakam
(Kisah tentang Angsa)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Meskipun berada dalam kesulitan sekalipun, orang bajik berperilaku baik yang tidak dapat dilakukan oleh orang tidak bajik. Betapa mereka akan mampu mengikuti tindak tanduk para bajik, ketika mereka disukai oleh nasib baik!

Suatu ketika, dikisahkan bahwa Sang Bodhisattva terlahir sebagai raja angsa. Dia adalah kepala suku angsa yang berjumlah ratusan ribu, tinggal di Danau Mānasa. Namanya adalah Dhṛtarāṣṭra. Komandan pasukannya, yang dipanggil Sumukha, sangat ahli dalam mengatur berbagai urusan, mengetahui kebijakan yang benar dan salah dengan sangat baik, pun daya ingatnya tajam dalam berbagai hal dan peristiwa yang terjadi di banyak tempat dan waktu. Terlahir dari keluarga termasyhur, sifat kebangsawanannya (Sumukha) dihiasi dengan bakatnya, kesopanannya, dan kerendahan hatinya; dia diberkahi dengan keteguhan hati, kejujuran, keberanian, dan diunggulkan oleh kemurnian perilaku, cara hidup, dan tindak-tanduknya. Selain itu ia mampu menghadapi berbagai kesulitan, berwaspada dan pintar dalam berbagai urusan kemiliteran maupun dalam pertempuran, dan memiliki cinta kasih yang besar kepada tuannya.

Mereka mengasihi satu sama lain bagai seorang guru dan murid utamanya, mengajari kawanan angsa itu untuk memiliki perilaku damai terhadap makhluk lain dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mereka, sehingga keagungan kualitas baik mereka semakin bersinar. Mereka berdua menjadi teladan bagi angsa-angsa lainnya, dan dikagumi oleh para dewa, naga, yaksa, vidyādhara, dan pertapa suci yang menyaksikan mereka.

(1)
Bagai sepasang sayap yang tak henti-hentinya menopang tubuh seekor burung di langit, demikianlah kedua angsa itu tidak memiliki tujuan lain selain menopang keselamatan kawanan angsa tersebut.

Kawanan angsa yang mereka kasihi itu hidup dalam berkelimpahan, bagai manusia yang ditopang dengan kemakmuran dan kebenaran. Oleh sebab itu, danau itu memiliki keindahan yang luar biasa.

(2, 3)
Danau itu tampak sangat indah, berhasikan oleh suku angsa itu, yang suaranya akan mengingatkan kita terhadap suara yang lembut dan indah dari gelang kaki wanita.

Ketika berkelompok, angsa-angsa itu menyerupai kumpulan teratai yang bergerak. Ketika tersebar atau terpisah dalam kelompok-kelompok yang berjumlah tidak sama, mereka membuat danau itu Nampak lebih indah dari langit yang dihiasi dengan awan-gemawan yang menyebar.

Terpesona dengan kemegahan yang luar biasa dari sang penguasa angsa itu ― yang ditujukan untuk kebaikan semua makhluk ― dan Sumukha, panglima tertingginya, kerumunan siddha, para rṣi, para vidyādhara, dan para dewa dari berbagai tempat sering menceritakan tentang kemuliaan kedua angsa tersebut.

(4)
“Mereka nampak agung bagai emas murni, suara-suara menuturkan ucapan yang jelas, kebenaran adalah aturan bagi perilaku sederhana dan kebijakan mereka. Siapa pun mereka itu, mereka hanyalah berwujud angsa.”

(5)
Penuh dengan rasa kagum yang bebas dari kecemburuan, para makhluk sakti itu menyebarkan cerita tentang kebajikan mereka berdua, hingga akhirnya menjadi topik pembicaraan di antara dewan para raja dan tersebar luas.

Pada saat itu Brahmadatta merupakan raja di ​​Benares. Setelah sering mendengar dari para dewan pejabatnya kepercayaannya dan dari pujian para Brāhmana terkemuka tentang kualitas luar biasa dari raja angsa dan panglima tertingginya, dia menjadi penasaran untuk melihat mereka. Maka dia berkata kepada para menterinya, yang sangat pandai dan terpelajar dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan: “Baiklah, tuan-tuan, bekerjalah dengan kepintaran pikiran kalian. Cobalah untuk menemukan beberapa cara agar saya dapat melihat dua angsa yang luar biasa itu.” Kemudian menteri-menteri yang bijaksana berpikir, dan (setelah memikirkan dan menemukan cara-cara yang diinginkan) berkata kepada raja:

(6)
“Yang Mulia, harapan tentang kebahagiaan memikat makhluk-makhluk untuk menarik diri dari berbagai tempat. Oleh karena itu, kabar tentang keberadaan sebuah tempat yang sangat indah dan sesuai dengan kebahagiaan mereka dapat membawa mereka ke sini.

Oleh karena itu, berkenanlah Yang Mulia untuk menyiapkan sebuah danau yang indah seperti tempat angsa-angsa itu hidup, dengan kecemerlangan yang melebihi danau Mānasa. Buatlah tempat itu di salah satu hutan Anda. Kemudian, umumkanlah setiap hari bahwa Yang Mulia akan menjamin keamanan semua burung (di danau tersebut). Kabar tentang keistimewaan danau ini ― yang meningkatkan kebahagiaan mereka ― akan membangkitkan rasa keingintahuan mereka dan menarik mereka ke sini. Pertimbangkanlah, Yang Mulia.

(7)
Kebahagiaan, setelah diperoleh akan kehilangan pesonanya dan tidak lagi diperhitungkan; tetapi kebahagiaan yang berdasarkan pada kabar yang beredar akan tampak indah dan mempesona pikiran, karena jauh dari pandangan mata.”

Raja menerima masukan mereka dan dalam waktu yang singkat membuat sebuah danau besar yang kemegahannya menyaingi Danau Mānasa, di tempat yang tidak terlalu dekat dengan taman yang mengelilingi ibu kota. Danau itu merupakan kolam air yang paling menawan, dipenuhi beragam tanaman air yang terdiri dari berbagai jenis bunga seroja dan teratai: padma, utpala, kumuda, puṇḍarīka, saugandhika, tāmarasa, kahlāra.

(8)
Pohon-pohon berbunga cerah dengan ranting-rantingnya yang bergerak mengelilingi tepinya, seolah-olah mereka berada di sana untuk memandangi danau tersebut.

(9)
Kawanan lebah, seolah-olah tertarik dengan bunga seroja yang bermekaran, yang bergoyang-goyang di atas riak yang bergetar lembut, berkeliaran di atas permukaannya.

(10, 11)
Bunga teratai disinari oleh rembulan, menjadi semakin indah, menyerupai sabit rembulan yang menembus dedaunan.

Serbuk sari terbawa oleh riak air yang seperti jemari, menghiasi tepiannya dengan garis emas.

(12)
Di bagian lainnya yang tertutupi dengan kelopak dan benang sari bunga yang indah, danau itu menunjukkan kemegahannya yang menyebar luas, bagaikan sebuah persembahan penghormatan.

(13)
Adapun keindahan lainnya adalah kejernihan dan ketenangan airnya, yang begitu bening sehingga memperlihatkan kontur dan rona-rona indah dari ikan-ikan di dalamnya, yang sama indahnya baik saat berenang di bawah maupun di atas permukaan air.

(14)
Di dekat tempat itu, di mana para gajah mencelupkan belalainya ke dalam danau, meniupkan pancuran air yang berkilauan bagai untaian mutiara yang terlepas, seolah-olah danau membawa riak air menjadi debu setelah terlempar ke atas batu, menjadi serbuk yang tersebar di udara.

(15)
Aroma harum tercium di berbagai sisi, yang berasal dari wewangian yang digunakan oleh para bidadari, dari wewangian para gajah serta serbuk-serbuk bunga.

(16)
Karena begitu cemerlang, danau itu laksana cermin di malam hari, memantulkan cahaya bintang, para istri dewa Bulan. Di sisi lain, kicuan burung-burung yang tak terhitung jumlahnya bergema di dalamnya.

Maka, demikianlah danau itu telah dibangun, yang dipersembahkan kepada seluruh jenis burung agar dapat digunakan dan dinikmati tanpa halangan. Untuk mendapatkan kepercayaan dari para burung, sang raja mengumumkan bahwa dia akan menjamin keamanan mereka, dan memerintahkan agar pengumuman itu diulangi hari demi hari dengan kalimat seperti ini:

(17)
“Sang raja dengan senang hati mempersembahkan danau ini ― termasuk berbagai bunga seroja dan teratai yang menutupi permukaannya ― kepada para burung, dan menjamin keamanan mereka.”

Suatu ketika, musim gugur telah menarik tirai gelap awan dan membagikan persembahannya yang indah sembari memperluas cakrawala yang jernih dan murni, ketika danau-danau menjadi indah untuk dipandang dengan airnya yang jernih dan keindahan teratainya yang terungkap. Saat itu adalah musim ketika cahaya bulan menjadi semakin terang, seolah mencapai puncak keindahan dan kecerahan tertingginya, dan ketika bumi sedang dihiasi dengan panen dari berbagai tanaman, memberikan kegembiraan. Angsa-angsa muda mulai menunjukkan diri.

Kemudian, sepasang angsa yang berasal dari kelompok Bodhisattva terbang dari Danau Mānasa dan melewati berbagai daerah yang terhampar dengan kelembutan musim gugur, dan tiba di tanah milik sang raja. Di sana mereka melihat danau itu, dengan keindahan luar biasa yang disebabkan oleh bunga-bunganya; karena ketika bunga seroja mengembang, membuatnya bersinar seperti nyala api, dan bunga teratainya, ketika terbuka, mengembang dengan indah. Kemudian mereka mendengar suara kicauan burung yang memanggil dengan suara senandung lebah yang sibuk berkeliaran di atas bunganya. Mereka mencium aroma serbuk seroja dan teratai yang tertiup oleh angin sepoi-sepoi, yang sejuk, dan lembut, yang menghembus di atas karangan bunga. Meskipun sudah biasa dengan danau Mānasa, kedua angsa itu terpikat oleh keindahan dan kemegahan danau tersebut, dan berpikir: “Oh! seluruh suku kita harus datang ke sini!”

(18)
Karena cinta kasih, ketika seseorang mendapatkan kesenangan, yang akan pertama kali diingat adalah sahabat-sahabatnya sendiri.

Sepasang angsa itu tetap di sana, menikmatinya sesuka mereka hingga musim hujan berikutnya. Kemudian, ketika kumpulan awan kumpulan para Daitya datang mendekat dan menyebabkan kegelapan, ketika kilatan petir berkilauan seperti senjata yang diacungkan; ketika kumpulan burung merak menampilkan tarian mereka dan menunjukkan keindahan bulu ekor mereka yang terbuka lebar, sambil bertariak keras terus-menerus, seolah sedang bersorak-sorai untuk kemenangan sang awan, dan juga burung-burung yang lebih kecil menjadi terus-menerus berkicau; ketika angin kencang bertiup, harum dengan aroma serbuk bunga pohon hutan: sāl, kadamba, arjuna, dan ketaka, dan menghasilkan kesejukan yang menyenangkan, seolah-olah itu adalah napas sang hutan; ketika kawanan bangau muda menunjukkan diri mereka di langit, yang kontras dengan awan gelap di belakangnya sehingga menyerupai barisan gigi; ketika suku angsa merasa gelisah dan ingin pergi, hendak menunjukkan kerinduan mereka dengan berteriak lembut dan pelan, dan pada kesempatan itulah sepasang angsa itu kembali ke Danau Mānasa.

Setelah sepasang angsa itu memberi hormat kepada pemimpin mereka, lalu memberitahu kepadanya, pertama-tama tentang daerah yang telah mereka kunjungi, kemudian memberi tahu tentang keindahan yang luar biasa dari danau itu (tempat yang baru saja mereka tinggalkan). “Yang Mulia, di sebelah selatan Gunung Himavat,” kata mereka, “Hiduplah seorang raja manusia di Benares yang bernama Brahmadatta, yang telah mempersembahkan sebuah danau besar dengan keindahan yang luar biasa kepada para burung, memiliki keindahan yang tak terlukiskan. Semua burung dapat menikmatinya sesuka hati dan keinginan mereka, dan keselamatannya dijamin melalui peraturan kerajaan yang diumumkan setiap hari. Burung-burung itu berpindah ke sana tanpa rasa takut seolah-olah mereka sedang berada di tempat mereka sendiri. Setelah hujan reda, Yang Mulia harus pergi ke sana.”

Mendengar hal ini, seluruh anggota suku angsa menjadi sangat ingin melihat danau itu. Sang Bodhisattva, kemudian, menatap dengan rasa ingin tahu kepada Sumukha, panglima tertingginya, dan bertanya bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang ini?” Sumukha, setelah menundukkan kepalanya, menjawab: “Aku menganggap tidak layak bagi Yang Mulia untuk pergi ke sana. Mengapa? Kenikmatan keindahan yang memesona itu, bagaimanapun juga, hanyalah semacam godaan yang memikat, sedangkan kita tidak kekurangan apa-apa di sini. Umumnya, hati manusia itu palsu, welas asih mereka yang lembut itu menipu, dan di balik kedok kata-kata manis dan perhatian yang baik mereka menyembunyikan sifat yang kejam dan jahat. Apakah Yang Mulia berkenan untuk mempertimbangkan hal ini.

(19)
Para unggas dan hewan berkaki empat mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya melalui suara mereka. Tetapi manusia adalah satu-satunya makhluk yang terampil dalam menghasilkan suara yang memiliki makna bertentangan dengan niat mereka.

(20)
Bahasa mereka – tentu saja – manis, bermaksud baik, dan bermanfaat. Para pedagang juga melakukan itu dengan harapan untuk memperoleh keuntungan.

(21)
Oleh karena itu, Baginda, adalah kurang pantas untuk menaruh kepercayaan (kepada mereka) sewaktu-waktu berdasarkan sesuatu yang sepele (seperti kata-kata mereka). Tindak-tanduk yang berbahaya dan salah pasti tidak akan berhasil, bahkan jika diikuti dengan tujuan tertentu sekalipun.

Namun, jika perjalanan ke danau itu sangat diperlukan, tidak cocok bagi kita untuk tinggal di sana dalam waktu yang lama atau memutuskan untuk menetap di sana; kita hanya perlu pergi ke sana dan setelah menikmati keindahannya yang luar biasa, segera pulang kembali. Demikian yang kusarankan.”

Kemudian rasa keingintahuan suku angsa untuk melihat danau Benares itu menjadi semakin besar, tidak henti-hentinya meminta secara berulang kali kepada Bodhisattva untuk berangkat ke tempat itu. Pada suatu malam di musim gugur yang cerah, dihiasi dengan kemilau cahaya bulan dan gugusan bintang, Bodhisattva menuruti keinginan mereka. Dengan ditemani oleh Sumukha dan sekumpulan angsa, mereka berangkat ke arah danau tersebut, menyerupai dewa rebulan dengan kumpulan awan musim gugur (putih) yang menyertainya.

(22)
Begitu mereka melihat kemegahan danau yang menawan itu, rasa takjub yang bercampur dengan kegembiraan memenuhi pikiran mereka. Mereka memasuki danau tersebut, menambah pesonanya melalui keindahan bentuk mereka.

(23)
Karena tempat-tempatnya beragam melampaui Danau Mānasa, mereka merasa senang, dan keterikatan mereka pada tempat baru itu menghapus Mānasa dari hati mereka.

Mereka mendengar pengumuman keselamatan, merasakan kebebasan dari burung-burung yang berada di sana, dan merasa senang karena indahnya tampilan danau tersebut. Kegembiraan mereka memuncak ketika mereka berkeliling di permukaan airnya, menikmati kesenangan bertamasya di taman.

Kemudian para penjaga danau itu melaporkan kedatangan angsa-angsa itu kepada raja dengan mengatakan: “Yang Mulia, dua angsa yang luar biasa, yang berwujud sama dan diunggulkan oleh kualitas yang sama seperti yang selama ini diceritakan, telah tiba di danau Yang Mulia, sedang meningkatkan keindahannya. Sayap mereka indah bersinar seperti emas, paruh dan kaki mereka memiliki kilau melebihi emas, ukurannya melebihi rata-rata, dan mereka memiliki bentuk tubuh yang bagus. Rombongan yang terdiri dari ratusan ribu angsa telah datang bersama mereka.”

Setelah diberi tahu demikian, raja memilih satu di antara pemburunya yang terkenal karena keahliannya dalam seni menangkap burung, dan menyerahkan tugas terhormat kepadanya untuk menangkap mereka. Sang pemburu burung berjanji untuk melakukannya, dan setelah mengamati dengan cermat tempat-tempat yang biasa dikunjungi dan dikelilingi oleh kedua angsa itu, ia menaruh jerat-jerat kuat yang tersembunyi dengan baik di berbagai tempat yang berbeda. Sementara angsa-angsa itu berkeliling jauh dan luas di atas danau, dengan pikiran yang ceria dan gembira tanpa mencurigai adanya bahaya, percaya pada jaminan keselamatan, salah satu kaki dari pemimpin mereka justru terjerat perangkap.

(24)
Sungguh, kepercayaan yang salah itu membawa kerugian. Melalui rencana yang tersusun baik untuk membangkitkan kepercayaan, pertama-tama hal itu melenyapkan kecurigaan terhadap bahaya, kemudian menumbuhkan kecerobohan dan kurangnya kewaspadaan.

Kemudian Bodhisattva, tidak membiarkan kemalangan juga menimpa sukunya, menyerukan tentang bahaya yang berada di dalam wilayah danau. Setelah itu, angsa-angsa yang mengkhawatirkan penangkapan raja mereka terbang ke langit, meneriakkan ketakutan yang membingungkan dan tidak beraturan, tanpa memperhatikan satu sama lain, bagai para prajurit yang pemimpinnya telah terbunuh. Namun Sumukha, panglima tertinggi, tidak mundur dari sisi sang raja angsa.

(25)
Hati yang penuh cinta kasih tidak mempermasalahkan bahwa bahaya yang akan datang. Bagi makhluk sepertinya, kesedihan yang berasal dari penderitaan dari seorang teman jauh lebih buruk daripada kematiannya sendiri.

Bodhisattva berkata kepadanya:

(26)
“Pergilah, Sumukha, pergilah; tidak bijaksana untuk berlama-lama di sini. Kesempatan apa yang bisa kau miliki untuk membantuku yang berada dalam kondisi seperti ini?”

Sumukha menjawab:

(27)
“Ini bukanlah kematian terakhir yang dapat kualami jika aku tetap berada di sini, lagipula meskipun aku pergi, aku juga tidak akan terbebas dari usia tua dan kematian. Aku selalu ada dalam setiap kemakmuranmu, bagaimana mungkin aku dapat meninggalkanmu dalam kemalangan?

(28)
Jika aku meninggalkanmu karena hal yang sepele, yakni demi hidupku sendiri, di mana aku dapat berlindung dari hujanan penyalahan?

(29)
Tidaklah tepat, tuanku, jika aku meninggalkanmu dalam kesusahanmu. Apapun yang terjadi padamu, aku akan dengan senang hati ikut menerimanya, wahai raja para burung.”

Bodhisattva bertanya:

(30)
“Apa lagi nasib dari seorang burung yang tertangkap selain berada di dapur? Bagaimana kemungkinan itu dapat menyenangkanmu yang sedang memiliki pikiran dan tubuh yang bebas?

(31, 32)
Atau manfaat apa yang engkau lihat untukku atau dirimu sendiri atau seluruh keluarga kita dari kematian kita berdua?

Dan manfaat apa yang dapat engkau jelaskan dengan menyerahkan hidupmu pada suatu kejadian; ketika manfaat itu terlihat sangat kecil, bagaikan membedakan tanah yang rata dan tidak rata di dalam kegelapan?”

Sumukha menjawab:

(33, 34)
“Bagaimanakah, yang teragung di antara para burung, apakah engkau tidak merasakan keuntungan dalam mengikuti jalan Dharma? Menghormati Dharma dengan cara yang benar akan menghasilkan manfaat tertinggi.

Untuk alasan inilah aku, mengetahui aturan kebenaran dan manfaat yang timbul darinya, dan juga tergerak oleh kesetiaanku kepadamu, tidak melekat pada kehidupan.”

Bodhisattva berkata:

(35, 36)
“Sungguh, ini adalah kebenaran bagi orang yang berbudi luhur, bahwa seorang sahabat yang setia tidak akan meninggalkan sahabatnya berada dalam kesusahan, bahkan dengan mengorbankan nyawanya sekalipun.

Sekarang, engkau telah mematuhi kebenaran, engkau telah menunjukkan kesetiaanmu kepadaku. Kabulkanlah permintaan terakhirku ini. Terbanglah, aku mengizinkanmu pergi.

(37)
Terlebih lagi, setelah ini adalah tugasmu, wahai yang bijaksana, untuk mengisi kekosongan kelompok kita setelah aku tidak ada.”

(38)
Sementara mereka saling berbicara, saling menunjukkan cinta kasih kepada satu sama lain, Niṣāda pun muncul, menyerbu mereka bagai dewa kematian.

Segera setelah mereka menyadarinya, kedua burung agung itu terdiam. Sekarang, Niṣāda melihat bahwa sekelompok angsa itu telah terbang, merasa yakin, “tentu saja, beberapa dari mereka telah tertangkap;” dan berkeliling ke berbagai tempat, di mana dia memasang perangkapnya, menemukan dua angsa yang paling terkemuka itu. Dia terkejut melihat kecantikan mereka dan mengira mereka berdua telah terjerat, mengguncang perangkap yang dipasang di sekitar mereka. Tetapi ketika dia merasakan bahwa yang satu tertangkap sementara yang lain lepas dan bebas sedang menemaninya, ia terheran-heran, kemudian mendekati Sumukha dan dia berbicara kepadanya:

(39, 40)
“Burung ini, yang terperangkap dalam jerat yang kuat, kehilangan kebebasannya untuk bergerak. Untuk alasan inilah ia tidak bisa terbang ke angkasa meskipun aku mendekat. Tetapi engkau yang tidak terjerat, yang bebas dan kuat dan memiliki sepasang sayap, mengapa engkau tidak buru-buru terbang ke langit saat aku datang?”

Mendengar ini, Sumukha menyapanya dengan bahasa manusia dengan suara dan kata-kata yang jelas, dan dengan merdu menampakkan keteguhan hatinya, untuk menunjukkan sifatnya (yang berbudi luhur).

(41, 42)
“Engkau bertanya kepadaku, mengapa aku tidak pergi meskipun aku bisa pergi? Inilah penyebabnya. Burung ini menderita karena terjerat oleh perangkap. Engkau memiliki kuasa atas dirinya, yang kakinya sedang terjerat dalam perangkap yang kuat ini; sedangkan ia memiliki kuasa atas diriku, dengan jeratnya yang lebih kuat, yakni kebajikannya, yang telah mengikat hatiku.”

Mendengarnya, Niṣāda menjadi kagum dan bulu kuduk di tubuhnya berdiri, sekali lagi bertanya kepada Sumukha.

(43)
“Karena takut kepadaku, angsa-angsa lain meninggalkannya dan terbang ke langit. Tetapi engkau tidak meninggalkannya. Katakanlah, apa makna angsa ini bagimu?”

Sumukha menjawab:

(44)
“Dia adalah rajaku dan sahabatku yang aku cintai seperti hidupku sendiri, dia adalah penyokongku, dan dia sedang berada dalam kesusahan. Karena itulah, aku tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan untuk menyelamatkan hidupku sendiri.”

Dan mengamati munculnya kelembutan perasaan dan kekaguman dalam diri Niṣāda, ia melanjutkan:

(45)
“Oh! Andaikan pembicaraan kita ini mengarah pada akhir yang bahagia, temanku! Bebaskanlah kami sekarang juga jika engkau ingin memperoleh kemuliaan dari tindakan bajik!”

Niṣāda menjawab:

(46)
“Aku tidak ingin menyakitimu, dan bukan engkau yang kutangkap. Pergilah bebas dan bergabunglah dengan teman-temanmu yang akan senang melihatmu!”

Sumukha berbicara:

(47, 48)
“Jika engkau tidak menginginkan kesedihanku, maka engkau harus mengabulkan permintaanku. Jika engkau puas mendapatkan satu, maka tinggalkanlah dia dan bawalah aku.

Tubuh kami memiliki ukuran dan bentuk yang sama, dan usia kami pun sama. Ambilah aku sebagai tebusan baginya, engkau tidak akan kehilangan keuntunganmu.

(49, 50)
Pertimbangkanlah baik-baik, tuan. Apakah engkau tidak ingin memilikiku? Engkau dapat mengikatku terlebih dahulu, dan setelah itu lepaskanlah sang raja burung.

Dengan demikian, engkau akan menikmati keuntungan yang sama jika engkau mengabulkan permintaanku. Engkau juga akan membuat suku angsa merasa senang dan memperoleh pertemanan dari mereka juga.

(51)
Sekarang, senangkanlah para angsa dengan membebaskan raja mereka, agar mereka dapat melihatnya lagi dalam keindahannya yang gemilang di langit yang cerah, menyerupai bulan yang terlepas dari raja para Daitya (Rāhu).”

Niṣāda, meskipun terbiasa dengan perdagangan yang kejam dan memiliki hati yang keras, merasa sangat tersentuh oleh kata-kata yang diucapkan oleh sang angsa dengan nada tegas namun lembut dan maknanya yang mengesankan. Dia setia kepada tuannya tanpa memikirkan nyawanya sendiri dan menunjukkan rasa syukur yang kuat. Dikuasai oleh kekaguman dan rasa hormat, dia merapatkan kedua telapak tangannya, mengarahkannya kepada Sumukha, dan berkata: “Kata yang bagus, kata yang bagus, makhluk mulia.

(52, 53)
Bahkan jika bertemu dengan manusia atau dewa, sifat tidak mementingkan diri seperti ini pun merupakan sebuah keajaiban, seperti yang dipraktikkan olehmu yang mengorbankan hidupmu demi tuanmu.

Maka aku akan menghormatimu dan membebaskan rajamu. Sesungguhnya, siapakah yang mampu melakukan kejahatan terhadap orang yang lebih engkau cintai daripada kehidupan?”

Dengan kata-kata ini, Niṣāda, tanpa mempedulikan amanat dari sang raja, menuruti rasa welas asihnya, memberi hormat kepada raja angsa dan membebaskannya dari perangkap. Dan Sumukha, sang panglima tertinggi, sangat bersukacita atas keselamatan rajanya, menatap Niṣāda dengan senang dan ramah, kemudian berkata:

(54)
“Seperti engkau telah membuatku bersukacita dengan membebaskan raja angsa, engkau adalah sumber kegembiraan bagi teman-temanmu, semoga engkau dengan cara yang sama bersukacita dengan teman-teman dan sanak saudaramu selama ribuan tahun!

(55)
Kemudian, agar kerja kerasmu tidak sia-sia, bawalah aku dan juga raja angsa ini, gendonglah kami di tiang bahumu, bebas dan tidak terikat, tunjukkan kami kepada rajamu di istananya.

(56)
Melihat raja angsa dengan menterinya, sang penguasa ini tidak diragukan lagi akan menunjukkan kegembiraannya kepadamu dengan hadiah kekayaan yang lebih besar dari yang engkau impikan, sebuah sumber kegembiraan besar bagimu.”

Sang Niṣāda menyetujui permintaannya, berpikir bahwa raja harus melihat sepasang angsa yang luar biasa ini, dan menaruh mereka (di dalam keranjang) di tiangnya tanpa melukai mereka dan tidak mengikatnya, menunjukkan angsa-angsa yang luar biasa itu kepada raja.

(57)
“Senang melihatnya,” ucapnya, “Hadiah indah yang kupersembahkan kepadamu, tuanku. Inilah raja angsa yang terkenal itu, bersama dengan panglima tertingginya!”

Saat melihat dua angsa terkemuka itu, dengan kemegahan yang berkilauan dari sosok mereka yang indah, menyerupai dua keping emas murni, raja yang dipenuhi dengan rasa takjub dan kegembiraan berkata kepada Niṣāda:

(58)
“Bagaimana engkau dapat memiliki dua ekor angsa ini di tanganmu, tanpa terluka dan tanpa terikat, meskipun mereka mampu terbang menjauh darimu yang berjalan kaki? Jelaskan kepadaku.”

Ditanya seperti itu, Niṣāda membungkuk kepada raja, menjawab:

(59-62)
“Aku telah memasang banyak perangkap, menyebabkan kesakitan yang begitu kejam di kolam tempat para unggas bersenang-senang. Kemudian angsa terkemuka ini, yang bergerak tanpa curiga karena kepercayaannya, membuat kakinya terjerat dalam perangkap yang tersembunyi.

Yang satunya, meskipun bebas, tetap menemaninya dan memohon kepadaku untuk membawanya untuk menebus kehidupan rajanya, mengucapkannya dengan bahasa manusia yang jelas dan suara yang terdengar manis.

Permintaannya yang sungguh-sungguh memperoleh kekuatannya dari kesiapannya untuk mengorbankan hidupnya sendiri.

(63)
Kata-katanya yang lembut dan perbuatannya yang agung demi tuannya, berpengaruh besar sehingga akupun melunak, dan melepas tuannya bersama dengan amarahku yang kejam.

(64)
Setelah itu, bersukacita atas pembebasan raja burung, dia membalas ucapan terima kasih dan berkah kepadaku, dan memerintahkanku untuk datang kepadamu seperti ini, bahwa jerih payahku ― demikian ucapnya ― tidak menjadi beban karena kurang dihargai.

(65)
Dan karena rasa syukur atas pembebasan rajanya dan demi diriku, maka makhluk yang bajik ini, meskipun berwujud sebagai seekor angsa, dalam sekejap telah membangkitkan kelembutan di dalam hati orang sepertiku, kini ia telah tiba bersama dengan tuannya atas kemauannya sendiri, di istanamu.”

Setelah mendengar kata-kata ini, raja menjadi sangat takjub dan gembira. Dia memberikan takhta emas dengan tumpuan kaki kepada sang raja angsa, sebuah tempat duduk untuk menjadi raja; dengan kaki-kaki cemerlang yang berkilauan dari berbagai permata, dilapisi dengan penutup yang mewah dan indah, dilengkapi dengan bantal lembut di bagian punggungnya.

Kepada Sumukha, sang raja menawarkan kursi bambu yang cocok untuk diduduki oleh seorang menteri utama. Kemudian Bodhisattva, mengingat bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan sambutan serta pujian, berbicara kepada raja dengan suara selembut suara genta.

(66)
“Tubuhmu yang dihiasi dengan kilau dan keindahan, semoga dalam kesehatan yang baik, wahai raja yang layak mendapatkan kesehatan. Kuharap demikian pula, tubuhmu yang lainnya, yang terdiri dari kebajikanmu. Bukankah tubuhmu yang itu sering menghembuskan napas berupa ucapan dan ajaran kebajikan?

(67)
Bukankah engkau telah mendedikasikan dirimu untuk tugas melindungi rakyatmu, memberikan hadiah atau hukuman sesuai waktunya, sehingga selalu meningkatkan kemuliaanmu yang termasyhur dan kasih sayang rakyat-rakyatmu, bersama dengan kesejahteraan mereka?

(68)
Jika bukan melalui bantuan menteri yang penuh dengan cinta kasih dan kejujuran, menolak penipuan dan terampil dalam mengelola berbagai urusan, dengan siapa engkau akan mempertimbangkan kepentingan rakyat-rakyatmu? Semoga pikiranmu tidak abai dengan hal-hal penting ini.

(69)
Apakah engkau menunjukkan welas asih, ketika raja-raja yang berada di bawah kekuasaanmu tunduk dan memohon kepadamu untuk berwelas asih kepada mereka? Tanpa menuruti rasa percaya yang membuta dan kecerobohan.

(70)
Apakah para bajik memuji tindakan-tindakanmu yang mengejar dan mengamankan dharma, artha, dan kāma? Wahai pahlawan para manusia, yang kemahsyurannya tersebar luas di penjuru dunia, apakah musuh-musuhmu hanya menghela napas untuk melukai mereka?

Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, sang raja, dengan kegembiraannya sembari menunjukkan ketenangan indranya, berbicara kepadanya:

(71)
“Sekarang kesejahteraanku terjamin dalam segala hal, wahai angsa, karena aku telah memperoleh kebahagiaan yang telah lama kuharapkan, yakni bertemu dengan makhluk-makhluk suci seperti engkau.

(72, 73)
Semoga orang ini, setelah menjeratmu, tidak melukaimu dengan senjatanya yang menyakitkan.

Karena biasanya, pikiran para orang kejam itu dikotori oleh kesenangan yang meluap-luap untuk melakukan tindakan jahat kepada burung yang bernasib malang.

Bodhisattva menjawab:

(74–77)
“Baginda, aku tidak menderita selama berada dalam kondisi yang paling menyedihkan itu, orang ini juga tidak bersikap seperti musuh kepadaku.

Ketika dia melihat Sumukha yang diam di sana, yang karena cinta kasihnya kepadaku bersikap seolah-solah telah ditangkap meskipun tidak tertangkap, dia menyapa Sumukha dengan kebaikan yang besar, terdorong oleh rasa keingintahuan dan keheranan.

Kemudian, setelah didamaikan oleh kata-kata lembut Sumukha, dia melepaskanku dari jeratan dan membebaskanku, menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepadaku.

Karena alasan inilah Sumukha, mengharapkan kebaikan bagi orang ini, memintanya untuk membawa kami ke sini. Semoga kedatangan kami membawa kebahagiaan juga untuknya!”

Raja berkata:

(78, 79)
“Karena sangat menginginkan kedatangan kalian, aku mengucapkan selamat datang kepada kalian berdua. Melihat kalian membuatku merasa sangat senang, bagaikan sedang melihat sebuah perayaan.

Mengenai Niṣāda itu, aku akan memberikan hadiah besar kepadanya. Setelah menunjukkan kebaikan kepada kalian berdua, dia pantas mendapatkan hadiah yang banyak.”

Kemudian raja menghormati Niṣāda dengan hadiah besar berupa kekayaan yang berjumlah banyak. Setelah itu, sang raja kembali berbicara kepada raja angsa:

(80)
“Engkau telah datang ke sini, ke tempat kediaman ini, yang merupakan milikmu. Kesampingkanlah semua formalitas dan beritahu bagaimana aku bisa melayani keinginanmu, karena kekayaanku siap melayanimu.

(81)
Bagi orang yang kaya raya, seorang sahabat yang mengungkapkan keinginannya dengan ucapan jujur adalah kepuasan yang lebih besar daripada kekayaannya sendiri. Karena alasan inilah, sikap tanpa pamrih di antara para sahabat adalah keuntungan yang besar.”

Kemudian, karena sangat penasaran untuk berbicara dengan Sumukha, raja memandangnya dengan kagum dan menyapanya demikian:

(82)
“Tentunya, karena masih belum merasa nyaman, seorang kenalan baru belum cukup berani untuk berbicara terus terang kepada teman yang baru dikenalnya. Namun, setidaknya mereka akan menggunakan bahasa yang baik, dihiasi dengan kata-kata yang sopan.

(83)
Untuk alasan inilah aku juga memohon kepada Yang Mulia untuk menyenangkanku dengan ucapan-ucapanmu. Sehingga engkau akan menyadari keinginanku untuk berteman denganmu dan meningkatkan kegembiraan di hatiku.”

Mendengar kata-kata ini, Sumukha, panglima tertinggi angsa, membungkuk hormat kepada raja, berbicara:

(84)
“Bercakap-cakap denganmu, yang setara dengan Indra, adalah sebuah kegembiraan yang besar. Oleh karena itu, siapakah yang tidak merasa bersyukur oleh sikap ramahmu?

(85, 86)
Tetapi bukankah ini merupakan tindakan lancang yang tidak pantas bagi seorang pelayan untuk bergabung dalam percakapan di antara kedua raja, yakni raja para manusia dan para burung, ketika mereka sedang bertukar kata-kata persahabatan yang indah?

Seseorang yang berpendidikan baik tidak bertindak seperti itu. Bagaimana mungkin pula aku bertindak demikian? Oleh sebab itu, wahai pangeran agung, aku akan tetap diam. Aku memohon maaf kepadamu, dan semoga aku pantas mendapatkannya.”

Sebagai jawaban atas kata-kata ini, raja mengungkapkan kegembiraan dan kekagumannya dengan memuji Sumukha.

(87)
“Pantaslah dunia senang mendengar ketenaran dari kebajikanmu. Pantaslah sang raja angsa menjadikanmu sahabatnya. Kesopanan dan sikap yang sempurna seperti itu tidak ditunjukkan oleh siapa pun kecuali mereka yang telah menaklukkan diri mereka sendiri.

(88)
Oleh karena itu aku dengan tulus percaya bahwa hubungan persahabatan ini, yang sekarang dimulai di antara kita, tidak akan pernah terputus. Sungguh pertemuan orang-orang yang bajik menghasilkan persahabatan.”

Kemudian Bodhisattva, memahami bahwa raja sangat menginginkan persahabatan di antara mereka dan menunjukkan kasih sayang kepada mereka, menyapanya dengan pujian:

(89)
“Mengikuti dorongan sifat dermawanmu, engkau telah bersikap kepada kami sebagaimana seseorang harus bersikap kepada sahabatnya sendiri, meskipun kita baru saja berkenalan saat ini.

(90)
Maka, hati siapa yang tidak tersentuh, wahai pangeran termasyhur, oleh perlakuan terhormat seperti yang telah engkau tunjukkan kepada kami?

(91)
Keuntungan apa pun yang engkau harapkan dari hubungan denganku, tuan, atau betapapun penting hal itu bagimu, merupakan bukti bahwa engkau telah menunjukkan sifat ramahmu dengan bertindak ramah, wahai pecinta kebajikan!

(92)
Tapi ini tidaklah mengherankan di dalam diri seorang pangeran penakluk sepertimu, yang memikul tugas kerajaan demi kepentingan rakyatmu, berniat untuk melakukan pertapaan dan perenungan mendalam, seperti seorang Muni. Engkau, sesungguhnya, harus mengikuti sifatmu yang luar biasa untuk menjadi gudang kebajikan.

(93)
Kebajikan adalah sumber kepuasan, seperti pujian yang sudah kuberikan kepadamu. Mereka memberikan kebahagiaan, sedangkan di dalam benteng kejahatan tidak ada kebahagiaan. Maka, makhluk hidup manakah, yang setelah mengetahui ini sebagai hukum kekal tentang kebajikan dan kejahatan, akan menempuh jalan yang salah dan menyimpang dari kebaikannya?

(94)
Bukanlah dengan kekuatan militer, atau pun dengan kekuatan kekayaannya, atau pun dengan kebijakannya yang berhasil, seorang pangeran mencapai derajat yang tinggi itu, yang sebenarnya dapat ia peroleh bahkan dengan tanpa usaha dan biaya, jika dia mengikuti jalan yang benar yang terdiri dari pengembangan kebajikan.

(95)
Kebajikan disertai oleh kebahagiaan seperti yang dialami raja para dewa; sedangkan yang bajik itu sendiri memperoleh kerendahan hati. Kebajikan itu sendiri merupakan sumber kemuliaan; pada merekalah keagungan dari sebuah kekuasaan terletak.

(96)
Kebajikan itu sendiri, memiliki keindahan yang lebih besar dari cahaya rembulan, mampu menenangkan musuh, menenangkan pikiran mereka yang dikuasai oleh kemarahan, kecemburuan, dan kesombongan, mencabut keegoisan dari akar kebencian yang berkepanjangan.

(97)
Untuk alasan inilah, wahai penguasa, yang kekuasaannya dipatuhi oleh bumi dengan raja-rajanya yang bangga yang tunduk pada kemilaumu, menumbuhkan rasa cinta terhadap kebajikan dalam rakyat-rakyatmu, memberikan mereka teladan melalui kerendahan hatimu beserta kebajikan-kebajikanmu.

(98)
Kebaikan rakyat-rakyatnya merupakan perhatian utama seorang raja, yang merupakan jalan yang mengarah pada kebahagiaan baik di kehidupan ini maupun selanjutnya. Tujuan ini akan tercapai, jika sang raja mencintai kebenaran, karena orang-orang akan senang mengikuti perilaku penguasa mereka.

(99)
Semoga engkau memerintah negerimu dengan kebenaran, dan semoga raja para dewa menjagamu! Meskipun kehadiranmu memurnikan mereka yang bersandar padamu, aku harus meninggalkanmu sekarang. Kesedihan para angsa pengikutku menarik kami untuk kembali kepada mereka.”

Raja dan semua yang hadir menyetujui kata-kata yang diucapkan oleh Bodhisattva. Kemudian dia melepas kedua angsa yang luar biasa itu dengan cara yang paling terhormat dan terbaik.

Bodhisattva terbang ke angkasa, yang dihiasi oleh keindahan musim gugur yang tenang, berwarna biru tua bagai bilah pedang yang tak bernoda, dan diikuti oleh Sumukha, panglima tertingginya, seperti bayangannya yang terpantul, bergabung dengan suku angsa. Dan mereka, saat melihatnya, dipenuhi dengan kegembiraan yang luar biasa.

(100)
Dan setelah beberapa waktu, angsa itu, atas dasar welas kasih kepada negara tetangganya, datang kembali kepada raja bersama angsa-angsanya, memberikan khotbah Dharma kepadanya. Raja dengan hormat menundukkan kepala sebagai balasannya.

Meskipun berada dalam kesulitan sekalipun, orang bajik berperilaku baik yang tidak dapat dilakukan oleh orang tidak bajik. Betapa mereka akan mampu mengikuti tindak tanduk para bajik, ketika mereka disukai oleh nasib baik.

[Kisah ini juga harus dikemukakan ketika memuji kata-kata yang bajik: “Dengan cara ini kata-kata bajik membawa kebaikan bagi keduanya.”

Demikian pula ketika memperlakukan sahabat yang bajik: “Dengan cara ini mereka yang memiliki teman yang bajik akan memberi keberhasilan bahkan dalam keadaan berbahaya.”

Juga sebagai contoh nyata bahwa sesepuh Ānanda telah menjadi pendamping (sang Bhagavā) sejak dalam kelahiran sebelumnya: “Maka sesepuh ini berbagi kesulitan Bodhisattva, menghargai cinta kasih dan penghormatan (kepada Bhagavā) untuk waktu yang sangat lama.”]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *