Jātakamālā 4 – Śreṣṭhijātakam
(Kisah Sang Pemimpin Perkumpulan)

Jātakamālā 4 – Śreṣṭhijātakam
(Kisah Sang Pemimpin Perkumpulan)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Meski berada di depan bahaya sekalipun, orang bajik akan tetap memberi. Maka siapakah yang tidak memberi ketika berada dalam kondisi aman? Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu waktu, ketika Guru Agung kita masih seorang Bodhisattva, dia adalah kepala sebuah perkumpulan. Sebagai akibat dari jasa kebajikan lampaunya yang berlimpah dan karena perilakunya yang agung, dia memeroleh tanah kekuasaan yang luas. Keadilan dan kejujurannya dalam berdagang membuatnya sangat dihargai di antara orang-orang lainnya. Dia terlahir dari keluarga yang termasyhur; telah mengenal dirinya sendiri melalui berbagai cabang ilmu dan seni, dan dengan itu ia memurnikan pikirannya. Kualitas dan kebajikan luhurnya ini menyebabkan dia dihormati oleh raja, karena dia selalu menjaga śīla dan dāna, dia berbagi kemewahannya dengan orang-orang.

(1)
Para fakir miskin mencintainya, memuji namanya dengan jauh dan luas, sehingga memenuhi semua bagian cakrawala dengan reputasi tinggi dari kecapakannya sebagai seorang dermawan.

(2)
Bersamanya, tidak ada seorang pun orang miskin yang terayun mengambang dalam keraguan apakah dia akan memberi atau tidak. Percaya pada dermawan luar biasa yang terkenal ini, para fakir miskin cukup berani untuk mengajukan keinginan mereka dengan bebas.

(3)
Dan dia tidak menyembunyikan kekayaannya dari mereka, tidak untuk kesenangannya sendiri, atau berusaha untuk meniru orang lain, ataupun dikuasai oleh keserakahan. Tidak mungkin baginya untuk melihat penderitaan para fakir miskin, dan untuk alasan inilah dia menghindar untuk berkata tidak kepada mereka.

Suatu hari, pada waktu makan, ketika Bodhisattva baru selesai mandi dan mengurapi dirinya sendiri, dan menyantap makan malam lengkap yang terdiri dari berbagai hidangan makanan keras dan lunak dan sebagainya ― makanan yang dipersiapkan oleh juru masak yang terampil dan unggul, dan dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyenangkan hati dengan warna, aroma, rasa, tekstur, dan sebagainya ― seorang pertapa mendekati rumahnya. Dia adalah seorang Pratyekabuddha, yang dengan api pengetahuannya telah membakar habis semua bahan bakar nafsu keinginan jahat, dan sekarang ingin meningkatkan jasa kebajikan sang Bodhisattva. Dia berdiri di depan pintu gerbang.

(4)
Dia berdiri di sana tanpa rasa khawatir, tanpa kegelisahan, memandang dengan tegas dan tenang ke jarak yang tidak lebih jauh dari panjang sebuah kuk, dalam sikap yang tenang, memegangi jari-jari putih bagai teratai yang menggenggam mangkuk pindapatta.

Kemudian Māra, sang penggoda, merasa tidak nyaman karena mengetahui Bodhisattva akan menikmati kebahagiaan berderma. Untuk menghalangi jalannya, di antara jalan Sang Bodhisattva menuju pintu masuk, dia menggunakan sihirnya untuk menciptakan pintu masuk menuju neraka yang amat dalam dengan lebar beberapa depa. Dari pintu itu terlihat pemandangan yang menakutkan, disertai dengan suara-suara yang mengerikan. Api yang sangat membara terbakar di dalamnya, di mana terdapat ratusan orang yang sedang sangat menderita.

Sementara itu, Bodhisattva, melihat Pratyekabuddha datang untuk mencari dana makanan, berkata kepada istrinya: “Sayangku, pergilah dan berikan makanan yang banyak kepada orang suci itu.” Istrinya menjawab bahwa dia akan melakukannya, dan pergi dengan makanan keras dan lunak yang luar biasa; tetapi melihat neraka di dekat pintu gerbang, dia tiba-tiba berbalik, dilanda oleh kengerian dengan tatapan bingung.

Ketika suaminya menanyakan apa yang terjadi, dia tidak mampu menjawabnya; ketakutan yang tiba-tiba itu hampir membuat tenggorokannya tersumbat. Akan tetapi, karena Bodhisattva merasa tidak nyaman dengan pikiran bahwa orang suci ini mungkin akan meninggalkan rumahnya tanpa menerima makanan yang dimintanya, dia tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Dia mengambil makanan keras dan lembut yang unggul itu sendiri, berniat mengisikannya ke dalam mangkuk pindapatta.

Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang, ia melihat neraka yang paling mengerikan di antara keduanya. Dan sementara dia memikirkan apa artinya ini, Māra sang penggoda keluar dari tembok rumah, muncul dalam wujud dewa dan menakjubkan, berdiri di udara, dan seolah-olah ingin berbuat baik kepada Bodhisattva, berbicara: “Perumah tangga, ini adalah neraka besar bernama Mahāraurava.

(5)
Di sinilah tempat tinggal ― tempat tinggal yang sulit untuk dihindari ― dari mereka yang rakus akan suara pujian para fakir miskin, berkeinginan memberikan kekayaan, memanjakan diri dalam hasrat tercela untuk berdana. Di neraka ini mereka harus tinggal selama ribuan musim gugur.

(6)
Kemakmuran materi (artha) adalah penyebab utama perjuangan dunia yang teratur setelah tiga serangkai objek. Barangsiapa melukai artha, melukai kebenaran (dharma) juga. Lalu, bagaimana mungkin orang yang merusak kebenaran dengan menghancurkan kemakmuran materi, tidak tinggal di dalam neraka?

(7)
Engkau telah keliru, terikat pada amal dan menghancurkan kekayaanmu, yang merupakan akar dari dharma. Karena alasan inilah neraka berlidah api ini, yang terlihat seperti wajah Narakāntaka, telah datang menemuimu untuk melahapmu.

(8)
Dengan demikian, berhentilah memberi! Jangan sampai engkau segera jatuh dan bernasib sama dengan para pemberi sedekah yang menyusut bersama rasa sakit dan menangis dengan memilukan.

(9)
Sebaliknya para penerima, yang telah berhenti dari kebiasaan buruk memberi, mendapatkan tingkatan para dewa. Oleh karena itu, berhentilah dari upayamu untuk berdana, yang menghalangi jalan ke Surga, dan engkau lebih baik menahan diri.”

Tetapi sang Bodhisattva mengetahuinya: “Sesungguhnya, ini adalah upaya dari yang jahat untuk menggagalkan pemberian dana.” Dengan memahami demikian, dia membuat jawaban yang kuat dalam kenyataan, namun masih sesuai dengan kelekatannya yang teguh pada moralitas, tanpa merusak kesopanan dan kata-kata yang baik. Dia berbicara demikian kepadanya:

(10-12)
“Berkenaan dengan kesejahteraanku, bahwa engkau memiliki kebaikan untuk menunjukkan kepadaku jalan yang bajik. Memang, paling tepat bagi para dewa untuk menunjukkan keterampilan mereka dalam merasakan belas kasihan kepada orang lain melalui tindakan mereka.

Meski demikian, akan lebih bijaksana jika menggunakan cara itu untuk menghentikan penyakit sebelum kemunculannya, atau segera setelah gejala pertamanya. Karena jika suatu penyakit telah berkembang karena kesalahan pengobatan yang buruk, keinginan untuk sembuh akan muncul tetapi cenderung menuju malapetaka.

Jadi hasratku untuk berdana telah menyebar, aku khawatir sedang berada di luar jangkauan pengobatan, karena pikiranku tidak akan pernah mundur dari beramal, terlepas dari nasihatmu yang sangat baik.

(13, 14)
Adapun apa yang engkau katakan tentang ketidakbenaran yang timbul dari berdana dan kekayaan menjadi penyebab utama kebenaran, pemahaman manusiawiku yang lemah tidak dapat memahami bagaimana kekayaan tanpa berdana dapat disebut sebagai jalan kebajikan.

Tolong katakana kepadaku, pada saat apa kekayaan dapat menghasilkan kebajikan? Apakah saat disimpan sebagai harta karun, atau saat dirampok dengan kejam oleh pencuri, atau saat ditenggelamkan ke dasar laut, atau saat telah menjadi bahan bakar untuk api?

(15, 16)
Selanjutnya, engkau berkata, ‘sang pemberi akan pergi ke neraka dan sang penerima pergi ke alam surgawi.’ Berbicara demikian, bagaimanapun juga, engkau telah meningkatkan kerinduanku untuk melakukan dana, meskipun berusaha untuk menahanku.

Ya, semoga ucapan-ucapanmu itu terpenuhi, mereka yang memohon dariku akan naik ke surga! Karena itu bukan sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaanku sendiri yang aku berikan dalam berdana, tetapi aku menyukai berdana agar aku dapat berbuat baik kepada dunia.”

Kemudian Māra, sang penggoda, sekali lagi berbicara kepada Bodhisattva, berbicara dengan sungguh-sungguh seolah-olah dia adalah teman yang bermaksud baik.

(17)
“Putuskanlah sendiri, apakah aku telah berbicara untuk kebaikanmu atau beromong kosong, dan kemudian pergilah sesuai keinginanmu. Engkau harus mengingatku dengan hormat ― entah senang atau menyesal.”

Bodhisattva berkata: “Tuan, maafkan aku.

(18)
Atas kemauanku sendiri, aku lebih memilih untuk jatuh ke dalam neraka yang berkobar ganas ini dengan cepat, sebagai mangsa api yang akan menjilatiku; daripada merasa bersalah karena mengabaikan para pengemis yang menunjukkan rasa percaya mereka dengan meminta dariku.”

Setelah berbicara demikian, Bodhisattva – bersandar pada kekuatan takdirnya dan mengetahui bahwa berdana tidak dapat menyebabkan kejahatan – melangkah maju melintasi neraka tanpa mengindahkan keluarga dan pelayannya, yang sangat ingin menahannya; pikirannya tidak dikuasai oleh ketakutan, dan keinginannya untuk memberi terus meningkat.

(19)
Kemudian, karena kekuatan jasa kebajikannya, di tengah-tengah neraka muncul sebuah bunga teratai yang tidak berakar di lumpur seperti teratai lainnya. Dengan deretan gigi benang sarinya, bunga itu seolah-olah tampak tertawa menghina Māra.

Dan dengan bantuan bunga teratai, yang dihasilkan dari jumlah jasa kebajikan yang besar, Bodhisattva yang telah menjangkau Pratyekabuddha mengisi mangkuknya dengan makanan, sementara hatinya berkembang dengan kegembiraan dan keceriaan.

(20)
Pertapa itu, untuk menunjukkan kepuasannya, melayang ke udara. Di sana dia menunjukkan kemegahannya, hujan dan nyala api dengan keagungan yang luar biasa seperti awan yang darinya muncul kilatan petir.

(21)
Sebaliknya, Māra, melihat rencananya berbalik, kehilangan semangat dan kehilangan kemegahannya. Dia tidak berani lagi menatap wajah Bodhisattva, dan segera menghilang bersama dengan neraka.

Mengapa ini diajarkan? (Untuk tujuan ini): dengan cara ini orang-orang berbakti ingin melakukan dana meskipun dalam bahaya di depan mata; Jadi, siapa yang tidak boleh berdana saat dalam kondisi aman?

[Selanjutnya ini juga akan dikemukakan; yang bajik tidak dapat dibujuk bahkan oleh rasa takut untuk mengambil jalan yang salah.] “

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *