Jātakamālā 6 – Śaśajātakam
(Kisah tentang Kelinci)

Jātakamālā 6 – Śaśajātakam
(Kisah tentang Kelinci)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Praktik dana berdasarkan kekuatan mereka bagi Sang Mahātmā, bahkan ketika dalam wujud binatang sekalipun, adalah fakta yang ditunjukkan; lalu siapakah, sebagai seorang manusia, yang hendaknya tidak berdana? Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Di beberapa wilayah hutan yang berpenghuni ada tempat yang sering dikunjungi oleh para pertapa. Hutan itu dipenuhi semak belukar yang terbuat dari tanaman merambat, rerumputan, dan pepohonan yang indah; berlimpah bunga dan buah-buahan; dihiasi di perbatasannya dengan sungai, yang alirannya biru dan murni seperti lapis lazuli; tanahnya, tertutup karpet dari rumput yang lembut, halus saat disentuh dan indah dipandang. Di sana Bodhisattva hidup sebagai seekor kelinci.

(1)
Sebagai akibat dari kebaikannya, sosoknya yang luar biasa, kekuatannya yang unggul, dan semangatnya yang besar, tidak ditakuti oleh binatang-binatang kecil ataupun menakuti yang lain, ia berperilaku seperti raja hewan di bagian hutan itu.

(2)
Memenuhi keinginannya dengan sebilah rumput, dia memiliki penampilan yang tampan sebagai seorang Muni. Untuk kulit pertapa yang dia kenakan sendiri, pakaian kulit kayunya adalah bulu-bulu di tubuhnya.

(3)
Karena semua yang dia lakukan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan dimurnikan oleh keramahannya, sebagian besar hewan yang terbiasa dengan kejahatan kini bersikap bagai murid dan teman-temannya.

Secara khusus, dia telah mendapatkan hati seekor berang-berang, serigala, dan kera. Mereka menjadi sahabatnya, tertarik oleh cinta dan rasa hormat, di mana kebajikan utamanya menghilhami dalam diri mereka. Bagai hubungan yang kasih sayangnya dilandasi dengan hubungan timbal balik, dan bagai sahabat yang pertemanannya tumbuh karena penyesuaian pada keinginan satu sama lain, mereka melewatkan waktu dengan bergembira bersama. Bertentangan dengan sifat orang-orang yang kejam, mereka menunjukkan welas asih kepada para makhluk hidup; dan ketamakan mereka telah padam, sehingga mereka lupa untuk melakukan pencurian. Dengan perilaku ini dan dengan memperhatikan kemasyhuran yang selaras dengan moralitas (śīla) dan kebenaran (Dharma), dengan pemahaman mereka yang tajam, dan dengan ketaatan terhadap kewajiban-kewajiban agama dengan cara yang disetujui oleh orang-orang bijak, mereka membangunkan kekaguman pada para dewa.

(4, 5)
Jika di luar dua jalur perilaku – yang sesuai dengan kesenangan dan menghambat moralitas, dan yang sesuai dengan moralitas dan menghalangi kesenangan – seseorang menerapkan dirinya pada sisi yang bermoral, maka dia sudah terkemuka; terlebih lagi pada makhluk yang berwujud binatang!

Tetapi di antara mereka, dia yang memiliki sosok kelinci dan merupakan guru mereka, sangat berkeyakinan; dia sangat menghargai praktik welas asih untuk makhluk lain, dan karakter aslinya yang sangat baik disertai dengan seperangkat kebajikan, sehingga kemasyhuran mereka mencapai alam para dewa.

Pada suatu malam, Sang Mahātman sedang bersama teman-temannya, yang datang kepadanya untuk mendengarkan dia berkhotbah tentang Dharma dan dengan hormat duduk di kakinya. Rembulan, yang berada pada jarak sangat jauh dari matahari, menunjukkan bulatannya yang hampir penuh dan terang menyerupai cermin perak tanpa pegangan. Ketika Bodhisattva melihat bulan menunjukkan piringannya yang tidak bulat penuh di satu sisi, dan menganggap bahwa itu adalah bulan keempat belas dari setengah terang yang telah terbit, dia berkata kepada rekan-rekannya:

(6)
“Lihatlah! Rembulan dengan keindahan bola yang hampir sempurna mengumumkan dengan wajah berseri karena ini adalah hari suci poṣadha bagi orang-orang bajik.

Pastinya, keesokan hari adalah tanggal lima belas. Kalian harus melakukan sesuai dengan tugas keagamaan yang ditentukan untuk hari poṣadha, dan tidak memuaskan keinginan untuk menopang tubuh kalian sebelum menghormati tamu yang datang dengan makanan yang sangat baik yang diperoleh dengan cara yang benar. Kalian harus mempertimbangkan sebagai berikut:

(7. 8)
Pada akhirnya, seluruh perpaduan akan meluruh; dan akhir dari keadaan yang tinggi adalah kejatuhan yang kelam: hidup ini rapuh dan berubah-ubah bagai kilatan petir. Untuk alasan inilah, kalian harus berwaspada terhadap kecerobohan (dalam memenuhi tugas-tugasmu), dan juga berusaha untuk meningkatkan jasa kebajikan dengan berdana, dengan perilaku baik (śīla) sebagai hiasannya.

Tindakan jasa kebajikan adalah sokongan terkuat bagi para makhluk yang bergerak dalam rangkaian kelahiran yang menyulitkan.

(9, 10)
Bahwa bulan dengan kecemerlangannya yang indah mengalahkan kemilau bintang-bintang, bahwa kemegahan matahari mengalahkan teladan-teladan (lainnya), adalah karena keagungan kualitas yang dihasilkan oleh jasa kebajikan.

Juga oleh kekuatan jasa kebajikan mereka, raja-raja yang perkasa menyebabkan para pejabat tinggi dan pangeran untuk memikul pikulan komando mereka dengan rela dan dengan keangkuhan yang mereda, bagai kuda-kuda yang hebat,

(11)
Tetapi jika mereka tidak memiliki jasa kebajikan, kemalangan akan mengejar mereka, selama mereka terus bergerak di jalan politik (nīti). Karena ketidakbahagiaan itu melayang-layang, ditampikkan oleh kelebihan jasa kebajikan, mengelilingi mereka yang tidak memiliki jasa kebajikan seolah digerakkan oleh amarah.

(12)
Tinggalkanlah jalan tercela itu, karena penderitaan mendasarinya dan berhubungan dengan aib. Tetapi jasa kebajikan menjadi sumber dan instrumen kebahagiaan yang termasyhur, kalian harus menjaga pikiran kalian tetap fokus pada semua kesempatan untuk mengumpulkannya.”

Yang lain, setelah mendengarkan ajarannya, menyetujuinya, dan memberi penghormatan kepadanya dengan mengelilingi dia dari kiri ke kanan, lalu mereka pulang masing-masing ke kediamannya. Ketika rekan-rekannya tidak jauh, Sang Mahātman memasuki perenungan ini:

(13-15)
“Mereka bisa memberi hormat dengan beberapa makanan kepada tamu lain yang mungkin kebetulan datang, tetapi aku berada dalam kondisi yang menyedihkan di sini. Sama sekali tidak mungkin untuk memberikan tamu dengan bilah rumput yang sangat pahit yang kupotong dengan gigiku.

Oh! betapa tak berdayanya diriku! Ketidakberdayaanku merundungiku. Maka, apa gunanya hidup bagiku, karena seorang tamu yang seharusnya menjadi kegembiraan bagiku, dengan cara ini harus menjadi kesedihan!

Dalam kesempatan apa, tubuh yang tidak berharga ini, yang bahkan tidak dapat melayani seorang tamu, menyerah untuk memberikan keuntungan bagi siapa pun?” Ketika perenungannya sampai pada titik itu, Sang Mahātman memulihkan ketajaman pikirannya. “Baiklah!

(16)
Kepemilikan yang sesuai dengan tujuan untuk menghormati setiap tamu mudah didapat; karena itu ada di dalam kekuatanku, tidak bisa dibanta, bukan milik siapa pun kecuali aku; itu adalah milik tubuh saya.

Lalu, mengapa aku harus berada dalam masalah?

(17)
Ya, aku telah menemukan makanan yang layak untuk tamuku; Sekarang, hatiku, meninggalkan duka dan kesedihanmu! Dengan tubuhku yang kusam ini, aku akan mempraktikkan keramahan dan memuaskan keinginan tamuku.”

Setelah memutuskan demikian, Bodhisattva merasakan kegembiraan yang luar biasa seolah-olah dia telah memperoleh keuntungan yang sangat besar, dan tetap di sana (di kediamannya, menunggu beberapa tamu).

(18)
Kini, ketika perenungan luhur itu muncul dengan sendirinya ke dalam pikiran sang Bodhisattva, para dewa memanifestasikan kebaikan dan kekuatan mereka.

(19-21)
Bumi berguncang bersama dengan pegunungannya, seolah karena gembiral; begitu pula dengan pakaiannya, samudra, bergejolak; genderang surgawi bergema di angkasa; wilayah cakrawala dihiasi dengan kemilau yang tenang; di sekeliling awan-gemawan dalam wujud yang menyenangkan, yang diikat dengan kilat dan mengeluarkan gemeretak petir lembut yang berkepanjangan, menaburkan pancuran bunga yang jatuh berdekatan padanya, sehingga menyebarkan serbuk sari melalui udara oleh pertemuan mereka.

Dewa angin juga menunjukkan penghormatannya; dia meniup dengan terus-menerus, memberikan harum serbuk bunga dari berbagai pohon kepadanya, seolah-olah karena kegembiraan dia mempersembahkannya dengan selubung tipis, menadah berbagai persembahan itu dengan pola yang terus berubah.

Saat para dewa bergembira dan takjub, memuji ketetapan hati Bodhisattva yang mengagumkan di seluruh penjuru, Śakra raja para dewa menyadarinya; dan keingintahuan serta rasa takjub memenuhi pikirannya, dia berkeinginan untuk mengetahui kebenaran tentang sifatnya. Keesokan harinya saat air pasang, saat matahari terbit di tengah-tengah langit, menyorotkan sinarnya yang paling tajam; ketika cakrawala, yang diselimuti jaring cahaya yang bergetar dan terselubung dengan semburan panas pancaran telah menyilaukan untuk dipandang; saat bayangan berkontraksi; saat bagian dalam hutan bergema dengan pekikan keras jangkrik; ketika burung-burung berhenti menunjukkan diri mereka sendiri dan tenaga orang yang bepergian telah habis oleh kepanasan dan kelelahan: pada waktu itu, kemudian, Śakra, pemimpin (adhipati) dari para dewa telah mengambil wujud seorang Brāhmana, menangis tidak jauh dari tempat keempat hewan itu hidup. Dia menangis dan meratap dengan keras, seperti orang yang tersesat, dan seperti orang yang kelelahan karena lapar dan haus, kelelahan dan kesedihan.

(22)
“Sendirian dan tersesat, setelah kehilangan gerobakku, aku menjelajahi hutan yang dalam, kelelahan oleh lapar dan letih. Tolonglah aku, wahai yang bajik!

(23)
Tidak mengetahui jalan yang benar atau yang salah, kehilangan arah pedomanku, mengembara secara acak, sendirian di hutan belantara ini. Aku menderita kepanasan, kehausan, dan kelelahan. Siapakah yang akan menggembirakanku dengan kata-kata bersahabat yang ramah?”

Para Bodhisattva, tersentuh di dalam hati dan khawatir oleh suara jeritan memilukan yang meminta pertolongan, dengan cepat pergi ke tempat itu, dan melihatnya menunjukkan penampilan yang menyedihkan dari seorang pengelana yang tersesat, mendekatinya dan dengan sikap hormat mengucapkan kata-kata penghiburan ini kepadanya:

(24, 25)
“Jangan terusik lagi, mengira engkau tersesat di hutan belantara; bersama kami, anggaplah seolah-olah engkau sedang bersama dengan pengikut-pengikutmu sendiri. Oleh karena itu, berilah kami kemurahan hati untuk menerima pelayanan kami hari ini, wahai tuan yang berbudi; esok hari engkau dapat pergi menurut keinginanmu.”

Kemudian berang-berang, memahami dari kesunyiannya bahwa dia menerima undangan itu, pergi dengan tergesa-gesa; kegembiraan dan kegelisahan mempercepat langkahnya. Dia kembali dengan tujuh ikan rohita, yang dia tawarkan padanya, mengatakan:

(26)
“Ketujuh ikan ini aku temukan di tanah kering, di mana mereka terbaring tak bergerak seolah-olah tertidur karena kelelahan; entah mereka telah ditinggalkan di sana oleh para nelayan yang melupakan mereka, atau mereka telah melompat ke pantai karena ketakutan. Makanlah mereka, dan tetaplah berada di sini.”

Kemudian serigala juga membawakan kepadanya makanan yang kebetulan dia miliki pada waktu itu, dan setelah membungkuk hormat, dengan hormat dia berbicara sebagai berikut:

(27)
“Ini, wahai pengembara, adalah seekor kadal dan satu bejana susu asam, ditinggalkan oleh seseorang; berikan aku manfaat karena engkau telah menikmatinya, dan tinggallah di hutan ini malam ini, wahai engkau yang merupakan tempat tinggal kebajikan!”

Mengucapkan itu, dia menyerahkan bawaan-bawaan itu kepadanya dengan kegembiraan pikiran yang sangat kuat.

Kemudian kera itu mendekat. Dia membawakan buah mangga, yang matang dan unggul oleh kelembutannya, warna jingganya yang kuat, seolah-olah diwarnai dengan orpimen merah, ujung tangkainya yang sangat merah, dan kebulatannya; dan menunjukkan penghormatan dengan bersikap añjali, dia berbicara:

(28)
“Mangga yang matang dan airnya enak, menyegarkan seperti kesenangan masyarakat yang baik, hal-hal ini, wahai yang terbaik dari mereka yang mengenal brahma, adalah yang kupunya untukmu. Nikmatilah dan bermalamlah di sini.”

Kemudian kelinci mendekat, dan segera setelah dia melakukan penghormatan, dia memintanya menerima persembahan dari tubuhnya sendiri. Karena itu dia berbicara, memandangnya dengan penuh hormat:

(29)
“Seekor kelinci, yang dibesarkan di hutan, tidak memiliki kacang, biji wijen, ataupun beras untuk dipersembahkan, hanya mempersiapkan tubuhku ini dengan api, dan setelah menyantapnya, bermalamlah di pertapaan ini.

(30)
Pada hari baik datanglah seorang pengemis, setiap hewan memberinya apa pun dari barang-barangnya yang dapat menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi kekayaanku terbatas hanya pada tubuhku; ambillah, kalau begitu. Inilah seluruh kepemilikanku.”

Śakra menjawab:

(31)
“Bagaimana mungkin orang sepertiku membunuh makhluk hidup lain? Dan apalagi makhluk sepertimu, yang telah menunjukkan rasa persahabatan kepadaku?”

Kelinci itu berkata: “Sesungguhnya, ini menjadi baik bagi seorang Brāhmana untuk berwelas asih. Kalau begitu, setidaknya engkau harus memberiku kebaikan untuk beristirahat di sini, di tempat ini; sementara itu aku berpikir aku akan menemukan dalam beberapa cara atau cara lain untuk menunjukkan kebaikanku kepadamu.”

Sekarang Śakra, raja para dewa, memahami niatnya, dengan sihirnya menciptakan tumpukan arang yang terbakar tanpa asap; tumpukan ini memiliki warna emas murni, api yang sangat tipis menyembur keluar darinya, dan banyak percikan api tersebar di sekitarnya. Kelinci, yang melihat sekeliling dari semua sisi, menyadari api itu. Saat melihatnya, dia berucap dengan gembira kepada Śakra: “Aku telah menemukan cara untuk menunjukkan kepadamu kebaikanku. Maka, engkau harus memenuhi harapan di mana aku memberi engkau anugerah ini, dan menyantap tubuhku. Lihat, Brāhmana yang agung,

(32)
Merupakan kewajibanku untuk memberi dalam berdana, dan hatiku cenderung untuk melakukannya, dan pada orang seperti engkau aku telah bertemu dengan seorang tamu yang layak; kesempatan untuk memberi seperti itu tidak dapat diperoleh dengan mudah. Maka buatlah pemberianku tidak sia-sia, karena itu tergantung pada engkau.”

Demikianlah Sang Bodhisattva membujuknya, dan setelah menunjukkan penghormatan dan penghargaan kepadanya, respeknya, dan pikirannya yang ramah –

(33)
Kemudian, dengan kegembiraan penuh, seperti seseorang yang menginginkan kekayaan karena tiba-tiba melihat sebuah harta karun, ia melemparkan dirinya ke dalam api yang berkobar itu, bagai angsa agung yang terjun ke dalam kolam dengan teratai yang merekah.

Ketika pemimpin dewa melihat perbuatan ini, dia terharu dengan kekaguman yang tertinggi. Mengembalikan wujud aslinya sendiri, dia memuji Bodhisattva dengan kata-kata yang menyenangkan untuk pikiran dan telinga dan didahului dengan taburan bunga surgawi. Kemudian dengan tangannya yang halus penuh kilau, seperti kelopak bunga teratai putih, dan dihiasi dengan jari-jari mereka yang berkilauan seperti ornamen permata, dia mengangkatnya sendiri dan menunjukkannya kepada para dewa. Lihatlah, para dewa, penghuni kediaman surgawi, lihatlah dan bersukacitalah atas perbuatan yang menakjubkan ini, pengorbanan dari Bodhisattva ini.

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *