Jātakamālā 7 – Agastyajātakam
(Kisah tentang Agastya)

Jātakamālā 7 – Agastyajātakam
(Kisah tentang Agastya)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Praktik kemurahan hati yang heroik merupakan hiasan bagi para pertapa, terlebih lagi bagi perumah tangga; seperti yang diajarkan berikut ini.

Pada suatu saat, ketika Sang Bhagavā masih seorang Bodhisattva, sedang bergerak dalam perjalanannya melalui saṁsāra demi kebaikan dunia. Ia terlahir dari keluarga Brāhmana yang termasyhur, yang diunggulkan oleh kemurnian perilaku yang tinggi yang dapat dianggap sebagai sebuah ornamen di bumi. Kelahirannya meningkatkan kilau keluarga ini dengan cara yang sama seperti bulan terbit di musim gugur dengan bulatan penuh dan tak bernoda, memperindah cakrawala.

Dia secara berurutan telah memperoleh Śakramen berbeda yang ditahbiskan melalui teks suci dan tradisi: jātakarma dan lainnya; dia telah mempelajari Veda bersama berbagai Aṅga dan seluruh ritual, dan ketenaran atas pembelajarannya memenuhi dunia manusia. Dengan hadiah besar yang dia terima, memohon dari orang-orang dermawan yang menyukai kebajikan, dia mengumpulkan kekayaan yang cukup besar.

(1)
Seperti awan besar yang menghujani ladang, dia bergembira dengan kekayaannya, kerabatnya, teman-temannya, relasinya, tamunya, gurunya, mereka yang menderita maupun mereka yang harus dihormati.

(2)
Karena kemurahan hatinya yang agung, kemuliaan cemerlang yang diperolehnya melalui pembelajaran menjadi semakin bersinar. Keindahan lengkap bulan purnama pun semakin indah, saat musim gugur membuatnya bersinar terang.

Namun Sang Mahātmā segera memahami bahwa keadaan perumah tangga adalah sumber dari kesedihan dan hanya memberikan sedikit penghiburan; berkaitan erat dengan usaha yang salah, penuh dengan kualitas-kualitas yang berbahaya, yang adalah tempat tinggal kecerobohan (terkait tugas-tugas spiritual), merupakan keadaan yang menyusahkan, terhubung dengan pekerjaan untuk mengumpulkan kekayaan dan  menjaganya, memberi ruang lingkup kepada ratusan anak panah yang terdiri dari malapetaka dan kebiasaan jahat yang menghalangi ketenangan, dan disertai dengan kerja keras, karena itu menyiratkan perlunya menyelesaikan tugas yang tak terhitung banyaknya.

Di sisi lain, ia menjadi yakin bahwa meninggalkan keduniawian akan membawa kenyamanan melalui kebebasannya dari keburukan-keburukan itu, bahwa itu adalah kondisi yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas spiritual, dan dapat disebut sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan praktik spiritual yang dibutuhkan untuk pembebasan.

Maka ia membuang kekayaannya yang melimpah – seolah-olah itu adalah jerami – yang ia peroleh tanpa kesulitan dan memesona baginya, karena penghargaan tinggi yang dia nikmati dari para manusia. Kemudian ia menyerahkan dirinya pada ketaatan terhadap kedisiplinan dan pengendalian diri dari para pertapa yang meninggalkan keduniawian. Tetapi juga, setelah dia meninggalkan keduniawian – karena ketenarannya yang termashyur, ingatan terhadap kelahiran sebelumnya, penghormatan terhadap kebajikannya, dan ketenangan yang membuatnya unggul – seperti sebelumnya, Bodhisattva masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang membutuhkan bimbingan, sehingga cia mendapatkan banyak penghormatan akibat kebajikannya yang begitu banyak.

Namun, karena dia tidak menyukai kontak dengan perumah tangga – karena mengurangi kebahagiaan yang muncul dari seluruh pelepasan terhadap keduniawian dan merupakan penghalang untuk membuang ikatan yang telah dia pegang – dia pergi ke pulau Kārā, bertekad untuk menyendiri. Pulau itu terletak di Samudra Selatan. Pantainya dibasahi oleh gelombang tak beraturan, yang digerakkan oleh angin dengan warna biru potongan safir, pasir putih yang menutupi tanahnya; aneka pohon, yang ranting-rantingnya dihiasi oleh bunga dan buah-buahan menambah keindahannya; sedangkan di dekat pantai terdapat sebuah danau dengan air murni. Negeri yang indah ini dia percantik dengan kemegahan pertapaannya.

(3)
Dia hidup di tempat itu, mewujudkan kilau dari pertapaan berat dengan tubuhnya yang kurus, yang ketika bulan sabit muncul di langit, menggabungkan keindahan yang luar biasa menjadi sebuah ukuran kecil.

(4)
Manusia yang tinggal di hutan ini, terserap dalam ikrar dan pertapaan, di mana tindakan dan sensasi sederhana membuktikan ketenangan pikirannya, adalah seorang Muni. Bahkan hewan liar berkaki empat dan burung di hutan pun mengerti, dan bahkan kecerdasan kecil mereka pun menjadi sadar mengenai hal itu, dan mereka meniru perilakunya.

Selagi berdiam di hutan pertapaan, Sang Bodhisattva, dengan kebiasaan memberi, terus menghormati para tamu yang kebetulan datang, dengan akar-akar dan buah-buahan yang baru saja dia kumpulkan, dengan air segar dan ucapan selamat datang yang hangat dan baik hati beserta berkah yang pantas untuk para pertapa. Sedangkan dirinya sendiri hidup dari makanan yang dihasilkan dari hutan seiring dengan tamunya pergi, dengan ketat membatasi makanannya untuk asupan tubuhnya.

Kemuliaan dari pertapaannya telah menyebar ke mana-mana sehingga Śakra, raja para dewa, tersentuh olehnya dan ingin membuktikan keteguhannya. Di bagian hutan tempat Bodhisattva berdiam, Śakra melenyapkan semua akar dan buah yang cocok untuk makanan para pertapa secara berturut-turut. Tetapi Bodhisattva, yang tenggelam dalam meditasi dan terbiasa dengan perasaan puas, tidak peka terhadap pengaruh kebodohan yang membingungkan, dan acuh tak acuh terhadap makanan dan tubuhnya, tidak mengarahkan pikirannya ke penyebab lenyapnya itu. Dan setelah menata daun-daun muda di atas api, dia selesai makan tanpa perasaan tidak puas, tidak juga merindukan makanan yang lebih baik, tetapi dia melanjutkan hidupnya dengan tenang seperti biasanya, dengan cara yang sama.

(5)
Penghidupan tidaklah sulit didapatkan oleh orang-orang yang berlatih dengan tekun. Sebutkanlah, di mana rumput, daun, dan kolam tidak dapat ditemukan?

Namun Śakra, raja para dewa, meskipun semakin terheran-heran karena perilaku Bodhisattva dalam situasi tersebut, beserta dengan pendapatnya yang tinggi tentang kebajikan semakin kuat, beralih ke cobaan yang lain. Seperti angin di musim panas ia menanggalkan semua pohon, semak dan rerumputan yang ada di hutan itu. Kemudian Bodhisattva, mengambil daun-daun yang gugur seolah masih segar, dan merebusnya dalam air, hidup seperti itu tanpa merasa tidak nyaman; bersukacita oleh kebahagiaan meditasi, dia tinggal di sana seolah-olah dia telah menikmati santapan para dewa.

(6)
Sederhana dalam apa yang dipelajari, ketidaktertarikan pada harta kekayaan, dan kepuasan di dalam pertapaan: setiap kebajikan yang luar biasa ini adalah harta tertinggi dari tiap-tiap hal tersebut.

Keteguhan yang luar biasa dari kepuasannya itu semakin mengejutkan Śakra. Seolah-olah dia marah karenanya, setelah mengambil wujud seorang Brāhmana, dia berpura-pura menjadi seorang tamu. Dia muncul di depan mata Bodhisattva, ketika pada waktu yang ditentukan oleh sumpahnya, setelah melakukan pengorbanan Agnihotra dan mengulangi doa-doanya, sedang menanti tamu. Dan Bodhisattva bersukacita pergi menemuinya, menyambutnya dan mengucapkan kata-kata yang baik kepadanya, mengundangnya untuk makan dengan mengumumkan kepadanya bahwa sudah waktunya makan. Memahami dari kesunyiannya bahwa dia menerima penawaran itu, Sang Mahātmā,

(7)
Mewujudkan dengan matanya yang membesar dan wajahnya yang berseri-seri yang dia alami dalam mempraktikkan dāna, dan menggembirakan tamunya dengan kata-kata lembut yang menyenangkan bagi pikiran dan telinga, menghiburnya dengan seluruh daun rebusnya, yang telah dia miliki dengan begitu banyak kesulitan untuk didapat, dan dia hanya berpuas hati dengan sukacita.

Dan meskipun demikian dia memasuki kediaman meditasinya, melewati siang dan malam itu dalam kegembiraan yang luar biasa.

Pada keesokan harinya, Śakra muncul kembali kepadanya dengan cara yang sama, pada waktu yang ditekadkan untuk (pemenuhan) sumpahnya (tentang keramahan). Kemudian dia juga melakukannya juga pada hari ketiga, keempat, dan kelima. Dan Agastya menerimanya sebagai tamunya dengan cara yang sama, dengan lebih banyak kegembiraan.

(8)
Sesungguhnya, tiada penderitaan, bahkan bahaya hidup, yang mampu memaksa orang bermoral untuk melakukan pelanggaran yang menyedihkan dari kecintaan mereka untuk memberi, cinta yang dipupuk oleh praktik rasa simpati mereka.

Kemudian Śakra, yang pikirannya diliputi oleh keheranan yang luar biasa, mengetahui bahwa Agastya mampu menggunakan kekuatan pertapaannya untuk memiliki alam para dewa (milik Śakra) jika dia menginginkannya, mulai merasa gelisah dan merasa takut. Setelah mengambil wujud dewanya yang indah, dia mempertanyakan tujuan Agastya melakukan pertapaan.

(9, 10)
“Katakanlah, apa harapanmu, sehingga mereka dapat mendorongmu untuk meninggalkan sanak-saudara yang engkau cintai, yang meneteskan air mata saat kepergianmu, rumah tangga dan harta benda yang telah menjadi sumber kebahagiaan bagimu, dan mengambil jalan pertapaan yang berat ini?

Karena ini bukanlah motif yang remeh bahwa yang bijak memandang rendah kenikmatan yang didapatkan dengan mudah, dan merundungi kerabat mereka dengan kesedihan, membiarkan mereka pergi ke hutan pertapaan untuk menghancurkan kesenangan.

(11)
Jika menurutmu ini dapat diberitahukan kepadaku, tolong, puaskanlah rasa ingin tahuku. Apa yang engkau inginkan, hingga menembus ke dalam kualitas-kualitas luar biasa mengagumkan hingga titik ini?

Bodhisattva menjawab: “Dengarlah, tuan, alasanku mengerahkan diriku.

(12)
Kelahiran yang berulang cenderung sangat menyedihkan; begitu pula usia tua dan penyakit yang membawa malapetaka, wabah yang menyedihkan itu; dan keharusan untuk mati adalah gangguan pada pikiran. Dari keburukan-keburukan itu aku bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk itu.”

(13)
“Pertapa Kāśyapa, untuk kalimat yang benar dan diucapkan dengan baik ini aku memberimu anugerah; pilihlah apa yang engkau inginkan.”

Bodhisattva, yang sama sekali tidak menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang berhubungan dengan keduniawian, berpikir bahwa meminta apapun adalah menyakitkan, karena ia telah mencapai keadaan puas, ia berkata kepada Śakra:

(14)
“Jika engkau ingin memberiku anugerah, itu mungkin menyenangkanku, aku meminta anugerah ini kepada para dewa yang paling utama,

(15)
Semoga api ketamakan itu, yang setelah mendapatkan istri tercinta, anak-anak, kekuasaan, kekayaan yang lebih melimpah dari yang didambakan, masih terus memanaskan pikiran manusia untuk tidak pernah puas ― semoga api itu tidak pernah memasuki hatiku!”

Kepuasan hati yang dinyatakan melalui ungkapan yang baik ini menyenangkan Śakra dalam tingkat yang lebih tinggi. Dia memuji Bodhisattva sekali lagi, berkata: “Luar biasa, luar biasa!” dan sekali lagi dia mendesaknya untuk mengambil sejumlah anugerah.

(16)
“Muni, juga untuk kebenaran dan kalimat yang diucapkan dengan baik ini, aku dengan senang hati menawarkanmu imbalan dari anugerah yang kedua.”

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan kepadanya kesulitan untuk menyingkirkan kekotoran batin sepenuhnya, kembali menyampaikan Dharma kepadanya dengan kedok meminta anugerah,

(17)
“Jika engkau memberiku anugerah, engkau Vāsava, tempat tinggal dengan kualitas-kualitas luar biasa, maka aku memohon kepadamu anugerah lain, dan bukan yang jahat, wahai raja para dewa.

(18)
Semoga api kebencian itu, yang membuat tunduk para makhluk yang kehilangan kekayaan, kehilangan kasta dan reputasi yang baik, seolah-olah mereka dikalahkan oleh serangan yang bermusuhan ― semoga api itu jauh dariku!”

Mendengar ini, Śakra, raja para dewa, sangat mengaguminya, memujinya: “Luar biasa, luar biasa!” dan dia berkata lagi:

(19)
“Yang tersohor, seperti wanita yang penuh kasih, memperhatikan mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Baiklah, terimalah anugerah lain dariku untuk kalimat yang diucapkan dengan baik ini. “

Kemudian Bodhisattva, yang didorong oleh penolakannya terhadap kekotoran batin untuk menyalahkan hubungan dengan makhluk-makhluk yang tidak bebas dari hawa nafsu, dengan kedok menerima anugerah, mengatakan ini:

(20)
“Semoga aku tidak pernah mendengar orang bodoh, atau melihat orang seperti itu, atau berbicara dengan orang seperti itu, atau menanggung gangguan dan rasa sakit akibat hidup bersama orang seperti itu! Itulah anugerah yang aku minta kepadamu.”

Śakra berbicara:

(21, 22)
“Apa yang engkau katakan? Siapa pun yang berada dalam kesusahan adalah yang paling pantas mendapatkan simpati dari orang-orang bajik. Sekarang, kebodohan yang menjadi akar malapetaka, dianggap sebagai kondisi yang paling keji. Bagaimana mungkin sehingga engkau, meskipun berwelas asih, membenci melihat orang bodoh, seseorang yang sangat tepat untuk mendapatkan simpati?

Bodhisattva menjawab: “Karena tidak ada bantuan baginya, Tuan. Pikiranlah hal ini:

(23)
“Jika orang bodoh bisa disembuhkan dengan pengobatan tertentu, bagaimana mungkin orang sepertiku tidak membawakan sesuatu yang baik baginya?

Tetapi orang yang seperti itu ― Anda harus mengerti ― tidak dapat memperoleh manfaat sama sekali dari pengobatan apapun.

(24, 25)
Dia mengikuti haluan yang salah, seolah-olah itu adalah yang benar, dan juga ingin menempatkan sesamanya dengan cara itu, dan tidak terbiasa dengan perilaku yang baik dan lurus,  bahkan menjadi marah ketika dinasehati demi kebaikannya.

Sekarang, kemudian, kepada orang seperti itu, yang terbakar dengan kemelekatan terhadap kesombongan diri, menganggap dirinya bijak, yang kemarahan kerasnya diprovokasi oleh mereka yang berbicara demi kebaikannya, dan yang ketegasannya belum dilunakkan karena kurangnya pendidikan moral – katakanlah, apakah membawa kebaikan baginya itu bermakna?

(26)
Karena alasan inilah, maka, wahai yang terunggul di antara para dewa, karena tidak ada yang dapat membantunya, bahkan dalam kekuatan welas asih, aku tidak ingin melihat orang bodoh, karena dia adalah objek yang paling tidak layak.”

(27)
“Permata yang tak ternilai dari kalimat yang diucapkan dengan baik tidak dapat dihargai dengan padanan apapun. Tapi sebagai segenggam bunga untuk memujamu, aku dengan senang hati menawarkan beberapa keuntungan bagimu untuk hal-hal ini juga. “

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan bahwa yang bajik diterima dalam setiap keadaan, berkata:

(28)
“Bolehkah aku melihat orang bijak, dan mendengar orang bijak, tinggal dengan orang yang demikian, Śakra, dan bercakap-cakap dengan orang seperti itu! Inilah anugerah yang terbaik dari para dewa, kabulkanlah aku,

Śakra berkata: “Nampaknya engkau sungguh adalah pengikut dari orang bijak yang hangat. Mengapa, beritahu aku jika demikian,

(29)
Apa yang telah dilakukan orang bijak untukmu? Katakanlah, Kāśyapa, apa alasan Anda menunjukkan keserakahan yang agak bodoh ini bagi pandangan orang bijak? “

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan kepadanya kemurahan hati dari yang bajik, berkata: “Dengarkanlah, Tuan, untuk alasan apa pikiran saya merindukan melihat seorang yang bijaksana,

(30, 31)
Dia sendiri berjalan di jalan kebajikan, dan membawa juga orang lain ke jalan itu, dan kata-kata yang diucapkan demi kebaikannya, bahkan jika itu kasar, tidak membangkitkan ketidaksabarannya.

Dihiasi oleh kejujuran dan kesopanan, selalu memungkinkan untuk membuatnya menerima apa yang dikatakan demi kebaikannya. Untuk alasan ini pikiran saya, mengikuti moralitas, cenderung untuk memihak pada moralitas.”

Kemudian Śakra memujinya dengan berseru: “Kata-kata yang bagus! Sungguh luar biasa! ” dan dengan kepuasan meningkat kembali memanggilnya untuk meminta anugerah.

32, 33)
“Sesungguhnya, engkau telah memperoleh segalanya, karena engkau sepenuhnya puas, namun engkau harus mengambil beberapa anugerah dariku, menganggapnya sebagai sarana untuk menyenangkanku.

Karena bantuan yang ditawarkan karena rasa hormat, dari kelimpahan kekuasaan, dan dengan harapan memberikan manfaat, menjadi penyebab rasa sakit yang luar biasa, jika tidak diterima.”

Kemudian Bodhisattva, melihat keinginan besarnya untuk melakukan kebaikan, dan ingin menyenangkan dia dan memberi manfaat kepadanya, menjawab untuk menyatakan kepadanya keunggulan dari keinginan yang kuat untuk berdana.

(34)
“Semoga makananmu, yang bebas dari kehancuran dan kerusakan; pikiranmu, yang indah karena praktik amal, dan fakir miskin yang dihiasi oleh kemurnian perilaku baik mereka, menjadi milikku! Inilah anugerah terbaik yang kuminta.”

Śakra berkata: “Penghormatanmu adalah tambang permata dari kalimat-kalimat yang diucapkan dengan baik. Lagipula,

(35)
Tidak hanya semua yang engkau minta akan dikabulkan, tetapi karena kalimat yang diucapkan dengan baik ini aku memberimu anugerah lain.”

Bodhisattva berkata:

(36)
“Jika engkau mau memberiku anugerah yang menyertakan kemurahan hati tertinggi bagiku, wahai yang teragung dari para dewa, jangan datang kepadaku lagi dalam kemegahanmu yang membara ini. Untuk anugerah ini aku meminta penghancur para Daitya.”

Atas permintaan ini Śakra merasa sedikit terganggu, dan sangat heran dia kemudian berbicara kepadanya: “Jangan bicara begitu, tuan.

(37)
Dengan setiap jenis ritual: doa, sumpah, pengorbanan, dengan pertapaan dan kerja keras, orang-orang di bumi berusaha untuk melihatku. Tetapi engkau tidak menginginkannya. Untuk alasan apa? Aku datang kepadamu, ingin melimpahkan anugerahku kepadamu.”

Bodhisattva berkata: “Jangan menyerah pada amarahmu. Aku akan menenangkan Yang Mulia, raja para dewa. Bukan karena tidak sopan aku meminta ini, juga bukan karena tidak hormat, saya juga tidak bertujuan untuk menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap Yang Mulia. Tidak sama sekali, tetapi,

(38)
Merenungkan bentuk luar biasamu yang mengagumkan, yang meskipun bersinar lembut, masih berkobar dengan kecemerlangan, aku takut melihatmu, betapapun lembutnya bersinar, jangan sampai itu menyebabkan keinginan ketat dalam pemenuhan pertapaanku.”

Kemudian Śakra membungkuk padanya, memutarinya dari kiri ke kanan, dan menghilang di tempat. Dan saat fajar, Bodhisattva menerima banyak makanan dan minuman surgawi, dibawa oleh kekuatan Śakra, dan ratusan Pratyekabuddha dipanggil atas undangan Śakra, juga para putra dewa siap menunggu pada mereka.

(39)
Menyediakan makanan dan minuman dengan cara ini, yang diinginkan orang-orang bijak yang suci, sang Muni memperoleh kegembiraan yang luhur; dan dia bergembira dalam cara hidup yang sesuai dengan para petapa, dalam melakukan sumpah meditasinya yang tak terbatas (dhyāna), dalam ketenangan.

Dengan cara inilah, tindakan kemurahan hati yang kuat menjadi hiasan bagi para pertapa, terlebih lagi pada perumah tangga. [Dengan demikian, orang yang bajik harus menghiasi dirinya dengan keteguhan yang kuat untuk memberi.

(Cerita) ini juga harus ditambahkan, ketika memperlakukan kegembiraan yang disebabkan oleh seorang pria yang murah hati dan dermawan; ketika menyalahkan ketamakan, kebencian, kemelekatan, dan kebodohan; ketika berkhotbah tentang kebajikan dalam hubungan dengan seorang teman yang bajik, atau tentang kepuasan.

Demikian pula dalam khotbah-khotbah tentang kemurahan hati dari Sang Tathāgata; “Guru Agung kita adalah tambang permata yang tak ada habisnya dengan ucapan yang luar biasa ketika masih dalam kehidupan sebelumnya, terlebih lagi setelah dia mencapai Kesempurnaan Kebijaksanaan”]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *