Jātakamālā 8 – Maitrībalajātakam
(Kisah tentang Maitribala)

Jātakamālā 8 – Maitrībalajātakam
(Kisah tentang Maitribala)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Didera oleh penderitaan orang lain, orang yang sangat berwelas asih tidak memikirkan kesenangan mereka sendiri. Inilah akan diajarkan sebagai berikut.

Pada saat itu ketika Bodhisattva, yang selalu memiliki tujuan untuk menyelamatkan para makhluk, telah menetapkan (untuk menjalankan pāramitā) welas asih sebagai kualitas batinnya yang tinggi, dan selalu meningkat dalam kebajikan yang tiada tara – berdana, kerendahan hati, pengendalian diri, kelembutan, dan sebagainya, demi kepentingan dunia. Dikisahkan bahwa ia adalah seorang raja yang baik hati kepada semua makhluk, bernama Maitrībala.

(1, 2)
Sang raja menganggap musibah dan kesengsaraan rakyatnya sebagai kesusahannya juga, dan karena ia terampil dalam melindungi mereka, ia menggunakan pedang dan kekuasaan hukumnya sesuai dengan perasaan tersebut.

Namun pedangnya hanyalah hiasan baginya, karena raja-raja (lainnya) menunggu perintah darinya, dengan hormat menundukkan kepala mereka. Sedangkan ia menggunakan hukumnya dengan sangat terbuka, dalam kepentingan langkah-langkah yang diambilnya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

(3)
Dia memberikan hukuman dan penghargaan tanpa melanggar kebenaran. Akibat dari kebaikan hatinya dan kebijaksanaannya dalam mengelola negara, dia melindungi rakyat-rakyatnya bagaikan seorang ayah.

Maka dia memerintah dengan kebenaran, dan sambil mengarahkan kejujurannya, kemurahan hatinya, ketenangannya, kebijaksanaannya, dan kebajikan lainnya untuk mendukung kesejahteraan orang lain, dia meningkatkan simpanan tindakannya yang sangat luhur, yang merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk pencapaian pencerahan.

Pada suatu hari, lima Yakṣa ― yang karena beberapa pelanggaran atau raja para Yakṣa lainnya (Kubera) telah diasingkan dari wilayah kekuasaannya ― datang ke kerajaannya. Para Yakṣa ini merupakan para Ojohāra yang ahli dalam seni membunuh makhluk lain. Ketika mereka melihat kerajaan menunjukkan aspek kemakmuran tertinggi, dan menjadi sadar bahwa ketiadaan setiap jenis malapetaka membuat para rakyat bersukacita, puas, berkembang, dan terbiasa bersenang-senang dalam beragam pesta meriah, muncul keinginan dari dalam diri mereka untuk menghilangkan kesehatan dari para penduduk di wilayah itu.

(4)
Tetapi, meskipun mereka melakukan tugas biasa mereka dengan upaya terbesar, mereka masih tidak dapat menghilangkan kesehatan penduduk negara itu.

(5)
Kekuatan raja itu begitu tinggi sehingga niatnya untuk melindungi terbukti menjadi perlindungan tertinggi. Karena alasan inilah para Yakṣa itu tidak berdaya untuk menghilangkan kesehatan rakyat-rakyatnya.

Dan karena mereka tidak dapat melemahkan siapa pun yang tinggal di kerajaan itu, betapapun besar tenaga yang mereka kerahkan, mereka berunding di antara mereka sendiri dan berkata: “Bagaimana ini bisa terjadi, tuan-tuan?

(6)
Mereka tidak memiliki keunggulan dalam pembelajaran, pertapaan, ataupun kekuatan batin yang memungkinkan mereka menghalangi kekuatan kita, namun kita semua dibuat menjadi tidak berdaya, sehingga menyia-nyiakan sebutan kita (Ojohāras) secara percuma.”

Dan mereka mengambil wujud sebagai laki-laki dari kelas Brāhmana. Mereka berjalan ke sana kemari, lalu melihat sekelompok penggembala dari mereka yang tinggal di kawasan hutan, yang sedang duduk di atas sebidang rumput di kaki pohon yang rindang. Dia memakai sepatu di kakinya dan karangan bunga di kepalanya – karangan yang terbuat dari bunga dan tunas pohon hutan. Tongkat dan kapaknya telah diletakkannya di atas tanah di sebelah kanannya. Dia sendirian dan sibuk dengan memutar tali, sambil mengalihkan dirinya dengan nyanyian dan senandung.

Mereka mendekatinya dan meniru suara manusia, berkata kepadanya: “Wahai teman yang sedang bertugas menjaga sapi, apakah engkau tidak takut tinggal sendirian di hutan yang sepi ini, di mana tidak ada manusia yang terlihat?” Kemudian ia menjawab mereka: “Hal apa yang harus aku takuti?” Para Yakṣa berkata: “Apakah kamu belum pernah mendengar bahwa makhluk seperti para Yakṣa, Rākṣasa, atau Piśāca pada dasarnya berwatak kejam?

(7, 8)
Jika para pria berada di dalam kelompok dan diberkahi dengan pembelajaran, pertapaan, dan pesona-svastyayana, bahkan kemudian, meskipun mereka tidak pernah begitu berani dan merendahkan rasa takut, mereka akan lolos dari para Rākṣasa yang memakan daging dan lemak manusia. Bagaimana, kemudian, apakah kamu tidak takut pada mereka, kamu yang tinggal tanpa teman di tengah-tengah hutan yang sunyi, terpencil, dan menakutkan ini?”

Mendengar ini, penggembala itu tertawa terbahak-bahak, dan berkata kepada mereka:

(9, 10)
“Baiklah, orang-orang di negeri ini dilindungi oleh svastyayana yang perkasa, sehingga bahkan raja para dewa sendiri tidak memiliki kuasa di atas mereka, apalagi para Yaksa pemakan daging.

Maka kebetulan aku mengembara tanpa rasa takut, melalui hutan belantara ini seperti rumahku sendiri, pada malam hari seolah-olah sedang siang, dan sendirian seolah-olah saya berada di tengah keramaian.”

Atas hal ini para Yakṣa menjadi sangat ingin tahu, dan berkata kepadanya dengan hormat, seolah-olah mendorongnya: “Engkau harus memberi tahu kami, wahai tuan yang baik, engkau harus memberi tahu kami, svastyayana-mu yang luar biasa ini.” Dia menjawab mereka, sambil tertawa sekali lagi: “Kalau begitu, dengarlah, svastyayana terbaik kami yang sangat luar biasa ini.

(11)
Dia memiliki dada yang lapang sejajar dengan selempeng Gunung Emas (Meru), yang wajahnya menampilkan keindahan bulan tanpa noda di musim gugur, yang lengannya panjang dan penuh seperti tongkat emas, ia yang memiliki mata banteng dan gaya berjalan yang sepreti banteng. Singkatnya, itulah raja kami.

Inilah svastyayana terbaik kami.” Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, melihat dengan kebencian dan keheranan di wajah para Yakṣa, dia melanjutkan:

“Ah! Ini agak mengherankan, bukan?

(12)
Begitu terkenalnya kekuatan raja kami, tetapi kalian belum pernah mendengarnya! Bagaimana ini bisa terjadi? Atau pernahkah kalian mendengarnya, tetapi tidak mempercayai keajaiban besar dari ketenaran itu, dan tidak mempermasalahkannya?

(13)
Aku menduga orang-orang di negeri tempat asal kalian datang ke sini karena enggan mencari kebajikan atau merasa acuh tak acuh tentangnya; Mungkin juga, simpanan jasa bajik mereka sudah habis, sehingga kemasyhuran raja kami telah menghindari mereka.

Bagaimanapun, kalian masih memiliki sisa jasa kebajikan, karena kalian bisa datang ke sini dari negeri yang begitu liar.”

Para Yakṣa berkata: “Tuan yang baik, mohon beri tahu kami tentang bagaimana kekuatan raja itu, sebab para makhluk halus sama sekali tidak dapat menyakiti penduduk di kerajaannya” Penggembala sapi itu menjawab: “Raja kami telah memperoleh kekuatan ini melalui pikirannya yang tinggi. Lihatlah, wahai Brāhmana yang mulia.

(14)
Kekuatannya terletak pada cinta kasih, bukan pada pasukannya yang beraneka ragam, yang dia pertahankan hanya untuk mematuhi tradisi. Dia tidak mengenal amarah, juga tidak mengucapkan kata-kata kasar. Dia melindungi tanahnya dengan cara yang tepat. Kebenaran adalah pengatur tindakannya, bukan pengetahuan berpolitik yang merupakan ilmu dasar itu. Kekayaannya berfungsi untuk menghormati yang bajik. Meski diberkahi dengan kualitas-kualitas yang luar biasa itu, tetap saja dia tidak mengambil kekayaan dari orang jahat bagi dirinya sendiri, juga tidak bersikap angkuh.

Begitu banyak, dan lebih banyak lagi kebajikan yang bisa ditemukan pada raja kami. Untuk alasan inilah, tidak ada bencana yang memiliki kekuatan untuk melukai penduduk di kerajaannya. Tetapi betapa sedikit informasi yang dapat kalian peroleh dariku! Jika kalian penasaran untuk mempelajari kualitas luar biasa dari raja kami, sebaiknya kalian masuk ke dalam ibukota. Di sana kalian akan melihat orang-orang dalam kehidupan sehari-hari mereka; kalian akan melihat betapa kokohnya mereka berdiri dalam batas-batas (moral) para ārya, mencintai setiap tugas khusus yang tepat bagi mereka; betapa ceria dan berkembangnya mereka, sebagai akibat dari makanan yang berlimpah terus-menerus dan kesejahteraan yang tidak terganggu; betapa indahnya pakaian mereka, namun tidak sombong; betapa baik mereka kepada orang asing yang layak yang datang kepada mereka sebagai tamu; betapa terpesona mereka dengan kebajikan raja mereka, pujian yang kemuliaannya tidak pernah berhenti mereka nyatakan dengan gembira, seolah-olah mereka mengucapkan mantra yang menguntungkan dan mencegah kejahatan. Ketika melihat semua ini, kalian akan mendapatkan standar untuk mengukur banyaknya kebajikan yang dimiliki oleh raja kami. Dan jika kalian mulai merasakan sesuatu seperti penghormatan atas kebajikannya, kalian akan menyaksikannya, karena kalian tidak akan gagal untuk merasakan keinginan untuk melihatnya.”

Para Yakṣa, yang sudah tergerak dengan amarah terhadap raja karena dia menghalangi perwujudan kekuatan mereka, sama sekali tidak dilunakkan oleh sanjungan yang penuh kasih sayang dan pantas atas kebajikannya ini.

(15)
Sesungguhnya, demikianlah pikiran orang bodoh yang menjadi semakin meradang oleh pujian terhadap objek yang telah membangkitkan murka membara mereka.

Sekarang mengingat sang raja sangat dermawan dan ingin menyakitinya, mereka mendekatinya pada saat pertemuan, dan meminta makanan kepadanya. Raja bersukacita, memerintahkan para perwira yang bertanggung jawab atas masalah-masalah seperti itu: “Pergi dan segera berikan para Brāhmana ini makanan yang lezat.” Namun, para Yakṣa tidak siap untuk menerima makanan yang disajikan kepada mereka, meskipun makanan itu merupakan makanan kerajaan. Mereka menolaknya, seperti harimau terhadap rumput hijau, mengatakan bahwa mereka tidak memakan hidangan seperti itu. Saat mendengar itu, sang raja mendatangi mereka sambil berkata: “Jenis makanan apa yang cocok dengan pencernaanmu, sehingga bisa diambilkan?”

Para Yakṣa itu menjawab:

(16)
“Daging manusia mentah, yang baru dipotong dan masih hangat, beserta darah manusia, oh raja bermata teratai, adalah makanan dan minuman para Yakṣa, wahai engkau yang taat dalam menepati janjimu.”

Setelah itu, mereka menampilkan kembali ciri-ciri mereka yang seram dan menakutkan, memperlihatkan mulut mereka yang tampak ganas oleh gigi-gigi besar, mata mereka yang buas dan merah, menyala-nyala dan menyipitkan mata, hidung datar mereka, terbuka lebar dan berbentuk aneh. Rambut dan janggut mereka berwarna kuning kecoklatan, dan corak mereka gelap seperti awan besar dengan hujan. Melihat mereka, raja tahu mereka adalah Yakṣa, bukan manusia, dan mengerti bahwa karena alasan itulah mereka tidak suka makanan dan minuman yang disajikan atas perintahnya.

(17)
Karena sifat welas asih dan kemurnian hatinya, rasa kasihan raja terhadap mereka meningkat seiring dengan perenungan ini.

Diserap dengan rasa simpati dan kasihan kepada para Yakṣa itu, dia dengan pasti memasuki pemikiran ini:

(18, 19)
“Bagi orang yang penuh belas kasihan, makanan dan minuman seperti itu tidak hanya sulit ditemukan, tetapi juga harus dicari hari demi hari. Oh, betapa kesedihan luar biasa yang akan ditimbulkannya! Orang yang kejam mungkin bisa mendapatkannya untuk mereka atau tidak. Jika tidak mampu, usahanya tidak akan menghasilkan dampak lain selain kehancuran belaka; jika mampu, apa yang lebih menyedihkan daripada orang seperti itu, yang terus menerus melakukan tindakan jahat?

(20)
Di sisi lain, para Yakṣa ini, yang hidup dari makanan semacam itu, dengan hati yang jahat dan tanpa belas kasihan, menghancurkan kebahagiaan mereka sendiri setiap hari. Kapankah penderitaan mereka ini akan berakhir?

Karena itu, bagaimana mungkin aku mendapatkan makanan seperti itu untuk mereka? Bahkan untuk satu hari pun aku tidak dapat melukai orang lain dan menghancurkan kehidupan.

(21)
Sungguh, aku tidak ingat pernah membuat sedih wajah orang-orang yang datang kepadaku sebagai pemohon, dan kehilangan kemegahan mereka karena kekecewaan akan harapan mereka, sehingga membuat mereka tampak seperti bunga teratai yang layu oleh angin musim dingin.

Tapi, kenapa merenung lebih lama lagi? Aku telah menemukan apa yang akan aku lakukan

(22, 23)
Aku akan memberi mereka gumpalan daging padat dan gemuk beserta aliran darah yang diambil dari tubuhku sendiri. Dengan cara apa, jika bukan dengan cara ini, yang lebih cocok bagiku untuk memenuhi kebutuhan para pengemis yang mencari bantuan dariku? Karena daging hewan yang telah mati akibat kematian alami adalah dingin dan tidak berdarah, dan tentu saja tidak akan menyenangkan mereka; dan rasa lapar mereka sangat besar yang dan dibuktikan dengan sosok-sosok mereka yang menderita.

Di satu sisi, bagaimana aku dapat mengeluarkan daging dari tubuh makhluk hidup lainnya? Di sisi lain, bagaimana mungkin aku menyakiti mereka yang telah memohon kepadaku, untuk menyatakan dengan cara ini, dengan wajah merana dan mata cekung sebagai akibat dari kelaparan dan kehausan mereka, dan masih lebih sakit akibat kesedihan karena tidak mengambulkan permintaan mereka yang telah membangunkan harapan mereka? Oleh karena itu, inilah saat yang tepat untuk bertindak dengan cara ini.

(24)
Bagai bisul yang parah, tubuh ini selalu sakit dan menjadi tempat tinggal dari rasa sakit. Sekarang aku akan membalas penderitaan itu dengan memanfaatkannya untuk pencapaian tindakan luar biasa yang melampaui keindahan.”

Karena keteguhan hatinya, Sang Mahātman, yang kemegahan mata dan wajahnya meningkat karena luapan kegembiraannya, berbicara demikian kepada para Yakṣa, menunjukkan tubuhnya kepada mereka:

(25)
“Jika daging dan darah ini, yang aku tanggung hanya untuk kebaikan makhluk hidup sekarang dibuang dengan tujuan untuk menjamu para tamu, aku akan menganggap ini sebagai keberuntungan bagi diriku sendiri dengan konsekuensi yang besar.

Para Yakṣa, meskipun mengetahui tekad sang raja, tidak dapat mempercayainya, karena begitu luar biasa bagi mereka. Mereka pun berkata kepadanya:

(26)
“Setelah pengemis mengungkapkan penderitaannya dengan permintaan yang buruk, sejak saat itu hanya si pemberi yang tahu apa yang harus dilakukan dalam kasus ini.”

Raja, memahami bahwa mereka setuju, sangat bersukacita, dan memerintahkan para tabibnya untuk datang, untuk membuka urat nadinya. Sekarang para menteri kerajaan, memahami tekadnya untuk mempersembahkan daging dan darahnya sendiri, menjadi gelisah, jengkel, dan kebingungan. Didorong oleh perasaan cinta kasih, mereka berbicara dengan tegas dengan maksud ini: “Kami memohon agar Yang Mulia tidak berlebihan mencintai tindakan berdana sedemikian rupa sehingga mengabaikan konsekuensi dari tindakan Anda, entah itu baik atau buruk bagi para rakyat yang setia dan yakin kepadamu. Yang Mulia tidak dapat bersikap abai terhadap sifat makhluk-makhluk jahat ini.

(27)
Yang mulia tahu bahwa para Yaksa bersukacita atas apa pun yang menyebabkan kemalangan bagi rakyat-rakyatmu, wahai tuan yang termasyhur. Mereka merasa puas dengan penghidupan yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Begitulah sifat dari golongan makhluk itu, tuan yang baik hati.

(28)
Engkau, Yang Mulia, tidak memedulikan kesenanganmu sendiri, menopang beban berat kerajaan secara khusus untuk kebahagiaan rakyat-rakyatmu. Oleh karena itu, berhentilah dari ketetapan hati untuk mempersembahkan daging dan darahmu ini; itu adalah tindakan yang salah.

(29)
Para Yakṣa ini tidak memiliki kekuasaan atas rakyat-rakyatmu, Yang Mulia, tidak diragukan lagi, selama kekuatanmu melindungi para rakyat. Terhalang oleh kepintaran mereka dalam membuat kerusakan, mereka mencari malapetaka penduduk negeri ini dengan cara yang cerdik.

(30)
Faktanya, para dewa senang dengan lemak, gajih, dan sejenisnya, dipersembahkan kepada mereka dalam api pengorbanan, dan para Yakṣa ini tidak dapat menyukai makanan Yang Mulia, yang sangat bagus dan murni, dipersiapkan dengan hati-hati!

Tentu saja, Yang Mulia tidak berkewajiban untuk menyampaikan rencanamu kepada kami. Meskipun demikian, ketaatan kami terhadap tugas-tugas kami melarang kami untuk bersikap patuh dalam hal ini. Bisakah itu disebut tindakan benar jika Yang Mulia untuk melemparkan seluruh rakyat ke dalam malapetaka demi lima makhluk itu? Selain itu, untuk alasan apa engkau membuat kami merasa membutuhkan perhatianmu sampai sejauh ini? Bagaimana lagi bisa terjadi bahwa daging dan darah kami, yang kami gunakan untuk melayani tuan kami, tetap tidak diperhatikan olehmu, sehingga engkau berkeinginan untuk mempersembahkan milikmu sendiri, sementara tubuh kami utuh dan tersedia?”

Kemudian raja berbicara kepada para menteri itu:

(31)
“Diminta dengan cara yang jelas, bagaimana mungkin orang sepertiku berucap bohong dengan berkata tidak memiliki, ketika sedang memiliki, atau aku tidak akan memberi?

(32)
Aku telah menjadi pemimpin kalian dalam hal kebenaran. Jika aku sendiri berjalan di jalan yang salah, bagaimana dengan kondisi rakyat-rakyatku, yang siap mengikuti teladan tingkah lakuku?

(33)
Oleh karena itu, adalah sehubungan dengan rakyat-rakyatku itulah aku akan membiarkan kekuatan tubuhku ini diambil. Selain itu, jika aku menjadi penakut, ditundukkan oleh rasa mementingkan diri, kekuatan apa yang harus kumiliki untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat-rakyatku?

Mengenai kata-kata perhatian dan hormat yang telah kalian ucapkan, kata-kata penuh kasih sayang dan simpati yang ramah, ketika kalian bertanya mengapa aku menunjukkan keinginan seperti itu, ingin menawarkan anggota tubuhku sendiri bahkan pada saat ini, sementara daging dan darah kalian utuh dan tersedia, aku akan meyakinkan kalian dengan alasan. Tentunya, jangan berpikir bahwa dengan keinginan untuk dipercaya, aku bermaksud menutup jalan di mana kalian dapat menunjukkan kasih sayang kalian kepadaku, atau kecurigaan itu telah menciptakan semak belukar yang tak tertembus di atasnya. Namun,

(34)
Ini adalah waktu yang tepat bagi para sahabat untuk memahami keinginan untuk memberi pertolongan kepada sahabat mereka, ketika kekayaannya telah berkurang secara bertahap, atau telah dihancurkan oleh ketidaksukaan terhadap jalan hidupnya; tetapi tidak tepat jika orang miskin harus menolong orang kaya.

(35)
Sekarang, anggota tubuhku telah tersedia. Mereka besar, padat, dan berdaging. Mereka akan kugunakan demi para pemohon. Karena itu, tidak pantas bagi kalian untuk memiliki keinginan seperti itu.

(36)
Jika aku tidak mampu menanggung rasa sakit dari orang-orang asing, bagaimana mungkin kalian berharap aku mampu menanggung penderitaan kalian? Oleh karena itulah, aku ingin mempersembahkan daging tubuhku sendiri. Mereka tidak meminta kepada kalian, melainkan kepadaku.

Nah, kemudian, meskipun ketaatan pada diriku memberi kalian keberanian untuk menghalangi perilaku lurusku, jangan menentang tekadku lebih lama lagi. Sesungguhnya, kalian tidak terbiasa berurusan dengan cara yang tepat kepada para pengemis. Selain itu, kalian juga harus mempertimbangkan hal ini.

(37)
Dia yang demi dirinya sendiri melarang siapa pun yang ingin memberikan dana makanan atau sejenisnya, dengan sebutan apa dia seharusnya dipanggil, orang yang bajik atau tidak bajik? Seberapa banyak keraguan tentang sifat memberi ini?

Lalu mengapa bersikeras lebih lama lagi? Lakukan, periksalah masalahnya dengan benar, dan kalian akan menjauhkan pikiran kalian dari jalan yang salah, sebagaimana layaknya mereka yang menduduki jabatan dalam pelayananku. Faktanya, kalian seharusnya menyetujuinya dengan simpatik daripada sekadar menunjukkan ekspresi cemas ini. Mengapa aku berkata demikian?

(38, 39)
Peminta yang menginginkan uang dan barang, objek-objek dari berbagai pekerjaan, dapat ditemukan setiap hari, bukan? Tetapi peminta yang muncul saat ini tidak dapat diperoleh bahkan dengan memohon kepada para dewa sekalipun.

Sekarang mempertimbangkan tubuhku yang lemah ini dan bahwa itu adalah tempat tinggal kesengsaraan, kupikir adalah hal yang buruk untuk bersikap ragu-ragu pada saat kemunculan pengemis yang tidak biasa seperti itu; sedangkan rasa cinta diri yang menyedihkan akan berada di sini dalam kegelapan yang paling dalam.

“Kumohon jangan lagi menahanku, wahai tuan-tuan.”

Setelah membujuk menteri-menterinya, dia memanggil para tabib, dan setelah lima pembuluh darah di tubuhnya dibuka oleh mereka, dia berbicara kepada para Yakṣa:

(40)
“Sudilah untuk membantuku dalam perilaku bajik ini dan untuk memberikanku kegembiraan tertinggi dengan menerima pemberian ini.”

Mereka mengiyakan dan mulai minum, mengambil darah raja yang berwarna gelap menyerupai cendana merah yang harum dengan menggunakan cekungan pada sendi tangan mereka,

(41)
Sementara membiarkan para Yakṣa meminum darah dari luka-lukanya, raja bersinar seolah-olah tubuhnya terbuat dari emas, dan dia memiliki penampilan Gunung Meru yang tertutup awan hujan yang menggantung karena beratnya, dan diwarnai dengan corak warna senja.

(42)
Sebagai akibat dari kegembiraannya yang tinggi, kesabarannya yang murah hati, dan juga kekuatan jasmaninya, tubuhnya tidak memudar, juga pikirannya tidak melemah dan darah yang mengalir tidak berkurang.

Para Yakṣa, setelah memuaskan dahaga mereka, berkata kepada raja bahwa itu sudah cukup.

(43)
Mempertimbangkan bahwa dia sekarang telah merelakan tubuhnya, objek yang selalu tidak pernah puas dan tempat banyak kesakitan menetap, kemudian mengubahnya menjadi sarana untuk menghormati fakir miskin, kepuasannya terus meningkat sekalipun mereka mereka berhenti.

Kemudian sang raja, yang ketenangan wajahnya diperkuat oleh kegembiraannya yang meningkat, mengambil sebilah pedang yang tajam. Pedang itu memiliki bilah kebiruan tanpa noda, tidak seperti kelopak teratai biru, dan gagang indah bersinar dengan kemilau dari kilauan permata yang menghiasinya. Dengan itu dia memotong potongan daging dari tubuhnya dan mempersembahkannya kepada para Yakṣa.

(44)
Dan kegembiraan yang dia alami melalui memberi tidak menyisakan ruang untuk rasa sakit yang disebabkan oleh pemotongan tubuh, dan mencegah pikirannya berulang kali tenggelam dalam kesedihan.

(45)
Rasa sakit, mendorong pada setiap goresan pedang tajam, didorong jauh kembali oleh kegembiraannya, yang lambat dalam menembus pikirannya, seolah-olah lelah oleh kesulitan ketika didorong ke sana kemari.

(46)
Dan dia merasakan kegembiraan itu sendirian, sementara dia memuaskan para Yakṣa dengan potongan-potongan dagingnya sedemikian rupa sehingga hati yang kejam dari makhluk-makhluk itu membuka dirinya kepada kelembutan.

(47)
Dia yang, digerakkan oleh kecintaan kepada Dharma maupun welas asih, meninggalkan tubuhnya sendiri untuk keuntungan orang lain, orang seperti itu mungkin dapat memperbaharui hati orang-orang yang terbakar oleh api kebencian, mengubahnya ke dalam emas kelembutan dan keyakinan.

Para Yakṣa, melihat sang raja, yang meskipun berniat untuk memotong dagingnya sendiri, namun tetap tenang seperti biasanya, dan menunjukkan raut wajah tenang yang tak tergoyakan dan keberanian yang tak kenal takut terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh pedangnya, menjadi tersentuh dengan kelembutan dan kekaguman yang tinggi.

(48)
“Oh, ini sungguh sesuatu yang menakjubkan! Oh, sungguh sebuah keajaiban! Apakah ini benar atau mungkin hanyalah sebuah khayalan?” Pemikiran seperti itu muncul dalam benak mereka yang gembira; dan kemurkaan mereka terhadap raja pun hancur, dan mereka mulai menyatakan keyakinan mereka dengan penghormatan dan pujian atas perbuatannya.

“Jangan lagi, yang mulia, jangan lagi,” seru mereka; “Berhentilah melukai tubuhmu sendiri! Penampilanmu yang luar biasa ini, yang dengannya Anda memenangkan hati semua fakir miskin, telah memuaskan kami.” Maka dengan kegelisahan besar, dan dengan hormat menundukkan kepala, mereka meminta raja berhenti; setelah itu, mereka memandangnya dengan penuh hormat, mengangkat wajah mereka yang dibasahi dengan air mata penyesalan yang setia, dan melanjutkan:

(49)
“Pantaslah orang-orang terdorong oleh ketaatan untuk menyatakan kemuliaan Anda di mana-mana. Śrī yang pantas, memandang rendah kolam teratai, senang tinggal bersamamu. Sungguh, jika surga, meskipun dilindungi oleh kekuasaan Śakra, tidak merasakan sesuatu seperti kecemburuan ketika memandang ke bumi ini, dijaga oleh kepahlawanan Anda – Surga, bagaimanapun juga, sungguh tertipu.

Apa lagi yang bisa kami ucapkan? Umat manusia merasa bahagia, sungguh, berada di bawah perlindungan orang seperti engkau; tetapi kami, kami benar-benar tertekan karena telah menyebabkan penderitaan kepadamu. Namun, kami berharap bahwa melalui makhluk sepertimu, dapat menjadi sarana keselamatan bagi kami, kami yang kejam seperti ini. Dengan harapan tersebut, kami mengajukan pertanyaan ini kepadamu.

(50)
Apakah tingkatan yang sangat luar biasa yang Anda miliki, sehingga bertindak dengan cara ini tanpa memperhatikan kebahagiaanmu sebagai raja, keadaan menyenangkan yang Anda miliki dalam kenyamananmu?

(51)
Apa hal yang Anda inginkan melalui pertapaanmu ini, apakah itu kekuasaan atas seluruh bumi, atau apakah itu untuk setara dengan Kubera atau lndra, atau seluruh pembebasan dan penyerapan ke dalam Brahma?

(52)
Bagaimanapun juga, tujuan yang Anda kejar tidak bisa jauh dari tekad yang kuat ini. Jika kami diizinkan untuk mendengarnya, Anda akan menyenangkan kami dengan menceritakannya, tuan.

Raja berbicara: “Dengarkanlah, alasan aku mengupayakan diriku sendiri.

(53-54)
Pangkat tinggi yang termasyhur bergantung pada keberadaan, idiperoleh dengan usaha, dan dapat dengan mudah hilang. Hal itu tidak bisa memberikan kesenangan dari kepuasan, apalagi ketenangan pikiran. Untuk alasan ini, aku tidak menginginkan kecemerlangan dari raja para dewa, apalagi sebagai seorang raja di bumi. Hatiku juga tidak akan puas, jika aku berhasil menghancurkan penderitaan diriku sendiri.

Aku lebih menganggap makhluk-makhluk tak berdaya itu, yang tertekan oleh perangkap dan penderitaan akibat bencana dan kejahatan yang kejam yang merupakan tanggungan mereka. Demi mereka, semoga aku melalui tindakan berjasa ini dapat mencapai pengetahuan tertinggi, dan mengalahkan hawa nafsu, musuh-musuhku. Semoga aku menyelamatkan makhluk-makhluk dari samudra kelahiran kembali, lautan ganas dengan ombak penuaan, penyakit, dan kematian!”

Mendengar hal ini, para Yaksa, yang bulu-bulu di tubuhnya merinding sebagai akibat dari kegembiraan keyakinan yang kuat, membungkuk kepada raja, dan berkata: “Perbuatanmu ini konsisten dengan tekadmu yang luar biasa. Oleh karena itu, kami berani mengungkapkan keyakinan kami tentang hal itu: rencana orang-orang seperti Anda akan tercapai dalam waktu singkat.

(56, 57)
Tidak diragukan lagi, semua usaha Anda ditujukan untuk keselamatan semua makhluk; juga berkenan untuk memperhatikan kami secara khusus, kami berdoa agar tidak melupakan kami pada saat itu.

Dan sekarang maafkan kami atas apa yang telah kami lakukan dari ketidaktahuan, menyebabkan Anda disiksa seperti itu: kami tidak mengerti bahkan kepentingan kami sendiri.

(58)
Selanjutnya, kami mohon Anda untuk menunjukkan bantuan Anda dengan memberi kami beberapa perintah yang dapat kami ikuti. Lakukan dengan keyakinan yang sama, seperti yang Anda lakukan kepada pejabat Anda sendiri.”

Atas hal itu sang raja mengetahui mereka akan bertobat dan telah kehilangan kekerasan hati mereka, berbicara dengan cara seperti ini: “Jangan berada dalam masalah tanpa alasan. Itu bukanlah siksaan, nyatanya itu adalah manfaat yang kau berikan padaku. Bahkan,

(59)
Jalan kebenaran (Dharma) menjadi demikian (sulit), bagaimana aku bisa melupakan teman-temanku di jalan itu, ketika aku telah mencapai Kebijaksanaan Tertinggi (bodhi)? Ajaran pertamaku tentang pengetahuan pembebasan adalah untuk kalian; Kepada kalian, aku akan menyampaikan ambrosia itu terlebih dulu.

(60)
Dan jika kalian sekarang berniat untuk melakukan apa yang mungkin menyenangkan bagiku, kalian harus menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang bagai racun ini: menyakiti orang lain, mengingini barang atau istri orang lain, berucap tidak benar, dan minum-minuman keras yang memabukkan.”

Para Yakṣa berjanji untuk melakukannya, dan setelah membungkuk padanya dan memutarinya dari kiri ke kanan, kemudian menghilang di tempat.

Tetapi ketika Bodhisatta telah memutuskan untuk memberikan darah dan dagingnya sendiri, pada saat itu juga

(61, 62)
Bumi bergetar di berbagai tempat dan menyebabkan Gunung Emas goyah, akibatnya dentuman keras di gunung itu mulai berbunyi dan pohon-pohon melepaskan bunganya.

Mereka menyebar di langit, dan digerakkan oleh angin yang tampak seperti awan; di satu tempat, seperti burung terbang, mereka menyerupai kanopi; di tempat lain mereka tampak seperti karangan bunga yang tertata rapi. Mereka jatuh bersamaan di semua sisi tempat raja berada.

(63)
Samudra besar, seolah-olah dia bermaksud untuk mencegah sang raja, menunjukkan kegemparan dan kegelisahannya dengan meningkatnya keributan dan suara ombaknya, dan sosoknya menunjukkan kekuatan yang besar seolah-olah dia siap untuk berbaris.

(64, 65)
Kemudian raja para dewa menjadi gelisah oleh kejadian tersebut: dan menemukan penyebabnya melalui perenungan, dipenuhi dengan keprihatinan terhadap penderitaan yang ditampakkan oleh sang raja, dengan tergesa-gesa datang ke kediaman kerajaan, di mana dia menemukan setiap orang bingung dengan kesedihan dan ketakutan, kecuali sang raja.

Saat melihat ketenangan wajahnya, meskipun dia dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Śakra tersentuh dengan sangat takjub. Dia mendekati raja, dan didorong oleh kegembiraan dan kegirangan, dia memuji penampilannya dengan suaranya yang indah.

(66)
Oh, engkau telah mencapai puncak perilaku bajik! Oh, keagungan hartamu yang merupakan praktik kebajikan! Oh, betapa bijaknya pikiranmu dalam menunjukkan kebaikanmu kepada orang lain! Sesungguhnya, yang diberikan kepadamu, dunia ini telah memperoleh seorang pelindung!”

Setelah memujinya, Śakra, raja para dewa, membuat ramuan yang sangat baik, cocok untuk menyembuhkan luka dengan cepat, di mana sebagian tumbuhannya berasal dari surga, sebagian digunakan oleh manusia. Maka dia menghentikan rasa sakitnya, dan membuat tubuhnya kembali seperti sebelumnya. Sebagai imbalannya raja menghormatinya dengan kehadiran yang baik dengan cara yang sopan dan hormat. Kemudian Śakra kembali ke kediamannya sendiri.

Dengan cara inilah, didera oleh penderitaan orang lain, orang yang sangat berwelas asih tidak memikirkan kesenangan mereka sendiri [siapa, kemudian, yang tidak boleh mengesampingkan kemelekatan pada sesuatu yang begitu kejam seperti kekayaan? Demikianlah yang harus dikatakan saat membangkitkan semangat orang-orang yang dermawan.

Begitu pula saat menjelaskan kebajikan welas asih; saat memuliakan Sang Tathāgata; juga tentang mendengarkan dengan perhatian pada pembabaran Dharma.

Selain itu, kata-kata yang diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Para bhiksu, kelima ini telah melakukan banyak hal,” akan dijelaskan dengan keterkaitan mereka dengan cerita ini. Karena mereka adalah lima Yakṣa pada waktu itu. Kepada mereka Sang Bhagavā memberikan ambrosia Dharma yang pertama, seperti yang telah dia janjikan.]

[Kembali ke daftar isi]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *