Jatakamala

JATAKAMALA 8 – MAITRIBALA-JATAKA

Jātakamālā 8 – Maitrībalajātakam
(Kisah tentang Maitribala)

Jātakamālā 8 – Maitrībalajātakam
(Kisah tentang Maitribala)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Didera oleh penderitaan orang lain, orang yang sangat berwelas asih tidak memikirkan kesenangan mereka sendiri. Inilah akan diajarkan sebagai berikut.

Pada saat itu ketika Bodhisattva, yang selalu memiliki tujuan untuk menyelamatkan para makhluk, telah menetapkan (untuk menjalankan pāramitā) welas asih sebagai kualitas batinnya yang tinggi, dan selalu meningkat dalam kebajikan yang tiada tara – berdana, kerendahan hati, pengendalian diri, kelembutan, dan sebagainya, demi kepentingan dunia. Dikisahkan bahwa ia adalah seorang raja yang baik hati kepada semua makhluk, bernama Maitrībala.

(1, 2)
Sang raja menganggap musibah dan kesengsaraan rakyatnya sebagai kesusahannya juga, dan karena ia terampil dalam melindungi mereka, ia menggunakan pedang dan kekuasaan hukumnya sesuai dengan perasaan tersebut.

Namun pedangnya hanyalah hiasan baginya, karena raja-raja (lainnya) menunggu perintah darinya, dengan hormat menundukkan kepala mereka. Sedangkan ia menggunakan hukumnya dengan sangat terbuka, dalam kepentingan langkah-langkah yang diambilnya untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya.

(3)
Dia memberikan hukuman dan penghargaan tanpa melanggar kebenaran. Akibat dari kebaikan hatinya dan kebijaksanaannya dalam mengelola negara, dia melindungi rakyat-rakyatnya bagaikan seorang ayah.

Maka dia memerintah dengan kebenaran, dan sambil mengarahkan kejujurannya, kemurahan hatinya, ketenangannya, kebijaksanaannya, dan kebajikan lainnya untuk mendukung kesejahteraan orang lain, dia meningkatkan simpanan tindakannya yang sangat luhur, yang merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk pencapaian pencerahan.

Pada suatu hari, lima Yakṣa ― yang karena beberapa pelanggaran atau raja para Yakṣa lainnya (Kubera) telah diasingkan dari wilayah kekuasaannya ― datang ke kerajaannya. Para Yakṣa ini merupakan para Ojohāra yang ahli dalam seni membunuh makhluk lain. Ketika mereka melihat kerajaan menunjukkan aspek kemakmuran tertinggi, dan menjadi sadar bahwa ketiadaan setiap jenis malapetaka membuat para rakyat bersukacita, puas, berkembang, dan terbiasa bersenang-senang dalam beragam pesta meriah, muncul keinginan dari dalam diri mereka untuk menghilangkan kesehatan dari para penduduk di wilayah itu.

(4)
Tetapi, meskipun mereka melakukan tugas biasa mereka dengan upaya terbesar, mereka masih tidak dapat menghilangkan kesehatan penduduk negara itu.

(5)
Kekuatan raja itu begitu tinggi sehingga niatnya untuk melindungi terbukti menjadi perlindungan tertinggi. Karena alasan inilah para Yakṣa itu tidak berdaya untuk menghilangkan kesehatan rakyat-rakyatnya.

Dan karena mereka tidak dapat melemahkan siapa pun yang tinggal di kerajaan itu, betapapun besar tenaga yang mereka kerahkan, mereka berunding di antara mereka sendiri dan berkata: “Bagaimana ini bisa terjadi, tuan-tuan?

(6)
Mereka tidak memiliki keunggulan dalam pembelajaran, pertapaan, ataupun kekuatan batin yang memungkinkan mereka menghalangi kekuatan kita, namun kita semua dibuat menjadi tidak berdaya, sehingga menyia-nyiakan sebutan kita (Ojohāras) secara percuma.”

Dan mereka mengambil wujud sebagai laki-laki dari kelas Brāhmana. Mereka berjalan ke sana kemari, lalu melihat sekelompok penggembala dari mereka yang tinggal di kawasan hutan, yang sedang duduk di atas sebidang rumput di kaki pohon yang rindang. Dia memakai sepatu di kakinya dan karangan bunga di kepalanya – karangan yang terbuat dari bunga dan tunas pohon hutan. Tongkat dan kapaknya telah diletakkannya di atas tanah di sebelah kanannya. Dia sendirian dan sibuk dengan memutar tali, sambil mengalihkan dirinya dengan nyanyian dan senandung.

Mereka mendekatinya dan meniru suara manusia, berkata kepadanya: “Wahai teman yang sedang bertugas menjaga sapi, apakah engkau tidak takut tinggal sendirian di hutan yang sepi ini, di mana tidak ada manusia yang terlihat?” Kemudian ia menjawab mereka: “Hal apa yang harus aku takuti?” Para Yakṣa berkata: “Apakah kamu belum pernah mendengar bahwa makhluk seperti para Yakṣa, Rākṣasa, atau Piśāca pada dasarnya berwatak kejam?

(7, 8)
Jika para pria berada di dalam kelompok dan diberkahi dengan pembelajaran, pertapaan, dan pesona-svastyayana, bahkan kemudian, meskipun mereka tidak pernah begitu berani dan merendahkan rasa takut, mereka akan lolos dari para Rākṣasa yang memakan daging dan lemak manusia. Bagaimana, kemudian, apakah kamu tidak takut pada mereka, kamu yang tinggal tanpa teman di tengah-tengah hutan yang sunyi, terpencil, dan menakutkan ini?”

Mendengar ini, penggembala itu tertawa terbahak-bahak, dan berkata kepada mereka:

(9, 10)
“Baiklah, orang-orang di negeri ini dilindungi oleh svastyayana yang perkasa, sehingga bahkan raja para dewa sendiri tidak memiliki kuasa di atas mereka, apalagi para Yaksa pemakan daging.

Maka kebetulan aku mengembara tanpa rasa takut, melalui hutan belantara ini seperti rumahku sendiri, pada malam hari seolah-olah sedang siang, dan sendirian seolah-olah saya berada di tengah keramaian.”

Atas hal ini para Yakṣa menjadi sangat ingin tahu, dan berkata kepadanya dengan hormat, seolah-olah mendorongnya: “Engkau harus memberi tahu kami, wahai tuan yang baik, engkau harus memberi tahu kami, svastyayana-mu yang luar biasa ini.” Dia menjawab mereka, sambil tertawa sekali lagi: “Kalau begitu, dengarlah, svastyayana terbaik kami yang sangat luar biasa ini.

(11)
Dia memiliki dada yang lapang sejajar dengan selempeng Gunung Emas (Meru), yang wajahnya menampilkan keindahan bulan tanpa noda di musim gugur, yang lengannya panjang dan penuh seperti tongkat emas, ia yang memiliki mata banteng dan gaya berjalan yang sepreti banteng. Singkatnya, itulah raja kami.

Inilah svastyayana terbaik kami.” Dan setelah mengucapkan kata-kata ini, melihat dengan kebencian dan keheranan di wajah para Yakṣa, dia melanjutkan:

“Ah! Ini agak mengherankan, bukan?

(12)
Begitu terkenalnya kekuatan raja kami, tetapi kalian belum pernah mendengarnya! Bagaimana ini bisa terjadi? Atau pernahkah kalian mendengarnya, tetapi tidak mempercayai keajaiban besar dari ketenaran itu, dan tidak mempermasalahkannya?

(13)
Aku menduga orang-orang di negeri tempat asal kalian datang ke sini karena enggan mencari kebajikan atau merasa acuh tak acuh tentangnya; Mungkin juga, simpanan jasa bajik mereka sudah habis, sehingga kemasyhuran raja kami telah menghindari mereka.

Bagaimanapun, kalian masih memiliki sisa jasa kebajikan, karena kalian bisa datang ke sini dari negeri yang begitu liar.”

Para Yakṣa berkata: “Tuan yang baik, mohon beri tahu kami tentang bagaimana kekuatan raja itu, sebab para makhluk halus sama sekali tidak dapat menyakiti penduduk di kerajaannya” Penggembala sapi itu menjawab: “Raja kami telah memperoleh kekuatan ini melalui pikirannya yang tinggi. Lihatlah, wahai Brāhmana yang mulia.

(14)
Kekuatannya terletak pada cinta kasih, bukan pada pasukannya yang beraneka ragam, yang dia pertahankan hanya untuk mematuhi tradisi. Dia tidak mengenal amarah, juga tidak mengucapkan kata-kata kasar. Dia melindungi tanahnya dengan cara yang tepat. Kebenaran adalah pengatur tindakannya, bukan pengetahuan berpolitik yang merupakan ilmu dasar itu. Kekayaannya berfungsi untuk menghormati yang bajik. Meski diberkahi dengan kualitas-kualitas yang luar biasa itu, tetap saja dia tidak mengambil kekayaan dari orang jahat bagi dirinya sendiri, juga tidak bersikap angkuh.

Begitu banyak, dan lebih banyak lagi kebajikan yang bisa ditemukan pada raja kami. Untuk alasan inilah, tidak ada bencana yang memiliki kekuatan untuk melukai penduduk di kerajaannya. Tetapi betapa sedikit informasi yang dapat kalian peroleh dariku! Jika kalian penasaran untuk mempelajari kualitas luar biasa dari raja kami, sebaiknya kalian masuk ke dalam ibukota. Di sana kalian akan melihat orang-orang dalam kehidupan sehari-hari mereka; kalian akan melihat betapa kokohnya mereka berdiri dalam batas-batas (moral) para ārya, mencintai setiap tugas khusus yang tepat bagi mereka; betapa ceria dan berkembangnya mereka, sebagai akibat dari makanan yang berlimpah terus-menerus dan kesejahteraan yang tidak terganggu; betapa indahnya pakaian mereka, namun tidak sombong; betapa baik mereka kepada orang asing yang layak yang datang kepada mereka sebagai tamu; betapa terpesona mereka dengan kebajikan raja mereka, pujian yang kemuliaannya tidak pernah berhenti mereka nyatakan dengan gembira, seolah-olah mereka mengucapkan mantra yang menguntungkan dan mencegah kejahatan. Ketika melihat semua ini, kalian akan mendapatkan standar untuk mengukur banyaknya kebajikan yang dimiliki oleh raja kami. Dan jika kalian mulai merasakan sesuatu seperti penghormatan atas kebajikannya, kalian akan menyaksikannya, karena kalian tidak akan gagal untuk merasakan keinginan untuk melihatnya.”

Para Yakṣa, yang sudah tergerak dengan amarah terhadap raja karena dia menghalangi perwujudan kekuatan mereka, sama sekali tidak dilunakkan oleh sanjungan yang penuh kasih sayang dan pantas atas kebajikannya ini.

(15)
Sesungguhnya, demikianlah pikiran orang bodoh yang menjadi semakin meradang oleh pujian terhadap objek yang telah membangkitkan murka membara mereka.

Sekarang mengingat sang raja sangat dermawan dan ingin menyakitinya, mereka mendekatinya pada saat pertemuan, dan meminta makanan kepadanya. Raja bersukacita, memerintahkan para perwira yang bertanggung jawab atas masalah-masalah seperti itu: “Pergi dan segera berikan para Brāhmana ini makanan yang lezat.” Namun, para Yakṣa tidak siap untuk menerima makanan yang disajikan kepada mereka, meskipun makanan itu merupakan makanan kerajaan. Mereka menolaknya, seperti harimau terhadap rumput hijau, mengatakan bahwa mereka tidak memakan hidangan seperti itu. Saat mendengar itu, sang raja mendatangi mereka sambil berkata: “Jenis makanan apa yang cocok dengan pencernaanmu, sehingga bisa diambilkan?”

Para Yakṣa itu menjawab:

(16)
“Daging manusia mentah, yang baru dipotong dan masih hangat, beserta darah manusia, oh raja bermata teratai, adalah makanan dan minuman para Yakṣa, wahai engkau yang taat dalam menepati janjimu.”

Setelah itu, mereka menampilkan kembali ciri-ciri mereka yang seram dan menakutkan, memperlihatkan mulut mereka yang tampak ganas oleh gigi-gigi besar, mata mereka yang buas dan merah, menyala-nyala dan menyipitkan mata, hidung datar mereka, terbuka lebar dan berbentuk aneh. Rambut dan janggut mereka berwarna kuning kecoklatan, dan corak mereka gelap seperti awan besar dengan hujan. Melihat mereka, raja tahu mereka adalah Yakṣa, bukan manusia, dan mengerti bahwa karena alasan itulah mereka tidak suka makanan dan minuman yang disajikan atas perintahnya.

(17)
Karena sifat welas asih dan kemurnian hatinya, rasa kasihan raja terhadap mereka meningkat seiring dengan perenungan ini.

Diserap dengan rasa simpati dan kasihan kepada para Yakṣa itu, dia dengan pasti memasuki pemikiran ini:

(18, 19)
“Bagi orang yang penuh belas kasihan, makanan dan minuman seperti itu tidak hanya sulit ditemukan, tetapi juga harus dicari hari demi hari. Oh, betapa kesedihan luar biasa yang akan ditimbulkannya! Orang yang kejam mungkin bisa mendapatkannya untuk mereka atau tidak. Jika tidak mampu, usahanya tidak akan menghasilkan dampak lain selain kehancuran belaka; jika mampu, apa yang lebih menyedihkan daripada orang seperti itu, yang terus menerus melakukan tindakan jahat?

(20)
Di sisi lain, para Yakṣa ini, yang hidup dari makanan semacam itu, dengan hati yang jahat dan tanpa belas kasihan, menghancurkan kebahagiaan mereka sendiri setiap hari. Kapankah penderitaan mereka ini akan berakhir?

Karena itu, bagaimana mungkin aku mendapatkan makanan seperti itu untuk mereka? Bahkan untuk satu hari pun aku tidak dapat melukai orang lain dan menghancurkan kehidupan.

(21)
Sungguh, aku tidak ingat pernah membuat sedih wajah orang-orang yang datang kepadaku sebagai pemohon, dan kehilangan kemegahan mereka karena kekecewaan akan harapan mereka, sehingga membuat mereka tampak seperti bunga teratai yang layu oleh angin musim dingin.

Tapi, kenapa merenung lebih lama lagi? Aku telah menemukan apa yang akan aku lakukan

(22, 23)
Aku akan memberi mereka gumpalan daging padat dan gemuk beserta aliran darah yang diambil dari tubuhku sendiri. Dengan cara apa, jika bukan dengan cara ini, yang lebih cocok bagiku untuk memenuhi kebutuhan para pengemis yang mencari bantuan dariku? Karena daging hewan yang telah mati akibat kematian alami adalah dingin dan tidak berdarah, dan tentu saja tidak akan menyenangkan mereka; dan rasa lapar mereka sangat besar yang dan dibuktikan dengan sosok-sosok mereka yang menderita.

Di satu sisi, bagaimana aku dapat mengeluarkan daging dari tubuh makhluk hidup lainnya? Di sisi lain, bagaimana mungkin aku menyakiti mereka yang telah memohon kepadaku, untuk menyatakan dengan cara ini, dengan wajah merana dan mata cekung sebagai akibat dari kelaparan dan kehausan mereka, dan masih lebih sakit akibat kesedihan karena tidak mengambulkan permintaan mereka yang telah membangunkan harapan mereka? Oleh karena itu, inilah saat yang tepat untuk bertindak dengan cara ini.

(24)
Bagai bisul yang parah, tubuh ini selalu sakit dan menjadi tempat tinggal dari rasa sakit. Sekarang aku akan membalas penderitaan itu dengan memanfaatkannya untuk pencapaian tindakan luar biasa yang melampaui keindahan.”

Karena keteguhan hatinya, Sang Mahātman, yang kemegahan mata dan wajahnya meningkat karena luapan kegembiraannya, berbicara demikian kepada para Yakṣa, menunjukkan tubuhnya kepada mereka:

(25)
“Jika daging dan darah ini, yang aku tanggung hanya untuk kebaikan makhluk hidup sekarang dibuang dengan tujuan untuk menjamu para tamu, aku akan menganggap ini sebagai keberuntungan bagi diriku sendiri dengan konsekuensi yang besar.

Para Yakṣa, meskipun mengetahui tekad sang raja, tidak dapat mempercayainya, karena begitu luar biasa bagi mereka. Mereka pun berkata kepadanya:

(26)
“Setelah pengemis mengungkapkan penderitaannya dengan permintaan yang buruk, sejak saat itu hanya si pemberi yang tahu apa yang harus dilakukan dalam kasus ini.”

Raja, memahami bahwa mereka setuju, sangat bersukacita, dan memerintahkan para tabibnya untuk datang, untuk membuka urat nadinya. Sekarang para menteri kerajaan, memahami tekadnya untuk mempersembahkan daging dan darahnya sendiri, menjadi gelisah, jengkel, dan kebingungan. Didorong oleh perasaan cinta kasih, mereka berbicara dengan tegas dengan maksud ini: “Kami memohon agar Yang Mulia tidak berlebihan mencintai tindakan berdana sedemikian rupa sehingga mengabaikan konsekuensi dari tindakan Anda, entah itu baik atau buruk bagi para rakyat yang setia dan yakin kepadamu. Yang Mulia tidak dapat bersikap abai terhadap sifat makhluk-makhluk jahat ini.

(27)
Yang mulia tahu bahwa para Yaksa bersukacita atas apa pun yang menyebabkan kemalangan bagi rakyat-rakyatmu, wahai tuan yang termasyhur. Mereka merasa puas dengan penghidupan yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Begitulah sifat dari golongan makhluk itu, tuan yang baik hati.

(28)
Engkau, Yang Mulia, tidak memedulikan kesenanganmu sendiri, menopang beban berat kerajaan secara khusus untuk kebahagiaan rakyat-rakyatmu. Oleh karena itu, berhentilah dari ketetapan hati untuk mempersembahkan daging dan darahmu ini; itu adalah tindakan yang salah.

(29)
Para Yakṣa ini tidak memiliki kekuasaan atas rakyat-rakyatmu, Yang Mulia, tidak diragukan lagi, selama kekuatanmu melindungi para rakyat. Terhalang oleh kepintaran mereka dalam membuat kerusakan, mereka mencari malapetaka penduduk negeri ini dengan cara yang cerdik.

(30)
Faktanya, para dewa senang dengan lemak, gajih, dan sejenisnya, dipersembahkan kepada mereka dalam api pengorbanan, dan para Yakṣa ini tidak dapat menyukai makanan Yang Mulia, yang sangat bagus dan murni, dipersiapkan dengan hati-hati!

Tentu saja, Yang Mulia tidak berkewajiban untuk menyampaikan rencanamu kepada kami. Meskipun demikian, ketaatan kami terhadap tugas-tugas kami melarang kami untuk bersikap patuh dalam hal ini. Bisakah itu disebut tindakan benar jika Yang Mulia untuk melemparkan seluruh rakyat ke dalam malapetaka demi lima makhluk itu? Selain itu, untuk alasan apa engkau membuat kami merasa membutuhkan perhatianmu sampai sejauh ini? Bagaimana lagi bisa terjadi bahwa daging dan darah kami, yang kami gunakan untuk melayani tuan kami, tetap tidak diperhatikan olehmu, sehingga engkau berkeinginan untuk mempersembahkan milikmu sendiri, sementara tubuh kami utuh dan tersedia?”

Kemudian raja berbicara kepada para menteri itu:

(31)
“Diminta dengan cara yang jelas, bagaimana mungkin orang sepertiku berucap bohong dengan berkata tidak memiliki, ketika sedang memiliki, atau aku tidak akan memberi?

(32)
Aku telah menjadi pemimpin kalian dalam hal kebenaran. Jika aku sendiri berjalan di jalan yang salah, bagaimana dengan kondisi rakyat-rakyatku, yang siap mengikuti teladan tingkah lakuku?

(33)
Oleh karena itu, adalah sehubungan dengan rakyat-rakyatku itulah aku akan membiarkan kekuatan tubuhku ini diambil. Selain itu, jika aku menjadi penakut, ditundukkan oleh rasa mementingkan diri, kekuatan apa yang harus kumiliki untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat-rakyatku?

Mengenai kata-kata perhatian dan hormat yang telah kalian ucapkan, kata-kata penuh kasih sayang dan simpati yang ramah, ketika kalian bertanya mengapa aku menunjukkan keinginan seperti itu, ingin menawarkan anggota tubuhku sendiri bahkan pada saat ini, sementara daging dan darah kalian utuh dan tersedia, aku akan meyakinkan kalian dengan alasan. Tentunya, jangan berpikir bahwa dengan keinginan untuk dipercaya, aku bermaksud menutup jalan di mana kalian dapat menunjukkan kasih sayang kalian kepadaku, atau kecurigaan itu telah menciptakan semak belukar yang tak tertembus di atasnya. Namun,

(34)
Ini adalah waktu yang tepat bagi para sahabat untuk memahami keinginan untuk memberi pertolongan kepada sahabat mereka, ketika kekayaannya telah berkurang secara bertahap, atau telah dihancurkan oleh ketidaksukaan terhadap jalan hidupnya; tetapi tidak tepat jika orang miskin harus menolong orang kaya.

(35)
Sekarang, anggota tubuhku telah tersedia. Mereka besar, padat, dan berdaging. Mereka akan kugunakan demi para pemohon. Karena itu, tidak pantas bagi kalian untuk memiliki keinginan seperti itu.

(36)
Jika aku tidak mampu menanggung rasa sakit dari orang-orang asing, bagaimana mungkin kalian berharap aku mampu menanggung penderitaan kalian? Oleh karena itulah, aku ingin mempersembahkan daging tubuhku sendiri. Mereka tidak meminta kepada kalian, melainkan kepadaku.

Nah, kemudian, meskipun ketaatan pada diriku memberi kalian keberanian untuk menghalangi perilaku lurusku, jangan menentang tekadku lebih lama lagi. Sesungguhnya, kalian tidak terbiasa berurusan dengan cara yang tepat kepada para pengemis. Selain itu, kalian juga harus mempertimbangkan hal ini.

(37)
Dia yang demi dirinya sendiri melarang siapa pun yang ingin memberikan dana makanan atau sejenisnya, dengan sebutan apa dia seharusnya dipanggil, orang yang bajik atau tidak bajik? Seberapa banyak keraguan tentang sifat memberi ini?

Lalu mengapa bersikeras lebih lama lagi? Lakukan, periksalah masalahnya dengan benar, dan kalian akan menjauhkan pikiran kalian dari jalan yang salah, sebagaimana layaknya mereka yang menduduki jabatan dalam pelayananku. Faktanya, kalian seharusnya menyetujuinya dengan simpatik daripada sekadar menunjukkan ekspresi cemas ini. Mengapa aku berkata demikian?

(38, 39)
Peminta yang menginginkan uang dan barang, objek-objek dari berbagai pekerjaan, dapat ditemukan setiap hari, bukan? Tetapi peminta yang muncul saat ini tidak dapat diperoleh bahkan dengan memohon kepada para dewa sekalipun.

Sekarang mempertimbangkan tubuhku yang lemah ini dan bahwa itu adalah tempat tinggal kesengsaraan, kupikir adalah hal yang buruk untuk bersikap ragu-ragu pada saat kemunculan pengemis yang tidak biasa seperti itu; sedangkan rasa cinta diri yang menyedihkan akan berada di sini dalam kegelapan yang paling dalam.

“Kumohon jangan lagi menahanku, wahai tuan-tuan.”

Setelah membujuk menteri-menterinya, dia memanggil para tabib, dan setelah lima pembuluh darah di tubuhnya dibuka oleh mereka, dia berbicara kepada para Yakṣa:

(40)
“Sudilah untuk membantuku dalam perilaku bajik ini dan untuk memberikanku kegembiraan tertinggi dengan menerima pemberian ini.”

Mereka mengiyakan dan mulai minum, mengambil darah raja yang berwarna gelap menyerupai cendana merah yang harum dengan menggunakan cekungan pada sendi tangan mereka,

(41)
Sementara membiarkan para Yakṣa meminum darah dari luka-lukanya, raja bersinar seolah-olah tubuhnya terbuat dari emas, dan dia memiliki penampilan Gunung Meru yang tertutup awan hujan yang menggantung karena beratnya, dan diwarnai dengan corak warna senja.

(42)
Sebagai akibat dari kegembiraannya yang tinggi, kesabarannya yang murah hati, dan juga kekuatan jasmaninya, tubuhnya tidak memudar, juga pikirannya tidak melemah dan darah yang mengalir tidak berkurang.

Para Yakṣa, setelah memuaskan dahaga mereka, berkata kepada raja bahwa itu sudah cukup.

(43)
Mempertimbangkan bahwa dia sekarang telah merelakan tubuhnya, objek yang selalu tidak pernah puas dan tempat banyak kesakitan menetap, kemudian mengubahnya menjadi sarana untuk menghormati fakir miskin, kepuasannya terus meningkat sekalipun mereka mereka berhenti.

Kemudian sang raja, yang ketenangan wajahnya diperkuat oleh kegembiraannya yang meningkat, mengambil sebilah pedang yang tajam. Pedang itu memiliki bilah kebiruan tanpa noda, tidak seperti kelopak teratai biru, dan gagang indah bersinar dengan kemilau dari kilauan permata yang menghiasinya. Dengan itu dia memotong potongan daging dari tubuhnya dan mempersembahkannya kepada para Yakṣa.

(44)
Dan kegembiraan yang dia alami melalui memberi tidak menyisakan ruang untuk rasa sakit yang disebabkan oleh pemotongan tubuh, dan mencegah pikirannya berulang kali tenggelam dalam kesedihan.

(45)
Rasa sakit, mendorong pada setiap goresan pedang tajam, didorong jauh kembali oleh kegembiraannya, yang lambat dalam menembus pikirannya, seolah-olah lelah oleh kesulitan ketika didorong ke sana kemari.

(46)
Dan dia merasakan kegembiraan itu sendirian, sementara dia memuaskan para Yakṣa dengan potongan-potongan dagingnya sedemikian rupa sehingga hati yang kejam dari makhluk-makhluk itu membuka dirinya kepada kelembutan.

(47)
Dia yang, digerakkan oleh kecintaan kepada Dharma maupun welas asih, meninggalkan tubuhnya sendiri untuk keuntungan orang lain, orang seperti itu mungkin dapat memperbaharui hati orang-orang yang terbakar oleh api kebencian, mengubahnya ke dalam emas kelembutan dan keyakinan.

Para Yakṣa, melihat sang raja, yang meskipun berniat untuk memotong dagingnya sendiri, namun tetap tenang seperti biasanya, dan menunjukkan raut wajah tenang yang tak tergoyakan dan keberanian yang tak kenal takut terhadap rasa sakit yang disebabkan oleh pedangnya, menjadi tersentuh dengan kelembutan dan kekaguman yang tinggi.

(48)
“Oh, ini sungguh sesuatu yang menakjubkan! Oh, sungguh sebuah keajaiban! Apakah ini benar atau mungkin hanyalah sebuah khayalan?” Pemikiran seperti itu muncul dalam benak mereka yang gembira; dan kemurkaan mereka terhadap raja pun hancur, dan mereka mulai menyatakan keyakinan mereka dengan penghormatan dan pujian atas perbuatannya.

“Jangan lagi, yang mulia, jangan lagi,” seru mereka; “Berhentilah melukai tubuhmu sendiri! Penampilanmu yang luar biasa ini, yang dengannya Anda memenangkan hati semua fakir miskin, telah memuaskan kami.” Maka dengan kegelisahan besar, dan dengan hormat menundukkan kepala, mereka meminta raja berhenti; setelah itu, mereka memandangnya dengan penuh hormat, mengangkat wajah mereka yang dibasahi dengan air mata penyesalan yang setia, dan melanjutkan:

(49)
“Pantaslah orang-orang terdorong oleh ketaatan untuk menyatakan kemuliaan Anda di mana-mana. Śrī yang pantas, memandang rendah kolam teratai, senang tinggal bersamamu. Sungguh, jika surga, meskipun dilindungi oleh kekuasaan Śakra, tidak merasakan sesuatu seperti kecemburuan ketika memandang ke bumi ini, dijaga oleh kepahlawanan Anda – Surga, bagaimanapun juga, sungguh tertipu.

Apa lagi yang bisa kami ucapkan? Umat manusia merasa bahagia, sungguh, berada di bawah perlindungan orang seperti engkau; tetapi kami, kami benar-benar tertekan karena telah menyebabkan penderitaan kepadamu. Namun, kami berharap bahwa melalui makhluk sepertimu, dapat menjadi sarana keselamatan bagi kami, kami yang kejam seperti ini. Dengan harapan tersebut, kami mengajukan pertanyaan ini kepadamu.

(50)
Apakah tingkatan yang sangat luar biasa yang Anda miliki, sehingga bertindak dengan cara ini tanpa memperhatikan kebahagiaanmu sebagai raja, keadaan menyenangkan yang Anda miliki dalam kenyamananmu?

(51)
Apa hal yang Anda inginkan melalui pertapaanmu ini, apakah itu kekuasaan atas seluruh bumi, atau apakah itu untuk setara dengan Kubera atau lndra, atau seluruh pembebasan dan penyerapan ke dalam Brahma?

(52)
Bagaimanapun juga, tujuan yang Anda kejar tidak bisa jauh dari tekad yang kuat ini. Jika kami diizinkan untuk mendengarnya, Anda akan menyenangkan kami dengan menceritakannya, tuan.

Raja berbicara: “Dengarkanlah, alasan aku mengupayakan diriku sendiri.

(53-54)
Pangkat tinggi yang termasyhur bergantung pada keberadaan, idiperoleh dengan usaha, dan dapat dengan mudah hilang. Hal itu tidak bisa memberikan kesenangan dari kepuasan, apalagi ketenangan pikiran. Untuk alasan ini, aku tidak menginginkan kecemerlangan dari raja para dewa, apalagi sebagai seorang raja di bumi. Hatiku juga tidak akan puas, jika aku berhasil menghancurkan penderitaan diriku sendiri.

Aku lebih menganggap makhluk-makhluk tak berdaya itu, yang tertekan oleh perangkap dan penderitaan akibat bencana dan kejahatan yang kejam yang merupakan tanggungan mereka. Demi mereka, semoga aku melalui tindakan berjasa ini dapat mencapai pengetahuan tertinggi, dan mengalahkan hawa nafsu, musuh-musuhku. Semoga aku menyelamatkan makhluk-makhluk dari samudra kelahiran kembali, lautan ganas dengan ombak penuaan, penyakit, dan kematian!”

Mendengar hal ini, para Yaksa, yang bulu-bulu di tubuhnya merinding sebagai akibat dari kegembiraan keyakinan yang kuat, membungkuk kepada raja, dan berkata: “Perbuatanmu ini konsisten dengan tekadmu yang luar biasa. Oleh karena itu, kami berani mengungkapkan keyakinan kami tentang hal itu: rencana orang-orang seperti Anda akan tercapai dalam waktu singkat.

(56, 57)
Tidak diragukan lagi, semua usaha Anda ditujukan untuk keselamatan semua makhluk; juga berkenan untuk memperhatikan kami secara khusus, kami berdoa agar tidak melupakan kami pada saat itu.

Dan sekarang maafkan kami atas apa yang telah kami lakukan dari ketidaktahuan, menyebabkan Anda disiksa seperti itu: kami tidak mengerti bahkan kepentingan kami sendiri.

(58)
Selanjutnya, kami mohon Anda untuk menunjukkan bantuan Anda dengan memberi kami beberapa perintah yang dapat kami ikuti. Lakukan dengan keyakinan yang sama, seperti yang Anda lakukan kepada pejabat Anda sendiri.”

Atas hal itu sang raja mengetahui mereka akan bertobat dan telah kehilangan kekerasan hati mereka, berbicara dengan cara seperti ini: “Jangan berada dalam masalah tanpa alasan. Itu bukanlah siksaan, nyatanya itu adalah manfaat yang kau berikan padaku. Bahkan,

(59)
Jalan kebenaran (Dharma) menjadi demikian (sulit), bagaimana aku bisa melupakan teman-temanku di jalan itu, ketika aku telah mencapai Kebijaksanaan Tertinggi (bodhi)? Ajaran pertamaku tentang pengetahuan pembebasan adalah untuk kalian; Kepada kalian, aku akan menyampaikan ambrosia itu terlebih dulu.

(60)
Dan jika kalian sekarang berniat untuk melakukan apa yang mungkin menyenangkan bagiku, kalian harus menghindari perbuatan-perbuatan buruk yang bagai racun ini: menyakiti orang lain, mengingini barang atau istri orang lain, berucap tidak benar, dan minum-minuman keras yang memabukkan.”

Para Yakṣa berjanji untuk melakukannya, dan setelah membungkuk padanya dan memutarinya dari kiri ke kanan, kemudian menghilang di tempat.

Tetapi ketika Bodhisatta telah memutuskan untuk memberikan darah dan dagingnya sendiri, pada saat itu juga

(61, 62)
Bumi bergetar di berbagai tempat dan menyebabkan Gunung Emas goyah, akibatnya dentuman keras di gunung itu mulai berbunyi dan pohon-pohon melepaskan bunganya.

Mereka menyebar di langit, dan digerakkan oleh angin yang tampak seperti awan; di satu tempat, seperti burung terbang, mereka menyerupai kanopi; di tempat lain mereka tampak seperti karangan bunga yang tertata rapi. Mereka jatuh bersamaan di semua sisi tempat raja berada.

(63)
Samudra besar, seolah-olah dia bermaksud untuk mencegah sang raja, menunjukkan kegemparan dan kegelisahannya dengan meningkatnya keributan dan suara ombaknya, dan sosoknya menunjukkan kekuatan yang besar seolah-olah dia siap untuk berbaris.

(64, 65)
Kemudian raja para dewa menjadi gelisah oleh kejadian tersebut: dan menemukan penyebabnya melalui perenungan, dipenuhi dengan keprihatinan terhadap penderitaan yang ditampakkan oleh sang raja, dengan tergesa-gesa datang ke kediaman kerajaan, di mana dia menemukan setiap orang bingung dengan kesedihan dan ketakutan, kecuali sang raja.

Saat melihat ketenangan wajahnya, meskipun dia dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Śakra tersentuh dengan sangat takjub. Dia mendekati raja, dan didorong oleh kegembiraan dan kegirangan, dia memuji penampilannya dengan suaranya yang indah.

(66)
Oh, engkau telah mencapai puncak perilaku bajik! Oh, keagungan hartamu yang merupakan praktik kebajikan! Oh, betapa bijaknya pikiranmu dalam menunjukkan kebaikanmu kepada orang lain! Sesungguhnya, yang diberikan kepadamu, dunia ini telah memperoleh seorang pelindung!”

Setelah memujinya, Śakra, raja para dewa, membuat ramuan yang sangat baik, cocok untuk menyembuhkan luka dengan cepat, di mana sebagian tumbuhannya berasal dari surga, sebagian digunakan oleh manusia. Maka dia menghentikan rasa sakitnya, dan membuat tubuhnya kembali seperti sebelumnya. Sebagai imbalannya raja menghormatinya dengan kehadiran yang baik dengan cara yang sopan dan hormat. Kemudian Śakra kembali ke kediamannya sendiri.

Dengan cara inilah, didera oleh penderitaan orang lain, orang yang sangat berwelas asih tidak memikirkan kesenangan mereka sendiri [siapa, kemudian, yang tidak boleh mengesampingkan kemelekatan pada sesuatu yang begitu kejam seperti kekayaan? Demikianlah yang harus dikatakan saat membangkitkan semangat orang-orang yang dermawan.

Begitu pula saat menjelaskan kebajikan welas asih; saat memuliakan Sang Tathāgata; juga tentang mendengarkan dengan perhatian pada pembabaran Dharma.

Selain itu, kata-kata yang diucapkan oleh Sang Bhagavā: “Para bhiksu, kelima ini telah melakukan banyak hal,” akan dijelaskan dengan keterkaitan mereka dengan cerita ini. Karena mereka adalah lima Yakṣa pada waktu itu. Kepada mereka Sang Bhagavā memberikan ambrosia Dharma yang pertama, seperti yang telah dia janjikan.]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 7 – AGASTYA-JATAKA

Jātakamālā 7 – Agastyajātakam
(Kisah tentang Agastya)

Jātakamālā 7 – Agastyajātakam
(Kisah tentang Agastya)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Praktik kemurahan hati yang heroik merupakan hiasan bagi para pertapa, terlebih lagi bagi perumah tangga; seperti yang diajarkan berikut ini.

Pada suatu saat, ketika Sang Bhagavā masih seorang Bodhisattva, sedang bergerak dalam perjalanannya melalui saṁsāra demi kebaikan dunia. Ia terlahir dari keluarga Brāhmana yang termasyhur, yang diunggulkan oleh kemurnian perilaku yang tinggi yang dapat dianggap sebagai sebuah ornamen di bumi. Kelahirannya meningkatkan kilau keluarga ini dengan cara yang sama seperti bulan terbit di musim gugur dengan bulatan penuh dan tak bernoda, memperindah cakrawala.

Dia secara berurutan telah memperoleh Śakramen berbeda yang ditahbiskan melalui teks suci dan tradisi: jātakarma dan lainnya; dia telah mempelajari Veda bersama berbagai Aṅga dan seluruh ritual, dan ketenaran atas pembelajarannya memenuhi dunia manusia. Dengan hadiah besar yang dia terima, memohon dari orang-orang dermawan yang menyukai kebajikan, dia mengumpulkan kekayaan yang cukup besar.

(1)
Seperti awan besar yang menghujani ladang, dia bergembira dengan kekayaannya, kerabatnya, teman-temannya, relasinya, tamunya, gurunya, mereka yang menderita maupun mereka yang harus dihormati.

(2)
Karena kemurahan hatinya yang agung, kemuliaan cemerlang yang diperolehnya melalui pembelajaran menjadi semakin bersinar. Keindahan lengkap bulan purnama pun semakin indah, saat musim gugur membuatnya bersinar terang.

Namun Sang Mahātmā segera memahami bahwa keadaan perumah tangga adalah sumber dari kesedihan dan hanya memberikan sedikit penghiburan; berkaitan erat dengan usaha yang salah, penuh dengan kualitas-kualitas yang berbahaya, yang adalah tempat tinggal kecerobohan (terkait tugas-tugas spiritual), merupakan keadaan yang menyusahkan, terhubung dengan pekerjaan untuk mengumpulkan kekayaan dan  menjaganya, memberi ruang lingkup kepada ratusan anak panah yang terdiri dari malapetaka dan kebiasaan jahat yang menghalangi ketenangan, dan disertai dengan kerja keras, karena itu menyiratkan perlunya menyelesaikan tugas yang tak terhitung banyaknya.

Di sisi lain, ia menjadi yakin bahwa meninggalkan keduniawian akan membawa kenyamanan melalui kebebasannya dari keburukan-keburukan itu, bahwa itu adalah kondisi yang mendukung pelaksanaan tugas-tugas spiritual, dan dapat disebut sebagai dasar yang tepat untuk menjalankan praktik spiritual yang dibutuhkan untuk pembebasan.

Maka ia membuang kekayaannya yang melimpah – seolah-olah itu adalah jerami – yang ia peroleh tanpa kesulitan dan memesona baginya, karena penghargaan tinggi yang dia nikmati dari para manusia. Kemudian ia menyerahkan dirinya pada ketaatan terhadap kedisiplinan dan pengendalian diri dari para pertapa yang meninggalkan keduniawian. Tetapi juga, setelah dia meninggalkan keduniawian – karena ketenarannya yang termashyur, ingatan terhadap kelahiran sebelumnya, penghormatan terhadap kebajikannya, dan ketenangan yang membuatnya unggul – seperti sebelumnya, Bodhisattva masih sering dikunjungi oleh orang-orang yang membutuhkan bimbingan, sehingga cia mendapatkan banyak penghormatan akibat kebajikannya yang begitu banyak.

Namun, karena dia tidak menyukai kontak dengan perumah tangga – karena mengurangi kebahagiaan yang muncul dari seluruh pelepasan terhadap keduniawian dan merupakan penghalang untuk membuang ikatan yang telah dia pegang – dia pergi ke pulau Kārā, bertekad untuk menyendiri. Pulau itu terletak di Samudra Selatan. Pantainya dibasahi oleh gelombang tak beraturan, yang digerakkan oleh angin dengan warna biru potongan safir, pasir putih yang menutupi tanahnya; aneka pohon, yang ranting-rantingnya dihiasi oleh bunga dan buah-buahan menambah keindahannya; sedangkan di dekat pantai terdapat sebuah danau dengan air murni. Negeri yang indah ini dia percantik dengan kemegahan pertapaannya.

(3)
Dia hidup di tempat itu, mewujudkan kilau dari pertapaan berat dengan tubuhnya yang kurus, yang ketika bulan sabit muncul di langit, menggabungkan keindahan yang luar biasa menjadi sebuah ukuran kecil.

(4)
Manusia yang tinggal di hutan ini, terserap dalam ikrar dan pertapaan, di mana tindakan dan sensasi sederhana membuktikan ketenangan pikirannya, adalah seorang Muni. Bahkan hewan liar berkaki empat dan burung di hutan pun mengerti, dan bahkan kecerdasan kecil mereka pun menjadi sadar mengenai hal itu, dan mereka meniru perilakunya.

Selagi berdiam di hutan pertapaan, Sang Bodhisattva, dengan kebiasaan memberi, terus menghormati para tamu yang kebetulan datang, dengan akar-akar dan buah-buahan yang baru saja dia kumpulkan, dengan air segar dan ucapan selamat datang yang hangat dan baik hati beserta berkah yang pantas untuk para pertapa. Sedangkan dirinya sendiri hidup dari makanan yang dihasilkan dari hutan seiring dengan tamunya pergi, dengan ketat membatasi makanannya untuk asupan tubuhnya.

Kemuliaan dari pertapaannya telah menyebar ke mana-mana sehingga Śakra, raja para dewa, tersentuh olehnya dan ingin membuktikan keteguhannya. Di bagian hutan tempat Bodhisattva berdiam, Śakra melenyapkan semua akar dan buah yang cocok untuk makanan para pertapa secara berturut-turut. Tetapi Bodhisattva, yang tenggelam dalam meditasi dan terbiasa dengan perasaan puas, tidak peka terhadap pengaruh kebodohan yang membingungkan, dan acuh tak acuh terhadap makanan dan tubuhnya, tidak mengarahkan pikirannya ke penyebab lenyapnya itu. Dan setelah menata daun-daun muda di atas api, dia selesai makan tanpa perasaan tidak puas, tidak juga merindukan makanan yang lebih baik, tetapi dia melanjutkan hidupnya dengan tenang seperti biasanya, dengan cara yang sama.

(5)
Penghidupan tidaklah sulit didapatkan oleh orang-orang yang berlatih dengan tekun. Sebutkanlah, di mana rumput, daun, dan kolam tidak dapat ditemukan?

Namun Śakra, raja para dewa, meskipun semakin terheran-heran karena perilaku Bodhisattva dalam situasi tersebut, beserta dengan pendapatnya yang tinggi tentang kebajikan semakin kuat, beralih ke cobaan yang lain. Seperti angin di musim panas ia menanggalkan semua pohon, semak dan rerumputan yang ada di hutan itu. Kemudian Bodhisattva, mengambil daun-daun yang gugur seolah masih segar, dan merebusnya dalam air, hidup seperti itu tanpa merasa tidak nyaman; bersukacita oleh kebahagiaan meditasi, dia tinggal di sana seolah-olah dia telah menikmati santapan para dewa.

(6)
Sederhana dalam apa yang dipelajari, ketidaktertarikan pada harta kekayaan, dan kepuasan di dalam pertapaan: setiap kebajikan yang luar biasa ini adalah harta tertinggi dari tiap-tiap hal tersebut.

Keteguhan yang luar biasa dari kepuasannya itu semakin mengejutkan Śakra. Seolah-olah dia marah karenanya, setelah mengambil wujud seorang Brāhmana, dia berpura-pura menjadi seorang tamu. Dia muncul di depan mata Bodhisattva, ketika pada waktu yang ditentukan oleh sumpahnya, setelah melakukan pengorbanan Agnihotra dan mengulangi doa-doanya, sedang menanti tamu. Dan Bodhisattva bersukacita pergi menemuinya, menyambutnya dan mengucapkan kata-kata yang baik kepadanya, mengundangnya untuk makan dengan mengumumkan kepadanya bahwa sudah waktunya makan. Memahami dari kesunyiannya bahwa dia menerima penawaran itu, Sang Mahātmā,

(7)
Mewujudkan dengan matanya yang membesar dan wajahnya yang berseri-seri yang dia alami dalam mempraktikkan dāna, dan menggembirakan tamunya dengan kata-kata lembut yang menyenangkan bagi pikiran dan telinga, menghiburnya dengan seluruh daun rebusnya, yang telah dia miliki dengan begitu banyak kesulitan untuk didapat, dan dia hanya berpuas hati dengan sukacita.

Dan meskipun demikian dia memasuki kediaman meditasinya, melewati siang dan malam itu dalam kegembiraan yang luar biasa.

Pada keesokan harinya, Śakra muncul kembali kepadanya dengan cara yang sama, pada waktu yang ditekadkan untuk (pemenuhan) sumpahnya (tentang keramahan). Kemudian dia juga melakukannya juga pada hari ketiga, keempat, dan kelima. Dan Agastya menerimanya sebagai tamunya dengan cara yang sama, dengan lebih banyak kegembiraan.

(8)
Sesungguhnya, tiada penderitaan, bahkan bahaya hidup, yang mampu memaksa orang bermoral untuk melakukan pelanggaran yang menyedihkan dari kecintaan mereka untuk memberi, cinta yang dipupuk oleh praktik rasa simpati mereka.

Kemudian Śakra, yang pikirannya diliputi oleh keheranan yang luar biasa, mengetahui bahwa Agastya mampu menggunakan kekuatan pertapaannya untuk memiliki alam para dewa (milik Śakra) jika dia menginginkannya, mulai merasa gelisah dan merasa takut. Setelah mengambil wujud dewanya yang indah, dia mempertanyakan tujuan Agastya melakukan pertapaan.

(9, 10)
“Katakanlah, apa harapanmu, sehingga mereka dapat mendorongmu untuk meninggalkan sanak-saudara yang engkau cintai, yang meneteskan air mata saat kepergianmu, rumah tangga dan harta benda yang telah menjadi sumber kebahagiaan bagimu, dan mengambil jalan pertapaan yang berat ini?

Karena ini bukanlah motif yang remeh bahwa yang bijak memandang rendah kenikmatan yang didapatkan dengan mudah, dan merundungi kerabat mereka dengan kesedihan, membiarkan mereka pergi ke hutan pertapaan untuk menghancurkan kesenangan.

(11)
Jika menurutmu ini dapat diberitahukan kepadaku, tolong, puaskanlah rasa ingin tahuku. Apa yang engkau inginkan, hingga menembus ke dalam kualitas-kualitas luar biasa mengagumkan hingga titik ini?

Bodhisattva menjawab: “Dengarlah, tuan, alasanku mengerahkan diriku.

(12)
Kelahiran yang berulang cenderung sangat menyedihkan; begitu pula usia tua dan penyakit yang membawa malapetaka, wabah yang menyedihkan itu; dan keharusan untuk mati adalah gangguan pada pikiran. Dari keburukan-keburukan itu aku bertekad untuk menyelamatkan makhluk-makhluk itu.”

(13)
“Pertapa Kāśyapa, untuk kalimat yang benar dan diucapkan dengan baik ini aku memberimu anugerah; pilihlah apa yang engkau inginkan.”

Bodhisattva, yang sama sekali tidak menginginkan kesenangan dan kegembiraan yang berhubungan dengan keduniawian, berpikir bahwa meminta apapun adalah menyakitkan, karena ia telah mencapai keadaan puas, ia berkata kepada Śakra:

(14)
“Jika engkau ingin memberiku anugerah, itu mungkin menyenangkanku, aku meminta anugerah ini kepada para dewa yang paling utama,

(15)
Semoga api ketamakan itu, yang setelah mendapatkan istri tercinta, anak-anak, kekuasaan, kekayaan yang lebih melimpah dari yang didambakan, masih terus memanaskan pikiran manusia untuk tidak pernah puas ― semoga api itu tidak pernah memasuki hatiku!”

Kepuasan hati yang dinyatakan melalui ungkapan yang baik ini menyenangkan Śakra dalam tingkat yang lebih tinggi. Dia memuji Bodhisattva sekali lagi, berkata: “Luar biasa, luar biasa!” dan sekali lagi dia mendesaknya untuk mengambil sejumlah anugerah.

(16)
“Muni, juga untuk kebenaran dan kalimat yang diucapkan dengan baik ini, aku dengan senang hati menawarkanmu imbalan dari anugerah yang kedua.”

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan kepadanya kesulitan untuk menyingkirkan kekotoran batin sepenuhnya, kembali menyampaikan Dharma kepadanya dengan kedok meminta anugerah,

(17)
“Jika engkau memberiku anugerah, engkau Vāsava, tempat tinggal dengan kualitas-kualitas luar biasa, maka aku memohon kepadamu anugerah lain, dan bukan yang jahat, wahai raja para dewa.

(18)
Semoga api kebencian itu, yang membuat tunduk para makhluk yang kehilangan kekayaan, kehilangan kasta dan reputasi yang baik, seolah-olah mereka dikalahkan oleh serangan yang bermusuhan ― semoga api itu jauh dariku!”

Mendengar ini, Śakra, raja para dewa, sangat mengaguminya, memujinya: “Luar biasa, luar biasa!” dan dia berkata lagi:

(19)
“Yang tersohor, seperti wanita yang penuh kasih, memperhatikan mereka yang telah meninggalkan keduniawian. Baiklah, terimalah anugerah lain dariku untuk kalimat yang diucapkan dengan baik ini. “

Kemudian Bodhisattva, yang didorong oleh penolakannya terhadap kekotoran batin untuk menyalahkan hubungan dengan makhluk-makhluk yang tidak bebas dari hawa nafsu, dengan kedok menerima anugerah, mengatakan ini:

(20)
“Semoga aku tidak pernah mendengar orang bodoh, atau melihat orang seperti itu, atau berbicara dengan orang seperti itu, atau menanggung gangguan dan rasa sakit akibat hidup bersama orang seperti itu! Itulah anugerah yang aku minta kepadamu.”

Śakra berbicara:

(21, 22)
“Apa yang engkau katakan? Siapa pun yang berada dalam kesusahan adalah yang paling pantas mendapatkan simpati dari orang-orang bajik. Sekarang, kebodohan yang menjadi akar malapetaka, dianggap sebagai kondisi yang paling keji. Bagaimana mungkin sehingga engkau, meskipun berwelas asih, membenci melihat orang bodoh, seseorang yang sangat tepat untuk mendapatkan simpati?

Bodhisattva menjawab: “Karena tidak ada bantuan baginya, Tuan. Pikiranlah hal ini:

(23)
“Jika orang bodoh bisa disembuhkan dengan pengobatan tertentu, bagaimana mungkin orang sepertiku tidak membawakan sesuatu yang baik baginya?

Tetapi orang yang seperti itu ― Anda harus mengerti ― tidak dapat memperoleh manfaat sama sekali dari pengobatan apapun.

(24, 25)
Dia mengikuti haluan yang salah, seolah-olah itu adalah yang benar, dan juga ingin menempatkan sesamanya dengan cara itu, dan tidak terbiasa dengan perilaku yang baik dan lurus,  bahkan menjadi marah ketika dinasehati demi kebaikannya.

Sekarang, kemudian, kepada orang seperti itu, yang terbakar dengan kemelekatan terhadap kesombongan diri, menganggap dirinya bijak, yang kemarahan kerasnya diprovokasi oleh mereka yang berbicara demi kebaikannya, dan yang ketegasannya belum dilunakkan karena kurangnya pendidikan moral – katakanlah, apakah membawa kebaikan baginya itu bermakna?

(26)
Karena alasan inilah, maka, wahai yang terunggul di antara para dewa, karena tidak ada yang dapat membantunya, bahkan dalam kekuatan welas asih, aku tidak ingin melihat orang bodoh, karena dia adalah objek yang paling tidak layak.”

(27)
“Permata yang tak ternilai dari kalimat yang diucapkan dengan baik tidak dapat dihargai dengan padanan apapun. Tapi sebagai segenggam bunga untuk memujamu, aku dengan senang hati menawarkan beberapa keuntungan bagimu untuk hal-hal ini juga. “

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan bahwa yang bajik diterima dalam setiap keadaan, berkata:

(28)
“Bolehkah aku melihat orang bijak, dan mendengar orang bijak, tinggal dengan orang yang demikian, Śakra, dan bercakap-cakap dengan orang seperti itu! Inilah anugerah yang terbaik dari para dewa, kabulkanlah aku,

Śakra berkata: “Nampaknya engkau sungguh adalah pengikut dari orang bijak yang hangat. Mengapa, beritahu aku jika demikian,

(29)
Apa yang telah dilakukan orang bijak untukmu? Katakanlah, Kāśyapa, apa alasan Anda menunjukkan keserakahan yang agak bodoh ini bagi pandangan orang bijak? “

Kemudian Bodhisattva, untuk menunjukkan kepadanya kemurahan hati dari yang bajik, berkata: “Dengarkanlah, Tuan, untuk alasan apa pikiran saya merindukan melihat seorang yang bijaksana,

(30, 31)
Dia sendiri berjalan di jalan kebajikan, dan membawa juga orang lain ke jalan itu, dan kata-kata yang diucapkan demi kebaikannya, bahkan jika itu kasar, tidak membangkitkan ketidaksabarannya.

Dihiasi oleh kejujuran dan kesopanan, selalu memungkinkan untuk membuatnya menerima apa yang dikatakan demi kebaikannya. Untuk alasan ini pikiran saya, mengikuti moralitas, cenderung untuk memihak pada moralitas.”

Kemudian Śakra memujinya dengan berseru: “Kata-kata yang bagus! Sungguh luar biasa! ” dan dengan kepuasan meningkat kembali memanggilnya untuk meminta anugerah.

32, 33)
“Sesungguhnya, engkau telah memperoleh segalanya, karena engkau sepenuhnya puas, namun engkau harus mengambil beberapa anugerah dariku, menganggapnya sebagai sarana untuk menyenangkanku.

Karena bantuan yang ditawarkan karena rasa hormat, dari kelimpahan kekuasaan, dan dengan harapan memberikan manfaat, menjadi penyebab rasa sakit yang luar biasa, jika tidak diterima.”

Kemudian Bodhisattva, melihat keinginan besarnya untuk melakukan kebaikan, dan ingin menyenangkan dia dan memberi manfaat kepadanya, menjawab untuk menyatakan kepadanya keunggulan dari keinginan yang kuat untuk berdana.

(34)
“Semoga makananmu, yang bebas dari kehancuran dan kerusakan; pikiranmu, yang indah karena praktik amal, dan fakir miskin yang dihiasi oleh kemurnian perilaku baik mereka, menjadi milikku! Inilah anugerah terbaik yang kuminta.”

Śakra berkata: “Penghormatanmu adalah tambang permata dari kalimat-kalimat yang diucapkan dengan baik. Lagipula,

(35)
Tidak hanya semua yang engkau minta akan dikabulkan, tetapi karena kalimat yang diucapkan dengan baik ini aku memberimu anugerah lain.”

Bodhisattva berkata:

(36)
“Jika engkau mau memberiku anugerah yang menyertakan kemurahan hati tertinggi bagiku, wahai yang teragung dari para dewa, jangan datang kepadaku lagi dalam kemegahanmu yang membara ini. Untuk anugerah ini aku meminta penghancur para Daitya.”

Atas permintaan ini Śakra merasa sedikit terganggu, dan sangat heran dia kemudian berbicara kepadanya: “Jangan bicara begitu, tuan.

(37)
Dengan setiap jenis ritual: doa, sumpah, pengorbanan, dengan pertapaan dan kerja keras, orang-orang di bumi berusaha untuk melihatku. Tetapi engkau tidak menginginkannya. Untuk alasan apa? Aku datang kepadamu, ingin melimpahkan anugerahku kepadamu.”

Bodhisattva berkata: “Jangan menyerah pada amarahmu. Aku akan menenangkan Yang Mulia, raja para dewa. Bukan karena tidak sopan aku meminta ini, juga bukan karena tidak hormat, saya juga tidak bertujuan untuk menunjukkan kurangnya keyakinan terhadap Yang Mulia. Tidak sama sekali, tetapi,

(38)
Merenungkan bentuk luar biasamu yang mengagumkan, yang meskipun bersinar lembut, masih berkobar dengan kecemerlangan, aku takut melihatmu, betapapun lembutnya bersinar, jangan sampai itu menyebabkan keinginan ketat dalam pemenuhan pertapaanku.”

Kemudian Śakra membungkuk padanya, memutarinya dari kiri ke kanan, dan menghilang di tempat. Dan saat fajar, Bodhisattva menerima banyak makanan dan minuman surgawi, dibawa oleh kekuatan Śakra, dan ratusan Pratyekabuddha dipanggil atas undangan Śakra, juga para putra dewa siap menunggu pada mereka.

(39)
Menyediakan makanan dan minuman dengan cara ini, yang diinginkan orang-orang bijak yang suci, sang Muni memperoleh kegembiraan yang luhur; dan dia bergembira dalam cara hidup yang sesuai dengan para petapa, dalam melakukan sumpah meditasinya yang tak terbatas (dhyāna), dalam ketenangan.

Dengan cara inilah, tindakan kemurahan hati yang kuat menjadi hiasan bagi para pertapa, terlebih lagi pada perumah tangga. [Dengan demikian, orang yang bajik harus menghiasi dirinya dengan keteguhan yang kuat untuk memberi.

(Cerita) ini juga harus ditambahkan, ketika memperlakukan kegembiraan yang disebabkan oleh seorang pria yang murah hati dan dermawan; ketika menyalahkan ketamakan, kebencian, kemelekatan, dan kebodohan; ketika berkhotbah tentang kebajikan dalam hubungan dengan seorang teman yang bajik, atau tentang kepuasan.

Demikian pula dalam khotbah-khotbah tentang kemurahan hati dari Sang Tathāgata; “Guru Agung kita adalah tambang permata yang tak ada habisnya dengan ucapan yang luar biasa ketika masih dalam kehidupan sebelumnya, terlebih lagi setelah dia mencapai Kesempurnaan Kebijaksanaan”]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 6 – SASA-JATAKA

Jātakamālā 6 – Śaśajātakam
(Kisah tentang Kelinci)

Jātakamālā 6 – Śaśajātakam
(Kisah tentang Kelinci)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Praktik dana berdasarkan kekuatan mereka bagi Sang Mahātmā, bahkan ketika dalam wujud binatang sekalipun, adalah fakta yang ditunjukkan; lalu siapakah, sebagai seorang manusia, yang hendaknya tidak berdana? Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Di beberapa wilayah hutan yang berpenghuni ada tempat yang sering dikunjungi oleh para pertapa. Hutan itu dipenuhi semak belukar yang terbuat dari tanaman merambat, rerumputan, dan pepohonan yang indah; berlimpah bunga dan buah-buahan; dihiasi di perbatasannya dengan sungai, yang alirannya biru dan murni seperti lapis lazuli; tanahnya, tertutup karpet dari rumput yang lembut, halus saat disentuh dan indah dipandang. Di sana Bodhisattva hidup sebagai seekor kelinci.

(1)
Sebagai akibat dari kebaikannya, sosoknya yang luar biasa, kekuatannya yang unggul, dan semangatnya yang besar, tidak ditakuti oleh binatang-binatang kecil ataupun menakuti yang lain, ia berperilaku seperti raja hewan di bagian hutan itu.

(2)
Memenuhi keinginannya dengan sebilah rumput, dia memiliki penampilan yang tampan sebagai seorang Muni. Untuk kulit pertapa yang dia kenakan sendiri, pakaian kulit kayunya adalah bulu-bulu di tubuhnya.

(3)
Karena semua yang dia lakukan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan dimurnikan oleh keramahannya, sebagian besar hewan yang terbiasa dengan kejahatan kini bersikap bagai murid dan teman-temannya.

Secara khusus, dia telah mendapatkan hati seekor berang-berang, serigala, dan kera. Mereka menjadi sahabatnya, tertarik oleh cinta dan rasa hormat, di mana kebajikan utamanya menghilhami dalam diri mereka. Bagai hubungan yang kasih sayangnya dilandasi dengan hubungan timbal balik, dan bagai sahabat yang pertemanannya tumbuh karena penyesuaian pada keinginan satu sama lain, mereka melewatkan waktu dengan bergembira bersama. Bertentangan dengan sifat orang-orang yang kejam, mereka menunjukkan welas asih kepada para makhluk hidup; dan ketamakan mereka telah padam, sehingga mereka lupa untuk melakukan pencurian. Dengan perilaku ini dan dengan memperhatikan kemasyhuran yang selaras dengan moralitas (śīla) dan kebenaran (Dharma), dengan pemahaman mereka yang tajam, dan dengan ketaatan terhadap kewajiban-kewajiban agama dengan cara yang disetujui oleh orang-orang bijak, mereka membangunkan kekaguman pada para dewa.

(4, 5)
Jika di luar dua jalur perilaku – yang sesuai dengan kesenangan dan menghambat moralitas, dan yang sesuai dengan moralitas dan menghalangi kesenangan – seseorang menerapkan dirinya pada sisi yang bermoral, maka dia sudah terkemuka; terlebih lagi pada makhluk yang berwujud binatang!

Tetapi di antara mereka, dia yang memiliki sosok kelinci dan merupakan guru mereka, sangat berkeyakinan; dia sangat menghargai praktik welas asih untuk makhluk lain, dan karakter aslinya yang sangat baik disertai dengan seperangkat kebajikan, sehingga kemasyhuran mereka mencapai alam para dewa.

Pada suatu malam, Sang Mahātman sedang bersama teman-temannya, yang datang kepadanya untuk mendengarkan dia berkhotbah tentang Dharma dan dengan hormat duduk di kakinya. Rembulan, yang berada pada jarak sangat jauh dari matahari, menunjukkan bulatannya yang hampir penuh dan terang menyerupai cermin perak tanpa pegangan. Ketika Bodhisattva melihat bulan menunjukkan piringannya yang tidak bulat penuh di satu sisi, dan menganggap bahwa itu adalah bulan keempat belas dari setengah terang yang telah terbit, dia berkata kepada rekan-rekannya:

(6)
“Lihatlah! Rembulan dengan keindahan bola yang hampir sempurna mengumumkan dengan wajah berseri karena ini adalah hari suci poṣadha bagi orang-orang bajik.

Pastinya, keesokan hari adalah tanggal lima belas. Kalian harus melakukan sesuai dengan tugas keagamaan yang ditentukan untuk hari poṣadha, dan tidak memuaskan keinginan untuk menopang tubuh kalian sebelum menghormati tamu yang datang dengan makanan yang sangat baik yang diperoleh dengan cara yang benar. Kalian harus mempertimbangkan sebagai berikut:

(7. 8)
Pada akhirnya, seluruh perpaduan akan meluruh; dan akhir dari keadaan yang tinggi adalah kejatuhan yang kelam: hidup ini rapuh dan berubah-ubah bagai kilatan petir. Untuk alasan inilah, kalian harus berwaspada terhadap kecerobohan (dalam memenuhi tugas-tugasmu), dan juga berusaha untuk meningkatkan jasa kebajikan dengan berdana, dengan perilaku baik (śīla) sebagai hiasannya.

Tindakan jasa kebajikan adalah sokongan terkuat bagi para makhluk yang bergerak dalam rangkaian kelahiran yang menyulitkan.

(9, 10)
Bahwa bulan dengan kecemerlangannya yang indah mengalahkan kemilau bintang-bintang, bahwa kemegahan matahari mengalahkan teladan-teladan (lainnya), adalah karena keagungan kualitas yang dihasilkan oleh jasa kebajikan.

Juga oleh kekuatan jasa kebajikan mereka, raja-raja yang perkasa menyebabkan para pejabat tinggi dan pangeran untuk memikul pikulan komando mereka dengan rela dan dengan keangkuhan yang mereda, bagai kuda-kuda yang hebat,

(11)
Tetapi jika mereka tidak memiliki jasa kebajikan, kemalangan akan mengejar mereka, selama mereka terus bergerak di jalan politik (nīti). Karena ketidakbahagiaan itu melayang-layang, ditampikkan oleh kelebihan jasa kebajikan, mengelilingi mereka yang tidak memiliki jasa kebajikan seolah digerakkan oleh amarah.

(12)
Tinggalkanlah jalan tercela itu, karena penderitaan mendasarinya dan berhubungan dengan aib. Tetapi jasa kebajikan menjadi sumber dan instrumen kebahagiaan yang termasyhur, kalian harus menjaga pikiran kalian tetap fokus pada semua kesempatan untuk mengumpulkannya.”

Yang lain, setelah mendengarkan ajarannya, menyetujuinya, dan memberi penghormatan kepadanya dengan mengelilingi dia dari kiri ke kanan, lalu mereka pulang masing-masing ke kediamannya. Ketika rekan-rekannya tidak jauh, Sang Mahātman memasuki perenungan ini:

(13-15)
“Mereka bisa memberi hormat dengan beberapa makanan kepada tamu lain yang mungkin kebetulan datang, tetapi aku berada dalam kondisi yang menyedihkan di sini. Sama sekali tidak mungkin untuk memberikan tamu dengan bilah rumput yang sangat pahit yang kupotong dengan gigiku.

Oh! betapa tak berdayanya diriku! Ketidakberdayaanku merundungiku. Maka, apa gunanya hidup bagiku, karena seorang tamu yang seharusnya menjadi kegembiraan bagiku, dengan cara ini harus menjadi kesedihan!

Dalam kesempatan apa, tubuh yang tidak berharga ini, yang bahkan tidak dapat melayani seorang tamu, menyerah untuk memberikan keuntungan bagi siapa pun?” Ketika perenungannya sampai pada titik itu, Sang Mahātman memulihkan ketajaman pikirannya. “Baiklah!

(16)
Kepemilikan yang sesuai dengan tujuan untuk menghormati setiap tamu mudah didapat; karena itu ada di dalam kekuatanku, tidak bisa dibanta, bukan milik siapa pun kecuali aku; itu adalah milik tubuh saya.

Lalu, mengapa aku harus berada dalam masalah?

(17)
Ya, aku telah menemukan makanan yang layak untuk tamuku; Sekarang, hatiku, meninggalkan duka dan kesedihanmu! Dengan tubuhku yang kusam ini, aku akan mempraktikkan keramahan dan memuaskan keinginan tamuku.”

Setelah memutuskan demikian, Bodhisattva merasakan kegembiraan yang luar biasa seolah-olah dia telah memperoleh keuntungan yang sangat besar, dan tetap di sana (di kediamannya, menunggu beberapa tamu).

(18)
Kini, ketika perenungan luhur itu muncul dengan sendirinya ke dalam pikiran sang Bodhisattva, para dewa memanifestasikan kebaikan dan kekuatan mereka.

(19-21)
Bumi berguncang bersama dengan pegunungannya, seolah karena gembiral; begitu pula dengan pakaiannya, samudra, bergejolak; genderang surgawi bergema di angkasa; wilayah cakrawala dihiasi dengan kemilau yang tenang; di sekeliling awan-gemawan dalam wujud yang menyenangkan, yang diikat dengan kilat dan mengeluarkan gemeretak petir lembut yang berkepanjangan, menaburkan pancuran bunga yang jatuh berdekatan padanya, sehingga menyebarkan serbuk sari melalui udara oleh pertemuan mereka.

Dewa angin juga menunjukkan penghormatannya; dia meniup dengan terus-menerus, memberikan harum serbuk bunga dari berbagai pohon kepadanya, seolah-olah karena kegembiraan dia mempersembahkannya dengan selubung tipis, menadah berbagai persembahan itu dengan pola yang terus berubah.

Saat para dewa bergembira dan takjub, memuji ketetapan hati Bodhisattva yang mengagumkan di seluruh penjuru, Śakra raja para dewa menyadarinya; dan keingintahuan serta rasa takjub memenuhi pikirannya, dia berkeinginan untuk mengetahui kebenaran tentang sifatnya. Keesokan harinya saat air pasang, saat matahari terbit di tengah-tengah langit, menyorotkan sinarnya yang paling tajam; ketika cakrawala, yang diselimuti jaring cahaya yang bergetar dan terselubung dengan semburan panas pancaran telah menyilaukan untuk dipandang; saat bayangan berkontraksi; saat bagian dalam hutan bergema dengan pekikan keras jangkrik; ketika burung-burung berhenti menunjukkan diri mereka sendiri dan tenaga orang yang bepergian telah habis oleh kepanasan dan kelelahan: pada waktu itu, kemudian, Śakra, pemimpin (adhipati) dari para dewa telah mengambil wujud seorang Brāhmana, menangis tidak jauh dari tempat keempat hewan itu hidup. Dia menangis dan meratap dengan keras, seperti orang yang tersesat, dan seperti orang yang kelelahan karena lapar dan haus, kelelahan dan kesedihan.

(22)
“Sendirian dan tersesat, setelah kehilangan gerobakku, aku menjelajahi hutan yang dalam, kelelahan oleh lapar dan letih. Tolonglah aku, wahai yang bajik!

(23)
Tidak mengetahui jalan yang benar atau yang salah, kehilangan arah pedomanku, mengembara secara acak, sendirian di hutan belantara ini. Aku menderita kepanasan, kehausan, dan kelelahan. Siapakah yang akan menggembirakanku dengan kata-kata bersahabat yang ramah?”

Para Bodhisattva, tersentuh di dalam hati dan khawatir oleh suara jeritan memilukan yang meminta pertolongan, dengan cepat pergi ke tempat itu, dan melihatnya menunjukkan penampilan yang menyedihkan dari seorang pengelana yang tersesat, mendekatinya dan dengan sikap hormat mengucapkan kata-kata penghiburan ini kepadanya:

(24, 25)
“Jangan terusik lagi, mengira engkau tersesat di hutan belantara; bersama kami, anggaplah seolah-olah engkau sedang bersama dengan pengikut-pengikutmu sendiri. Oleh karena itu, berilah kami kemurahan hati untuk menerima pelayanan kami hari ini, wahai tuan yang berbudi; esok hari engkau dapat pergi menurut keinginanmu.”

Kemudian berang-berang, memahami dari kesunyiannya bahwa dia menerima undangan itu, pergi dengan tergesa-gesa; kegembiraan dan kegelisahan mempercepat langkahnya. Dia kembali dengan tujuh ikan rohita, yang dia tawarkan padanya, mengatakan:

(26)
“Ketujuh ikan ini aku temukan di tanah kering, di mana mereka terbaring tak bergerak seolah-olah tertidur karena kelelahan; entah mereka telah ditinggalkan di sana oleh para nelayan yang melupakan mereka, atau mereka telah melompat ke pantai karena ketakutan. Makanlah mereka, dan tetaplah berada di sini.”

Kemudian serigala juga membawakan kepadanya makanan yang kebetulan dia miliki pada waktu itu, dan setelah membungkuk hormat, dengan hormat dia berbicara sebagai berikut:

(27)
“Ini, wahai pengembara, adalah seekor kadal dan satu bejana susu asam, ditinggalkan oleh seseorang; berikan aku manfaat karena engkau telah menikmatinya, dan tinggallah di hutan ini malam ini, wahai engkau yang merupakan tempat tinggal kebajikan!”

Mengucapkan itu, dia menyerahkan bawaan-bawaan itu kepadanya dengan kegembiraan pikiran yang sangat kuat.

Kemudian kera itu mendekat. Dia membawakan buah mangga, yang matang dan unggul oleh kelembutannya, warna jingganya yang kuat, seolah-olah diwarnai dengan orpimen merah, ujung tangkainya yang sangat merah, dan kebulatannya; dan menunjukkan penghormatan dengan bersikap añjali, dia berbicara:

(28)
“Mangga yang matang dan airnya enak, menyegarkan seperti kesenangan masyarakat yang baik, hal-hal ini, wahai yang terbaik dari mereka yang mengenal brahma, adalah yang kupunya untukmu. Nikmatilah dan bermalamlah di sini.”

Kemudian kelinci mendekat, dan segera setelah dia melakukan penghormatan, dia memintanya menerima persembahan dari tubuhnya sendiri. Karena itu dia berbicara, memandangnya dengan penuh hormat:

(29)
“Seekor kelinci, yang dibesarkan di hutan, tidak memiliki kacang, biji wijen, ataupun beras untuk dipersembahkan, hanya mempersiapkan tubuhku ini dengan api, dan setelah menyantapnya, bermalamlah di pertapaan ini.

(30)
Pada hari baik datanglah seorang pengemis, setiap hewan memberinya apa pun dari barang-barangnya yang dapat menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi kekayaanku terbatas hanya pada tubuhku; ambillah, kalau begitu. Inilah seluruh kepemilikanku.”

Śakra menjawab:

(31)
“Bagaimana mungkin orang sepertiku membunuh makhluk hidup lain? Dan apalagi makhluk sepertimu, yang telah menunjukkan rasa persahabatan kepadaku?”

Kelinci itu berkata: “Sesungguhnya, ini menjadi baik bagi seorang Brāhmana untuk berwelas asih. Kalau begitu, setidaknya engkau harus memberiku kebaikan untuk beristirahat di sini, di tempat ini; sementara itu aku berpikir aku akan menemukan dalam beberapa cara atau cara lain untuk menunjukkan kebaikanku kepadamu.”

Sekarang Śakra, raja para dewa, memahami niatnya, dengan sihirnya menciptakan tumpukan arang yang terbakar tanpa asap; tumpukan ini memiliki warna emas murni, api yang sangat tipis menyembur keluar darinya, dan banyak percikan api tersebar di sekitarnya. Kelinci, yang melihat sekeliling dari semua sisi, menyadari api itu. Saat melihatnya, dia berucap dengan gembira kepada Śakra: “Aku telah menemukan cara untuk menunjukkan kepadamu kebaikanku. Maka, engkau harus memenuhi harapan di mana aku memberi engkau anugerah ini, dan menyantap tubuhku. Lihat, Brāhmana yang agung,

(32)
Merupakan kewajibanku untuk memberi dalam berdana, dan hatiku cenderung untuk melakukannya, dan pada orang seperti engkau aku telah bertemu dengan seorang tamu yang layak; kesempatan untuk memberi seperti itu tidak dapat diperoleh dengan mudah. Maka buatlah pemberianku tidak sia-sia, karena itu tergantung pada engkau.”

Demikianlah Sang Bodhisattva membujuknya, dan setelah menunjukkan penghormatan dan penghargaan kepadanya, respeknya, dan pikirannya yang ramah –

(33)
Kemudian, dengan kegembiraan penuh, seperti seseorang yang menginginkan kekayaan karena tiba-tiba melihat sebuah harta karun, ia melemparkan dirinya ke dalam api yang berkobar itu, bagai angsa agung yang terjun ke dalam kolam dengan teratai yang merekah.

Ketika pemimpin dewa melihat perbuatan ini, dia terharu dengan kekaguman yang tertinggi. Mengembalikan wujud aslinya sendiri, dia memuji Bodhisattva dengan kata-kata yang menyenangkan untuk pikiran dan telinga dan didahului dengan taburan bunga surgawi. Kemudian dengan tangannya yang halus penuh kilau, seperti kelopak bunga teratai putih, dan dihiasi dengan jari-jari mereka yang berkilauan seperti ornamen permata, dia mengangkatnya sendiri dan menunjukkannya kepada para dewa. Lihatlah, para dewa, penghuni kediaman surgawi, lihatlah dan bersukacitalah atas perbuatan yang menakjubkan ini, pengorbanan dari Bodhisattva ini.

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 4 – SRESTHI-JATAKA

Jātakamālā 4 – Śreṣṭhijātakam
(Kisah Sang Pemimpin Perkumpulan)

Jātakamālā 4 – Śreṣṭhijātakam
(Kisah Sang Pemimpin Perkumpulan)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Meski berada di depan bahaya sekalipun, orang bajik akan tetap memberi. Maka siapakah yang tidak memberi ketika berada dalam kondisi aman? Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu waktu, ketika Guru Agung kita masih seorang Bodhisattva, dia adalah kepala sebuah perkumpulan. Sebagai akibat dari jasa kebajikan lampaunya yang berlimpah dan karena perilakunya yang agung, dia memeroleh tanah kekuasaan yang luas. Keadilan dan kejujurannya dalam berdagang membuatnya sangat dihargai di antara orang-orang lainnya. Dia terlahir dari keluarga yang termasyhur; telah mengenal dirinya sendiri melalui berbagai cabang ilmu dan seni, dan dengan itu ia memurnikan pikirannya. Kualitas dan kebajikan luhurnya ini menyebabkan dia dihormati oleh raja, karena dia selalu menjaga śīla dan dāna, dia berbagi kemewahannya dengan orang-orang.

(1)
Para fakir miskin mencintainya, memuji namanya dengan jauh dan luas, sehingga memenuhi semua bagian cakrawala dengan reputasi tinggi dari kecapakannya sebagai seorang dermawan.

(2)
Bersamanya, tidak ada seorang pun orang miskin yang terayun mengambang dalam keraguan apakah dia akan memberi atau tidak. Percaya pada dermawan luar biasa yang terkenal ini, para fakir miskin cukup berani untuk mengajukan keinginan mereka dengan bebas.

(3)
Dan dia tidak menyembunyikan kekayaannya dari mereka, tidak untuk kesenangannya sendiri, atau berusaha untuk meniru orang lain, ataupun dikuasai oleh keserakahan. Tidak mungkin baginya untuk melihat penderitaan para fakir miskin, dan untuk alasan inilah dia menghindar untuk berkata tidak kepada mereka.

Suatu hari, pada waktu makan, ketika Bodhisattva baru selesai mandi dan mengurapi dirinya sendiri, dan menyantap makan malam lengkap yang terdiri dari berbagai hidangan makanan keras dan lunak dan sebagainya ― makanan yang dipersiapkan oleh juru masak yang terampil dan unggul, dan dipersiapkan sedemikian rupa untuk menyenangkan hati dengan warna, aroma, rasa, tekstur, dan sebagainya ― seorang pertapa mendekati rumahnya. Dia adalah seorang Pratyekabuddha, yang dengan api pengetahuannya telah membakar habis semua bahan bakar nafsu keinginan jahat, dan sekarang ingin meningkatkan jasa kebajikan sang Bodhisattva. Dia berdiri di depan pintu gerbang.

(4)
Dia berdiri di sana tanpa rasa khawatir, tanpa kegelisahan, memandang dengan tegas dan tenang ke jarak yang tidak lebih jauh dari panjang sebuah kuk, dalam sikap yang tenang, memegangi jari-jari putih bagai teratai yang menggenggam mangkuk pindapatta.

Kemudian Māra, sang penggoda, merasa tidak nyaman karena mengetahui Bodhisattva akan menikmati kebahagiaan berderma. Untuk menghalangi jalannya, di antara jalan Sang Bodhisattva menuju pintu masuk, dia menggunakan sihirnya untuk menciptakan pintu masuk menuju neraka yang amat dalam dengan lebar beberapa depa. Dari pintu itu terlihat pemandangan yang menakutkan, disertai dengan suara-suara yang mengerikan. Api yang sangat membara terbakar di dalamnya, di mana terdapat ratusan orang yang sedang sangat menderita.

Sementara itu, Bodhisattva, melihat Pratyekabuddha datang untuk mencari dana makanan, berkata kepada istrinya: “Sayangku, pergilah dan berikan makanan yang banyak kepada orang suci itu.” Istrinya menjawab bahwa dia akan melakukannya, dan pergi dengan makanan keras dan lunak yang luar biasa; tetapi melihat neraka di dekat pintu gerbang, dia tiba-tiba berbalik, dilanda oleh kengerian dengan tatapan bingung.

Ketika suaminya menanyakan apa yang terjadi, dia tidak mampu menjawabnya; ketakutan yang tiba-tiba itu hampir membuat tenggorokannya tersumbat. Akan tetapi, karena Bodhisattva merasa tidak nyaman dengan pikiran bahwa orang suci ini mungkin akan meninggalkan rumahnya tanpa menerima makanan yang dimintanya, dia tidak mengindahkan apa yang dikatakan oleh istrinya. Dia mengambil makanan keras dan lembut yang unggul itu sendiri, berniat mengisikannya ke dalam mangkuk pindapatta.

Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang, ia melihat neraka yang paling mengerikan di antara keduanya. Dan sementara dia memikirkan apa artinya ini, Māra sang penggoda keluar dari tembok rumah, muncul dalam wujud dewa dan menakjubkan, berdiri di udara, dan seolah-olah ingin berbuat baik kepada Bodhisattva, berbicara: “Perumah tangga, ini adalah neraka besar bernama Mahāraurava.

(5)
Di sinilah tempat tinggal ― tempat tinggal yang sulit untuk dihindari ― dari mereka yang rakus akan suara pujian para fakir miskin, berkeinginan memberikan kekayaan, memanjakan diri dalam hasrat tercela untuk berdana. Di neraka ini mereka harus tinggal selama ribuan musim gugur.

(6)
Kemakmuran materi (artha) adalah penyebab utama perjuangan dunia yang teratur setelah tiga serangkai objek. Barangsiapa melukai artha, melukai kebenaran (dharma) juga. Lalu, bagaimana mungkin orang yang merusak kebenaran dengan menghancurkan kemakmuran materi, tidak tinggal di dalam neraka?

(7)
Engkau telah keliru, terikat pada amal dan menghancurkan kekayaanmu, yang merupakan akar dari dharma. Karena alasan inilah neraka berlidah api ini, yang terlihat seperti wajah Narakāntaka, telah datang menemuimu untuk melahapmu.

(8)
Dengan demikian, berhentilah memberi! Jangan sampai engkau segera jatuh dan bernasib sama dengan para pemberi sedekah yang menyusut bersama rasa sakit dan menangis dengan memilukan.

(9)
Sebaliknya para penerima, yang telah berhenti dari kebiasaan buruk memberi, mendapatkan tingkatan para dewa. Oleh karena itu, berhentilah dari upayamu untuk berdana, yang menghalangi jalan ke Surga, dan engkau lebih baik menahan diri.”

Tetapi sang Bodhisattva mengetahuinya: “Sesungguhnya, ini adalah upaya dari yang jahat untuk menggagalkan pemberian dana.” Dengan memahami demikian, dia membuat jawaban yang kuat dalam kenyataan, namun masih sesuai dengan kelekatannya yang teguh pada moralitas, tanpa merusak kesopanan dan kata-kata yang baik. Dia berbicara demikian kepadanya:

(10-12)
“Berkenaan dengan kesejahteraanku, bahwa engkau memiliki kebaikan untuk menunjukkan kepadaku jalan yang bajik. Memang, paling tepat bagi para dewa untuk menunjukkan keterampilan mereka dalam merasakan belas kasihan kepada orang lain melalui tindakan mereka.

Meski demikian, akan lebih bijaksana jika menggunakan cara itu untuk menghentikan penyakit sebelum kemunculannya, atau segera setelah gejala pertamanya. Karena jika suatu penyakit telah berkembang karena kesalahan pengobatan yang buruk, keinginan untuk sembuh akan muncul tetapi cenderung menuju malapetaka.

Jadi hasratku untuk berdana telah menyebar, aku khawatir sedang berada di luar jangkauan pengobatan, karena pikiranku tidak akan pernah mundur dari beramal, terlepas dari nasihatmu yang sangat baik.

(13, 14)
Adapun apa yang engkau katakan tentang ketidakbenaran yang timbul dari berdana dan kekayaan menjadi penyebab utama kebenaran, pemahaman manusiawiku yang lemah tidak dapat memahami bagaimana kekayaan tanpa berdana dapat disebut sebagai jalan kebajikan.

Tolong katakana kepadaku, pada saat apa kekayaan dapat menghasilkan kebajikan? Apakah saat disimpan sebagai harta karun, atau saat dirampok dengan kejam oleh pencuri, atau saat ditenggelamkan ke dasar laut, atau saat telah menjadi bahan bakar untuk api?

(15, 16)
Selanjutnya, engkau berkata, ‘sang pemberi akan pergi ke neraka dan sang penerima pergi ke alam surgawi.’ Berbicara demikian, bagaimanapun juga, engkau telah meningkatkan kerinduanku untuk melakukan dana, meskipun berusaha untuk menahanku.

Ya, semoga ucapan-ucapanmu itu terpenuhi, mereka yang memohon dariku akan naik ke surga! Karena itu bukan sebagai sarana untuk memperoleh kebahagiaanku sendiri yang aku berikan dalam berdana, tetapi aku menyukai berdana agar aku dapat berbuat baik kepada dunia.”

Kemudian Māra, sang penggoda, sekali lagi berbicara kepada Bodhisattva, berbicara dengan sungguh-sungguh seolah-olah dia adalah teman yang bermaksud baik.

(17)
“Putuskanlah sendiri, apakah aku telah berbicara untuk kebaikanmu atau beromong kosong, dan kemudian pergilah sesuai keinginanmu. Engkau harus mengingatku dengan hormat ― entah senang atau menyesal.”

Bodhisattva berkata: “Tuan, maafkan aku.

(18)
Atas kemauanku sendiri, aku lebih memilih untuk jatuh ke dalam neraka yang berkobar ganas ini dengan cepat, sebagai mangsa api yang akan menjilatiku; daripada merasa bersalah karena mengabaikan para pengemis yang menunjukkan rasa percaya mereka dengan meminta dariku.”

Setelah berbicara demikian, Bodhisattva – bersandar pada kekuatan takdirnya dan mengetahui bahwa berdana tidak dapat menyebabkan kejahatan – melangkah maju melintasi neraka tanpa mengindahkan keluarga dan pelayannya, yang sangat ingin menahannya; pikirannya tidak dikuasai oleh ketakutan, dan keinginannya untuk memberi terus meningkat.

(19)
Kemudian, karena kekuatan jasa kebajikannya, di tengah-tengah neraka muncul sebuah bunga teratai yang tidak berakar di lumpur seperti teratai lainnya. Dengan deretan gigi benang sarinya, bunga itu seolah-olah tampak tertawa menghina Māra.

Dan dengan bantuan bunga teratai, yang dihasilkan dari jumlah jasa kebajikan yang besar, Bodhisattva yang telah menjangkau Pratyekabuddha mengisi mangkuknya dengan makanan, sementara hatinya berkembang dengan kegembiraan dan keceriaan.

(20)
Pertapa itu, untuk menunjukkan kepuasannya, melayang ke udara. Di sana dia menunjukkan kemegahannya, hujan dan nyala api dengan keagungan yang luar biasa seperti awan yang darinya muncul kilatan petir.

(21)
Sebaliknya, Māra, melihat rencananya berbalik, kehilangan semangat dan kehilangan kemegahannya. Dia tidak berani lagi menatap wajah Bodhisattva, dan segera menghilang bersama dengan neraka.

Mengapa ini diajarkan? (Untuk tujuan ini): dengan cara ini orang-orang berbakti ingin melakukan dana meskipun dalam bahaya di depan mata; Jadi, siapa yang tidak boleh berdana saat dalam kondisi aman?

[Selanjutnya ini juga akan dikemukakan; yang bajik tidak dapat dibujuk bahkan oleh rasa takut untuk mengambil jalan yang salah.] “

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 22 – Hamsa Jataka

Jātakamālā 22 – Haṁsajātakam
(Kisah tentang Angsa)

Jātakamālā 22 – Haṁsajātakam
(Kisah tentang Angsa)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Meskipun berada dalam kesulitan sekalipun, orang bajik berperilaku baik yang tidak dapat dilakukan oleh orang tidak bajik. Betapa mereka akan mampu mengikuti tindak tanduk para bajik, ketika mereka disukai oleh nasib baik!

Suatu ketika, dikisahkan bahwa Sang Bodhisattva terlahir sebagai raja angsa. Dia adalah kepala suku angsa yang berjumlah ratusan ribu, tinggal di Danau Mānasa. Namanya adalah Dhṛtarāṣṭra. Komandan pasukannya, yang dipanggil Sumukha, sangat ahli dalam mengatur berbagai urusan, mengetahui kebijakan yang benar dan salah dengan sangat baik, pun daya ingatnya tajam dalam berbagai hal dan peristiwa yang terjadi di banyak tempat dan waktu. Terlahir dari keluarga termasyhur, sifat kebangsawanannya (Sumukha) dihiasi dengan bakatnya, kesopanannya, dan kerendahan hatinya; dia diberkahi dengan keteguhan hati, kejujuran, keberanian, dan diunggulkan oleh kemurnian perilaku, cara hidup, dan tindak-tanduknya. Selain itu ia mampu menghadapi berbagai kesulitan, berwaspada dan pintar dalam berbagai urusan kemiliteran maupun dalam pertempuran, dan memiliki cinta kasih yang besar kepada tuannya.

Mereka mengasihi satu sama lain bagai seorang guru dan murid utamanya, mengajari kawanan angsa itu untuk memiliki perilaku damai terhadap makhluk lain dan hal-hal lain yang bermanfaat bagi mereka, sehingga keagungan kualitas baik mereka semakin bersinar. Mereka berdua menjadi teladan bagi angsa-angsa lainnya, dan dikagumi oleh para dewa, naga, yaksa, vidyādhara, dan pertapa suci yang menyaksikan mereka.

(1)
Bagai sepasang sayap yang tak henti-hentinya menopang tubuh seekor burung di langit, demikianlah kedua angsa itu tidak memiliki tujuan lain selain menopang keselamatan kawanan angsa tersebut.

Kawanan angsa yang mereka kasihi itu hidup dalam berkelimpahan, bagai manusia yang ditopang dengan kemakmuran dan kebenaran. Oleh sebab itu, danau itu memiliki keindahan yang luar biasa.

(2, 3)
Danau itu tampak sangat indah, berhasikan oleh suku angsa itu, yang suaranya akan mengingatkan kita terhadap suara yang lembut dan indah dari gelang kaki wanita.

Ketika berkelompok, angsa-angsa itu menyerupai kumpulan teratai yang bergerak. Ketika tersebar atau terpisah dalam kelompok-kelompok yang berjumlah tidak sama, mereka membuat danau itu Nampak lebih indah dari langit yang dihiasi dengan awan-gemawan yang menyebar.

Terpesona dengan kemegahan yang luar biasa dari sang penguasa angsa itu ― yang ditujukan untuk kebaikan semua makhluk ― dan Sumukha, panglima tertingginya, kerumunan siddha, para rṣi, para vidyādhara, dan para dewa dari berbagai tempat sering menceritakan tentang kemuliaan kedua angsa tersebut.

(4)
“Mereka nampak agung bagai emas murni, suara-suara menuturkan ucapan yang jelas, kebenaran adalah aturan bagi perilaku sederhana dan kebijakan mereka. Siapa pun mereka itu, mereka hanyalah berwujud angsa.”

(5)
Penuh dengan rasa kagum yang bebas dari kecemburuan, para makhluk sakti itu menyebarkan cerita tentang kebajikan mereka berdua, hingga akhirnya menjadi topik pembicaraan di antara dewan para raja dan tersebar luas.

Pada saat itu Brahmadatta merupakan raja di ​​Benares. Setelah sering mendengar dari para dewan pejabatnya kepercayaannya dan dari pujian para Brāhmana terkemuka tentang kualitas luar biasa dari raja angsa dan panglima tertingginya, dia menjadi penasaran untuk melihat mereka. Maka dia berkata kepada para menterinya, yang sangat pandai dan terpelajar dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan: “Baiklah, tuan-tuan, bekerjalah dengan kepintaran pikiran kalian. Cobalah untuk menemukan beberapa cara agar saya dapat melihat dua angsa yang luar biasa itu.” Kemudian menteri-menteri yang bijaksana berpikir, dan (setelah memikirkan dan menemukan cara-cara yang diinginkan) berkata kepada raja:

(6)
“Yang Mulia, harapan tentang kebahagiaan memikat makhluk-makhluk untuk menarik diri dari berbagai tempat. Oleh karena itu, kabar tentang keberadaan sebuah tempat yang sangat indah dan sesuai dengan kebahagiaan mereka dapat membawa mereka ke sini.

Oleh karena itu, berkenanlah Yang Mulia untuk menyiapkan sebuah danau yang indah seperti tempat angsa-angsa itu hidup, dengan kecemerlangan yang melebihi danau Mānasa. Buatlah tempat itu di salah satu hutan Anda. Kemudian, umumkanlah setiap hari bahwa Yang Mulia akan menjamin keamanan semua burung (di danau tersebut). Kabar tentang keistimewaan danau ini ― yang meningkatkan kebahagiaan mereka ― akan membangkitkan rasa keingintahuan mereka dan menarik mereka ke sini. Pertimbangkanlah, Yang Mulia.

(7)
Kebahagiaan, setelah diperoleh akan kehilangan pesonanya dan tidak lagi diperhitungkan; tetapi kebahagiaan yang berdasarkan pada kabar yang beredar akan tampak indah dan mempesona pikiran, karena jauh dari pandangan mata.”

Raja menerima masukan mereka dan dalam waktu yang singkat membuat sebuah danau besar yang kemegahannya menyaingi Danau Mānasa, di tempat yang tidak terlalu dekat dengan taman yang mengelilingi ibu kota. Danau itu merupakan kolam air yang paling menawan, dipenuhi beragam tanaman air yang terdiri dari berbagai jenis bunga seroja dan teratai: padma, utpala, kumuda, puṇḍarīka, saugandhika, tāmarasa, kahlāra.

(8)
Pohon-pohon berbunga cerah dengan ranting-rantingnya yang bergerak mengelilingi tepinya, seolah-olah mereka berada di sana untuk memandangi danau tersebut.

(9)
Kawanan lebah, seolah-olah tertarik dengan bunga seroja yang bermekaran, yang bergoyang-goyang di atas riak yang bergetar lembut, berkeliaran di atas permukaannya.

(10, 11)
Bunga teratai disinari oleh rembulan, menjadi semakin indah, menyerupai sabit rembulan yang menembus dedaunan.

Serbuk sari terbawa oleh riak air yang seperti jemari, menghiasi tepiannya dengan garis emas.

(12)
Di bagian lainnya yang tertutupi dengan kelopak dan benang sari bunga yang indah, danau itu menunjukkan kemegahannya yang menyebar luas, bagaikan sebuah persembahan penghormatan.

(13)
Adapun keindahan lainnya adalah kejernihan dan ketenangan airnya, yang begitu bening sehingga memperlihatkan kontur dan rona-rona indah dari ikan-ikan di dalamnya, yang sama indahnya baik saat berenang di bawah maupun di atas permukaan air.

(14)
Di dekat tempat itu, di mana para gajah mencelupkan belalainya ke dalam danau, meniupkan pancuran air yang berkilauan bagai untaian mutiara yang terlepas, seolah-olah danau membawa riak air menjadi debu setelah terlempar ke atas batu, menjadi serbuk yang tersebar di udara.

(15)
Aroma harum tercium di berbagai sisi, yang berasal dari wewangian yang digunakan oleh para bidadari, dari wewangian para gajah serta serbuk-serbuk bunga.

(16)
Karena begitu cemerlang, danau itu laksana cermin di malam hari, memantulkan cahaya bintang, para istri dewa Bulan. Di sisi lain, kicuan burung-burung yang tak terhitung jumlahnya bergema di dalamnya.

Maka, demikianlah danau itu telah dibangun, yang dipersembahkan kepada seluruh jenis burung agar dapat digunakan dan dinikmati tanpa halangan. Untuk mendapatkan kepercayaan dari para burung, sang raja mengumumkan bahwa dia akan menjamin keamanan mereka, dan memerintahkan agar pengumuman itu diulangi hari demi hari dengan kalimat seperti ini:

(17)
“Sang raja dengan senang hati mempersembahkan danau ini ― termasuk berbagai bunga seroja dan teratai yang menutupi permukaannya ― kepada para burung, dan menjamin keamanan mereka.”

Suatu ketika, musim gugur telah menarik tirai gelap awan dan membagikan persembahannya yang indah sembari memperluas cakrawala yang jernih dan murni, ketika danau-danau menjadi indah untuk dipandang dengan airnya yang jernih dan keindahan teratainya yang terungkap. Saat itu adalah musim ketika cahaya bulan menjadi semakin terang, seolah mencapai puncak keindahan dan kecerahan tertingginya, dan ketika bumi sedang dihiasi dengan panen dari berbagai tanaman, memberikan kegembiraan. Angsa-angsa muda mulai menunjukkan diri.

Kemudian, sepasang angsa yang berasal dari kelompok Bodhisattva terbang dari Danau Mānasa dan melewati berbagai daerah yang terhampar dengan kelembutan musim gugur, dan tiba di tanah milik sang raja. Di sana mereka melihat danau itu, dengan keindahan luar biasa yang disebabkan oleh bunga-bunganya; karena ketika bunga seroja mengembang, membuatnya bersinar seperti nyala api, dan bunga teratainya, ketika terbuka, mengembang dengan indah. Kemudian mereka mendengar suara kicauan burung yang memanggil dengan suara senandung lebah yang sibuk berkeliaran di atas bunganya. Mereka mencium aroma serbuk seroja dan teratai yang tertiup oleh angin sepoi-sepoi, yang sejuk, dan lembut, yang menghembus di atas karangan bunga. Meskipun sudah biasa dengan danau Mānasa, kedua angsa itu terpikat oleh keindahan dan kemegahan danau tersebut, dan berpikir: “Oh! seluruh suku kita harus datang ke sini!”

(18)
Karena cinta kasih, ketika seseorang mendapatkan kesenangan, yang akan pertama kali diingat adalah sahabat-sahabatnya sendiri.

Sepasang angsa itu tetap di sana, menikmatinya sesuka mereka hingga musim hujan berikutnya. Kemudian, ketika kumpulan awan kumpulan para Daitya datang mendekat dan menyebabkan kegelapan, ketika kilatan petir berkilauan seperti senjata yang diacungkan; ketika kumpulan burung merak menampilkan tarian mereka dan menunjukkan keindahan bulu ekor mereka yang terbuka lebar, sambil bertariak keras terus-menerus, seolah sedang bersorak-sorai untuk kemenangan sang awan, dan juga burung-burung yang lebih kecil menjadi terus-menerus berkicau; ketika angin kencang bertiup, harum dengan aroma serbuk bunga pohon hutan: sāl, kadamba, arjuna, dan ketaka, dan menghasilkan kesejukan yang menyenangkan, seolah-olah itu adalah napas sang hutan; ketika kawanan bangau muda menunjukkan diri mereka di langit, yang kontras dengan awan gelap di belakangnya sehingga menyerupai barisan gigi; ketika suku angsa merasa gelisah dan ingin pergi, hendak menunjukkan kerinduan mereka dengan berteriak lembut dan pelan, dan pada kesempatan itulah sepasang angsa itu kembali ke Danau Mānasa.

Setelah sepasang angsa itu memberi hormat kepada pemimpin mereka, lalu memberitahu kepadanya, pertama-tama tentang daerah yang telah mereka kunjungi, kemudian memberi tahu tentang keindahan yang luar biasa dari danau itu (tempat yang baru saja mereka tinggalkan). “Yang Mulia, di sebelah selatan Gunung Himavat,” kata mereka, “Hiduplah seorang raja manusia di Benares yang bernama Brahmadatta, yang telah mempersembahkan sebuah danau besar dengan keindahan yang luar biasa kepada para burung, memiliki keindahan yang tak terlukiskan. Semua burung dapat menikmatinya sesuka hati dan keinginan mereka, dan keselamatannya dijamin melalui peraturan kerajaan yang diumumkan setiap hari. Burung-burung itu berpindah ke sana tanpa rasa takut seolah-olah mereka sedang berada di tempat mereka sendiri. Setelah hujan reda, Yang Mulia harus pergi ke sana.”

Mendengar hal ini, seluruh anggota suku angsa menjadi sangat ingin melihat danau itu. Sang Bodhisattva, kemudian, menatap dengan rasa ingin tahu kepada Sumukha, panglima tertingginya, dan bertanya bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang ini?” Sumukha, setelah menundukkan kepalanya, menjawab: “Aku menganggap tidak layak bagi Yang Mulia untuk pergi ke sana. Mengapa? Kenikmatan keindahan yang memesona itu, bagaimanapun juga, hanyalah semacam godaan yang memikat, sedangkan kita tidak kekurangan apa-apa di sini. Umumnya, hati manusia itu palsu, welas asih mereka yang lembut itu menipu, dan di balik kedok kata-kata manis dan perhatian yang baik mereka menyembunyikan sifat yang kejam dan jahat. Apakah Yang Mulia berkenan untuk mempertimbangkan hal ini.

(19)
Para unggas dan hewan berkaki empat mengungkapkan perasaan mereka yang sebenarnya melalui suara mereka. Tetapi manusia adalah satu-satunya makhluk yang terampil dalam menghasilkan suara yang memiliki makna bertentangan dengan niat mereka.

(20)
Bahasa mereka – tentu saja – manis, bermaksud baik, dan bermanfaat. Para pedagang juga melakukan itu dengan harapan untuk memperoleh keuntungan.

(21)
Oleh karena itu, Baginda, adalah kurang pantas untuk menaruh kepercayaan (kepada mereka) sewaktu-waktu berdasarkan sesuatu yang sepele (seperti kata-kata mereka). Tindak-tanduk yang berbahaya dan salah pasti tidak akan berhasil, bahkan jika diikuti dengan tujuan tertentu sekalipun.

Namun, jika perjalanan ke danau itu sangat diperlukan, tidak cocok bagi kita untuk tinggal di sana dalam waktu yang lama atau memutuskan untuk menetap di sana; kita hanya perlu pergi ke sana dan setelah menikmati keindahannya yang luar biasa, segera pulang kembali. Demikian yang kusarankan.”

Kemudian rasa keingintahuan suku angsa untuk melihat danau Benares itu menjadi semakin besar, tidak henti-hentinya meminta secara berulang kali kepada Bodhisattva untuk berangkat ke tempat itu. Pada suatu malam di musim gugur yang cerah, dihiasi dengan kemilau cahaya bulan dan gugusan bintang, Bodhisattva menuruti keinginan mereka. Dengan ditemani oleh Sumukha dan sekumpulan angsa, mereka berangkat ke arah danau tersebut, menyerupai dewa rebulan dengan kumpulan awan musim gugur (putih) yang menyertainya.

(22)
Begitu mereka melihat kemegahan danau yang menawan itu, rasa takjub yang bercampur dengan kegembiraan memenuhi pikiran mereka. Mereka memasuki danau tersebut, menambah pesonanya melalui keindahan bentuk mereka.

(23)
Karena tempat-tempatnya beragam melampaui Danau Mānasa, mereka merasa senang, dan keterikatan mereka pada tempat baru itu menghapus Mānasa dari hati mereka.

Mereka mendengar pengumuman keselamatan, merasakan kebebasan dari burung-burung yang berada di sana, dan merasa senang karena indahnya tampilan danau tersebut. Kegembiraan mereka memuncak ketika mereka berkeliling di permukaan airnya, menikmati kesenangan bertamasya di taman.

Kemudian para penjaga danau itu melaporkan kedatangan angsa-angsa itu kepada raja dengan mengatakan: “Yang Mulia, dua angsa yang luar biasa, yang berwujud sama dan diunggulkan oleh kualitas yang sama seperti yang selama ini diceritakan, telah tiba di danau Yang Mulia, sedang meningkatkan keindahannya. Sayap mereka indah bersinar seperti emas, paruh dan kaki mereka memiliki kilau melebihi emas, ukurannya melebihi rata-rata, dan mereka memiliki bentuk tubuh yang bagus. Rombongan yang terdiri dari ratusan ribu angsa telah datang bersama mereka.”

Setelah diberi tahu demikian, raja memilih satu di antara pemburunya yang terkenal karena keahliannya dalam seni menangkap burung, dan menyerahkan tugas terhormat kepadanya untuk menangkap mereka. Sang pemburu burung berjanji untuk melakukannya, dan setelah mengamati dengan cermat tempat-tempat yang biasa dikunjungi dan dikelilingi oleh kedua angsa itu, ia menaruh jerat-jerat kuat yang tersembunyi dengan baik di berbagai tempat yang berbeda. Sementara angsa-angsa itu berkeliling jauh dan luas di atas danau, dengan pikiran yang ceria dan gembira tanpa mencurigai adanya bahaya, percaya pada jaminan keselamatan, salah satu kaki dari pemimpin mereka justru terjerat perangkap.

(24)
Sungguh, kepercayaan yang salah itu membawa kerugian. Melalui rencana yang tersusun baik untuk membangkitkan kepercayaan, pertama-tama hal itu melenyapkan kecurigaan terhadap bahaya, kemudian menumbuhkan kecerobohan dan kurangnya kewaspadaan.

Kemudian Bodhisattva, tidak membiarkan kemalangan juga menimpa sukunya, menyerukan tentang bahaya yang berada di dalam wilayah danau. Setelah itu, angsa-angsa yang mengkhawatirkan penangkapan raja mereka terbang ke langit, meneriakkan ketakutan yang membingungkan dan tidak beraturan, tanpa memperhatikan satu sama lain, bagai para prajurit yang pemimpinnya telah terbunuh. Namun Sumukha, panglima tertinggi, tidak mundur dari sisi sang raja angsa.

(25)
Hati yang penuh cinta kasih tidak mempermasalahkan bahwa bahaya yang akan datang. Bagi makhluk sepertinya, kesedihan yang berasal dari penderitaan dari seorang teman jauh lebih buruk daripada kematiannya sendiri.

Bodhisattva berkata kepadanya:

(26)
“Pergilah, Sumukha, pergilah; tidak bijaksana untuk berlama-lama di sini. Kesempatan apa yang bisa kau miliki untuk membantuku yang berada dalam kondisi seperti ini?”

Sumukha menjawab:

(27)
“Ini bukanlah kematian terakhir yang dapat kualami jika aku tetap berada di sini, lagipula meskipun aku pergi, aku juga tidak akan terbebas dari usia tua dan kematian. Aku selalu ada dalam setiap kemakmuranmu, bagaimana mungkin aku dapat meninggalkanmu dalam kemalangan?

(28)
Jika aku meninggalkanmu karena hal yang sepele, yakni demi hidupku sendiri, di mana aku dapat berlindung dari hujanan penyalahan?

(29)
Tidaklah tepat, tuanku, jika aku meninggalkanmu dalam kesusahanmu. Apapun yang terjadi padamu, aku akan dengan senang hati ikut menerimanya, wahai raja para burung.”

Bodhisattva bertanya:

(30)
“Apa lagi nasib dari seorang burung yang tertangkap selain berada di dapur? Bagaimana kemungkinan itu dapat menyenangkanmu yang sedang memiliki pikiran dan tubuh yang bebas?

(31, 32)
Atau manfaat apa yang engkau lihat untukku atau dirimu sendiri atau seluruh keluarga kita dari kematian kita berdua?

Dan manfaat apa yang dapat engkau jelaskan dengan menyerahkan hidupmu pada suatu kejadian; ketika manfaat itu terlihat sangat kecil, bagaikan membedakan tanah yang rata dan tidak rata di dalam kegelapan?”

Sumukha menjawab:

(33, 34)
“Bagaimanakah, yang teragung di antara para burung, apakah engkau tidak merasakan keuntungan dalam mengikuti jalan Dharma? Menghormati Dharma dengan cara yang benar akan menghasilkan manfaat tertinggi.

Untuk alasan inilah aku, mengetahui aturan kebenaran dan manfaat yang timbul darinya, dan juga tergerak oleh kesetiaanku kepadamu, tidak melekat pada kehidupan.”

Bodhisattva berkata:

(35, 36)
“Sungguh, ini adalah kebenaran bagi orang yang berbudi luhur, bahwa seorang sahabat yang setia tidak akan meninggalkan sahabatnya berada dalam kesusahan, bahkan dengan mengorbankan nyawanya sekalipun.

Sekarang, engkau telah mematuhi kebenaran, engkau telah menunjukkan kesetiaanmu kepadaku. Kabulkanlah permintaan terakhirku ini. Terbanglah, aku mengizinkanmu pergi.

(37)
Terlebih lagi, setelah ini adalah tugasmu, wahai yang bijaksana, untuk mengisi kekosongan kelompok kita setelah aku tidak ada.”

(38)
Sementara mereka saling berbicara, saling menunjukkan cinta kasih kepada satu sama lain, Niṣāda pun muncul, menyerbu mereka bagai dewa kematian.

Segera setelah mereka menyadarinya, kedua burung agung itu terdiam. Sekarang, Niṣāda melihat bahwa sekelompok angsa itu telah terbang, merasa yakin, “tentu saja, beberapa dari mereka telah tertangkap;” dan berkeliling ke berbagai tempat, di mana dia memasang perangkapnya, menemukan dua angsa yang paling terkemuka itu. Dia terkejut melihat kecantikan mereka dan mengira mereka berdua telah terjerat, mengguncang perangkap yang dipasang di sekitar mereka. Tetapi ketika dia merasakan bahwa yang satu tertangkap sementara yang lain lepas dan bebas sedang menemaninya, ia terheran-heran, kemudian mendekati Sumukha dan dia berbicara kepadanya:

(39, 40)
“Burung ini, yang terperangkap dalam jerat yang kuat, kehilangan kebebasannya untuk bergerak. Untuk alasan inilah ia tidak bisa terbang ke angkasa meskipun aku mendekat. Tetapi engkau yang tidak terjerat, yang bebas dan kuat dan memiliki sepasang sayap, mengapa engkau tidak buru-buru terbang ke langit saat aku datang?”

Mendengar ini, Sumukha menyapanya dengan bahasa manusia dengan suara dan kata-kata yang jelas, dan dengan merdu menampakkan keteguhan hatinya, untuk menunjukkan sifatnya (yang berbudi luhur).

(41, 42)
“Engkau bertanya kepadaku, mengapa aku tidak pergi meskipun aku bisa pergi? Inilah penyebabnya. Burung ini menderita karena terjerat oleh perangkap. Engkau memiliki kuasa atas dirinya, yang kakinya sedang terjerat dalam perangkap yang kuat ini; sedangkan ia memiliki kuasa atas diriku, dengan jeratnya yang lebih kuat, yakni kebajikannya, yang telah mengikat hatiku.”

Mendengarnya, Niṣāda menjadi kagum dan bulu kuduk di tubuhnya berdiri, sekali lagi bertanya kepada Sumukha.

(43)
“Karena takut kepadaku, angsa-angsa lain meninggalkannya dan terbang ke langit. Tetapi engkau tidak meninggalkannya. Katakanlah, apa makna angsa ini bagimu?”

Sumukha menjawab:

(44)
“Dia adalah rajaku dan sahabatku yang aku cintai seperti hidupku sendiri, dia adalah penyokongku, dan dia sedang berada dalam kesusahan. Karena itulah, aku tidak akan pernah meninggalkannya, bahkan untuk menyelamatkan hidupku sendiri.”

Dan mengamati munculnya kelembutan perasaan dan kekaguman dalam diri Niṣāda, ia melanjutkan:

(45)
“Oh! Andaikan pembicaraan kita ini mengarah pada akhir yang bahagia, temanku! Bebaskanlah kami sekarang juga jika engkau ingin memperoleh kemuliaan dari tindakan bajik!”

Niṣāda menjawab:

(46)
“Aku tidak ingin menyakitimu, dan bukan engkau yang kutangkap. Pergilah bebas dan bergabunglah dengan teman-temanmu yang akan senang melihatmu!”

Sumukha berbicara:

(47, 48)
“Jika engkau tidak menginginkan kesedihanku, maka engkau harus mengabulkan permintaanku. Jika engkau puas mendapatkan satu, maka tinggalkanlah dia dan bawalah aku.

Tubuh kami memiliki ukuran dan bentuk yang sama, dan usia kami pun sama. Ambilah aku sebagai tebusan baginya, engkau tidak akan kehilangan keuntunganmu.

(49, 50)
Pertimbangkanlah baik-baik, tuan. Apakah engkau tidak ingin memilikiku? Engkau dapat mengikatku terlebih dahulu, dan setelah itu lepaskanlah sang raja burung.

Dengan demikian, engkau akan menikmati keuntungan yang sama jika engkau mengabulkan permintaanku. Engkau juga akan membuat suku angsa merasa senang dan memperoleh pertemanan dari mereka juga.

(51)
Sekarang, senangkanlah para angsa dengan membebaskan raja mereka, agar mereka dapat melihatnya lagi dalam keindahannya yang gemilang di langit yang cerah, menyerupai bulan yang terlepas dari raja para Daitya (Rāhu).”

Niṣāda, meskipun terbiasa dengan perdagangan yang kejam dan memiliki hati yang keras, merasa sangat tersentuh oleh kata-kata yang diucapkan oleh sang angsa dengan nada tegas namun lembut dan maknanya yang mengesankan. Dia setia kepada tuannya tanpa memikirkan nyawanya sendiri dan menunjukkan rasa syukur yang kuat. Dikuasai oleh kekaguman dan rasa hormat, dia merapatkan kedua telapak tangannya, mengarahkannya kepada Sumukha, dan berkata: “Kata yang bagus, kata yang bagus, makhluk mulia.

(52, 53)
Bahkan jika bertemu dengan manusia atau dewa, sifat tidak mementingkan diri seperti ini pun merupakan sebuah keajaiban, seperti yang dipraktikkan olehmu yang mengorbankan hidupmu demi tuanmu.

Maka aku akan menghormatimu dan membebaskan rajamu. Sesungguhnya, siapakah yang mampu melakukan kejahatan terhadap orang yang lebih engkau cintai daripada kehidupan?”

Dengan kata-kata ini, Niṣāda, tanpa mempedulikan amanat dari sang raja, menuruti rasa welas asihnya, memberi hormat kepada raja angsa dan membebaskannya dari perangkap. Dan Sumukha, sang panglima tertinggi, sangat bersukacita atas keselamatan rajanya, menatap Niṣāda dengan senang dan ramah, kemudian berkata:

(54)
“Seperti engkau telah membuatku bersukacita dengan membebaskan raja angsa, engkau adalah sumber kegembiraan bagi teman-temanmu, semoga engkau dengan cara yang sama bersukacita dengan teman-teman dan sanak saudaramu selama ribuan tahun!

(55)
Kemudian, agar kerja kerasmu tidak sia-sia, bawalah aku dan juga raja angsa ini, gendonglah kami di tiang bahumu, bebas dan tidak terikat, tunjukkan kami kepada rajamu di istananya.

(56)
Melihat raja angsa dengan menterinya, sang penguasa ini tidak diragukan lagi akan menunjukkan kegembiraannya kepadamu dengan hadiah kekayaan yang lebih besar dari yang engkau impikan, sebuah sumber kegembiraan besar bagimu.”

Sang Niṣāda menyetujui permintaannya, berpikir bahwa raja harus melihat sepasang angsa yang luar biasa ini, dan menaruh mereka (di dalam keranjang) di tiangnya tanpa melukai mereka dan tidak mengikatnya, menunjukkan angsa-angsa yang luar biasa itu kepada raja.

(57)
“Senang melihatnya,” ucapnya, “Hadiah indah yang kupersembahkan kepadamu, tuanku. Inilah raja angsa yang terkenal itu, bersama dengan panglima tertingginya!”

Saat melihat dua angsa terkemuka itu, dengan kemegahan yang berkilauan dari sosok mereka yang indah, menyerupai dua keping emas murni, raja yang dipenuhi dengan rasa takjub dan kegembiraan berkata kepada Niṣāda:

(58)
“Bagaimana engkau dapat memiliki dua ekor angsa ini di tanganmu, tanpa terluka dan tanpa terikat, meskipun mereka mampu terbang menjauh darimu yang berjalan kaki? Jelaskan kepadaku.”

Ditanya seperti itu, Niṣāda membungkuk kepada raja, menjawab:

(59-62)
“Aku telah memasang banyak perangkap, menyebabkan kesakitan yang begitu kejam di kolam tempat para unggas bersenang-senang. Kemudian angsa terkemuka ini, yang bergerak tanpa curiga karena kepercayaannya, membuat kakinya terjerat dalam perangkap yang tersembunyi.

Yang satunya, meskipun bebas, tetap menemaninya dan memohon kepadaku untuk membawanya untuk menebus kehidupan rajanya, mengucapkannya dengan bahasa manusia yang jelas dan suara yang terdengar manis.

Permintaannya yang sungguh-sungguh memperoleh kekuatannya dari kesiapannya untuk mengorbankan hidupnya sendiri.

(63)
Kata-katanya yang lembut dan perbuatannya yang agung demi tuannya, berpengaruh besar sehingga akupun melunak, dan melepas tuannya bersama dengan amarahku yang kejam.

(64)
Setelah itu, bersukacita atas pembebasan raja burung, dia membalas ucapan terima kasih dan berkah kepadaku, dan memerintahkanku untuk datang kepadamu seperti ini, bahwa jerih payahku ― demikian ucapnya ― tidak menjadi beban karena kurang dihargai.

(65)
Dan karena rasa syukur atas pembebasan rajanya dan demi diriku, maka makhluk yang bajik ini, meskipun berwujud sebagai seekor angsa, dalam sekejap telah membangkitkan kelembutan di dalam hati orang sepertiku, kini ia telah tiba bersama dengan tuannya atas kemauannya sendiri, di istanamu.”

Setelah mendengar kata-kata ini, raja menjadi sangat takjub dan gembira. Dia memberikan takhta emas dengan tumpuan kaki kepada sang raja angsa, sebuah tempat duduk untuk menjadi raja; dengan kaki-kaki cemerlang yang berkilauan dari berbagai permata, dilapisi dengan penutup yang mewah dan indah, dilengkapi dengan bantal lembut di bagian punggungnya.

Kepada Sumukha, sang raja menawarkan kursi bambu yang cocok untuk diduduki oleh seorang menteri utama. Kemudian Bodhisattva, mengingat bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk memberikan sambutan serta pujian, berbicara kepada raja dengan suara selembut suara genta.

(66)
“Tubuhmu yang dihiasi dengan kilau dan keindahan, semoga dalam kesehatan yang baik, wahai raja yang layak mendapatkan kesehatan. Kuharap demikian pula, tubuhmu yang lainnya, yang terdiri dari kebajikanmu. Bukankah tubuhmu yang itu sering menghembuskan napas berupa ucapan dan ajaran kebajikan?

(67)
Bukankah engkau telah mendedikasikan dirimu untuk tugas melindungi rakyatmu, memberikan hadiah atau hukuman sesuai waktunya, sehingga selalu meningkatkan kemuliaanmu yang termasyhur dan kasih sayang rakyat-rakyatmu, bersama dengan kesejahteraan mereka?

(68)
Jika bukan melalui bantuan menteri yang penuh dengan cinta kasih dan kejujuran, menolak penipuan dan terampil dalam mengelola berbagai urusan, dengan siapa engkau akan mempertimbangkan kepentingan rakyat-rakyatmu? Semoga pikiranmu tidak abai dengan hal-hal penting ini.

(69)
Apakah engkau menunjukkan welas asih, ketika raja-raja yang berada di bawah kekuasaanmu tunduk dan memohon kepadamu untuk berwelas asih kepada mereka? Tanpa menuruti rasa percaya yang membuta dan kecerobohan.

(70)
Apakah para bajik memuji tindakan-tindakanmu yang mengejar dan mengamankan dharma, artha, dan kāma? Wahai pahlawan para manusia, yang kemahsyurannya tersebar luas di penjuru dunia, apakah musuh-musuhmu hanya menghela napas untuk melukai mereka?

Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini, sang raja, dengan kegembiraannya sembari menunjukkan ketenangan indranya, berbicara kepadanya:

(71)
“Sekarang kesejahteraanku terjamin dalam segala hal, wahai angsa, karena aku telah memperoleh kebahagiaan yang telah lama kuharapkan, yakni bertemu dengan makhluk-makhluk suci seperti engkau.

(72, 73)
Semoga orang ini, setelah menjeratmu, tidak melukaimu dengan senjatanya yang menyakitkan.

Karena biasanya, pikiran para orang kejam itu dikotori oleh kesenangan yang meluap-luap untuk melakukan tindakan jahat kepada burung yang bernasib malang.

Bodhisattva menjawab:

(74–77)
“Baginda, aku tidak menderita selama berada dalam kondisi yang paling menyedihkan itu, orang ini juga tidak bersikap seperti musuh kepadaku.

Ketika dia melihat Sumukha yang diam di sana, yang karena cinta kasihnya kepadaku bersikap seolah-solah telah ditangkap meskipun tidak tertangkap, dia menyapa Sumukha dengan kebaikan yang besar, terdorong oleh rasa keingintahuan dan keheranan.

Kemudian, setelah didamaikan oleh kata-kata lembut Sumukha, dia melepaskanku dari jeratan dan membebaskanku, menunjukkan rasa hormat dan penghargaannya kepadaku.

Karena alasan inilah Sumukha, mengharapkan kebaikan bagi orang ini, memintanya untuk membawa kami ke sini. Semoga kedatangan kami membawa kebahagiaan juga untuknya!”

Raja berkata:

(78, 79)
“Karena sangat menginginkan kedatangan kalian, aku mengucapkan selamat datang kepada kalian berdua. Melihat kalian membuatku merasa sangat senang, bagaikan sedang melihat sebuah perayaan.

Mengenai Niṣāda itu, aku akan memberikan hadiah besar kepadanya. Setelah menunjukkan kebaikan kepada kalian berdua, dia pantas mendapatkan hadiah yang banyak.”

Kemudian raja menghormati Niṣāda dengan hadiah besar berupa kekayaan yang berjumlah banyak. Setelah itu, sang raja kembali berbicara kepada raja angsa:

(80)
“Engkau telah datang ke sini, ke tempat kediaman ini, yang merupakan milikmu. Kesampingkanlah semua formalitas dan beritahu bagaimana aku bisa melayani keinginanmu, karena kekayaanku siap melayanimu.

(81)
Bagi orang yang kaya raya, seorang sahabat yang mengungkapkan keinginannya dengan ucapan jujur adalah kepuasan yang lebih besar daripada kekayaannya sendiri. Karena alasan inilah, sikap tanpa pamrih di antara para sahabat adalah keuntungan yang besar.”

Kemudian, karena sangat penasaran untuk berbicara dengan Sumukha, raja memandangnya dengan kagum dan menyapanya demikian:

(82)
“Tentunya, karena masih belum merasa nyaman, seorang kenalan baru belum cukup berani untuk berbicara terus terang kepada teman yang baru dikenalnya. Namun, setidaknya mereka akan menggunakan bahasa yang baik, dihiasi dengan kata-kata yang sopan.

(83)
Untuk alasan inilah aku juga memohon kepada Yang Mulia untuk menyenangkanku dengan ucapan-ucapanmu. Sehingga engkau akan menyadari keinginanku untuk berteman denganmu dan meningkatkan kegembiraan di hatiku.”

Mendengar kata-kata ini, Sumukha, panglima tertinggi angsa, membungkuk hormat kepada raja, berbicara:

(84)
“Bercakap-cakap denganmu, yang setara dengan Indra, adalah sebuah kegembiraan yang besar. Oleh karena itu, siapakah yang tidak merasa bersyukur oleh sikap ramahmu?

(85, 86)
Tetapi bukankah ini merupakan tindakan lancang yang tidak pantas bagi seorang pelayan untuk bergabung dalam percakapan di antara kedua raja, yakni raja para manusia dan para burung, ketika mereka sedang bertukar kata-kata persahabatan yang indah?

Seseorang yang berpendidikan baik tidak bertindak seperti itu. Bagaimana mungkin pula aku bertindak demikian? Oleh sebab itu, wahai pangeran agung, aku akan tetap diam. Aku memohon maaf kepadamu, dan semoga aku pantas mendapatkannya.”

Sebagai jawaban atas kata-kata ini, raja mengungkapkan kegembiraan dan kekagumannya dengan memuji Sumukha.

(87)
“Pantaslah dunia senang mendengar ketenaran dari kebajikanmu. Pantaslah sang raja angsa menjadikanmu sahabatnya. Kesopanan dan sikap yang sempurna seperti itu tidak ditunjukkan oleh siapa pun kecuali mereka yang telah menaklukkan diri mereka sendiri.

(88)
Oleh karena itu aku dengan tulus percaya bahwa hubungan persahabatan ini, yang sekarang dimulai di antara kita, tidak akan pernah terputus. Sungguh pertemuan orang-orang yang bajik menghasilkan persahabatan.”

Kemudian Bodhisattva, memahami bahwa raja sangat menginginkan persahabatan di antara mereka dan menunjukkan kasih sayang kepada mereka, menyapanya dengan pujian:

(89)
“Mengikuti dorongan sifat dermawanmu, engkau telah bersikap kepada kami sebagaimana seseorang harus bersikap kepada sahabatnya sendiri, meskipun kita baru saja berkenalan saat ini.

(90)
Maka, hati siapa yang tidak tersentuh, wahai pangeran termasyhur, oleh perlakuan terhormat seperti yang telah engkau tunjukkan kepada kami?

(91)
Keuntungan apa pun yang engkau harapkan dari hubungan denganku, tuan, atau betapapun penting hal itu bagimu, merupakan bukti bahwa engkau telah menunjukkan sifat ramahmu dengan bertindak ramah, wahai pecinta kebajikan!

(92)
Tapi ini tidaklah mengherankan di dalam diri seorang pangeran penakluk sepertimu, yang memikul tugas kerajaan demi kepentingan rakyatmu, berniat untuk melakukan pertapaan dan perenungan mendalam, seperti seorang Muni. Engkau, sesungguhnya, harus mengikuti sifatmu yang luar biasa untuk menjadi gudang kebajikan.

(93)
Kebajikan adalah sumber kepuasan, seperti pujian yang sudah kuberikan kepadamu. Mereka memberikan kebahagiaan, sedangkan di dalam benteng kejahatan tidak ada kebahagiaan. Maka, makhluk hidup manakah, yang setelah mengetahui ini sebagai hukum kekal tentang kebajikan dan kejahatan, akan menempuh jalan yang salah dan menyimpang dari kebaikannya?

(94)
Bukanlah dengan kekuatan militer, atau pun dengan kekuatan kekayaannya, atau pun dengan kebijakannya yang berhasil, seorang pangeran mencapai derajat yang tinggi itu, yang sebenarnya dapat ia peroleh bahkan dengan tanpa usaha dan biaya, jika dia mengikuti jalan yang benar yang terdiri dari pengembangan kebajikan.

(95)
Kebajikan disertai oleh kebahagiaan seperti yang dialami raja para dewa; sedangkan yang bajik itu sendiri memperoleh kerendahan hati. Kebajikan itu sendiri merupakan sumber kemuliaan; pada merekalah keagungan dari sebuah kekuasaan terletak.

(96)
Kebajikan itu sendiri, memiliki keindahan yang lebih besar dari cahaya rembulan, mampu menenangkan musuh, menenangkan pikiran mereka yang dikuasai oleh kemarahan, kecemburuan, dan kesombongan, mencabut keegoisan dari akar kebencian yang berkepanjangan.

(97)
Untuk alasan inilah, wahai penguasa, yang kekuasaannya dipatuhi oleh bumi dengan raja-rajanya yang bangga yang tunduk pada kemilaumu, menumbuhkan rasa cinta terhadap kebajikan dalam rakyat-rakyatmu, memberikan mereka teladan melalui kerendahan hatimu beserta kebajikan-kebajikanmu.

(98)
Kebaikan rakyat-rakyatnya merupakan perhatian utama seorang raja, yang merupakan jalan yang mengarah pada kebahagiaan baik di kehidupan ini maupun selanjutnya. Tujuan ini akan tercapai, jika sang raja mencintai kebenaran, karena orang-orang akan senang mengikuti perilaku penguasa mereka.

(99)
Semoga engkau memerintah negerimu dengan kebenaran, dan semoga raja para dewa menjagamu! Meskipun kehadiranmu memurnikan mereka yang bersandar padamu, aku harus meninggalkanmu sekarang. Kesedihan para angsa pengikutku menarik kami untuk kembali kepada mereka.”

Raja dan semua yang hadir menyetujui kata-kata yang diucapkan oleh Bodhisattva. Kemudian dia melepas kedua angsa yang luar biasa itu dengan cara yang paling terhormat dan terbaik.

Bodhisattva terbang ke angkasa, yang dihiasi oleh keindahan musim gugur yang tenang, berwarna biru tua bagai bilah pedang yang tak bernoda, dan diikuti oleh Sumukha, panglima tertingginya, seperti bayangannya yang terpantul, bergabung dengan suku angsa. Dan mereka, saat melihatnya, dipenuhi dengan kegembiraan yang luar biasa.

(100)
Dan setelah beberapa waktu, angsa itu, atas dasar welas kasih kepada negara tetangganya, datang kembali kepada raja bersama angsa-angsanya, memberikan khotbah Dharma kepadanya. Raja dengan hormat menundukkan kepala sebagai balasannya.

Meskipun berada dalam kesulitan sekalipun, orang bajik berperilaku baik yang tidak dapat dilakukan oleh orang tidak bajik. Betapa mereka akan mampu mengikuti tindak tanduk para bajik, ketika mereka disukai oleh nasib baik.

[Kisah ini juga harus dikemukakan ketika memuji kata-kata yang bajik: “Dengan cara ini kata-kata bajik membawa kebaikan bagi keduanya.”

Demikian pula ketika memperlakukan sahabat yang bajik: “Dengan cara ini mereka yang memiliki teman yang bajik akan memberi keberhasilan bahkan dalam keadaan berbahaya.”

Juga sebagai contoh nyata bahwa sesepuh Ānanda telah menjadi pendamping (sang Bhagavā) sejak dalam kelahiran sebelumnya: “Maka sesepuh ini berbagi kesulitan Bodhisattva, menghargai cinta kasih dan penghormatan (kepada Bhagavā) untuk waktu yang sangat lama.”]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 12 – Brahmana-jataka

Jātakamālā 12 – Brāhmaṇajātakam
(Kisah tentang Brahmana)

Jātakamālā 12 – Brāhmaṇajātakam
(Kisah tentang Brahmana)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Rasa tahu malu melarang orang bajik untuk melanggar batas perilaku baik mereka. Inilah yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika diceritakan bahwa Bodhisattva terlahir kembali dalam keluarga Brāhmana yang termasyhur, yang bereputasi baik karena garis keturunan dan perilaku mereka. Mereka sangat dihormati dan terkenal, mematuhi tradisi mereka dan menjunjung tinggi pendidikan serta perilaku yang baik. Setelah secara berurutan menerima upacara-upacara pemberkahan yang berbeda: garbhādhāna, puṁsavana, sīmantonnayana, jātakarma, dan sisanya, ia berdiam di rumah gurunya, yang adalah seorang Brāhmana yang terkemuka oleh keunggulan pembelajarannya, oleh kelahirannya, dan oleh praktik tradisinya, dengan tujuan mempelajari Weda.

(1)
Kecepatannya dalam menguasai dan mengingat teks-teks yang diajarkan kepadanya,
baktinya yang taat yang menjadi nama baik keluarganya –
suatu kebajikan dalam perilakunya yang dihiasi oleh ketenangan,
sebuah ornament yang langka di dalam seorang pemuda, membuatnya disukai oleh gurunya.

(2)
Kebajikan yang dipraktikkan tanpa henti adalah mantra sakti
yang dapat memenangkan cinta kasih
bahkan bagi yang sedang terbakar oleh api kebencian,
apalagi bagi mereka yang berhati lembut.

Gurunya, dalam jeda waktu istirahat dalam pembelajaran suci, dengan tujuan menguji moral semua muridnya, sering memberi tahu mereka tentang penderitaannya yang dialami sebagai akibat dari kemiskinannya.

(3)
“Baginya tidak ada bantuan yang diberikan oleh keluarganya,
Tiada kegembiraan yang menjadi miliknya, bahkan pada hari libur,
Dan meminta sedekah yang malang membuatnya sakit.
Keinginan seorang yang miskin, bagaimanakah itu bisa terpenuhi?

(4)
Menjadi miskin berarti diabaikan, dilahirkan untuk berkerja keras,
Merupakan kondisi yang amat sulit, tanpa kesenangan,
dilimpahi oleh kekurangan, menderita tiada henti.”

Bagai kuda unggul yang ditusuk dengan taji, murid-muridnya merasa sangat tersentuh dengan kata-kata guru spiritual mereka, dengan penuh kesungguhan memberikan kepadanya makanan yang lebih banyak dan dipersiapkan lebih baik dari biasanya. Tetapi dia berkata kepada mereka: “Tuan-tuan yang baik, jangan memaksakan diri dengan cara ini. Makanan yang diperoleh dengan meminta setiap hari tidak akan mengurangi penderitaan karena kemiskinan. Jika kalian tidak dapat menanggung kesulitanku, kalian sebaiknya menerapkan ini sebagai upaya kalian untuk mendapatkan kekayaan. Dengan melakukan ini, kalian akan bertindak dengan cara yang benar. Mengapa aku mengatakan demikian?

(5)
Kelaparan dihilangkan oleh makanan, dan kehausan dihilangkan oleh air.
Suara yang mengucapkan mantra bersama dengan obat dapat mengusir penyakit.
Namun kepedihan akibat kemiskinan dihancurkan oleh kekayaan,
yang membuat seseorang dihargai oleh sanak saudaranya.”

Murid-murid menjawab: “Apa yang bisa kami lakukan untukmu? Kami tidak bergembira karena merasa tidak berdaya. Bahkan,

(6, 7)
Jika kekayaan dapat diperoleh dengan cara mengemis seperti makanan,
kami tidak akan membiarkan Anda menderita oleh kemiskinan
dengan cara seperti ini, wahai guru.
Tetapi ini masalahnya:

Cara yang tepat, meskipun lemah, bagi para Brāhmana
untuk memperoleh kekayaan adalah dengan menerima hadiah:
tetapi orang-orang di sini tidak dermawan.
Maka kami tidak berdaya, dan
oleh ketidakberdayaan ini kami diliputi oleh kesedihan.”

Sang guru menjawab: “Tetapi masih ada cara lain untuk mendapatkan uang, dan itu dijelaskan dalam kitab-kitab hukum. Namun, kekuatanku habis karena usia tua, sehingga aku tidak dapat menerapkannya.”

Murid-murid berkata: “Tetapi kekuatan kami tidak dirusak oleh usia tua, guru. Jika kemudian, Anda menganggap kami mampu bertindak berdasarkan peraturan dari kitab-kitab hukum itu, mohon beritahu kami. Dengan demikian kami dapat membalas jerih payah Anda dalam mengajari kami.”

Sang guru berkata: “Tidak, alat untuk menghasilkan uang seperti itu hampir tidak tersedia untuk para pemuda yang pikirannya kurang memiliki tekad yang kuat. Tetapi jika Yang Mulia mendesakku, maka baiklah, kalian dapat belajar dariku tentang salah satu cara tersebut.

(8)
Diajarkan bahwa pada masa-masa sulit,
pencurian adalah mata pencaharian yang diizinkan bagi para Brāhmana.
Menurutku kemiskinan merupakan kesulitan terbesar di dunia ini,
sehingga kita tidak disalahkan untuk menikmati kekayaan orang lain.
Seluruh barang ini, sesungguhnya, adalah milik para Brāhmana.

(9)
Pria-pria seperti kalian, tidak diragukan lagi
akan dapat memperoleh kekayaan melalui kekerasan.
Namun kalian tidak boleh melakukan cara pengambilan seperti itu,
kalian harus memperhatikan reputasi kalian.
Oleh karena itu, kalian harus berusaha di tempat dan waktu
yang tidak akan diketahui oleh orang lain (sendirian).”

Dengan ucapan seperti itu dia mengendurkan kekangan pada murid-muridnya. Oleh karena itu mereka berseru “Baiklah,” menyetujui kata-kata buruknya seolah-olah itu adalah baik, dan mereka semua berkeinginan untuk melakukannya. Semuanya – kecuali sang Bodhisattva.

(10)
Kebaikan hatinya melarangnya untuk menuruti nasihat guru,
dan sebaliknya langsung memaksanya untuk menentangnya,
meskipun tugas itu telah diterima oleh para murid yang lain.

Disertai dengan rasa malu dan tatapan yang sedih, dia menunduk, menghela nafas lembut dan tetap diam. Sang guru menyadari bahwa Bodhisattva tidak menyetujui cara menghasilkan uang yang seperti itu, dan karena dia sangat menghormati kebajikan sang Mahāsattva itu, dia merenung: “Mengapa dia tidak menyetujui pencurian? Apakah karena tindakan itu membutuhkan keberanian atau karena tidak patuh kepadaku? Atau apakah dia benar-benar tahu bahwa itu adalah tindakan yang jahat?” Kemudian untuk mengetahui isi pikirannya yang sesungguhnya, dia berbicara seperti ini kepada Bodhisattva: “Katakanlah, wahai Brāhmana yang mulia,

(11)
Mereka yang terlahir dua kali, tidak mampu menanggung kemalanganku,
bersedia untuk menempuh jalan hidup yang diikuti oleh mereka yang bersemangat dan para pahlawan;
tetapi di dalam dirimu aku tidak menemukan apa pun selain kemalasan dan kelambanan.
Tentu, dirimu tidak terpengaruh oleh kesusahan kami.

(12)
Bukankah penderitaanku sudah jelas?
Seluruhnya terbuka di depan matamu.
Aku telah menjelaskannya dengan ucapan.
Meskipun demikian, engkau tetap diam!
Bagaimana bisa pikiranmu tidak terganggu
dan tidak tersentuh oleh kesedihan?”

Tersentak, Bodhisattva memberi hormat kepada guru, sambil berucap dengan gugup: “Langit melarang perasaan seperti itu! Sesungguhnya, bukan karena menginginkan perhatian atau berhati keras yang menyebabkan terdiam, juga bukan karena aku tidak tergerak oleh penderitaan guruku, melainkan aku berpikir bahwa cara bertindak guru ajarkan kepada kami tidak dapat dilakukan. Tidaklah mungkin untuk melakukan perbuatan jahat tanpa terlihat. Mengapa? Karena tidak mungkin untuk benar-benar sendirian.

(13, 14)
Bagi pelaku kejahatan, tidak ada satupun tempat di dunia ini untuk melakukannya sendirian.
Bukankah para makhluk yang tidak terlihat dan sang Muni yang murni,
yang matanya diberkahi dengan kesaktian, mengawasi tindakan manusia?
Karena tidak melihat mereka, orang bodoh mengira dia sedang sendirian dan melakukan tindakan buruk.

(15)
Lagipula aku sama sekali tidak mengetahui tempat yang sepi tanpa ada orang lain.
Sekalipun aku tidak melihat ada orang lain, bukankah di sana ada diriku sendiri?

(16, 17)
Aku adalah saksi yang jauh lebih cermat atas perbuatanku sendiri daripada orang lain.
Orang lain bisa saja melihatku maupun tidak,
karena pikirannya sibuk dengan urusannya sendiri.
Tetapi diriku, yang bersemangat karena dipenuhi oleh nafsu,
tahu dengan pasti bahwa aku sedang melakukan kejahatan.

Karena alasan inilah, aku menyisihkan diri dari yang lain.” Dan memahami bahwa gurunya tenang dengan penjelasannya, Bodhisattva melanjutkan:

(18)
“Aku juga tidak dapat meyakinkan diriku sendiri
bahwa engkau akan menipu kami dengan cara ini,
hanya demi mendapatkan kekayaan.
Sungguh, siapakah yang mengetahui perbedaan antara kebajikan dan kejahatan,
yang akan membiarkan dirinya tergoda oleh kekayaan dengan menindas kebajikan?

Mengenai tekadku sendiri, aku akan memberi tahu kepadamu tentang itu.

(19)
Lebih baik mengambil mangkuk dan jubah kusam,
melihat kemewahan rumah besar musuhnya sendiri,
daripada dengan tanpa malu mengarahkan pikiran untuk membunuh kebenaran,
bahkan dengan tujuan untuk menjadi raja para dewa!”

Mendengar kata-kata ini gurunya menjadi sangat kagum dan gembira, bangkit dari tempat duduknya, memeluknya, dan berkata kepadanya: “Baiklah, sangat baik, putraku! Sungguh ucapan yang sangat baik, ucapan sangat baik, wahai Brāhmana yang mulia! Ini menjadi kecerdasan tajammu yang dihiasi oleh ketenangan batin.

(20)
Orang bodoh melalaikan tanggung jawabnya, digerakkan oleh berbagai alasan;
tetapi yang bajik tidak membiarkan diri mereka tersesat
meskipun dalam kesulitan terbesar sekalipun.
Pertapaan, pembelajaran, dan kebijaksanaan menjadi kekayaan mereka.

(21)
Bagai bulan yang terbit di musim gugur menghiasi cakrawala, demikian pula
engkau adalah hiasan dari keluargamu yang sepenuhnya tak bernoda.
Teks-teks suci yang telah engkau pelajari bermanfaat penuh bagimu.
Engkau telah memahaminya dengan baik, tampak jelas melalui perilaku baikmu;
dan kerja kerasku dimahkotai dengan keberhasilan, tidak menjadi sia-sia.”

Maka, rasa tahu malu melarang orang bajik untuk melanggar batas perilaku baik mereka. [Untuk alasan inilah para ārya harus memiliki perlindungan yang kuat di dalam rasa malu.

(Kisah ini) harus dikemukakan dengan kata-kataseperti ini: “Dengan cara ini, pengikut setia dari keyakinan kita (āryaśrāvaka), dijaga dengan baik oleh parit rasa malunya, menghindari apa yang berbahaya dan menumbuhkan apa yang bermanfaat.”

Begitu pula dalam ajaran-ajaran yang membahas tentang perasaan malu dan terkait opini masyarakat.]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 13 – Unmadayanti-jataka

Jātakamālā 13 – Unmādayantījātakam
(Kisah tentang Unmadayanti)

Jātakamālā 13 – Unmādayantījātakam
(Kisah tentang Unmadayanti)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Orang-orang bajik enggan untuk mengikuti jalan hidup yang rendah, bahkan ketika sedang dilanda sakit yang sangat menyedihkan sekalipun. Keteguhan hati mencegah mereka dari tindakan seperti itu. Ini akan diajarkan sebagai berikut

Pada suatu ketika, Sang Bodhisattva, dengan mempraktikkan kebajikan, kejujuran, kemurahan hati, ketenangan pikiran, kebijaksanaan yang tiada banding, dan sebagainya, mengupayakan dirinya untuk kepentingan para makhluk. Dikisahkan bahwa dia adalah raja para Śibi, berperilaku bagai perwujudan dari kebenaran dan pengendalian diri, dan berniat untuk memajukan kesejahteraan rakyat-rakyatnya seperti seorang ayah.

(1)
Bagai seorang ayah yang membimbing putranya,
sang raja menjaga rakyat-rakyatnya dari perbuatan salah
dan menjaga mereka dalam kebajikan-kebajikan mulia
membawa sukacita baik dalam kehidupan ini dan berikutnya.

(2)
Sang raja menjalankan keadilan sesuai jalan kebenaran,
tidak membeda-bedakan sanak saudara dan yang lain,
menghalangi para rakyat dari jalan perilaku yang salah,
bagai tangga penuh bunga menuju surga.

(3)
Sang penguasa memandang bahwa kesejahteraan para makhluk
merupakan akibat dari moralitas dan merupakan tugas tunggalnya.
Sepenuh dirinya bergembira dalam jalan kebenaran
dan tidak dapat membiarkan orang lain melanggarnya.

Di ibu kota kerajaan itu, salah satu warga utama kota memiliki seorang putri yang sangat cantik. Kecantikan yang menawan dari paras dan pesonanya membuat dia tampak seperti perwujudan dari dewi Śrī atau Rati atau salah satu dari para bidadari.

(4)
Tiada seorang pun, kecuali mereka yang tanpa nafsu,
yang setelah melihatnya, mampu mengalihkan pandangan
dari parasnya, kecantikannya yang mempesona
di mata semua orang yang melihatnya.

Dan untuk alasan inilah, para kerabat memanggilnya Unmādayantī (“dia yang membuat tergila-gila”).

Ayahnya memberi tahu raja bahwa dia memiliki anak perempuan yang cantik seperti itu: “Yang Mulia, wanita yang cantik bagai mutiara telah muncul di tanahmu. Semoga Yang Mulia berkenan untuk memutuskan apakah Anda akan menerimanya sebagai istri atau menolaknya.” Kemudian raja memerintahkan beberapa Brāhmana yang dapat mengenali tanda-tanda keberuntungan dari para wanita untuk pergi dan melihat gadis itu, menilai apakah dia akan menjadi istri yang cocok atau tidak baginya. Ayah Unmādayantī membawa mereka ke rumahnya, dan memerintahkan putrinya untuk mengurus tamu-tamunya sendirian. Dia berkata dia akan melakukannya, dan mulai melayani mereka di meja dengan cara yang tepat. Tapi tidak lama kemudian:

(5)
Para brāhmana itu menatapnya, terus melihat wajahnya.
Dewa cinta telah menaklukkan keteguhan mereka.
Mereka kehilangan kendali atas pandangan dan pikiran mereka,
kesadaran mereka tersingkirkan seolah-olah sedang mabuk.

Karena mereka tidak dapat menjaga raut wajah mereka untuk tetap serius, sopan, dan tenang, terutama ketika sedang makan, sang perumah tangga menarik putrinya dari jangkauan pandangan mereka dan menghadirkan dirinya di depan para Brāhmana. Setelah itu mereka pergi dan pulang. Dan mereka mempertimbangkan sebagai berikut: “Kecantikan yang indah dari gadis itu, sesungguhnya, memiliki sifat yang sangat mempesona, ia bertindak seperti mantra yang sangat ajaib. Karena alasan inilah raja tidak pantas melihatnya, apalagi menjadikannya sebagai ratu. Tergila-gila oleh kecantikannya yang luar biasa, tidak dapat diragukan lagi, dia akan mengurangi semangatnya untuk melakukan tugas-tugas agama dan pemerintahannya, dan kelalaiannya untuk menjalankan pekerjaannya dengan baik akan memberi akibat buruk kepada rakyat-rakyatnya, karena itu akan menghalangi sumber keuntungan dan kesejahteraan mereka.

(6)
Bahkan memandang gadis itu akan cukup menjadi penghalang bagi para Muni yang sedang berjuang mengejar kesempurnaan kebijaksanaan; apalagi untuk menghalangi keberhasilan seorang pangeran muda, yang hidup dalam kesenangan dan terbiasa mengarahkan pandangannya kepada objek indriawi.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kita bertindak seperti ini.” Setelah memutuskan demikian, mereka pergi ke hadapan raja pada waktu yang tepat dan melaporkan hal ini kepadanya: “Kami telah melihat gadis itu, wahai raja agung. Dia cantik dan memiliki pesona yang indah, tapi tidak lebih lagi; dia memiliki tanda yang tidak menguntungkan, pertanda kehancuran dan ketidakberuntungan. Untuk alasan inilah Yang Mulia seharusnya tidak melihatnya, apalagi menikahinya.

(7)
Istri yang tercela menutupi kemuliaan dan kemewahan dua keluarga; bagai malam mendung tak berembulan yang menyembunyikan keindahan dan tatanan di bumi serta di surga.”

Diberi tahu seperti itu, sang raja membayangkan bahwa dia memiliki tanda-tanda yang tidak menguntungkan dan tidak cocok dengan keluarganya, menjadi tidak berkeinginan lagi untuk memilikinya. Ayah gadis itu, sang perumah tangga, mengetahui ketidaksenangan raja, menikahkan putrinya dengan seorang Abhipāraga, pejabat raja itu sendiri.

Lalu suatu ketika, pada saat perayaan Kaumudī sedang dilaksanakan, sang raja ingin menyaksikan kemegahan pesta di ibukotanya itu. Dia menaiki kereta kerajaannya dan berkendara melewati kota yang menunjukkan pemandangan menyenangkan. Jalan-jalan beserta alun-alunnya telah ditaburi dan dibersihkan; lantai putihnya ditaburi bunga beraneka warna; bendera dan spanduk yang berwarna-warni melayang tinggi; di mana-mana ada tarian dan nyanyian, bersama dengan pertunjukan komedi, dansa, dan musik; aroma-aroma bunga yang berbaur, dupa, bubuk harum, wewangian, karangan bunga, minuman keras, juga minyak wangi dan minyak yang digunakan untuk membersihkan diri, memenuhi udara dengan keharuman; barang-barang bagus ditunjukkan untuk dijual; jalan-jalan utama dipenuhi oleh kerumunan warga kota dan tuan tanah yang bergembira dengan pakaian terbaik mereka.

Saat melakukan perjalanan ini, raja mendekati rumah Abhipāraga. Unmādayantī, yang marah kepada raja karena dia telah menolaknya karena dianggap memiliki tanda-tanda yang tidak menguntungkan, berpura-pura penasaran ingin melihatnya, lalu turun ke jalan, diterangi oleh sosoknya yang gemilang dari atap datar rumahnya, seperti kilatan petir yang menghantam bagian atas awan; sang raja, pikirnya di dalam hatinya, harus mampu menjaga keteguhan pikirannya dan kendali atas indranya yang tak tergoyahkan terhadap pemandangan orang yang tidak beruntung sepertiku. Oleh karena itu, ketika raja, yang penasaran ingin melihat kemegahan ibukotanya, sedang melihat sekeliling, matanya tiba-tiba tertuju padanya, ketika dia sedang menghadap kepadanya. Saat melihatnya, sang raja,

(8, 9)
Meskipun matanya terbiasa dengan daya tarik keindahan para selirnya; meskipun dia mengikuti jalan moralitas, berwatak sederhana, dan telah melatih diri dalam menaklukkan indra-indranya; meskipun dia memiliki derajat yang tinggi dalam keteguhan; meskipun dia memiliki rasa malu yang kuat dan pandangannya takut pada penampilan wanita muda yang sudah dimiliki orang lain – meskipun demikian, dia tidak dapat mencegah kemenangan dari dewa cinta, dan menatap lama wanita itu, tidak berdaya untuk mengalihkan pandangan dari wajahnya.

(10)
“Apakah dia mungkin merupakan perwujudan dari Kaumudī atau dewi dari rumah itu? Apakah dia seorang bidadari ataukah seorang penyihir? Karena tidak ada sosok manusia yang seperti itu.”

Demikianlah sang raja memikirkan itu dan tidak bisa cukup memandanginya; kereta yang lewat tidak bisa menuruti keinginan hatinya. Dia kembali ke istananya seperti orang yang berpikiran kosong, tidak memikirkan apa pun kecuali dia; keteguhan pikirannya telah dikacaukan oleh Manmathā. Kemudian dia diam-diam bertanya kepada kusirnya yang bernama Sunanda:

(11)
“Tahukah engkau, rumah siapakah itu yang dikelilingi oleh tembok putih, dan siapakah dia yang kecantikannya bersinar di sana bagai kilat di awan putih?”

Sang kusir menjawab: “Yang Mulia memiliki seorang pejabat tinggi bernama Abhipāraga. Rumah itu adalah rumahnya, dan wanita itu adalah istrinya, putri Kirīṭavatsa, dan dia dipanggil Unmādayantī.” Setelah mendengar ini, mengetahui dia adalah istri orang lain menyebabkan hatinya berputus asa. Matanya terpaku dalam kesedihan. Beberapa kali dia menghela napas panjang dan dalam, tidak memikirkan apa-apa selain dia, kemudian berbicara sendiri dengan suara rendah:

(12)
“Ah! Sungguh, dia menyandang namanya yang lembut dan terdengar indah. Unmādayantī yang tersenyum manis ini telah membuatku hampir gila.

(13)
Aku akan melupakannya, tetapi aku selalu melihatnya dalam pikiranku. Karena pikiranku bersamanya, atau lebih tepatnya, dia telah menguasai pikiranku.

(14)
Dan pikiran lemah ini adalah salahku karena memikirkan istri orang lain! Tidak diragukan lagi, aku tergila-gila; rasa malu tampaknya telah meninggalkanku, seolah telah tertidur.

15. Sementara asyik membayangkan diriku bersama dengan keanggunan sifatnya, senyumannya, penampilannya, oh suara lempengan logam yang muncul tiba-tiba itu, mengingatkanku kepada suara keras dari tugas-tugas urusan rutin kerajaanku, membangkitkan amarahku.”

Keteguhan hati sang raja diguncang oleh kekuatan cinta yang penuh gairah dengan sedemikian rupa. Dan meskipun dia berusaha untuk menenangkan pikirannya, penampilannya yang lesu dan tubuhnya yang kurus, pikirannya sering terlarut bersama desahan napasnya yang sangat jelas menunjukkan bahwa dia sedang jatuh cinta.

(16)
Betapapun besarnya keteguhannya dalam menyamarkan sakit hatinya, hal itu terwujud dalam raut wajahnya, raut matanya yang kaku, dan anggota tubuhnya yang kurus.

Abhipāraga, pejabat raja, terampil dalam menafsirkan raut wajah dan gerak tubuh yang mengungkapkan perasaan batin. Ketika dia telah mengamati perilaku tuannya dan menemukan penyebabnya, juga karena dia menghormati raja dan mengetahui kekuatan berlebihan dari dewa cinta, dia tahu bahwa hal ini akan berlanjut buruk. Maka dia meminta kepada raja untuk bertemu secara rahasia; yang setelah dikabulkan kepadanya, dia mendatangi tuannya, dan setelah memperoleh izin, menyapanya:

(17, 18)
“Wahai penguasa manusia yang bermata teratai, saat melakukan pemujaan kepada para dewa pada hari ini, seorang Yakṣa menampilkan dirinya di depan mataku dan berkata kepadaku: ‘Bagaimana mungkin kau mengabaikan raja yang telah jatuh cinta kepada Unmādayantī?’ Setelah berbicara demikian, dia segera menghilang, dan aku yang memperhatikan hal ini, mendatangi Anda. Jika ini benar, apakah karena ini Yang Mulia menunjukkan ketidaksukaan kepadaku dengan cara diam?

Oleh karena itu, semoga Yang Mulia berkenan membantuku untuk menerima genggaman tangannya dari tanganku.”

Raja menjadi bingung dan tidak berani mengangkat matanya karena merasa malu. Namun demikian, meskipun dia berada dalam kekuatan cinta, dia tidak membiarkan keteguhannya goyah, karena dia berpengetahuan dalam Dharma dengan latihan dalam waktu yang lama dan baik. Dia pun menolak tawaran itu dengan jelas, “Tidak, itu tidak mungkin. Untuk alasan apa? Dengarlah.

(19)
Aku akan kehilangan jasa kebajikanku dan aku tahu bahwa diriku tidak abadi. Selanjutnya, perbuatan jahatku juga akan diketahui oleh publik. Lagipula, jika api kesedihan membakar hatimu karena perpisahan ini, api itu akan melalapmu dalam waktu yang lama, seperti api yang membakar habis rumput kering.

(20)
Dan perbuatan seperti itu, yang akan menyebabkan penderitaan baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya, dilakukan oleh orang yang tidak bijaksana dan tidak akan pernah dilakukan oleh orang yang bijaksana. Inilah alasannya.”

Abhipāraga menjawab: “Jangan takut bahwa engkau akan melanggar Dharma, Yang Mulia.

(21)
Dengan membantuku melakukan pemberian, engkau akan bertindak sesuai dengan Dharma. Sedangkan jika engkau tidak menerimanya dari tanganku, engkau akan melakukan sebuah kesalahan, karena engkau menghalangi praktik memberi.

Dalam hal ini aku juga tidak melihatnya sebagai kesempatan untuk merusak reputasi Yang Mulia. Mengapa?

(22)
Ini adalah kesepakatan di antara kita; tidak ada orang lain yang perlu mengetahuinya. Oleh karena itu, jangan pikirkan rasa takut akan disalahkan oleh pendapat masyarakat.

Selanjutnya, bagiku ini akan menjadi bantuan, bukan sumber kesedihan. Mengapa demikian?

(23)
Kerusakan apa yang dapat diperoleh hati yang setia melalui kepuasan yang diperoleh dengan melayani kepentingan tuannya? Untuk alasan ini engkau dapat diam-diam menikmati cintamu; jangan mengkhawatirkan kesedihanku.”

Raja menjawab: “Sudahlah, sudah! Tidak ada alasan jahat seperti itu.

(24)
Sesungguhnya, kesetiaanmu yang sangat besar kepadaku sedang menghalangimu untuk memahami bahwa membantu seseorang dengan memberi tidak selalu merupakan tindakan yang benar.

(25)
Siapa yang dengan melampaui kesetiaannya kepadaku tidak mengindahkan hidupnya sendiri, adalah temanku, lebih aku cintai daripada kerabat-kerabatku. Istrinya harus aku hormati sebagai istri seorang teman.

Engkau sedang tidak sehat sehingga membujukku untuk melakukan tindakan salah. Dan apa yang engkau tegaskan, ‘tidak ada orang lain yang akan mengetahuinya’, apakah kesalahanku akan berkurang karena alasan ini?

(26)
Bagaimana mungkin kebahagiaan dapat diperoleh bagi orang yang melakukan perbuatan buruk, meskipun tidak da yang menyaksikan? Sesedikit dia yang telah mengambil racun yang tak terlihat. Baik para dewa yang berpandangan murni maupun para pertapa suci di antara manusia tidak mungkin tidak menyaksikannya.

Selain itu, aku memberi tahu hal ini kepadamu:

(27)
Siapakah yang akan benar-benar percaya bahwa engkau tidak mencintainya, atau bahwa engkau tidak akan terluka setelah engkau melepaskannya?”

Abhipāraga berkata:

(28)
“Aku, bersama istri dan anak-anakku, adalah budakmu. Engkau adalah tuan dan dewa bagiku. Yang Mulia, pelanggaran apa yang mungkin terjadi jika engkau bertindak sesuka hatimu kepada budak perempuanmu ini?

Adapun engkau menegaskan bahwa aku mencintainya, apakah itu penting?

(29)
Ya, Yang Mulia, dia adalah istriku tercinta, dan karena alasan inilah aku ingin dia diberikan kepadamu. Dia yang telah memberikan sesuatu yang disayanginya di dunia ini, akan menerima objek-objek indah berikutnya yang melebihi segala keindahan.

Oleh karena itu, Yang Mulia dapat membawanya.”

Raja berbicara: “Oh, jangan berkata begitu! Tidak mungkin bagiku untuk melakukannya. Mengapa?

(30)
Aku berani melemparkan diriku pada pedang tajam atau ke dalam api yang menyala-nyala, tetapi aku tidak mungkin dapat menentang Dharma yang selalu kupatuhi, dan yang kepadanya aku berhutang kebahagiaan kerajaanku.”

Abhipāraga berkata: “Jika Yang Mulia tidak mau mengambilnya, karena dia adalah istriku, maka aku sendiri yang akan memerintahkannya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang wanita penghibur, yang boleh dirayu oleh siapa pun. Maka Yang Mulia bisa membawanya. “

Raja menjawab: “Apakah kau sudah gila?

(31)
Jika engkau meninggalkan istrimu yang tidak bersalah, engkau tidak hanya akan mendapat hukuman dariku, tetapi juga akan menjadi bahan celaan, juga mendapatkan kesedihan yang tak terhindarkan baik di kehidupan ini dan selanjutnya.

Berhentilah; jangan memaksakan tindakan buruk. Alihkan pikiranmu pada keadilan dan kejujuran.”

Abhipāraga berkata:

(32)
“Dan jika aku bersikeras, aku benar-benar melakukan tindakan ini yang mungkin merupakan pelanggaran terhadap kebenaran dan dapat dicela oleh para manusia, yang menghilangkan kebahagiaanku – biarlah segala konsekuensi ini terjadi – aku akan dengan senang hati menghadap mereka dengan berani, berkat kegembiraan di dalam batin yang akan kurasakan karena telah membuatmu bahagia.

(33)
Di dunia ini, tiada seorangpun yang kukenal yang lebih layak dari dirimu untuk dipuja dan menerima pemberian, wahai penguasa bumi yang paling perkasa. Kalau begitu, dengan tujuan untuk meningkatkan jasa kebajikanku, sudilah untuk menerima Unmādayantī sebagai pengorbananku, seperti pendeta yang sedang bertugas.”

Raja berkata: “Tidak diragukan lagi, kasih sayangmu yang besar untukku mendorongmu untuk berusaha menyenangkanku tanpa mempertimbangkan apa yang benar dan salah bagimu. Tetapi pertimbangan ini justru mendorongku untuk mencegahmu. Sesungguhnya, ketidakpedulian terhadap celaan manusia sama sekali tidak dapat disetujui. Lihatlah!

(34)
Siapapun, dengan mengabaikan kebenaran, tidak peduli terhadap celaan manusia atau akibar buruk di kelahiran berikutnya, akan memperoleh hal ini: dalam kehidupan ini orang-orang tidak akan mempercayainya; dan pasti, setelah kematian dia akan kehilangan kebahagiaannya.

Dan karena itu aku tekankan ini ke dalam pikiranmu.

(35)
Jangan pernah bersukacita dalam melukai kebenaran demi kehidupan.[4] Engkau akan menghasilkan kejahatan besar dan tidak perlu dipertanyakan lagi, keuntungannya kecil dan meragukan.

Selain itu, engkau juga harus mempertimbangkan hal ini.

(36)
Orang bajik tidak menyukai kesenangan bagi diri mereka sendiri yang diperoleh dengan mengorbankan orang lain, yang membuat mereka menderita dengan membawa mereka ke dalam reputasi buruk dan sejenisnya. Untuk alasan inilah, dengan berdiri di atas dasar kebenaran, aku akan memikul tanggung jawab atas kepentingan pribadiku sendiri tanpa menimbulkan rasa sakit bagi orang lain.”

Abhipāraga menjawab: “Tetapi bagaimana ini bisa dikatakan tidak adil, jika karena digerakkan oleh ketaatan, aku mengutamakan kepentingan tuanku dan Yang Mulia menerimanya sebagai hadiah dariku? Para Śibi, para warga kota dan tuan tanah, juga akan bertanya-tanya: ‘Apa yang tidak adil dari perbuatan ini?’ Oleh karena itu, Yang Mulia, bawalah ia dengan senang hati.”

Raja menjawab: “Sesungguhnya, engkau memiliki keinginan yang kuat untuk membantuku. Tapi renungkanlah ini baik-baik: Siapakah di antara kita yang paling tahu tentang Dharma, seluruh Śibi, engkau, atau aku?”

Kemudian Abhipāraga menjawab dengan cepat:

(37)
“Karena ketekunan dan perhatianmu dalam mematuhi para bijaksana, serta penghargaan besarmu terhadap pengetahuan suci, juga kebijaksanaan batinmu, Yang Mulia sebanding dengan Bṛhaśpati sebagai hakim yang paling kompeten dalam semua hal yang diajarkan dalam ilmu tentang “tiga rangkaian objek (trivarga).”

Raja berkata: “Dengan demikian, engkau tidak boleh menyesatkanku dengan masalah ini. Kenapa kukatakan demikian?

(38)
Kejahatan dan kebaikan rakyat bergantung pada perilaku penguasa mereka. Untuk alasan ini, dan dengan mempertimbangkan kesetiaan rakyatku, aku akan terus mencintai jalan kebajikan di atas segalanya, sesuai dengan reputasiku.

(39)
Seperti sapi yang mengejar banteng ke segala arah, mengikuti Langkah-langkahnya tanpa mengenal benar atau salah, dengan cara yang sama pula para rakyat akan meniru perilaku penguasa mereka dengan tanpa ragu dan tanpa gentar.

Engkau juga harus mempertimbangkan hal ini.

(40)
Jika aku tidak mampu mengatur diriku sendiri, maka bagaimana dengan nasib orang-orang yang mengharapkan perlindungan dariku?

(41)
Dengan demikian, mengingat dan memperhatikan kebaikan rakyat-rakyatku, kebenaranku sendiri, dan nama baikku yang tak bernoda, aku tidak membiarkan diriku tunduk pada nafsu. Aku adalah pemimpin rakyat-rakyatku, banteng dari kawananku.”

Kemudian Abhipāraga, pejabat raja, setelah ditenangkan oleh sang raja, menundukkan kepalanya dan dengan hormat merapatkan tangannya, mengucapkan:

(42)
“Oh! Sungguh para rakyat ini dicintai oleh nasib baik karena memiliki penguasa sepertimu, raja yang terhormat. Kecintaanmu terhadap kebenaran yang benar-benar mengabaikan kesenangan tidaklah mudah untuk ditemukan, bahkan di antara mereka yang berdiam di dalam hutan pertapaan sekalipun.

(43)
Di dalam dirimulah sebutan ‘agung’, oh Mahārāja, merupakan ornamen yang cemerlang. Karena kebajikan yang dianugerahkan kepada orang-orang tanpa kebajikan justru memiliki suara yang agak kasar, seolah digunakan untuk menghina.

(44)
Juga tidak ada alasan lagi bagiku untuk terheran-heran atau gelisah dengan perbuatan agungmu ini, yang merupakan tambang kebajikan, bagai laut yang penuh permata.”

Orang-orang bajik enggan untuk mengikuti jalan hidup yang rendah, bahkan ketika sedang dilanda sakit yang sangat menyedihkan sekalipun. Keteguhan hati  mencegah mereka dari tindakan seperti itu [dan mereka yang berpengetahuan dalam Dharma dalam waktu yang lama dan latihan baik. Dengan pertimbangan inilah, seseorang harus mengupayakan dirinya sendiri dalam mempraktikkan keteguhan dan pedoman Dharma.]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 10 – Yajna-jataka

Jātakamālā 10 – Yajñajātakam
(Kisah Upacara Pengorbanan)

Jātakamālā 10 – Yajñajātakam
(Kisah Upacara Pengorbanan)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang berhati murni tidak akan bertindak menuruti bujukan orang jahat. Mengetahui hal ini, hati yang murni harus diupayakan. Ini akan diajarkan oleh berikut ini.

Konon, dahulu kala Bodhisattva adalah seorang raja yang memperoleh kerajaannya berdasarkan warisan turun-temurun. Dia telah mencapai keadaan ini sebagai akibat dari jasa kebajikannya. Dia memerintah wilayahnya dengan damai, tidak diganggu oleh pesaing mana pun, dan kedaulatannya diakui secara universal. Negaranya bebas dari segala jenis gangguan, kekacauan, ataupun bencana, baik hubungan dalam negeri maupun dengan negara asing yang tenang dalam segala hal; dan semua pengikutnya mematuhi perintahnya.

(1)
Setelah menaklukkan hawa nafsu sebagai musuh-musuhnya, sang raja tidak mengharapkan keuntungan apapun atas usaha-usahanya, yang seolah tidak patut untuk dinikmati selain dmaksudkan untuk meningkatkan kebahagiaan rakyat-rakyatnya. Memegang kebenaran (Dharma) sebagai satu-satunya tujuan dari tindakannya, dia berperilaku bagai seorang Muni.

(2)
Ia memahami bahwa secara alamiah manusia akan menetapkan nilai tinggi untuk meniru perilaku yang tertinggi. Untuk alasan ini, karena berkeinginan untuk membawa keselamatan bagi rakyatnya, dia tekun melaksanakan kewajiban spiritualnya.

(3)
Dia mempraktikkan dana, menjaga perilaku moral (śīla) dengan ketat, melatih kesabaran, dan berjuang untuk kepentingan para makhluk. Wajah lembutnya sesuai dengan pikirannya yang dibadikan untuk kebahagiaan rakyatnya, dia tampak seperti perwujudan Dharma.

Meskipun wilayahnya dilindungi dengan baik olehnya, namun baik itu karena buah dari tindakan salah dari penduduk maupun ketidaksengajaan para dewa yang bertanggung jawab terhadap hujan, beberapa bagian wilayah itu dilanda oleh kekeringan, menimbulkan masalah yang merepotkan sebagai efek dari bencana tersebut.

Atas hal ini, sang raja, merasa sangat yakin bahwa bencana ini telah diakibatkan oleh kelalaian dirinya sendiri ataupun rakyatnya, dan sangat memperhatikan kesusahan rakyatnya, bahwa kesejahteraan mereka merupakan objek pikiran dan perhatian utamanya, menerima nasihat dari orang-orang yang kemampuannya diakui dan terkenal karena pengetahuan mereka dalam urusan agama. Maka, mengikuti nasihat para tetua di antara para Brāhmana, yang dipimpin oleh pendeta keluarganya (purohita) dan para menterinya, dia meminta mereka beberapa cara untuk mengakhiri bencana itu.

Mereka, yang mempercayai upacara pengorbanan yang diuraikan di dalam Veda sebagai penyebab hujan deras, menjelaskan kepadanya bahwa sang raja harus melakukan pengorbanan yang besar yang membutuhkan pembantaian ratusan makhluk hidup. Di dalam hati, welas asih sang raja tidak menyetujui pembantaian untuk upacara pengorbanan; Namun demi kesopanan, sang raja tidak mau menyinggung perasaan mereka dengan kata-kata penolakan. Dia melewatkan pembahasan ini, mengalihkan pembicaraan ke topik lain. Tetapi karena mereka tidak dapat memahami pikiran sang raja yang mendalam, mereka kembali mendesak raja untuk melakukan pengorbanan ketika membahas masalah agama dengan sang raja.

(4)
“Anda selalu berhati-hati agar tidak mengabaikan waktu yang tepat dalam melakukan berbagai macam tugas kerajaan Anda yang ditetapkan untuk memperoleh kepemilikan wilayah dan memerintahnya. Urutan tindakan Anda ini juga sesuai dengan kebenaran (Dharma).

(5)
Lalu mengapa Anda yang (dalam semua hal lainnya) begitu pandai dalam menjalankan tiga serangkai (dharma, artha, dan kāma), mengangkat busur Anda untuk membela kebaikan rakyat Anda, kemudian menjadi begitu ceroboh dan lamban terhadap jembatan menuju dunia para dewa, yang disebut sebagai “pengorbanan” itu?

(6)
Bagaikan para pelayan, raja-raja lain (pengikut Anda) menghormati perintah Anda, menganggap perintah Anda sebagai ukuran kesuksesan yang paling pasti. Sekarang waktunya tiba, wahai engkau yang telah mengalahkan musuh-musuhmu, untuk mengumpulkan berkah yang lebih tinggi melalui pengorbanan, yang akan memberikanmu kemuliaan yang bersinar.

(7, 8)
Sesungguhnya, kesucian yang merupakan syarat untuk sebuah dikṣita sudah menjadi milik Anda, karena kebiasaan Anda dalam melakukan praktik memberi dan ketegasan Anda dalam pengendalian diri (berperilaku baik). Namun demikian, akan lebih baik bagi Anda untuk melunasi utang Anda kepada para dewa melalui upacara pengorbanan seperti yang diuraikan di dalam Veda.

Para dewa dipuaskan dengan pengorbanan yang pantas dan tanpa cela, menghormati para makhluk dengan (mengirimkan) hujan sebagai balasannya. Pertimbangkanlah, perhatikan kesejahteraan rakyat Anda dan diri Anda sendiri, dan bersedialah untuk melakukan pengorbanan secara rutin, yang akan meningkatkan kemuliaan Anda.”

Setelah itu dia memikirkan ini: “Sungguh, rakyatku yang malang dilindungi dengan sangat buruk, jika diberikan kepercayaan kepada para pemimpin seperti ini. Aku harus mencabut kebajikan dari kelembutan hatiku dengan mengandalkan perkataan orang lain, sedangkan aku mempercayai dan mencintai Dharma dengan penuh keyakinan. Sungguh,

(9)
Mereka yang dikenal sebagai tempat perlindungan terbaik justru merupakan orang-orang yang berniat melakukan kerugian, mengatasnamakan Dharma. Sungguh disayangkan! Orang yang mengikuti jalan salah yang ditunjukkan oleh mereka, akan segera menemukan dirinya diarahkan ke dalam persimpangan jalan, dikelilingi oleh kejahatan.

(10)
Apakah hubungan antara kebenaran dan menyakiti hewan? Apa hubungan antara penghuni alam para dewa, atau mengambil hati para dewa, dengan pembunuhan para hewan?

(11, 12)
Dikatakan bahwa hewan yang disembelih berdasarkan ritual dengan doa-doa yang telah ditentukan ― seolah-olah rumusan suci itu adalah sedemikian banyak anak panah untuk melukainya ― akan pergi ke surga, dan dengan cara demikianlah mereka dibunuh. Dengan cara ini tindakan tersebut dimaknai seolah-olah dilakukan sesuai dengan Dharma. Namun ini adalah kebohongan.

Karena bagaimana mungkin dalam kelahiran selanjutnya, seseorang menuai buah dari apa yang telah dilakukan oleh orang lain? Dan dengan alasan apa hewan korban akan naik ke surga? Meskipun dia tidak menjauhkan diri dari perbuatan jahat, meskipun dia tidak mengabdikan diri pada tindakan baik, hanya berdasarkan karena dia telah dibunuh dalam pengorbanan, dan bukan atas dasar tindakannya sendiri?

(13)
Dan jika korban yang terbunuh dalam upacara pengorbanan benar-benar masuk surga, bukankah seharusnya kita mengharapkan para Brāhmana itu yang mempersembahkan diri mereka sendiri untuk dikorbankan dalam upacara pengorbanan? Namun, aku tidak melihat mereka melakukan praktik seperti itu. Kalau begitu, siapa yang dapat menerima nasihat yang diberikan oleh para penasihat ini?

(14)
Mengenai para dewa, mungkinkah mereka yang terbiasa menikmati ambrosia yang indah dari aroma, rasa, kemegahan, dan kekuatan yang tak tertandingi, disajikan kepada mereka oleh para bidadari yang rupawan, akan mengabaikannya untuk bersenang-senang dalam pembantaian hewan yang menyedihkan, bahwa mereka berpesta dengan omentum dan bagian lain dari tubuhnya yang dipersembahkan kepada mereka sebagai korban?

Oleh karena itu, ini adalah waktu yang tepat bertindak.” Setelah mengambil keputusan, raja berpura-pura ingin melakukan upacara pengorbanan; dan sebagai persetujuan atas kata-kata mereka, dia berbicara kepada mereka dengan cara ini:

“Sesungguhnya, aku terlindungi dengan baik dan sangat bersyukur, memiliki penasihat seperti Yang Mulia. Dengan demikian, aku bertekad untuk mengamankan kebahagiaanku! Oleh karena itu aku akan melakukan pengorbanan manusia (puruṣamedha) sebanyak seribu orang. Mohon agar para pejabat, di tempat bertugasnya masing-masing, diperintahkan untuk mendiskusikan persyaratan yang diperlukan untuk upacara itu. Tentukan juga tempat yang paling cocok untuk mendirikan tenda dan bangunan lain untuk sattra. Selanjutnya, waktu yang tepat untuk melakukan pengorbanan harus ditentukan (oleh para astrolog) dengan memeriksa pergerakan bulan, karaṇa, muhurta, dan konstelasi bintang yang menguntungkan.”

Purohita menjawab: “Agar Anda berhasil, Yang Mulia harus mengambil avabhṛtha (mandi terakhir) pada akhir satu pengorbanan; setelah itu Anda dapat melakukan yang lain secara berturut-turut. Karena jika seribu korban manusia akan ditangkap sekaligus, rakyat Anda pastinya akan menyalahkan Anda dan akan menjadi pergolakan besar dalam catatan mereka.” Kata-kata purohita ini telah disetujui oleh para Brāhmana (lainnya). Sang raja menjawab: “Jangan khawatirkan kemurkaan para rakyat, Yang Mulia. Aku akan mengambil tindakan untuk mencegah pergolakan di antara rakyat-rakyatku.”

Setelah itu raja memanggil sekelompok penduduk kota dan wilayah, dan berkata: “Aku bermaksud untuk melakukan pengorbanan manusia yang terdiri dari seribu korban. Tetapi tidak ada orang yang berperilaku jujur ​​yang pantas untuk direncanakan sebagai pengorbanan yang aku lakukan. Dengan pemikiran ini, saya memberi kalian perintah ini: Siapapun dari kalian yang kuanggap melanggar batas-batas perilaku moral, meremehkan perintah kerajaan, dia akan aku perintahkan untuk ditangkap menjadi korban upacara pengorbananku, karena orang seperti itu adalah noda bagi keluarganya dan bahaya bagi negaraku. Dengan tujuan untuk melaksanakan ketetapan ini, aku akan menugaskan utusan yang cermat dan berpandangan tajam, yang tidak lalai, untuk mengawasi kalian dan akan melaporkan tingkah laku kalian kepadaku.”

Kemudian yang terdepan dari kumpulan itu, menangkupkan tangan mereka dan meletakkannya di dahi, berbicara:

(15, 16)
“Yang Mulia, semua tindakan Anda adalah demi kebahagiaan rakyat Anda, bagaimana mungkin kami membenci Anda karena hal itu? Bahkan (dewa) Brahmā tidak bisa menentang perilakumu.

Yang Mulia, yang berwenang atas kebajikan, adalah pemimpin tertinggi kami. Untuk alasan inilah, apapun yang menyenangkan Yang Mulia tentunya menyenangkan kami juga. Sungguh, engkau hanya memikirkan kesenangan dan kebaikan kami.”

Setelah orang-orang terkemuka di kota dan desa menerima perintahnya dengan cara ini, raja meminta seluruh petugas kota dan kerajaan untuk menyebar, memberi tahu mereka untuk memperhatikan perilaku para rakyat, dengan tujuan untuk menahan pelaku kejahatan. Di berbagai tempat hal ini diumumkan dengan tabuhan gendering, hari demi hari, dengan seperti ini:

(17)
“Raja, sang penyedia keamanan, menjamin keselamatan bagi setiap orang yang terus-menerus memupuk kejujuran dan perilaku yang baik bagi yang bajik. Namun, dengan niat untuk melakukan upacara pengorbanan manusia demi kepentingan rakyatnya, raja menginginkan seribu korban manusia yang diambil dari mereka yang senang melakukan perbuatan jahat.

(18)
Oleh karena itu, siapa pun yang selanjutnya secara tidak bermoral terlibat dalam perilaku buruk, mengabaikan perintah raja kita, yang bahkan dipatuhi oleh raja-raja lain dan pengikut-pengikutnya, akan dibawa menjadi korban pengorbanan atas perbuatannya sendiri. Orang-orang akan menyaksikan penderitaannya yang menyedihkan, ketika ia merana karena kesakitan dan tubuhnya terikat di tempat pengorbanan.”

Ketika para penduduk mengetahui bahwa raja mereka mengawasi para pelaku kejahatan untuk dijadikan korban pada upacara pengorbanannya ― setelah mereka mendengar pengumuman kerajaan yang menakutkan itu hari demi hari, dan melihat para utusan raja yang ditunjuk untuk mengawasi dan menangkap orang-orang jahat muncul di berbagai tempat ― mereka meninggalkan segala keterikatan mereka pada perilaku buruk, dan menumbuhkan niat mereka dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan ajaran moral dan pengendalian diri.

Mereka menghindari setiap kesempatan untuk membenci dan bermusuhan, dan menyelesaikan pertengkaran dan perbedaan mereka dengan saling mencintai dan saling menghargai. Patuh terhadap ucapan orangtua dan para guru, bersemangat dalam kemurahan hati dan berbagi keramahan, sopan santun, kerendahan hati dengan sesame di antara mereka. Mereka hidup seperti di Kṛta Yuga.

(19)
Ketakutan terhadap kematian telah membangkitkan pemikiran tentang kehidupan yang akan datang dalam diri mereka; rasa takut menodai kehormatan keluarga mereka telah menggerakkan perhatian mereka untuk menjaga nama baik mereka; kemurnian hati mereka yang besar telah memperkuat rasa malu mereka. Hal-hal ini sedang bekerja, dan orang-orang segera diistimewakan oleh perilaku mereka yang tak bercela.

(20)
Meskipun setiap orang menjadi lebih berniat untuk menjaga perilaku yang benar dari sebelumnya, tetap saja para utusan raja tidak mengurangi kewaspadaan mereka dalam mencari para pelaku kejahatan. Hal ini bertujuan untuk mencegah orang-orang untuk terjatuh dari kebenaran.

(21)
Raja, mendapat kabar dari utusan-utusannnya di wilayahnya, merasa sangat bersukacita. Dia menganugerahkan banyak hadiah kepada para utusan itu sebagai imbalan atas kabar baik yang mereka ceritakan kepadanya, dan memerintahkan para menterinya:

(22-24)
“Perlindungan terhadap warga-wargaku adalah tujuan tertinggiku. Sekarang, mereka telah menjadi layak untuk menjadi penerima hadiah pengorbanan, dan untuk tujuan pengorbananku, aku telah menyediakan kekayaan ini.

Baiklah, aku berniat untuk menyempurnakan pengorbananku dengan cara yang kuanggap benar. Biarlah setiap orang yang menginginkan uang, yang diharapkan bisa menjadi bahan bakar untuk kebahagiaannya, datang dan menerimanya dari tanganku dengan sesuka hati. Dengan cara ini kesusahan dan kemiskinan yang mengganggu negara kita dapat segera disingkirkan.

Sungguh, setiap aku memikirkan tekad kuatku untuk melindungi rakyat-rakyatku dan bantuan besar yang kuperoleh dari kalian ― rekan-rekanku yang luar biasa dalam tugas ini ― seringkali kurasakan penderitaan rakyat-rakyatku membangkitkan kemarahnku, membara dalam pikiran bagai api yang berkobar.”

Para menteri menerima perintah kerajaan dan segera pergi untuk melaksanakannya. Mereka memerintahkan agar tempat-tempat berdana didirikan di semua desa, kota, dan pasar, juga di semua stasiun di jalan raya. Hal ini dilakukan agar orang-orang miskin dapat memperoleh pemberian-pemberian yang dapat memuaskan keinginan mereka, sesuai dengan yang telah diperintahkan oleh raja.

(25)
Maka kemiskinan pun lenyap, dan setelah menerima kekayaan dari raja, orang-orang mengenakan bermacam-macam pakaian dan perhiasan yang indah, mempertunjukkan kemegahan seperti pada hari-hari besar.

(26)
Kemuliaan raja, yang semakin besar oleh sanjungan-sanjungan dari para penerima yang bersukacita atas pemberiannya, menyebar ke segala arah, seperti serbuk bunga teratai yang terbawa oleh riak kecil di sebuah telaga, menyebar ke permukaan yang lebih besar lagi.

(27)
Dan setelah seluruh rakyat ― sebagai akibat dari tindakan bijak yang diambil oleh penguasa mereka ― bersungguh-sungguh dalam perilaku bajik, wabah dan malapetaka terkalahkan oleh pertumbuhan kualitas-kualitas yang mendukung kemakmuran. Wabah dan malapetaka memudar, setelah kehilangan cengkeraman mereka.

(28)
Musim-musim saling berganti tepat waktu, menyenangkan setiap orang dengan keteraturan mereka. Akibatnya, bumi menghasilkan berbagai jenis jagung dalam jumlah yang banyak, juga berlimpahnya air serta teratai yang murni dan biru di dalam seluruh wadah air.

(29)
Tidak ada wabah penyakit yang menyerang umat manusia; tanaman obat menjadi lebih berkhasiat daripada sebelumnya; musim hujan datang tepat waktu dan teratur; dan planet-planet bergerak dalam jalur yang menguntungkan.

(30)
Tidak ada bahaya yang perlu ditakuti, baik itu dari luar ataupun dalam negeri, atau karena adanya ketidakseimbangan unsur alam. Melanjutkan tindakan baik dan pengendalian diri, menumbuhkan perilaku yang baik dan kesantunan, para rakyat di negara itu menikmati keistimewaan masa Kṛta Yuga.

Kemudian, dengan kekuatannya, raja melakukan upacara pengorbanan dengan cara yang sesuai dengan (aturan) Dharma, mengakhiri penderitaan orang miskin bersama dengan wabah penyakit dan malapetaka. Negara pun dipenuhi dengan rakyat-rakyatnya yang makmur dan berkembang, memancarkan kebahagiaan yang menggembirakan. Oleh karena itu, para rakyat tidak pernah bosan untuk mengucap syukur kepada raja mereka, memperluas kemasyhurannya ke segala arah.

Suatu hari salah satu pejabat tertinggi kerajaan, yang hatinya berkeyakinan (sejati), berbicara demikian kepada raja: “Ini adalah ucapan yang benar dalam kebenaran.

31. Raja, karena mereka selalu berurusan dengan semua jenis urusan, tertinggi, terendah, dan menengah, jauh melampaui kebijaksanaan orang-orang bijak mana pun.

Karena, Yang Mulia, Anda telah memperoleh kebahagiaan rakyat Anda baik di kehidupan maupun di kehidupan berikutnya, sebagai akibat dari pengorbanan Anda yang dilakukan dalam kebenaran, bebas dari tindakan salah penyembelihan hewan yang dapat dicela. Masa-masa sulit telah berlalu dan penderitaan akibat kemiskinan telah berhenti, karena manusia telah diteguhkan dalam sila perilaku yang baik. Apa lagi yang perlu dikatakan? Rakyat-rakyat Anda gembira.

(32)
Kulit kijang hitam yang menutupi anggota tubuh Anda ini mirip dengan bintik di permukaan bulan yang cerah, keindahan alami dari sikap Anda juga tidak dapat terhalang oleh pengendalian diri yang Anda pikul, karena Anda menjadi seorang dīkṣita. Kepala Anda, yang dihiasi dengan tata rambut yang sesuai dengan ritual dīkṣā, memiliki kilau tetap indah saat dihiasi dengan kemegahan payung kerajaan. Dan, yang tak kalah pentingnya, dengan kemurahan hati Anda, Anda telah melampaui kemasyhuran dan mengurangi kesombongan dari mereka yang dikenal telah melakukan seratus pengorbanan.

(33)
Wahai penguasa yang bijak, upacara pengorbanan mereka lakukan demi mencapai beberapa tujuan sesungguhnya adalah tindakan keji, karena menyebabkan penderitaan kepada pada makhluk hidup. Sebaliknya, pengorbanan Anda yang merupakan monumen kemuliaan Anda ini, sepenuhnya sesuai dengan perilaku Anda yang indah dan keengganan Anda pada kejahatan.

(34)
Oh! Berbahagialah para rakyat yang berada di dalam perlindunganmu! Sungguh tidak ada lagi ayah yang bisa menjadi wali yang lebih baik bagi anak-anaknya.”

Yang lainnya berucap:

(35)
“Jika orang kaya berdana, mereka biasanya didorong untuk melakukannya dengan harapan dapat menanam kebajikan dan perilaku baik itu dilakukan juga demi keinginan untuk memperoleh penghargaan yang tinggi di antara manusia atau keinginan untuk mencapai alam surga setelah kematian. Namun praktik berdana yang Anda lakukan itu memberikan manfaat kepada orang lain, yang tidak dapat ditemukan kecuali pada mereka yang berhasil baik itu dalam pembelajaran maupun dalam berlatih dalam kebajikan.”

Dengan cara inilah, mereka yang hatinya murni tidak bertindak sesuai dengan bujukan orang yang tak bajik. Mengetahui hal ini, hati yang murni harus diupayakan.

[Dalam pelajaran spiritual bagi para pangeran, juga, ini harus dikatakan:

“Siapa yang menginginkan kebaikan kepada rakyatnya, dirinya berusaha,
Dengan demikian mendatangkan keselamatan, kemuliaan, kebahagiaan.
Tiada orang lain yang dapat menjadi raja seperti ini.”

Dan dapat ditambahkan sebagai berikut: “(Pangeran) yang mengejar kemakmuran materi, harus bertindak sesuai dengan ajaran agama, menganggap perilaku religius rakyatnya sebagai sumber kemakmuran.”

Lebih lanjut, hal ini di sini untuk dikatakan: “Melukai hewan tidak pernah membawa kebahagiaan, tetapi berdana, pengendalian diri, penahanan nafsu dan sejenisnya memiliki kekuatan ini; untuk alasan inilah dia yang merindukan kebahagiaan harus mengabdikan dirinya pada kebajikan-kebajikan ini.”

Dan juga ketika sedang berkhotbah tentang Sang Tathāgata: “Dengan cara ini Sang Bhagavā menunjukkan kecenderungannya untuk memperhatikan kepentingan dunia, ketika beliau masih dalam kehidupan sebelumnya.”]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 5 – AVIṢAHYAŚREṢṬHI-JĀTAKA

Jātakamālā 5 – Aviṣahyaśreṣṭhijātakam
(Kisah tentang Avisahya)

Jātakamālā 5 – Aviṣahyaśreṣṭhijātakam
(Kisah tentang Avisahya)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Baik itu rasa takut terhadap kehilangan harta benda maupun harapan terhadap kekayaan di masa depan, tidak akan membuat orang bajik berkekurangan dalam praktik memberi, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada saat ketika Guru Agung kita masih menjadi Bodhisattva, beliau hidup sebagai seorang kepala sebuah perkumpulan, terlahir dari sebuah keluarga terpandang. Dia memiliki banyak timbunan kebajikan: kemurahan hati, kesopanan, moralitas, pembelajaran suci, pengetahuan spiritual, kerendahan hati, dan sebagainya. Kekayaannya yang melimpah membuatnya tampak seperti Kubera. Dia menghabiskannya dengan menerima semua orang sebagai tamunya dan mempraktikkan dāna bagai pengorbanan yang kekal (sattra). Singkatnya, dia adalah seorang dermawan terbaik dan hidup untuk kebaikan umat manusia. Karena dia tidak terkalahkan oleh kejahatan, keegoisan, dan lainnya, dia dikenal dengan nama Aviṣahya (yaitu, “Yang Tak Terkalahkan”).

(1)
Pemandangan para pengemis memiliki efek yang sama padanya, seperti yang dia alami kepada para pengemis. Bagi kedua pihak itu adalah penyebab utama kegembiraan, karena itu menghancurkan ketidakpastian tentang pencapaian objek yang diinginkan.

(2)
Saat diminta memberi, dia tidak mampu mengatakan “tidak”. Rasa welas asihnya yang besar tidak menyisakan ruang di hatinya untuk melekat pada kekayaan.

(3)
Kegembiraannya naik ke puncak tertinggi, ketika pengemis mengambil hal-hal terbaik dari rumahnya. Karena dia tahu yang disebut sebagai barang-barang itu adalah sumber bencana kekerasan dan berat, dan karena itu menyebabkan ketidakpuasan dalam waktu singkat dan tanpa alasan yang jelas.

(4)
Biasanya, kekayaan, yang digabungkan dengan ketamakan, dapat disebut sebagai pedati di jalan menuju kemalangan. Sebaliknya, dengan dia, mereka (kekayaan itu) mendukung kebahagiaan dirinya sendiri dan orang lain; barang-barangnya nampak berguna sesuai dengan namanya.

Jadi, Sang Bodhisattva menganugerahkan hadiah besar kepada orang-orang yang mengemis di sekitar, dan memuaskan mereka sepenuhnya, memberi kepada masing-masing sesuai dengan keinginannya dan dengan murah hati, dan menghiasi hadiahnya dengan memberi hormat kepada para pemohon.

Ketika Śakra, raja para dewa, mendengar tentang kemurahan hatinya yang luhur, ia tercengang terdengan keheranan dan ingin mencoba keteguhan tekadnya. ia membuat persediaan sehari-hari berupa uang, biji-bijian, perhiasan, pakaian menghilang hari demi hari; “Mungkin rasa takutnya terhadap kehilangan barang-barangnya dapat menggodanya untuk mementingkan diri sendiri.” Namun demikian, Bodhisattva tetap bertekad pada kebajikan berdana.

(5)
Seiring dengan barang-barangnya yang lenyap, seperti tetesan air yang terkena pancaran matahari, begitu sering pula ia kembali memerintahkan barang-barangnya untuk diambil dari rumahnya, seolah-olah sedang terbakar, dan melanjutkan pemberiannya yang besar.

Śakra, raja para dewa, memahami Bodhisattva tetap tekun seperti biasanya dalam berdana, meskipun kekayaannya selalu berkurang. Kekagumannya bertambah. Sekarang dia menyembunyikan seluruh kekayaannya dalam satu malam, kecuali seutas tali dan sebuah sabit.

Ketika Bodhisattva terbangun saat fajar seperti biasanya, dia tidak melihat barang-barang rumahnya, baik itu perabotan, uang, biji-bijian, atau pakaian, atau bahkan pembantu-pembantunya. Rumahnya tampak kosong, sunyi, dan sedih, seolah-olah dirampok oleh para rākṣasa; singkatnya, hal itu begitu menyedihkan. Kemudian dia mulai merenungkan masalah itu dan mencari-cari, tetapi dia tidak menemukan apa pun yang tersisa selain seutas tali dan sebuah sabit. Dan dia berpikir sebagai berikut: “Mungkin seseorang yang tidak terbiasa mengemis, tetapi tidak ingin mencari nafkah dengan tenaganya sendiri, dengan cara ini telah menunjukkan kebaikan kepada rumahku. Dalam hal ini, barang-barangku telah digunakan dengan baik. Namun, jika karena kesalahanku, seseorang yang merasa iri hati dengan status tinggiku, menyebabkan mereka hilang tanpa menjadi berguna bagi siapa pun, itu sangat disayangkan.

(6)
Kerapuhan dari persahabatan dengan keberuntungan telah aku ketahui jauh sebelumnya; tetapi fakir miskin menjadi sedih karenanya, karena inilah hatiku sakit.

(7)
Ketika datang ke rumahku yang kosong, bagaimana perasaan mereka, para pengemis, yang sudah lama terbiasa dengan kenikmatan hadiah dan keramahtamahan dariku? Bukankah mereka akan seperti orang-orang kehausan yang datang ke kolam yang mengering?”

Namun demikian, Bodhisattva tidak menyerah pada kesusahan dan kesedihan. Dia justru menjaga keteguhan pikirannya. Meskipun dalam kondisi ini, dia tidak mampu meminta-minta kepada orang lain, bahkan teman karibnya sekalipun, karena dia tidak pernah menjalani mata pencahariannya dengan mengemis. Apalagi, karena dia sendiri merasa sulit untuk mengemis, maka rasa iba terhadap orang yang mengemis menjadi semakin besar. Kemudian sang Bodhisattva ― yang masih dengan tekad untuk memberikan makanan, penyambutan baik, dan sejenisnya kepada para pengemis ― mengambil tali dan sabit itu, dan pergi untuk menyiangi rumput hari demi hari. Dengan sedikit uang yang dia peroleh dari menjual rumput, dia memenuhi kebutuhan para pengemis.

Tetapi Śakra, raja para dewa, melihat ketenangannya yang tak tergoyahkan dan pengabdiannya terhadap berdana bahkan dalam keadaan sangat miskin sekalipun, tidak hanya dipenuhi dengan keheranan, tetapi juga dengan kekaguman. Menunjukkan tubuh dewanya yang indah, dia berdiri di udara dan berbicara kepada Bodhisattva untuk mencegahnya berdana: “Perumah tangga,

(8-10)
Bukan pencuri yang merampok kekayaanmu, atau air, atau api, atau pangeran. Ini adalah kemurahan hatimu sendiri, yang telah membawamu ke dalam kondisi ini, yang membuat teman-temanmu merasa khawatir.

Untuk alasan inilah aku memberitahumu, demi kebaikanmu sendiri: tahanlah kecintaanmu yang menggebu-gebu terhadap berdana. Meskipun engkau miskin saat ini, jika engkau tidak memberi, engkau mungkin akan mendapatkan kembali kekayaan indahmu yang dulu.

Dengan mengonsumsi terus-menerus meski sesedikit apa pun, harta memudar; dengan mengumpulkan, sarang semut menjadi tinggi. Bagi dia yang melihat ini, satu-satunya cara untuk meningkatkan kepemilikannya adalah dengan menahan diri.”

Akan tetapi, Bodhisattva menunjukkan pemikirannya yang tinggi dan praktik dāna yang terus-menerus, ketika ia menjawab Śakra dengan cara ini:

(11)
“Seorang pria (ārya), betapapun tertekannya, hampir tidak akan melakukan apa pun yang tercela (anārya), wahai engkau Yang Bermata Seribu! Jangan biarkan kekayaan seperti itu menjadi milikku, wahai Śakra, jika untuk mendapatkannya aku harus hidup sebagai orang kikir.

(12, 13)
Siapakah, yang menganggap dirinya bagian dari keluarga yang jujur, yang akan menyerang orang-orang malang yang ingin menemukan obat untuk kesedihan mereka dengan mengemis seperti hendak mati?

Jadi, mungkinkah orang seperti aku ini, harus menerima permata, atau kekayaan, atau bahkan alam di antara para dewa, dan tidak menggunakannya untuk tujuan menyenangkan wajah para pengemis, yang menjadi pucat karena rasa sakit meminta?

(14)
Penerimaan seperti itu, yang hanya akan cenderung meningkatkan sifat mementingkan diri sendiri yang buruk, bukan untuk memperkuat kecenderungan memberi, harus sepenuhnya ditinggalkan olehku; karena itu adalah malapetaka yang terselubung.

(15)
Kekayaan berubah-ubah bagai kilatan petir; itu mungkin datang kepada semua orang, dan itu adalah penyebab dari banyak bencana; tetapi berdana adalah sumber kebahagiaan. Dengan demikian, bagaimana mungkin seorang bangsawan berpegang teguh pada keegoisan?

(16)
Oleh karena itu, Śakra, engkau telah menunjukkan sifat baikmu kepadaku, aku juga berterima kasih atas simpati dan ucapan harapan baikmu; namun hatiku terlalu terbiasa dengan kegembiraan yang disebabkan oleh berdana. Lalu, bagaimana ini bisa menyenangkan dengan cara yang salah?

(17)
Namun, bagaimanapun juga, kumohon engkau tidak marah akibat hal ini! Memang, tidak mungkin untuk menyerang benteng karakter asliku dengan kekuatan kecil.”

Śakra berkata: “Perumah tangga, apa yang engkau gambarkan adalah tindak tanduk bagi orang kaya, yang harta dan lumbungnya penuh hingga puncak, bagi mereka berbagai macam pekerjaan telah dilakukan dengan baik (oleh para pelayannya), yang telah menjamin masa depannya, dan telah mendapatkan kekuasaan di antara manusia, tetapi perilaku itu tidak sesuai dengan kondisimu. Lihat,

(18-20)
Engkau harus mengumpulkan kekayaan yang melebihi kemegahan pesaing-pesaingmu yang seperti matahari terlebih dahulu, melalui berdagang secara jujur baik itu dengan mengikuti kecerdasanmu sendiri atau dengan mengikuti jalur perdagangan tradisional keluargamu, selama itu sesuai dengan nama baikmu. Maka pada kesempatan yang tepat, tunjukanlah kemewahanmu kepada orang-orang, dan bergembiralah kerabat serta teman-temanmu.

Kemudian, setelah memperoleh penghormatan yang pantas bahkan dari bagian raja dan menikmati nikmatnya keberuntungan seperti pelukan dari seorang kekasih yang penuh kasih sayang, jika kemudian muncul keinginan untuk berdana ataupun kesenangan duniawi, tidak ada yang akan menyalahkanmu.

Tetapi kecintaan terhadap berdana belaka, tanpa kepemilikan harta, hanya membuat seseorang datang kepada bencana, seperti burung yang ingin terbang di udara dengan sayap yang belum bertumbuh sempurna.

(21)
Oleh karena itu, engkau harus memperoleh kekayaan dengan cara berlatih menahan diri dan mengejar tujuan yang sederhana, dan sementara itu melepaskan kerinduan untuk berdana. Dan bukankah engkau tidak melakukan kejahatan apapun, jika engkau tidak memberi karena tidak memiliki apa-apa?”

Bodhisattva menjawab: “Kumohon Yang Mulia hendaknya tidak mendesakku.

(22, 23)
Bahkan dia yang lebih mementingkan kepentingannya sendiri daripada kepentingan orang lain, harus melakukan pemberian, bukan memedulikan kekayaan. Karena kemewahan yang besar tidak memberinya kegembiraan seperti itu, karena kegembiraan disebabkan oleh kepuasan yang dia nikmati dengan menundukkan ketamakan melalui perbuatan berdana.

Ditambah lagi, bahwa kekayaan belaka tidak membawa kita ke surga, sedangkan beramal itu sendiri sudah cukup untuk memperoleh reputasi yang suci. Lebih jauh lagi, kekayaan adalah penghalang untuk menundukkan keegoisan dan sifat buruk lainnya. Kalau begitu, siapakah yang semestinya tidak mempraktikkan dāna?

(24)
Bagaimanapun juga, dia yang melindungi makhluk-makhluk yang dikelilingi oleh usia tua dan kematian, ingin menyerahkan dirinya dalam praktik dāna, digerakkan oleh welas asih; dia yang karena penderitaan orang lain dilarang untuk menikmati kesenangan. Katakanlah, apa guna baginya kegembiraan yang sangat besar itu, seperti yang engkau miliki?

Dengarkan juga ini, wahai raja para dewa.

(25)
Durasi hidup kita tidak pasti seperti kemakmuran dari harta kekayaan kita. Setelah merenungkan ini, kita tidak boleh mementingkan kekayaan kita saat bertemu dengan fakir miskin.

(26)
Jika satu gerbong telah melewati lintasan di tanah, yang kedua akan melewati lintasan itu dengan yakin, dan seterusnya. Oleh karena itu, aku tidak akan menolak jalan baik yang pertama ini, bukan lebih memilih untuk membawa keretaku ke jalan yang salah.

(27)
Dan jika aku sekali lagi mendapatkan kekayaan yang besar, itu pasti akan menyenangkan pikiran para pengemis: dan untuk saat ini, bahkan dalam kondisi ini, aku akan memberikan dana sesuai dengan kemampuanku. Dan semoga aku tidak pernah ceroboh dalam menepati ikrar amalku, Śakra!”

Terhadap kata-kata ini, Śakra, raja para dewa, dengan damai sepenuhnya berseru dengan pujian: “Luar biasa, luar biasa,” dan menatapnya dengan kekaguman dan kebaikan, berbicara:

(28, 29)
“Orang-orang (lain) mengejar kekayaan dengan segala cara, baik itu dengan cara rendah maupun kasar dan merusak reputasi mereka, tanpa memedulikan bahaya, karena mereka terikat pada kesenangan mereka sendiri dan tersesat oleh ketidakpedulian mereka.

Sebaliknya, engkau tidak keberatan kehilangan kekayaanmu, atau kekurangan kesenanganmu, maupun tergoda olehku; Menjaga pikiranmu tetap teguh dalam meningkatkan kesejahteraan orang lain, engkau telah menunjukkan kebesaran sifatmu yang luar biasa!

(30)
Ah! Betapa hatimu bersinar dengan kilau keagungan yang luar biasa, dan betapa ia telah menghapus kegelapan perasaan mementingkan diri sendiri sepenuhnya, bahkan setelah kehilangan kekayaanmu, harapan untuk memulihkannya tidak dapat merusaknya dengan mengurangi kemurahan hatinya!

(31)
Namun, karena engkau menderita atas penderitaan orang lain, dan digerakkan oleh upaya welas asih demi kebaikan dunia, tidak mengherankan bagaimanapun juga, bahwa aku tidak dapat menghalangi engkau untuk berdana. Sekecil gunung yang cerah bersalju yang diguncang oleh angin.

(32)
Tetapi untuk meningkatkan nama baikmu melalui cobaan, aku menyembunyikan kekayaanmu itu. Tidak lain dari percobaan sebuah permata, yang meskipun indah, dapat mencapai nilai puncak dari sebuah permata terkenal.

Kalau begitu, tuangkanlah pemberian-pemberianmu kepada para pengemis, puaskanlah mereka seperti awan hujan besar yang memenuhi kolam. Demi kebaikanku, engkau tidak akan pernah mengalami kehilangan kekayaanmu, dan engkau harus memaafkan perilakuku terhadapmu. “

Setelah memujinya, Śakra mengembalikan harta besarnya kepadanya, dan memperoleh pemaafannya, kemudian dia menghilang di tempat.

Maka dengan cara inilah, orang bajik tidak akan membiarkan diri mereka kekurangan dalam kebajikan praktik memberi baik itu karena hilangnya kekayaan mereka atau karena mengharapkan kekayaan.

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 3 – KULMĀṢAPIṆḌĪ-JĀTAKA

Jātakamālā 3 – Kulmāṣapiṇḍījātakam
(Kisah Semangkuk Kecil Bubur)

Jātakamālā 3 – Kulmāṣapiṇḍījātakam
(Kisah Semangkuk Kecil Bubur)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Pemberian apa pun, yang dihasilkan melalui keyakinan hati dan dipersembahkan kepada penerima yang layak, akan memberikan hasil yang luar biasa; tidak ada pemberian yang dapat diremehkan, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada saat itu, ketika Sang Bhagavā masih seorang Bodhisattva, beliau adalah raja Kośala. Meskipun beliau menunjukkan kebajikannya sebagai seorang raja, seperti ketekunan, kebijaksanaan, keagungan, kekuasaan, dan lainnya dalam tingkat yang sangat tinggi, kecemerlangan dari kebajikannya, kebahagiaannya yang besar, melampaui yang lainnya.

(1)
Kebajikannya yang dihiasi oleh kebahagiaannya, semakin bercahaya bagai sinar rembulan, ketika musim gugur membuat kemegahannya meluas.

(2)
Keberuntungan selalu mengikutinya bagai seorang kekasih, meninggalkan musuh-musuhnya dan menyayangi para pengikutnya.

(3) Kebajikan mencegah pikirannya untuk melakukan kejahatan, sehingga ia tidak menindas musuhnya sama sekali. Tetapi nasib baik mengikutinya dengan sedemikian rupa, menunjukkan kecintaannya kepada sang raja, sehingga musuh-musuhnya tidak berkembang meskipun tidak ditekan.

Pada suatu hari sang raja mengingat kembali kelahiran sebelumnya yang terakhir. Setelah mengingat kelahiran lampaunya, ia merasa sangat tersentuh. Dia melakukan pemberian yang lebih besar lagi dalam dāna – motif dan penyebab utama dari kebahagiaan – kepada para Śramana dan Brāhmana, kepada mereka yang malang dan para pengemis; ia tak henti-hentinya memupuk ketaatannya pada perilaku yang baik (śīla); dan dia menjaga latihan poṣadha dengan ketat pada hari-hari upavasatha. Selain itu, karena ia berkeinginan untuk membawa rakyat-rakyatnya ke dalam jalan keselamatan dengan cara memperbesar kekuatan tindakan yang bermanfaat, dia memiliki kebiasaan mengucapkan dua bait syair ini dengan hati penuh keyakinan di ruang pertemuan dan juga di bagian dalam istananya, penuh dengan makna:

(4)
“Mendatangi para Buddha dengan memberikan  penghormatan, sekecil apa pun, tidak akan menghasilkan buah yang remeh. Ini telah diajarkan sebelumnya hanya melalui kata-kata, namun sekarang dapat dilihat. Lihatlah buah kemakmuran yang melimpah, yang dihasilkan oleh sebagian kecil bubur tanpa garam, kering, kasar, dan berwarna coklat kemerahan.

(5)
Pasukanku yang perkasa ini, dengan kereta dan kudanya yang indah serta kumpulan gajah kuat berwarna biru tua; kedaulatan atas seluruh bumi; kekayaan yang besar; nikmat keberuntungan; istriku yang mulia; lihatlah keindahan simpanan buah ini, yang dihasilkan dari sebagian kecil bubur kasar.”

Baik para menterinya maupun yang paling berharga di antara para Brāhmana maupun yang terkemuka di antara penduduk kota, tersiksa oleh rasa ingin tahu, memberanikan diri untuk bertanya kepada raja tentang apa yang ia maksud tentang dua bait ini, yang biasa ia ucapkan setiap saat. Kini karena raja yang terus mengulanginya, sang ratu juga menjadi penasaran; dan karena ia merasa lebih sedikit malu dalam mengajukan permintaannya, suatu hari, kesempatan untuk memasuki percakapan tentang topik itu muncul, dan ia mengajukan pertanyaan ini kepada sang raja di depan umum;

(6, 7)
“Sungguh tuanku, setiap saat engkau melafalkannya, seolah-olah engkau melampiaskan kegembiraan yang ada di dalam hatimu. Tapi hatiku terusik oleh rasa ingin tahu atas perkataanmu itu.

Jika rakyat-rakyatku diizinkan untuk mendengarnya, maka katakanlah, apa yang Anda maksud dengan ucapan ini, tuan. Tentu ini bukanlah sebuah rahasia; oleh karena itu, ini harus diketahui oleh masyarakat, dan izinkan aku menanyakan kepadamu tentang ini.”

Kemudian raja menunjukkan sedikit kegembiraan pada ratunya, dan dengan wajah yang tersenyum lebar ia berbicara:

(8, 9)
“Ketika mendengar ucapanku ini tanpa mengetahui penyebabnya, bukan hanya engkau, yang diliputi oleh keingintahuan, tetapi juga seluruh pejabat dan penduduk kota terusik dan terganggu oleh keinginan untuk mengetahui artinya. Dengarkanlah yang akan kukatakan ini.

(10)
Bagaikan seseorang yang terbangun dari tidur, aku mengingat kelahiranku, ketika aku hidup sebagai seorang pelayan di kota ini juga. Meskipun aku menjaga sĪla, aku mendapatkan penghidupan yang menyedihkan dengan melakukan kerja upah bagi orang-orang yang ditinggikan hanya karena kekayaan mereka.

(11)
Maka pada suatu hari aku akan memulai menawarkan jasaku untuk digunakan, tempat tinggal dari kerja keras, penghinaan, dan kesedihan, berjuang untuk mendukung (keluargaku) dan merasa ketakutan, jangan sampai aku kekurangan sarana mata pencaharian; saat itu aku melihat empat orang Śramaṇa dengan indera yang terkendali, yang disertai oleh kebahagiaan kepertapaan, pergi untuk menerima dana makanan.

(12)
Setelah membungkuk kepada mereka dengan pikiran yang dilembutkan oleh keyakinan, aku dengan hormat menjamu mereka di rumahku dengan semangkuk kecil bubur. Dari tunas itu bermunculan pohon kebesaran ini, bahwa gemerlap lambang permata raja-raja lain sekarang terpantul dalam debu di kakiku.

(13)
Memikirkan hal ini, aku melafalkan syair ini, ratuku, dan untuk alasan ini aku menemukan kepuasan dalam melakukan jasa kebajikan dan menerima para Arhat.”

Kemudian wajah ratu mengembang dengan kegembiraan dan keterkejutan. Dia mengangkat matanya dengan hormat kepada raja, berkata: “Sangat mungkin, sungguh, bahwa kemakmuran yang begitu besar adalah buah yang dihasilkan oleh perbuatan baik; karena engkau, baginda, telah menjadi saksi dari hasil perbuatan baik, sangat ingin (mengumpulkan) jasa kebajikan. Karena alasan inilah Anda tidak menyukai tindakan jahat, cenderung melindungi rakyatmu seperti seorang ayah, dan berniat untuk menghasilkan banyak jasa kebajikan.

(14)
Bersinar dengan kemuliaan agung yang diperkuat oleh amal, penakluk raja-raja pesaingmu menunggu perintahmu dengan kepala tertunduk; semoga engkau dapat mengelola dunia ini hingga perbatasan samudra yang bertiupkan angin untuk jangka waktu yang lama!”

Raja berkata: “Mengapa ini tidak harus terjadi? ratuku!

(15)
Sesungguhnya, aku akan berusaha sekali lagi untuk mempertahankan jalan menuju pembebasan, yang telah kucatat tanda-tanda indahnya. Orang-orang akan senang memberi setelah mendengar buah dari berdana; dan setelah mengalaminya sendiri, mengapa aku harus tidak bermurah hati,?”

Sekarang raja, dengan lembut memandangi ratunya, melihatnya bersinar dengan kemegahan yang hampir seperti dewa, dan ingin mengetahui alasan dari kecerahan itu, berkata lagi:

(16)
“Seperti bulan sabit di tengah bintang, engkau bersinar di antara para wanita. Katakanlah, perbuatan apa yang telah kamu lakukan, sayangku, sehingga mendapatkan hasil yang sangat manis ini? “

Ratu menjawab: “Baik, tuanku, aku juga memiliki beberapa ingatan tentang hidupku di kelahiranku yang lampau.” Sekarang, ketika raja dengan lembut memintanya untuk mengatakannya, dia berbicara:

(17, 18)
“Seolah sesuatu yang dialami di masa kecilku, aku ingat menjadi seorang budak, setelah mendanakan sisa-sisa hidangan dengan keyakinan kepada seorang Muni dengan nafsu yang padam, aku tertidur di sana, dan seolah-olah, dan terbangun dari tidur di sini.

Dengan tindakan bermanfaat ini pangeranku, aku mengingat, aku telah memilikimu sebagi tuanku, bersamamu berbagi dunia. Apa yang engkau katakan: ‘tentu saja, tiada manfaat kecil dari pemberian kepada orang-orang suci yang telah memadamkan hawa nafsu mereka’ – kata-kata ini kemudian diucapkan oleh orang suci itu.“

Kemudian raja, menyadari bahwa perkumpulan itu diliputi oleh perasaan bakti dan takjub, dan bahwa perwujudan dari hasil jasa kebajikan telah membangkitkan rasa penghargaan yang tinggi di  dalam pikiran mereka terhadap tindakan yang berjasa, dengan sungguh-sungguh memberikan penekanan kepada mereka yang hadir seperti ini:

(19)
“Bagaimana mungkin seseorang tidak mengabdikan dirinya untuk melakukan perbuatan baik dengan mempraktikkan dana dan sīla, setelah melihat hasil yang besar dan indah dari perbuatan baik yang kecil sekalipun? Tidak, orang seperti itu bahkan tidak layak dipandang, yang tenggelam dalam kegelapan ketamakan, harus menolak untuk membuat dirinya dikenal karena perolehannya, meskipun ia cukup makmur untuk melakukannya.

(20)
Jika dengan meninggalkan kekayaan melalui cara yang benar – yang harus ditinggalkan dan tidak berguna sama sekali – berbagai kualitas baik dapat diperoleh; maka siapakah yang akan mengikuti jalan keegoisan setelah mengetahui pesona kebajikan ini? Sesungguhnya berbagai kebajikan yang berbeda dapat ditemukan melalui berdana.

(21)
Sesungguhnya berdana adalah harta karun yang besar, harta yang selalu bersama kita dan tidak dapat direbut oleh para pencuri dan lainnya. Berdana membersihkan pikiran dari kotoran keegoisan dan kemelekatan; ini adalah wahana yang mudah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan melalui Saṁsāra; ia adalah teman terbaik dan tetap kita, yang berusaha untuk mendapatkan kesenangan dan kenyamanan yang berlipat ganda bagi kita.

(22)
Semua diperoleh dengan berdana, apa pun yang diinginkan, apakah itu kekayaan yang berlimpah atau dominasi yang cemerlang, atau tempat tinggal di kota para dewa, atau keindahan tubuh. Siapa, setelah mengingat hal ini, yang seharusnya tidak melakukan dana?

(23)
Berdana, dikatakan, merupakan nilai kekayaan; itu juga disebut penyebab utama dari dominasi, tindakan bakti yang agung. Bahkan kain lap untuk gaun, yang diberikan oleh orang yang berpikiran sederhana, adalah hadiah yang diberikan dengan baik.”

Mereka yang hadir, dengan hormat, menyetujui wacana meyakinkan dari sang raja ini, dan merasa tertarik untuk melakukan dana dan sejenisnya.

Maka hadiah apa pun yang dihasilkan dari keyakinan di dalam hati, dan diberikan kepada penerima yang layak, memberikan hasil yang luar biasa; sama sekali tidak ada yang seperti hadiah sepele seperti itu.

[Untuk alasan ini, berdana dengan hati yang setia kepada Komunitas Suci – bidang yang paling unggul dan pantas untuk (menabur) tindakan yang bermanfaat – seseorang dapat memperoleh kegembiraan yang terbesar, dengan mempertimbangkan sebagai berikut: “berkah seperti itu, dan bahkan lebih besar dari ini, semoga segera terjadi padaku juga.“]

[Kembali ke daftar isi]