Jataka

JATAKAMALA 21 – CUDDABODHI-JATAKA

Jātakamālā 21 – Cuḍḍabodhijātakam
(Kisah Cuḍḍabodhi)

Jātakamālā 21 – Cuḍḍabodhijātakam
(Kisah Cuḍḍabodhi)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Dengan menahan amarahnya, seseorang menenangkan musuh-musuhnya; tetapi dia yang melakukan sebaliknya justru mengobarkan amarah mereka. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva, Sang Mahāsattva, lahir di dunia ini di dalam keluarga Brāhmana mulia yang menikmati kemasyhuran besar dari praktik kebajikan mereka yang agung, memiliki tanah yang besar dan aman, dihormati oleh raja dan disukai oleh para dewa. Dalam perjalanan waktu dia tumbuh dewasa, dan setelah menerima sakramen-sakramen sebagaimana mestinya, ketika dia mengerahkan usahanya untuk unggul dalam pembelajaran, dalam waktu singkat dia menjadi terkenal di dalam perkumpulan orang-orang terpelajar.

(1)
Bagai permata berharga yang dikenali oleh ahli perhiasan,
Bagai seorang pahlawan yang dikenali di dalam medan perang,
Demikianlah kemasyhuran seseorang yang terpelajar akan terungkap dengan sendirinya,
di dalam perkumpulan para orang terpelajar.

Sekarang ketika Sang Mahātmā, karena ketaatannya terhadap Dharma dalam berbagai kehidupan sebelumnya dan batinnya yang tercerahkan oleh kebijaksanaan, sehingga telah terbiasa dengan pelepasan keduniawian, rumahnya tidak terasa menyenangkan lagi baginya. Dia mengerti bahwa kesenangan duniawi merupakan kediaman dari kejahatan dan keburukan, karena mereka disertai oleh ketidaknyamanan yang disebabkan oleh perselisihan, pertengkaran, kemelekatan, dan tunduk kepada (kehilangan kekayaan atau kehilangan dari sisi) raja, atau karena air, api, pencuri, maupun sanak saudara yang tidak bersahabat. Maka, dia begitu yakin bahwa hal-hal itu tidak akan pernah menghasilkan kepuasan.

Oleh karena itu, dia menghindari hal-hal itu seperti makanan beracun dan kemelekatan diri, kemudian dia memotong rambut dan janggutnya, meninggalkan kecemerlangan yang delusif dari pakaian perumah tangga, dan mengenakan jubah kumal berwarna jingga, menjalani keadaan mulia dari kehidupan pertapa yang disiplin oleh aturan dan dibatasi oleh ikrar. Istrinya, yang sangat mencintainya, juga ikut memotong rambutnya dan meninggalkan perhatiannya terhadap penampilan tubuhnya maupun mempercantik tubuhnya dengan perhiasan. Kemudian, dengan hanya dihiasi oleh keindahan alami dari jasmani dan kebajikannya, dia menutupi bagian tubuhnya dengan jubah berwarna jingga, mengikuti suaminya.

Ketika Sang Bodhisattva memahami tekadnya untuk ikut pergi bersamanya ke hutan pertapaan, mengetahui bahwa seorang wanita yang halus tidak layak untuk kehidupan pertapa, dia berbicara kepadanya: “Sayangku, sungguh, engkau sekarang telah menunjukkan kasih sayangmu yang tulus, namun ini sudah cukup. Jangan bertahan dalam tekadmu untuk menjadi pendampingku di hutan. Akan lebih cocok bagimu untuk tinggal di tempat di mana wanita lain yang telah meninggalkan keduniawian menetap; dengan merekalah engkau harus hidup. Melewatkan malam dengan tinggal di hutan ini adalah hal yang sulit. Lihatlah.

(2)
Pemakaman, rumah-rumah gurun, dan gunung,
juga hutan yang dipenuhi oleh binatang buas,
itulah tempat peristirahatan para pertapa tanpa rumah;
Di mana pun mereka sedang berada ketika matahari terbenam,
Di sanalah mereka beristirahat.

(3)
Para pertapa tekun bermeditasi, sehingga mereka menyukai berjalan sendirian,
Bahkan mereka pun juga tidak menyukai pemandangan seorang wanita.
Oleh sebab itu, berhentilah dari tujuanmu,
Keuntungan apa yang bisa engkau peroleh dari kehidupan tanpa rumah ini?

Tetapi dia yang dengan tegas telah memutuskan untuk menemaninya, menjawabnya dengan mata yang sembab oleh air mata:

(4, 5)
Jika engkau menganggap kepergianku bersamamu,
sebagai hal yang meletihkan dan bukan menyenangkan,
Apakah itu karena aku mengharapkan sesuatu,
yang akan membuatku menderita dan membuatmu susah?
Tetapi aku tidak dapat hidup tanpamu.
Maafkanlah aku, karena tidak patuh terhadap perintahmu kali ini.

Dan meskipun Bodhisattva mengulangi permohonannya, istrinya tidak pernah kembali ke rumahnya. Kemudian Bodhisattva berhenti menentangnya dan diam-diam merasa menderita karena kehadirannya. Seperti halnya cakravāka betina mengejar pasangannya, demikian pula istrinya pergi bersamanya dalam pengembaraannya melalui desa-desa, kota-kota maupun pasar-pasar.

Suatu hari setelah waktu makan, ia melakukan meditasi mendalam (dhyāna) seperti biasa di bagian hutan yang sepi. Tempat itu memiliki pemandangan yang indah, dihiasi dengan banyak pohon yang memberikan banyak keteduhan, seolah-olah ditunggui oleh sinar matahari yang mengintip di berbagai sudut melalui dedaunan lebat dengan kelembutan cahaya bulan, pun serbuk dari berbagai bunga menyebar ke tanah. Sungguh itu adalah tempat yang indah.

Di sore hari dia bangkit dari meditasinya yang mendalam, dan menjahit kain bersama untuk membuat pakaian. Dan tidak jauh darinya, istrinya, pendamping kehidupan tanpa rumahnya, menghiasi batang pohon dengan kemegahan kecantikannya di bawah naungan pohon itu, duduk bagaikan seorang dewa, bermeditasi dengan objek dan cara yang telah diajarkan oleh Bodhisattva.

Saat itu adalah musim semi, ketika taman dan hutan berada dalam kondisi terindahnya. Di semua sisi terdapat tunas yang muda dan lembut berlimpah; kemudian terdengar dengungan lembut kerumunan lebah yang berkeliaran, serta kicauan kegembiraan yang dibunyikan oleh burung kukuk yang hendak kwain. Danau dan kolamnya dihiasi dengan teratai dan bunga lili air yang bermekaran, menjadi daya tarik bagi mata; di sana tiupan angin lembut beraroma harum dan wangi bunga yang beraneka ragam. Untuk menikmati keindahan musim semi itu, raja dari negeri itu melakukan perjalanan berkeliling hutan, dan datang ke tempat itu.

(6, 7)
Sungguh menggembirakan bagi pikiran saat melihat kawasan hutan di musim semi, ketika berbagai kumpulan bunga membuatnya cerah, seolah-olah musim itu menyelimuti mereka dengan kemegahannya, ketika burung kukuk dan burung merak bernyanyi, dan lebah yang mabuk mengeluarkan suara mendengung, ketika rerumputan yang lembut dan segar menutupi bumi dan teratai memenuhi kolam air. Maka kebun-kebun itu adalah taman bermain bagi sang dewa cinta.

Saat melihat Bodhisattva, raja dengan hormat mendekatinya, dan setelah memberikan salam serta kata-kata pujian seperti biasanya, sang raja duduk terpisah. Kemudian, saat melihat pertapa perempuan dengan penampakan yang sangat indah itu, keindahan sosoknya mengganggu hatinya. Meskipun sang raja memahami bahwa dia pasti merupakan pendamping dari tugas-tugas keagamaannya, dan karena hawa nafsunya, dia berpikir untuk membawanya pergi.

Raja bertemu dengan pertapa

(8)
Tetapi setelah mendengar tentang kekuatan besar dari para petapa, bahwa api murka mereka dapat menembakkan kutukan sebagai nyalanya, ia menahan diri dari perbuatan hina yang gegabah terhadapnya, meskipun dewa cinta telah menghancurkan etika moral (yang mungkin telah menahannya).

Kemudian pikiran ini muncul di benaknya: “Biarkan aku memeriksa sejauh mana kekuatan yang diperolehnya dari pertapaan, sehingga aku akan dapat bertindak dengan cara yang benar, bukan sebaliknya. Jika pikirannya dikuasai oleh cinta kasih yang menggebu terhadap wanita itu, tentu saja, dia tidak memiliki kekuatan yang diperoleh melalui pertapaan. Tetapi jika dia terbukti tidak berhasrat atau menunjukkan sedikit ketertarikan kepadanya, maka dia mungkin memiliki kekuatan agung itu.” Setelah mempertimbangkan demikian, sang raja berkeinginan untuk membuktikan bahwa Bodhisattva memiliki kekuatan dari pertapaan, lalu berpura-pura mengharapkan kebaikannya. “Katakanlah, pertapa, dunia ini penuh dengan penipu dan petualang yang pemberani. Tidak pantas bagi Yang Mulia untuk ditemani oleh seseorang yang begitu rupawan sebagai pendamping tugas spiritual Yang Mulia di dalam hutan yang terpencil, di mana engkau kekurangan perlindungan. Jika dia dilukai oleh seseorang, pasti orang-orang akan mencelaku juga.

(9, 10)
Misalkan, ketika hidup di daerah yang sepi ini, seseorang yang tidak mempedulikan kalian berdua, seorang pertapa yang meninggalkan pertapaannya dan kebenaran, harus membawanya pergi dengan paksa, apa lagi yang dapat engkau lakukan dalam kejadian itu selain meratap karena dia?

Memanjakan diri dalam kemarahan sungguh menggelisahkan pikiran dan menghancurkan kemuliaan kehidupan spiritual, hal itu cenderung merugikan. Oleh karena itu, membiarkannya tinggal di tempat berpenghuni adalah keputusan yang terbaik. Lagipula, apa gunanya pendamping wanita bagi para petapa?”

Bodhisattva menjawab: “Yang Mulia telah mengatakan kebenaran. Namun dengarkanlah pada apa yang akan kulakukan dalam keadaan seperti itu.

(11)
Siapa pun yang melakukan hal itu kepadaku,
Ia sedang dihasut oleh kesombongan dan digerakkan oleh kesembronoan,
Sebenarnya, selagi aku hidup, aku tidak akan melepaskannya,
Awan hujan seperti itu tidak akan pernah tahan terhadap debu.

Sang raja dengan busurnya

Kemudian raja berpikir: “Dia sangat tertarik kepadanya, dia tidak memiliki kekuatan dari pertapaan,” dan membenci Sang Bodhisattva sehingga tidak takut untuk melukainya. Mengikuti nafsunya, dia memerintahkan pelayannya yang bertugas untuk zenana: “Pergi dan bawa pertapa wanita ini ke dalam istana para selirku.” Mendengar perintah ini, sang wanita ― seperti rusa yang diserang oleh binatang buas ― menunjukkan rasa takut, khawatir, dan cemas melalui raut wajahnya (yang berubah), matanya dipenuhi air mata, dan terbawa oleh kesedihan, dia meratap dengan suara yang agak goyah:

(12)
“Bagi umat manusia yang diliputi oleh penderitaan, raja adalah tempat perlindungan yang terbaik, bahkan dianggap seperti seorang ayah. Namun siapa yang dapat meminta bantuan kepada raja, jika raja itu sendiri yang bertindak sebagai pelaku kejahatan?

(13)
Sungguh buruk! Apakah para penjaga dunia (lokapālā) telah diberhentikan dari tugas mereka, atau sesungguhnya mereka tidak ada sama sekali, atau mereka telah mati? Karena mereka tidak berusaha untuk melindungi orang-orang yang tertindas. Mungkin Dharma itu sendiri hanyalah sekadar nama.

(14)
Tetapi mengapa aku menyalahkan para dewa, sementara tuanku sendiri dengan demikian tetap diam, tidak merasa terusik oleh nasibku? Apakah engkau tidak tergerak untuk melindungi orang asing yang diperlakukan dengan buruk oleh orang-orang jahat sekali pun?

(15)
Dengan kutukannya melalui petir, dia bisa mengubah gunung menjadi debu jika dia mengucapkan kata ‘binasa’, tetapi dia hanya tetap terdiam dalam keheningan ketika istrinya terluka! Dan aku harus hidup untuk melihat hal ini, sungguh aku wanita yang celaka!

(16)
Atau apakah aku adalah orang jahat yang tidak pantas dikasihani setelah mengalami kesusahan ini? Tetapi para pertapa harus berperilaku dengan welas asih terhadap siapa pun yang sedang dalam kesusahan. Bukankah itu adalah tindak-tanduk mereka yang tepat?

(17)
Aku menduga saat ini engkau mengingat penolakanku untuk meninggalkanmu, ketika engkau memerintahkanku untuk kembali ke rumah. Sungguh buruk! Apakah kemudian malapetaka ini merupakan kebahagiaan yang aku dambakan, karena memenuhi keinginanku sendiri meskipun itu bertentangan dengan keinginanmu?”

Petugas membawa pertapa perempuan ke atas tandu

Sembari meratap, pertapa wanita itu berpikir apa lagi yang dapat dia lakukan, selain menangis dan meratap, menangis dengan sendu? Di depan mata Bodhisattva, para pelayan kerajaan yang mematuhi perintah raja membawa wanita itu ke atas kereta untuk pergi ke zenana (istana para selir). Bodhisattva telah menekan amarahnya yang kuat dengan kekuatan ketenangannya, dan sedang menjahit kainnya seperti sebelumnya tanpa gangguan sedikit pun, setenang dan sehening biasanya. Kemudian raja berbicara kepadanya:

(18)
“Engkau mengucapkan kata-kata kemarahan yang mengancam dengan suara yang keras dan menunjukkan kekuatan, tetapi sekarang, saat melihat keindahan itu direbut di depan matamu, engkau tetap diam dan dipandang rendah karena tidak memiliki kekuatan.

(19)
Mengapa, tunjukkanlah kemurkaanmu, baik dengan kekuatan tanganmu atau dengan kekuatan luar biasa yang telah engkau kumpulkan sebagai hasil dari pertapaanmu. Dia yang tidak mengetahui arah kemampuannya sendiri, mengikatkan diri pada sesuatu yang tidak bisa dia pertahankan, orang seperti itu kehilangan kemegahannya, kau tahu.”

Bodhisattva menjawab: “Ketahuilah bahwa aku telah memenuhi janjiku, Yang Mulia.

(20)
Dia yang pada saat itu siap menentangku
untuk bertindak dan berjuang – aku tidak melepaskannya,
tetapi menahannya, memaksanya untuk diam,
akuilah bahwa aku telah memenuhi janjiku

Keteguhan pikiran Bodhisattva yang dalam itu, yang dibuktikan dengan ketenangannya, berhasil  menggugah raja untuk menghormati kebajikan pertapa itu. Dan raja mulai merenungkan: “Brāhmana ini pasti telah mengisyaratkan sesuatu yang lain dengan berbicara demikian, dan aku tidak memahami pikirannya, melakukan tindakan gegabah.” Perenungan yang muncul dalam dirinya ini, mendorongnya untuk bertanya kepada Bodhisattva:

(21)
“Siapakah orang lain yang bertindak melawanmu dan tidak dibebaskan olehmu, betapapun dia berjuang, tidak lebih dari debu yang terangkat oleh awan hujan? Siapa yang engkau diamkan saat itu?”

Bodhisattva menjawab: “Dengarkanlah, pangeran agung.

(22)
Dia, yang kedatangannya merampas pandangan terang dan kemunculannya dapat dilihat dengan jelas oleh seseorang, bangkit di dalam diriku, tetapi aku menekannya; Kemarahan adalah nama makhluk itu, adalah bencana bagi yang mengembangkannya.

(23)
Dia, yang pada kemunculannya membuat musuh umat manusia bersukacita, bangkit di dalam diriku, tetapi aku menekannya, adalah kemarahan yang akan menyebabkan kegembiraan bagi musuh-musuhku.

(24)
Dia, yang ketika meledak, membujuk manusia untuk tidak berbuat baik dan membutakan mata hati, dia yang aku taklukkan, wahai raja; namanya adalah kemarahan.

(25)
Ya, aku telah menghancurkan makhluk ganas mengerikan yang muncul di dalam diriku, kemarahan itu, yang menjadi penyebab seseorang meninggalkan kebaikannya dan kehilangan jasa kebajikan yang telah diperoleh sebelumnya.

(26)
Seperti api yang melalui proses pergesekan, muncul dari sebatang kayu hingga hancurnya batang kayu itu; dengan cara yang sama pula amarah, yang meledak akibat pandangan salah yang muncul di dalam batin seorang manusia, menuju kehancurannya.

(27)
Dia yang tidak mampu meredakan panas amarah yang membakar hati, ketika meluap dengan ganas bagaikan api, orang seperti itu kurang dihargai; reputasinya memudar, seperti sinar rembulan yang menyinari bunga teratai, memudar dalam rona fajar.

(28)
Tetapi dia yang tidak menghiraukan hinaan dari orang lain, menganggap kemarahan sebagai musuh yang sesungguhnya, reputasi orang seperti itu bersinar dengan cerah, seperti kilau pertanda baik yang melintas pada cakram bulan sabit.

Lebih jauh lagi, kemarahan juga diikuti oleh kualitas penting lainnya yang berbahaya.

(29)
Seseorang yang pemarah, meskipun gemerlap dengan perhiasan, akan terlihat buruk rupa, karena api murka telah mengambil kemegahan dari keindahannya. Dan meskipun berbaring di atas kasur yang bernilai, dia tidak dapat beristirahat dengan tenang, karena hatinya terluka oleh panah amarah.

(30)
Dibuat bingung oleh amarah, seseorang lupa untuk menjaga sisinya untuk mencapai kebahagiaan yang sesuai bagi dirinya sendiri, berlari ke jalan yang salah, sehingga ia kehilangan kebahagiaan yang terdiri dari reputasi baik, seperti bulan yang kehilangan kilaunya pada bagian gelap dari siklusnya.

(31)
Dengan murka dia melemparkan dirinya sendiri ke dalam kehancuran, terlepas dari upaya teman-temannya untuk menahannya. Dia masuk ke dalam amarah kebencian yang bodoh, dan daya pikirnya terganggu, dia tidak dapat membedakan antara apa yang baik dan buruk untuknya.

(32)
Terbawa oleh amarahnya, ia akan melakukan perbuatan jahat yang harus disesali melalui kemalangan selama ratusan tahun. Bisakah musuh, yang marah karena terluka parah, melakukan sesuatu yang lebih buruk dari itu?

(33)
Kemarahan adalah musuh di dalam diri kita, inilah yang aku ketahui. Siapakah yang dapat menanggung jalan bebas dari keangkuhannya?

(34)
Untuk alasan inilah aku tidak melepaskan amarah, meskipun hal itu memberontak di dalam diriku. Siapakah yang dapat menyengsarakan dirinya karena mengabaikan musuh yang dapat menyebabkan kerusakan seperti itu?”

Kata-kata yang menyentuh hati dan kesabaran luar biasa yang telah dibuktikan olehnya ini berhasil menyentuh, melembutkan dan mengubah pikiran sang raja yang kemudian berkata:

(35)
“Sungguh, ketenangan batinmu tercermin dari kata-kata yang telah engkau ucapkan ini! Tapi, mengapa engkau harus menggunakan banyak kata? Aku tertipu karena tidak memahamimu.”

Sang raja mengambil keputusan

Setelah memuji Bodhisattva demikian, dia mendekatinya dan bersujud di kakinya, mengakui kesalahannya. Dan dia juga melepaskan pertapa wanita itu, dan setelah mendapatkan pengampunannya, menawarkan dirinya sebagai pelayan Bodhisattva.

Dengan menahan amarahnya, seseorang menenangkan musuh-musuhnya; tetapi dia yang melakukan sebaliknya justru mengobarkan amarah mereka.

[Kisah ini juga harus diceritakan sehubungan dengan ucapan-ucapan yang memuji kesabaran, yaitu “dengan cara inilah perasaan yang tidak bersahabat ditenangkan dengan keramahan, dan dengan pengendalian diri, kebencian tidak boleh tumbuh,” dan “dengan cara ini dia yang melenyapkan kemarahan bertindak menguntungkan keduanya.”

Demikian juga ketika menguraikan keburukan dari kemarahan, dan membicarakan kualitas batin Sang Tathāgata.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 20 – SRESTHI-JATAKA

Jātakamālā 20 – Śresthijātakam
(Kisah Sang Bendahara)

Jātakamālā 20 – Śresthijātakam
(Kisah Sang Bendahara)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Dianggap memiliki kebajikan yang sebenarnya tidak mereka miliki, orang-orang bajik terdorong untuk memilikinya. Mempertimbangkan hal ini, seseorang hendaknya berjuang untuk kebajikan; seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Pada suatu ketika Bodhisattva terlahir sebagai seorang bendahara raja yang terkenal karena ilmunya, kebangsawannya, dan perilakunya yang sederhana. Dia memiliki cita-cita dan kepandaian yang tinggi, serta jujur dalam berusaha. Pembelajarannya dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan dengan mendalam dan keanggunannya dalam berbicara menarik perhatian. Atas dasar welas asihnya dan melalui kepemilikannya atas tanah yang luas, dia membuat kebahagiaan dari kekayaannya mengalir ke segala arah melalui pemberian amalnya yang besar. Demikianlah dia dianggap sebagai permata para perumah tangga.

(1)
Karena pada dasarnya dia menyukai kebenaran, dihiasi dengan kualitas-kualitas (yang diperoleh), pembelajaran suci dan sejenisnya, orang-orang biasa memandangnya sebagai orang yang layak dihormati di atas yang lainnya.

Suatu hari, ketika Sang Bodhisattva pergi ke istana raja untuk suatu urusan, ibu mertuanya datang ke rumahnya untuk menemui putrinya. Setelah menyambutnya dan menanyakan kondisi kesehatan seperti biasanya, terjadilah percakapan empat mata dengan putrinya, istri Bodhisattva. Dia berbalik untuk mengajukan pertanyaan kepadanya seperti ini: “Apakah suamimu mengabaikanmu, sayangku. Apakah dia tahu cara untuk menunjukkan perhatian kepadamu? Apakah suamimu membuatmu sedih karena kelakuan buruknya?” Dan istrinya menjawab dengan wajah tertunduk malu-malu dengan nada lembut: “Perilaku bajik seperti yang ia lakukan hampir tidak dapat ditemui di mana pun, bahkan pada seorang pengembara yang telah meninggalkan keduniawian.”

Tetapi ibunya, yang pendengaran dan pemahamannya terganggu oleh usia tua, tidak memahami makna dari ucapan putrinya ini dengan baik, karena kata-kata itu diucapkan dengan suara yang agak rendah dengan malu-malu. Setelah mendengar penyebutan seorang pengembara yang telah meninggalkan keduniawian, dia menarik kesimpulan bahwa menantunya telah menjadi seorang pertapa. Dia menangis, dan dikuasai oleh kesedihan yang kuat, larut dalam ratapan dan meratapi putrinya. “Tindak tanduk dan perilaku bajik apakah yang diperlihatkan olehnya yang meninggalkan dunia dengan cara ini, meninggalkan keluarga yang penuh kasih sayang? Dan apa hubungan antara dia dengan pelepasan keduniawian?

(2)
Apa alasan orang seperti dia, yang muda, tampan, halus, terbiasa dengan kehidupan yang nyaman, kesayangan raja, harus merasakan panggilan untuk kehidupan hutan?

(3)
Bagaimana ini bisa terjadi? Tidak ada satu pun dari pihak keluarga yang telah berbuat salah kepadanya dan usianya belum tua, tubuhnya belum dihinggapi penyakit. Mengapa dia tiba-tiba pergi tanpa rasa sakit, meninggalkan rumahnya yang berlimpah kekayaan?

(4)
Dia dihiasi oleh perilaku yang baik, dengan kebijaksanaan dan rasa cinta terhadap kebenaran, penuh welas asih untuk orang lain – bagaimana mungkin dia bisa melakukan perbuatan gegabah dan tanpa welas asih untuk keluarganya sendiri?

(5)
Karena kebiasaannya menghormati para Śramaṇa dan Brāhmana, teman-teman dan relasi, keluarganya sendiri dan orang-orang yang menderita, dan karena dia menganggap perilaku tanpa noda sebagai kekayaannya (yang tertinggi), katakanlah, hal apa yang tidak dapat dia dapatkan di dunia, yang dia cari di hutan?

(6)
Meninggalkan istrinya yang suci dan setia, pendamping kewajiban-kewajiban agamanya, bagaimana mungkin dia tidak menyadari bahwa dengan cintanya yang mendalam pada Dharma, dia justru sedang melanggar jalan Dharma?

(7)
Aduh! Sangat disayangkan! Demikianlah nasib yang begitu buruk, bahwa pria dapat meninggalkan keluarga yang mereka cintai tanpa sedikit pun berwelas asih! Apakah ia mampu mencapai bagian terkecil dari kesucian yang ia kejar?

Ketika istri Bodhisattva mendengar ratapan yang memilukan dan tulus dari ibunya karena suaminya telah meninggalkan keduniawian, ia menjadi khawatir dan terpengaruh. Wajahnya yang muram mengungkapkan kesedihan pikirannya yang sedang diguncang oleh serangan kesedihan dan rasa sakit yang mendadak. Dia benar-benar melupakan topik dan asal mula percakapan mereka, lalu merenungkan:

“Suamiku telah meninggalkan keduniawian, dan ibuku mendengar kabar sedih itu sehingga datang ke sini untuk menghiburku.” Setelah memutuskan demikian, wanita muda yang kekanak-kanakan itu mulai meratap dan menangis, dan pingsan setelah menangis kencang. Anggota keluarga yang lain dan para pelayan mendengar masalah itu, menjadi sangat tertekan dan menangis tersedu-sedu. Mendengar suara itu, para tetangga, teman, saudara, dan kerabat lainnya, kepala keluarga Brāhmana; singkatnya, sebagian besar warga, karena mereka sangat dekat dengan sang bendahara, berkumpul di sekitar rumahnya.

(8)
Dia selalu berbagi dalam nasib baik dan buruk mereka. Orang-orang, setelah mempelajari perilaku ini darinya, menunjukkan simpati yang sama dengannya dalam kedua keadaan tersebut.

Sekarang, ketika Bodhisattva berada dalam jalan pulang dari kediaman raja, mendekati tempat tinggalnya, dia mendengar suara ratapan dari rumahnya, dan melihat banyak orang berkumpul di sana. Dia memerintahkan pelayannya untuk pergi dan mencari tahu apa yang terjadi, yang setelah mendapatkan informasi itu kembali dan melapor kepadanya.

(9)
“Ada desas-desus yang tidak kuketahui asal mulanya, bahwa Yang Mulia telah meninggalkan rumahnya yang kaya untuk menjadi seorang pertapa. Berita ini telah membuat banyak orang berkumpul di sini karena merasa peduli.”

Setelah mendengar kata-kata ini, Sang Mahāsattva merasakan sesuatu seperti rasa malu. Hatinya yang murni terkejut dan menganggapnya seperti teguran. Kemudian dia masuk ke dalam perenungan ini: “Oh! Betapa aku merasa terhormat dengan pendapat orang-orang ini!

(10)
Setelah sebagian warga berpendapat tinggi terhadap kebajikanku, jika aku masih berpegang teguh pada kehidupan rumah tangga, bukankah aku adalah seorang pengecut?

(11)
Aku akan membuat diriku dikenal sebagai orang yang melekat pada kejahatan, berperilaku buruk dan pembenci kebajikan; dan akibatnya akan kehilangan harga diri yang sekarang aku nikmati dari para orang bajik. Hidup seperti itu adalah hidup yang tidak akan menyokongku.

(12)
Untuk alasan ini, sebagai imbalan atas kehormatan yang diberikan oleh pendapat masyarakat kepadaku, aku akan menghormati mereka lagi dengan menyadarinya, dan terpengaruh dengan ketertarikan terhadap hutan pertapaan, melepaskan diri dari rumahku beserta sifat buruknya yang menghasilkan hasrat jahat.”

Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisattva segera berbalik dan ingin mengumumkan sesuatu kepada sang raja: “Bendahara ingin bertemu dengan Yang Mulia sekali lagi.” Setelah diizinkan menghadap sang raja, dan mengucapkan salam seperti biasanya, dia ditanya oleh raja tentang alasannya kembali, dan dia menjawab: “Aku ingin meninggalkan keduniawian. Mohon izinkan aku, Yang Mulia.”

Mendengar ini, sang raja merasa gelisah dan khawatir, dan mengucapkan kata-kata penuh kasih ini:

(13)
“Apa yang membuatmu merasa sakit, selama aku yang mencintaimu lebih dari teman dan sanak saudaramu ini masih hidup, sehingga engkau ingin menarik diri ke hutan, seolah-olah aku tidak dapat membebaskanmu dari rasa sakit itu baik dengan kekayaanku, kebijakanku atau kekuatan besarku?

(14)
Apakah engkau kekurangan uang? Ambillah milikku. Apakah ada kesedihan yang membuatmu menderita? Aku akan menyembuhkannya. Atau apakah untuk tujuan lain sehingga engkau ingin mundur ke hutan, meninggalkan hubungan antara engkau dan aku, yang memohon kepadamu dengan cara ini?

Untuk kata-kata raja yang penuh perhatian dan penghormatan ini, dia menjawab dengan meyakinkan melalui intonasi yang ramah:

(15)
“Bagaimana mungkin bisa timbul kesedihan pada orang-orang yang dilindungi oleh lenganmu, atau kesedihan yang disebabkan oleh kurangnya kekayaan? Oleh karena itu, bukan kesedihan yang mendorongku untuk menarik diri ke dalam hutan, tetapi ada alasan lain. Dengarkanlah alasanku.

(16)
Beredar kabar, Yang Mulia, bahwa aku telah mengambil ikrar untuk menjadi seorang pertapa. Kerumunan orang meratapinya dan menangis karena kesedihan. Karena alasan inilah aku ingin hidup dalam kesunyian hutan, karena aku telah dinilai sebagai orang yang mampu memahami tujuan bajik ini.”

Sang raja menjawab: “Yang Mulia seharusnya tidak meninggalkan kami hanya karena rumor belaka. Harga diri orang-orang seperti engkau tidak bergantung pada opini publik, mereka juga tidak memperoleh maupun kehilangan kebajikan-kebajikan termasyhur berdasarkan kabar burung.

(17)
Desas-desus berasal dari imajinasi yang tak terkendali. Setelah keluar dari negeri, hal itu menyebar bebas dan tidak terkendali. Dia yang dengan sungguh-sungguh memikirkan kabar burung seperti itu sungguh tidak masuk akal, dan lebih tidak masuk akal lagi, dia yang bertindak sesuai dengan kabar burung itu!

Bodhisattva berkata: “Tidak, tidak, Yang Mulia, jangan berbicara seperti itu! Pendapat tinggi seseorang harus dijunjung tinggi. Apakah Yang Mulia berkenan untuk mempertimbangkan hal ini.

(18)
Yang Mulia, ketika seseorang menjadi terkenal karena kesuciannya, orang itu tidak boleh tertinggal di belakang reputasinya. Jika sebenarnya dia bajik, tetapi, tidak lebih dari itu, rasa tahu malunya harus mendorongnya untuk menanggung sendiri beban kebajikan itu.

(19)
Sebab jika dia bertindak sesuai dengan pendapat tinggi tentang kebajikannya itu, maka kemasyhurannya akan semakin bersinar; sedangkan dia akan menjadi seperti sumur yang mongering jika bertindak sebaliknya.

(20)
Jika dia tidak bertindak sesuai dengan reputasi kebajikannya, yang akan menyebar hingga pengetahuan lebih lanjut menguak kebenarannnya, prasangka tentangnya saat ini akan menghancurkan nama baiknya. Setelah dihancurkan, akan sulit baginya untuk mendapatkan nama baiknya kembali.

(21)
Mengingat demikian, aku akan meninggalkan keluarga dan harta bendaku, karena barang-barang itu adalah akar dari perselisihan dan masalah, layak untuk dihindari bagai ular berkerudung hitam dengan kepala yang murka. Itu tidak seperti engkau, Yang Mulia, menentang tekadku ini.

(22)
(Jangan memberiku uang.) Aku tahu, engkau terbiasa menunjukkan perhatian dan rasa terima kasihmu kepada pelayan-pelayan setiamu; namun untuk apa seorang pengembara tanpa rumah akan menggunakan uangnya, apakah kebutuhannya membutuhkan barang-barang dan nafsu duniawi?”

Setelah mengucapkan itu, Sang Mahāsattva membujuk raja untuk memberinya izin. Setelah itu dia segera berangkat ke hutan.

Tetapi teman-teman, saudara-saudara, dan kerabat-kerabat pergi menemuinya, meneteskan air mata dan memeluk kakinya, berusaha mencegahnya. Beberapa menghalangi jalannya, berada di hadapannya dengan tangan menelungkup hormat. Beberapa lagi berusaha membimbingnya menuju arah rumahnya (dengan memaksa lembut), dengan pelukan maupun upaya pembujukan lainnya. Yang lainnya, didorong oleh cinta kasih mereka sehingga memanggilnya dengan cara yang agak kasar, mengungkapkan kesalahan mereka dalam beberapa cara atau lainnya. Beberapa juga mencoba meyakinkannya bahwa dia harus memperhatikan teman-teman dan keluarganya, yang kepada merekalah dia harus berwelas asih. Yang lain juga mengarahkan upaya mereka untuk meyakinkannya dengan argumen, menggabungkan teks-teks suci dengan penalaran deduktif, untuk menyampaikan bahwa keadaan perumah tangga adalah yang paling suci.

Ada orang lain lagi yang mengerahkan diri mereka dengan cara yang berbeda untuk membuatnya melepaskan rencananya; sebagian menjelaskan sulitnya hidup di hutan pertapaan, sebagian mendesaknya untuk memenuhi kewajiban dan tugasnya di dunia sampai akhir, sebagian mengungkapkan keraguan mereka tentang keberadaan sesuatu seperti jasa kebajikan di kehidupan selanjutnya. Ketika dia melihat teman-temannya menentang pelepasan keduniawian dan dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menghalangi kepergiannya ke hutan dengan wajah yang basah oleh air mata, pemikiran ini muncul di benaknya:

(23)
“Jika seseorang bertindak sembarangan, sudah menjadi kewajiban bagi mereka yang mengaku sebagai temannya untuk menjaga kebaikan temannya, meskipun dengan cara yang kasar. Ini dinyatakan sebagai jalan yang benar untuk bertingkah laku di antara orang bajik. Terlebih lagi, jika kebaikan yang mereka sarankan sekaligus merupakan sesuatu yang menyenangkan.

(24)
Tetapi bagi mereka, bagaimana mungkin lebih memilih kehidupan rumah dan dengan berani menghalangiku dari kehidupan hutan, seolah mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk?

(25)
Orang mati atau orang yang berada dalam bahaya kematian adalah orang yang harus ditangisi, demikian juga orang yang terjatuh dari kebenaran. Tapi apa arti tangisan ini bagiku yang masih hidup tetapi ingin tinggal di dalam hutan?

(26)
Seandainya perpisahan denganku menjadi penyebab kesedihan mereka, mengapa mereka tidak tinggal di hutan bersamaku? Namun jika mereka lebih memilih rumah mereka daripada bersamaku, mengapa mereka memboroskan air mata mereka?

(27)
Tetapi karena keterikatan pada keluarga mencegah mereka menjalani kehidupan sebagai pertapa, bagaimana mungkin mereka tidak pernah mempertimbangkan hal itu dalam begitu banyak kelahiran?

(28)
Aku telah merasakan banyak ketulusan persahabatan mereka dalam saat-saat sulit, dan sekarang lihatlah persahabatan yang mengakar itu, diwujudkan dalam air mata mereka. Namun, bagiku itu tampak seperti tipuan, karena mereka tidak mengikuti teladanku.

(29, 30)
Sebesar itulah penghargaan mereka terhadap teman yang pantas untuk dihargai, yang membuat mata mereka penuh dengan air mata, kepala mereka tertunduk dengan hormat dan, kata-kata mereka terputus dengan isak tangis, berusaha keras untuk menghalangi kepergianku. Tetapi cinta kasih mereka kepadaku seharusnya membawa mereka kepada cita-cita terpuji ini dan ikut pergi mengembara bersamaku, janganlah mereka tampak seperti sedang bersandiwara di dalam pertunjukan drama, yang memalukan bagi orang bajik!

(31)
Jika ada orang yang sedang berada kesusahan, meskipun dia adalah orang yang sangat jahat, setidaknya ada dua atau tiga teman akan menemaninya; tetapi sangat sulit, bagi seseorang yang betapa pun hebatnya dalam kebajikan, untuk mendapatkan satu orang kawan ketika dia hendak berangkat ke hutan!

(32)
Mereka yang berada di dalam pertempuran, ketika bahaya mendekat dari gajah-gajah yang murka, mereka terbiasa memberikan contoh (tanpa rasa takut) kepadaku, bahkan mereka tidak mengikutiku saat ini, ketika aku akan memimpin mereka ke hutan. Apakah aku dan mereka adalah orang yang sama seperti sebelumnya?

(33)
Aku tidak mengingat pernah melakukan kesalahan apa pun yang dapat menghancurkan perasaan mereka. Mungkin perilaku teman-temanku ini berasal dari kepedulian terhadap apa yang mereka anggap sebagai kebahagiaanku.

(34)
Ataukah karena kurangnya kebajikanku yang menghalangi mereka untuk menjadi temanku di hutan? Karena siapakah yang memiliki kekuatan untuk mengendurkan hati seseorang yang telah dimenangkan oleh kebajikan?

(35)
Tetapi untuk apa aku berdiam merenungi orang-orang ini? Tentu saja, karena mereka tidak dapat memahami keburukan yang melekat dalam kehidupan rumah tangga, sekalipun betapa nyatanya itu, mata mereka tertutup sehingga tidak melihat kebajikan yang dapat ditemukan di hutan pertapaan!

(36)
Mereka tidak mampu berpisah dengan kesenangan duniawi, yang merupakan penyebab penderitaan baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya; tetapi mereka mampu mengabaikan hutan pertapaan yang dapat membebaskan diri dari penderitaan, dan juga mengabaikankku! Ini sungguh tidak masuk akal!

(37)
Oh, teman-temanku dan seluruh makhluk dijauhkan dari ketenangan akibat ketidakbajikan oleh delusi itu, yang akan aku hancurkan secara paksa kapan pun melalui kekuatan besar dari hidup di dalam hutan pertapaan!”

Demikianlah dia merenung. Dan setelah memustikan demikian, dia mengabaikan berbagai permohonan yang penuh kasih sayang dari teman-temannya, menjelaskan kepada mereka tekadnya yang teguh dengan cara yang baik dan lembut, dan berangkat pergi ke hutan pertapaan.

Dengan cara inilah, dianggap memiliki kebajikan yang sebenarnya tidak mereka miliki, orang-orang bajik terdorong untuk memilikinya. Mempertimbangkan hal ini, seseorang harus berusaha untuk merealisasikan kebajikan.

[Untuk alasan ini, seorang yang bajik, yang dihormati karena kebajikannya sebagai seorang bhiksu atau sebagai umat awam, harus benar-benar berusaha untuk dihiasi dengan kebajikan yang sesuai dengan keadaan itu. Selanjutnya, cerita ini dapat dikemukakan dengan tujuan untuk menunjukkan sulitnya mencari kawan dalam kehidupan spiritual.]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 19 – BISA-JATAKA

Jātakamālā 19 – Bisajātakam
(Kisah Batang Teratai)

Jātakamālā 19 – Bisajātakam
(Kisah Batang Teratai)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang telah belajar untuk menghargai kebahagiaan dari tidak melekat, akan menjauhi kesenangan duniawi. Mereka akan menolaknya bagai menolak tipu daya dan kesakitan. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Sang Bodhisattva terlahir di keluarga Brāhmana yang terkenal karena kebajikan dan mereka bebas dari perbuatan tercela. Dia memiliki enam orang adik laki-laki yang memiliki kebajikan yang sama dengannya. Mereka, karena menyayangi dan menghormatinya, selalu meneladaninya. Dia juga memiliki saudara perempuan yang merupakan adik ketujuh. Setelah mempelajari Veda beserta dengan ilmu-ilmu tambahannya, juga Upaveda, ia memperoleh kemasyhuran dan penghormatan yang tinggi dari masyarakat karena pembelajarannya. Dia melayani ayah dan ibunya dengan penuh bakti, memuja mereka bagai dewa, dan mengajarkan saudara-saudaranya tentang berbagai cabang ilmu bagai seorang guru spiritual atau seorang ayah. Dia berdiam di dunia ini, menjadi ahli dalam seni yang berkaitan dengan urusan duniawi dan diunggulkan oleh perilakunya yang baik. Tetapi dalam perjalanan waktu, orangtuanya meninggal, memunculkan rasa kehilangan yang sangat memukul hatinya. Setelah melakukan upacara pemakaman untuk mereka dan menghabiskan beberapa hari untuk berkabung, dia mengumpulkan saudara-saudaranya, berkata kepada mereka:

(1, 2)
“Ini adalah hal yang pasti terjadi di dunia, merupakan sumber kesedihan dan rasa sakit yang mendalam. Pada akhirnya kematian akan memisahkan kita dari mereka yang telah hidup bersama selama beberapa waktu, tak peduli seberapa lama mereka telah bersama. Untuk alasan inilah aku ingin menjalani kehidupan tanpa rumah, di dalam jalan terpuji menuju pencerahan, sebelum musuh kita yang bernama kematian menangkapku dalam keadaan yang terikat pada kehidupan perumah tangga.

Setelah memutuskan ini, aku harus menasihati kalian semua. Keluarga Brāhmana kita memiliki kepemilikan yang sah dari beberapa kekayaan yang diperoleh dengan cara yang jujur. Dengan harta itu, kalian dapat menopang diri kalian sendiri. Kemudian, kalian harus menetap di sini sebagai perumah tangga yang hidup dengan cara yang selaras. Hendaknya kalian semua memiliki niat untuk saling mencintai dan menghormati, serta berhati-hatilah untuk tidak mengendurkan ajaran moral dan praktik perilaku yang benar. Teruslah mempelajari Veda dengan tekun, bersiaplah untuk memenuhi kebutuhan teman-temanmu, tamu-tamumu, dan sanak saudaramu. Singkat kata, utamakanlah kebenaran di atas segalanya.

(3)
Selalu berperilaku baik, mematuhi pelajaran Veda, dan senang dalam berdana; kalian harus menjaga kehidupan perumah tangga sebagaimana seharusnya.

(4)
Dengan cara ini, nama baik kalian tidak hanya akan meningkat, kebajikan dan kekayaan kalian – yang merupakan hakikat kesejahteraan – pun tidak hanya meluas, kalian mungkin mengharapkan terlahir dengan bahagia dalam kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, jangan melakukan kecerobohan apa pun selama menjalani kehidupan perumah tangga.”

Tetapi saudara-saudaranya, yang mendengarnya berbicara tentang kehidupan tanpa rumah, merasakan kesedihan dalam hati karena tidak mengharapkan perpisahan. Wajah mereka basah oleh air mata kesedihan, dan membungkuk berbicara kepadanya dengan hormat: “Luka yang disebabkan oleh panah kesedihan dari kematian ayah kita belum sembuh, janganlah menggosoknya lagi dengan garam kesedihan yang baru ini.

(5)
Bahkan sekarang luka itu masih terbuka di benak kita karena kematian ayah kita. Oh! Engkau harus menarik kembali tekadmu, wahai saudara yang bijaksana. Engkau tidak boleh menaburkan garam pada luka kami.

(6)
Atau, jika memang engkau yakin bahwa keterikatan pada rumah itu tidak layak, atau bahwa kebahagiaan kehidupan hutan adalah jalan menuju pembebasan, mengapa engkau ingin pergi ke hutan sendirian, meninggalkan kami di rumah ini tanpa pelindung?

Maka, keadaan hidupmu akan menjadi hidup kamu juga. Kami juga akan ikut meninggalkan keduniawian.”

Sang Bodhisattva menjawab:

(7)
“Orang-orang yang belum membiasakan diri dengan ketidakmelekatan akan mengikuti keinginan duniawi. Sebagai aturan, mereka memandang sama antara menyerahkan dunia atau jatuh ke jurang.

Mengingat demikian, aku menahan diri dan tidak mendesak kalian untuk menjalani kehidupan tanpa rumah, meskipun mengetahui perbedaan antara kedua kehidupan tersebut. Tetapi jika pilihanku menyenangkan kalian juga, mari kita tinggalkan rumah kita bersama-sama!” Maka ketujuh bersaudara itu, dengan saudara perempuan mereka sebagai yang kedelapan, menyerahkan harta kekayaan dan barang-barang berharga mereka, menginggalkan teman, sanak-saudara, dan kerabat mereka yang menangis; dan mereka beralih ke kehidupan pertapaan. Dan berkat persahabatan yang dilandasi cinta kasih, satu orang pelayan laki-laki dan satu orang pelayan perempuan juga ikut berangkat ke hutan bersama mereka.

Di suatu tempat tertentu di dalam hutan, terdapat sebuah danau besar yang airnya berwarna biru jernih. Tempat itu menunjukkan keindahan yang menyala cemerlang ketika tempat tidur lotusnya diperluas, menawarkan keceriaaan ketika sekelompok bunga lili air memekarkan kelopaknya dan kawanan lebah selalu bersenandung di sana. Di tepi danau itu mereka membangun gubuk beratap daun sebanyak jumlah mereka masing-masing, menempatkan mereka agak jauh satu sama lain, tersembunyi di bawah bayangan pepohonan di tengah-tengah kesendirian yang indah. Di sana mereka bertempat tinggal, mengabdikan diri pada ikrar dan ketaatan mereka sendiri, dan pikiran mereka berfokus pada praktik meditasi.

Pada setiap hari kelima mereka memiliki kebiasaan mengunjungi Bodhisattva untuk mendengarkan khotbah Dharma darinya. Kemudian ia menyampaikan khotbah yang membangun untuk menunjukkan kepada mereka jalan menuju kedamaian dan ketenangan pikiran. Dalam khotbah-khotbahnya ia menasihati mereka untuk bermeditasi, meninggalkan keburukan yang timbul dari kesenangan duniawi, menunjukkan rasa puas yang berasal dari ketidakmelekatan, mencela kemunafikan, ucapan yang tidak bermakna, kemalasan dan keburukan-keburukan lainnya. Dia memberikan kesan yang mendalam kepada pendengarnya.

Pelayan perempuan mereka, didorong oleh rasa hormat dan cinta kasih, tidak berhenti melayani mereka yang masih berada di hutan. Dia memiliki kebiasaan menarik batang teratai (yang bisa dimakan) dari danau dan meletakkannya di atas daun teratai besar di tempat yang bersih di tepi danau. Ketika dia selesai menyiapkan makanan, dia akan mengumumkan waktu makan dengan mengambil dua potong kayu dan membenturkannya satu sama lain, lalu meninggalkan tempat tersebut. Kemudian para pertapa itu, setelah melakukan doa dan persembahan yang benar dan seperti biasanya, akan datang ke tepi danau satu demi satu sesuai dengan usia mereka, dan masing-masing setelah mengambil bagiannya secara berurutan, kembali ke gubuknya. Di sana mereka akan menikmati makanan dengan cara yang telah ditentukan dan menghabiskan sisa waktu mereka dengan bermeditasi. Dengan latihan ini mereka menghindari bertemu satu sama lain, kecuali pada waktu berkhotbah.

Moralitas, cara hidup, dan perilaku yang tidak tercela seperti itu, serta kecintaan terhadap ketidakmelekatan, dan kebiasaan bermeditasi seperti itu membuat mereka terkenal hingga di mana-mana. Śakra, raja para dewa, setelah mendengar reputasi mereka, datang ke tempat tinggal mereka dengan tujuan untuk mencobai mereka. Ketika dia mengetahui ketekunan mereka dalam bermeditasi, kemurnian mereka dari perbuatan buruk, kebebasan mereka dari nafsu dan keteguhan yang berasal dari ketenangan mereka, pendapatnya yang tinggi tentang kebajikan mereka tumbuh semakin kuat, dan dia menjadi semakin ingin mencobanya.

(8)
Dia yang tinggal di kedalaman hutan tanpa keinginan apa pun, yang hanya menginginkan ketenangan pikiran, kebajikannya memunculkan rasa hormat dari dalam hati orang-orang berbudi luhur.

Śakra, raja para dewa, melihat pelayan wanita mengumpulkan makanan berupa batang teratai yang dapat dimakan, seputih dan selembut gigi gajah muda, mencucinya dan mengaturnya dalam porsi yang sama di atas meja di atas daun teratai berwarna hijau zamrud, berhati-hati untuk menghiasi setiap bagian dengan menambahkan beberapa kelopak dan benang sari. Setelah mengumumkan waktu makan kepada para pertapa suci, seperti biasa, dengan suara benturan potongan kayu, dia meninggalkan tempat. Pada saat itu Śakra, dengan tujuan menguji Bodhisattva, membuat makanan pada bagian pertama menghilang (dari daun teratai).

(9)
Ketika masalah muncul dan kebahagiaan menghilang, maka ada kesempatan untuk mengukur keteguhan hati dari dia yang bermoral, karena pada saat itulah mulai terlihat.

Ketika Bodhisattva, datang ke tempat bagian pertama, menyadari bahwa tangkai yang dapat dimakan itu hilang dari atas daun teratainya, sementara hiasan kelopak bunga dan bunga sari berceceran, dia berpikir: “Seseorang telah mengambil makanan bagianku.” Kemudian, tanpa merasakan gelisah atau marah di dalam hatinya, ia kembali ke gubuknya, memasuki praktik meditasinya seperti yang biasa ia lakukan. Dia juga tidak memberitahu pertapa suci lainnya tentang masalah ini untuk menghindari kesedihan mereka. Dan mereka yang berpikir bahwa ia telah mengambil batang Teratai bagiannya, mengambil bagian mereka juga seperti biasa, secara berurutan dan dalam urutan yang tepat, dan memakannya beberapa kali secara masing-masing di gubuknya; dan setelah itu mereka terserap dalam meditasi. Dengan cara yang sama Śakra menyembunyikan batang Teratai bagian Bodhisattva pada hari kedua, ketiga, keempat dan kelima. Tetapi efeknya sama. Pikiran sang Bodhisattva tetap tenang seperti biasanya, dan sepenuhnya bebas dari masalah.

(10)
Orang bajik menganggap bergejolaknya pikiran, bukan padamnya kehidupan, sebagai kematian. Karena alasan inilah orang bijak tidak pernah merasa gelisah, bahkan ketika hidupnya dalam bahaya sekalipun.

Pada sore hari (yang kelima) itu, para Ṛṣi pergi ke gubuk daun Bodhisattva, seperti yang biasa mereka lakukan, untuk mendengarkan khotbah Dharma darinya. Saat melihatnya, mereka melihat tubuhnya yang sangat kurus. Pipi dan matanya tampak cekung, kemegahan wajahnya telah memudar, dan suaranya yang nyaring telah kehilangan suara penuhnya. Namun, betapapun kurusnya, dia tetap indah untuk dilihat seperti bulan sabit; karena kebajikan, kebijaksanaan, keteguhan, dan ketenangannya tidak berkurang. Oleh karena itu, setelah datang ke hadapannya dan memberi penghormatan seperti biasa, mereka bertanya dengan penuh khawatir tentang penyebab tubuh kurusnya itu. Dan Bodhisattva menceritakan hal itu kepada mereka sesuai dengan yang telah dialaminya.

Para pertapa itu, yang tidak menyangka bahwa salah satu di antara mereka sendiri yang telah melakukan tindakan yang tidak pantas seperti ini, dan yang merasa sangat khawatir dengan rasa sakitnya, mengungkapkan kesedihan mereka dengan seruan, dan mengarahkan pandangan mereka ke tanah karena merasa malu. Tetapi Śakra dengan kekuatannya menghalangi pemikiran mereka, sehingga mereka tidak bisa mengetahui penyebab hilangnya makanan tersebut. Kemudian saudara laki-laki Bodhisattva, yang lahir setelahnya, menunjukkan pikirannya yang waspada dan tidak bersalah, mengucapkan protes yang luar biasa ini:

(11)
“Wahai Brāhmana, semoga dia yang telah mengambil batang terataimu akan memperoleh sebuah rumah, yang kekayaan dekorasinya menunjukkan kekayaan pemiliknya, mendapatkan seorang istri yang sesuai keinginan hatinya, dan semoga dia diberkati dengan banyak anak dan cucu!”

Kakak kedua berkata:

(12)
“Wahai Brāhmana terkemuka, semoga dia yang telah mengambil batang terataimu, yang dinodai dengan keterikatan yang kuat pada keduniawian, semoga dia memakai karangan dan untaian bunga, beserta bubuk cendana, pakaian, dan perhiasan yang bagus, disentuh oleh anak-anaknya yang sedang bermain!”

Kakak ketiga berkata:

(13)
“Semoga dia yang telah mengambil batang terataimu sekali saja, menjadi seorang petani yang setelah memperoleh kekayaan sebagai hasil dari peternakannya dan senang dengan celotehan anak-anaknya, menikmati kehidupan rumah tangga tanpa memikirkan waktu ketika kehidupannya di dunia ini berakhir!”

Saudara keempat berbicara:

(14)
“Semoga dia yang telah didorong oleh keserakahan untuk mengambil batang terataimu, memerintah seluruh bumi sebagai seorang raja, dipuja oleh para raja yang melayaninya dalam sikap rendah hati bagai para budak, menundukkan kepala mereka yang bergetar!”

Saudara kelima berbicara:

(15)
“Semoga dia menjadi pendeta keluarga raja yang memiliki mantra-mantra kuat dan sejenisnya, semoga dia juga diperlakukan dengan hormat oleh raja, siapa pun itu dia yang telah mengambil batang terataimu!”

Saudara keenam berkata:

(16)
“Semoga dia yang lebih berkeinginan untuk memiliki batang teratai dan bukan kebajikanmu, menjadi guru terkenal yang menguasai Veda dan menikmati penyembahan sebagai pertapa dari orang-orang yang berkerumun untuk melihatnya!”

Sang teman berbicara:

(17)
“Semoga dia yang tidak bisa menaklukkan keserakahannya terhadap batang terataimu memperoleh sebuah desa yang sangat baik yang diberkahi dengan empat kelimpahan (berlimpah dalam populasi, jagung, kayu dan air) dari raja, dan semoga dia mati tanpa menundukkan nafsunya!”

Pelayan laki-laki itu berkata:

(18)
“Semoga dia menjadi kepala desa, hidup bahagia bersama rekan-rekannya, terlena oleh tarian dan nyanyian wanita, dan tidak pernah mendapat kerugian dari pihak raja, dia yang menghancurkan kepentingannya sendiri demi batang teratai itu!”

Saudara perempuan berkata:

(19)
“Semoga orang yang memberanikan diri mengambil tangkai teratai dari orang sepertimu, menjadi seorang wanita dengan kecantikan dan penampilan yang luar biasa, semoga seorang raja memperistrinya dan menempatkannya sebagai kepala selirnya yang terdiri dari seribu perempuan!”

Pelayan perempuan itu berkata:

(20)
“Semoga dia sangat senang dalam menyantap makanan manis sendirian secara diam-diam, mengabaikan seseorang yang berbudi luhur, dan sangat bersukacita ketika dia mendapat hidangan lezat; dia yang menaruh hatinya pada batang terataimu, bukan pada kebenaranmu!”

Kemudian tiga penghuni hutan juga telah datang ke tempat itu untuk mendengarkan khotbah Dharma, yaitu seorang Yakṣa, seekor gajah, dan seekor kera. Mereka telah mendengar percakapan itu dan diliputi oleh rasa malu dan kebingungan yang luar biasa. Di antara mereka, Yakṣa membuktikan ketidakbersalahannya, mengucapkan di hadapan mereka bantahan ini:

Gajah berbicara:

(21)
“Semoga dia yang gagal menentangmu demi tangkai teratai, mendapatkan tempat tinggal di Biara Agung, dipercayakan dengan tugas memperbaiki (kota) Kacaṅgalā, dan diwajibkan untuk membuat satu buah jendela setiap hari!”

(22)
“Wahai Muni yang paling agung, semoga dia keluar dari hutan yang indah ini dan masuk ke dalam kelompok manusia, terbelenggu dengan enam ratus rantai yang kokoh, dan merasakan sakit akibat tongkat tajam pengendali, dia yang telah mengambil batang terataimu!

Kera itu berkata:

(23)
“Semoga dia yang tergerak oleh keserakahan sehingga mengambil tangkai terataimu, akan memakai karangan bunga dan kerah timah akan mengelilingi lehernya, dipukul dengan tongkat di hadapan seekor ular, dan dengan karangan bunga panjang tergantung di bahunya, hidup di dalam rumah (manusia)!”

Sebagai jawaban, Bodhisattva menyapa mereka semua dengan kata-kata yang meyakinkan dan baik, menunjukkan ketidakmelekatannya yang telah mangakar dalam.

(24)
“Semoga dia yang dengan salah mengatakan ‘mereka telah menghilang,’ meskipun dia memilikinya, memperoleh kesenangan duniawi sesuai dengan keinginan hatinya dan mati sebagai perumah tangga. Dan semoga mereka yang telah mencurigai seseorang melakukan tindakan serupa juga mengalami nasib yang sama!

Ungkapan protes mereka yang luar biasa, yang menunjukkan kebencian mereka terhadap kenikmatan duniawi, membangkitkan rasa heran dan rasa hormat pada Śakra, sang raja para dewa. Dia menunjukkan dirinya dalam wujud yang cemerlang, dan mendekati para Ṛṣi itu, berkata seolah-olah diliputi dengan kebencian: “Kalian seharusnya tidak berbicara begitu.

(25)
“Kenikmatan-kenikmatan itu – yang didambakan oleh mereka yang menginginkan kebahagiaan sedemikian rupa dengan berjuang hingga melewatkan tidurnya dan melakukan segala bentuk pertapaan maupun kerja keras – kalian mengecam, menyebutnya sebagai ‘kesenangan duniawi!’ Mengapa engkau menilai begitu?”

Bodhisattva berkata: “Tuan, kenikmatan indria disertai dengan penderitaan yang tak berkesudahan. Dengarlah, aku akan memberi tahu engkau secara singkat, apa pandangan dari para Muni yang membuat mereka menjauhi kenikmatan indria.

(26)
Karena hal-hal tersebutlah, manusia terjebak dan menanggung kematian, kesedihan, kelelahan, bahaya, dalam berbagai penderitaan singkat. Demi mendapatkannya, para raja menindas kebenaran, dan jatuh ke dalam neraka setelah kematian sebagai akibatnya.

(27)
Ketika ikatan persahabatan tiba-tiba merenggang, ketika manusia memasuki jalan yang kotor dan salah demi kepentingan diri sendiri, ketika mereka kehilangan nama baik mereka dan setelahnya bertemu dengan penderitaan ― bukankah hal-hal itu disebabkan oleh kenikmatan indriawi?

(28)
Melalui cara inilah, kesenangan duniawi cenderung menghancurkan segala kondisi manusia, yang tertinggi, menengah maupun yang terendah, baik di kehidupan ini maupun di kehidupan selanjutnya. Para Muni, yang berkehendak untuk melatih diri, menjauhi mereka, seolah itu adalah ular-ular yang sedang marah.”

Kemudian Śakra, raja para dewa, menyetujui kata-katanya dengan mengatakan, “Sungguh baik,” dan ketika dia telah tersentuh oleh kebesaran pikiran para Ṛṣi itu, dia mengaku bahwa dia sendirilah yang telah melakukan pencurian itu.

(29, 30)
“Suatu pendapat yang tinggi tentang kebajikan dapat diuji dengan pencobaan. Mempertimbangkan demikian, aku menyembunyikan batang teratai untuk menguji engkau. Dan sekarang, betapa beruntungnya dunia karena memiliki Muni sepertimu, yang kemuliaannya telah teruji oleh kenyataan. Ambilah batang teratai ini, sebagai bukti dari perilaku sucimu yang konstan.”

Dengan kata-kata ini dia menyerahkan batang-batang teratai itu kepada Bodhisattva. Tetapi Bodhisattva mencela caranya yang lancang dan tidak pantas, yang meski disampaikan dengan rendah hati, namun menunjukkan harga dirinya yang mulia.

(31)
“Kami bukan kerabatmu, bukan rekanmu, kami juga bukan pemain peran maupun penghiburmu. Apa alasan kedatanganmu ke sini, wahai raja para dewa, untuk bermain-main dengan para Ṛṣi dengan cara seperti ini?”

Mendengar kata-kata ini, Śakra, raja para dewa, dengan tergesa-gesa menanggalkan penampilan dewatanya ― yang cemerlang dengan anting-antingnya, hiasan kepalanya, dan kilatan cahayanya ― dan dengan hormat membungkuk kepada Bodhisattva, berbicara demikian untuk menenangkannya:

(32)
“Wahai engkau yang bebas dari segala keegoisan, berkenanlah untuk memaafkan aku atas perbuatan ceroboh yang telah aku lakukan dengan tujuan yang sudah kusebutkan tadi; maafkanlah aku bagai seorang ayah, bagai seorang guru.

(33)
Wajar bagi mereka yang matanya belum terbuka oleh kebijaksanaan untuk menyinggung orang lain, bahkan jika mereka sederajat sekalipun. Demikian pula wajar bagi para bijaksana yang telah memahami kebenaran untuk memaafkan pelanggaran-pelanggaran seperti itu. Dengan alasan ini, aku memohon agar hatimu tidak merasa marah terhadap perbuatan itu.”

Setelah menenangkannya, Śakra menghilang di tempat.Mereka yang telah belajar untuk menghargai kebahagiaan dari tidak melekat, akan menjauhi kesenangan duniawi. Mereka akan menolaknya bagai menolak tipu daya dan kesakitan.


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 18 – APUTRA-JATAKA

Jātakamālā 18 – Aputrajātakam
(Kisah Seorang Tanpa Anak)

Jātakamālā 18 – Aputrajātakam
(Kisah Seorang Tanpa Anak)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Kehidupan sebagai perumah tangga dipenuhi dengan kekhawatiran yang bertentangan dengan tujuan spiritual. Karena itulah, mereka yang mencari jati diri tidak menyukai kehidupan yang seperti itu. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva lahir dalam keluarga kaya yang terkenal karena kebajikan dan perilaku baik mereka, sehingga mereka terpandang dalam komunitas dan sangat dihargai oleh orang-orang. Keluarga itu bagai sumur yang menyegarkan bagi orang-orang yang terlahir baik; mereka berbagi harta benda dan bahan makanan mereka dengan para Śramaṇa dan Brāhmana; rumah mereka terbuka untuk teman dan kerabat; orang miskin dan pengemis hidup dari pemberian mereka; para pengrajin mendapatkan penghidupan dan perlindungan dari mereka; dan dengan kekayaan mereka yang luar biasa, mereka diizinkan untuk membantu dan beramah tamah kepada raja.

Dilahirkan dalam keluarga ini, dia bertumbuh seiring dalam perjalanan waktu, mempelajari cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dianggap bernilai tinggi di dunia, sementara ia mengalihkan pikirannya dengan semangat yang sama untuk berbagai seni dan pengetahuan yang sebenarnya tidak diwajibkan kepadanya. Karena pendidikannya yang ulung, sosoknya yang rupawan menyenangkan mata manusia, dan pengetahuan tentang dunia yang ia tunjukkan tanpa melanggar Dharma, ia memenangkan hati sesama warganya, yang menganggapnya sebagai saudara mereka.

(1,2)
Bukan karena ikatan keluarga yang membuat mereka menghormati hubungan kita, pun kita tidak menganggap orang lain sebagai orang asing karena mereka tidak memiliki hubungan dengan kita.

          Kebajikan atau keburukannya, itulah yang membuat seseorang menganggap orang lain sebagai kerabat atau bukan.

Tetapi Sang Mahāsattva telah membiasakan dirinya dengan ketidakduniawian.

(3)
Dia pernah mengalami kehidupan berumah tangga, dan mengetahui bahwa itu adalah keadaan yang tidak sesuai dengan praktik kewajiban agama, karena rasa sakit untuk mencari keuntungan tentu tersirat di dalamnya. Di sisi lain, dia memahami kebahagiaan dalam hutan pertapaan. Maka, pikirannya menjadi terlepas dari kesenangan kehidupan berumah tangga.

Ketika ayah dan ibunya meninggal, di dalam hatinya dia merasakan kehawatiran besar. Dia meninggalkan rumah dan tanah miliknya yang indah, yang berjumlah ratusan ribu, yang sepatutnya diberikan kepada teman-teman dan kerabatnya, orang miskin, para Śramaṇa, dan para Brāhmana; setelah itu dia meninggalkan rumahnya.

Dia melewati desa-desa, kota-kota dan wilayah-wilayah, melalui kerajaan-kerajaan dan ibukotanya, dan menempati tempat tinggalnya di dataran tinggi berkayu tertentu di sekitar kota. Di sana ia segera menjadi terkemuka dengan ketenangannya, ucapannya, dan perilakunya. Ketenangan indranya, yang merupakan hasil dari praktik meditasi yang lama, adalah alami dan tidak dibuat-buat. Bahasanya menyenangkan pikiran dan telinga, dan meskipun menunjukkan kebijaksanaannya, ia masih dipenuhi dengan kerendahan hati; dia memberikan khotbah tanpa mengharapkan keuntungan apapun. Terkemuka oleh pembelajarannya yang kukuh, oleh kelembutannya dalam berbicara kepada pendengar yang dia hormati, dan oleh keterampilan yang dia tunjukkan dalam menelusuri batas antara tindakan yang diperkenankan dan yang dilarang oleh Dharma.

Perilakunya, yang dihiasi dengan praktik-praktik seperti yang pantas dilakukan oleh seorang petapa tanpa rumah, sesuai dengan yang disetujui oleh para bajik. Dan ketika orang-orang yang ingin tahu tentang pribadinya, menyadari bagaimana dia telah meninggalkan derajat tinggi di dunia, mereka semakin mencintainya.

(4)
Sungguh, kebajikan akan tampak lebih menarik ketika ditemukan pada orang-orang yang berkedudukan tinggi, seperti halnya sinar rembulan menjadi lebih indah ketika menyinari objek yang bagus.

Setelah mendengar bahwa dia telah menetap di tempat itu, beberapa teman dan rekan dari ayahnya datang menemuinya, tergerak karena menghargai tinggi kebajikannya. Setelah berbincang seperti biasa mengenai kesehatannya, pengunjung itu memperkenalkan dirinya kepada pertapa itu dan memberitahunya tentang hubungannya dengan pihak ayah. Kemudian terjadilah percakapan di antara mereka, di mana teman tersebut mengucapkan kata-kata yang penuh perhatian ini: “Yang Mulia mungkin telah bertindak tanpa pertimbangan, meninggalkan dunia pada zaman ini tanpa memperhatikan keluargamu dan (memelihara) garis keturunanmu.

(5)
Untuk apa engkau meninggalkan tempat tinggalmu yang kaya, mengarahkan pikiranmu pada kehidupan hutan? Mereka yang mempraktikkan kehidupan yang bajik dapat menjalankan Dharma ini di rumah mereka maupun di padang belantara.

(6,7)
Lalu, mengapau engkau menyerahkan dirimu pada kehidupan yang menyakitkan, seolah-olah merangkul penjelmaan kemiskinan ini? Engkau menopang dirimu dengan sedekah yang diperoleh dari pemberian orang asing, tidak dianggap lebih daripada seorang tunawisma.

Ditutupi dengan kain lusuh, tanpa saudara dan teman, engkau menyembunyikan diri di tempat tinggal ini di tengah-tengah hutan. Bahkan mata musuhmu sekalipun akan berlinang air mata jika mereka melihatmu dalam kondisi seperti ini.

(8)
Karena itu, kembalilah ke rumah ayahmu. Tentu saja, kekayaan hartanya harus engkau ketahui juga. Tinggalah di sana, pada saat yang sama engkau dapat memenuhi kewajiban spiritualmu dan keinginanmu untuk memiliki seorang putra yang berbudi luhur.

Karena demikianlah, sesungguhnya engkau tahu:

(9)
Bahkan rumah seorang pekerja upahan pun terasa nyaman bagai sumur air tawar, apalagi tempat tinggal mewah yang mudah diperoleh, yang gemerlap dengan kekayaan!”

Tetapi pikiran Bodhisattva telah dimurnikan oleh ambrosia yang lezat dan menenangkan, yang disebut sebagai ketidakmelekatan. Hatinya sudah berpegang teguh padanya, karena dia tahu betul perbedaan antara kehidupan seorang perumah tangga dan kehidupan hutan; dan ajakan untuk menikmati kesenangan duniawi membuatnya merasa tidak nyaman, seperti membicarakan tentang makanan kepada orang yang sedang kenyang. Maka dia menjawab:

(10)
“Engkau mengucapkan itu karena perhatianmu kepadaku, dan karena itu kata-katamu tidak terlalu membuatku merasa sedih. Namun demikian, jangan gunakan istilah ‘kenyamanan’ ketika berbicara tentang seseorang yang hidup di dunia.

(11)
Kehidupan perumah tangga adalah keadaan yang sangat tidak nyaman, terlepas dari ia memiliki uang atau tidak. Orang kaya bekerja keras untuk menjaga kekayaannya, sedangkan orang miskin bekerja keras untuk mendapatkannya.

(12)
Sekarang, karena tidak ada kenyamanan yang dapat ditemukan dalam keadaan itu, baik bagi orang kaya maupun orang miskin, maka bersenang-senang di dalamnya adalah sebuah kebodohan. Akibatnya sama seperti kejahatan.

Mengenai pernyataanmu bahwa seorang perumah tangga juga dapat menjalankan aturan-aturan Dharma, tentu saja ini benar. Tetapi menurutku itu adalah hal yang sangat sulit. Kehidupan di dunia ini penuh dengan urusan-urusan yang bertentangan dengan ajaran Dharma, dan membutuhkan banyak jerih payah. Pertimbangkanlah baik-baik, tuan.

(13)
Kehidupan perumah tangga tidak cocok bagi orang yang tidak menginginkan apa-apa, tidak cocok bagi orang yang tidak pernah berbohong, tidak cocok bagi orang yang tidak pernah menggunakan kekerasan, atau seseorang yang tidak pernah menyakiti orang lain.

Dan dia yang hatinya terikat pada kenyamanan kehidupan berumah tangga, harus berusaha untuk mengamankannya dengan cara ini.

(14)
Jika engkau mengabdikan diri pada Dharma, engkau harus meninggalkan rumahmu, dan sebaliknya, bagaimana mungkin ada Dharma bagi orang yang melekati rumahnya? Dari ketenangan, jalan Dharma memperoleh cita rasanya, sedangkan jalan seorang perumah tangga penuh dengan kesibukan dan gangguan.

(15,16)
Karena kehidupan seorang perumah tangga bertentangan dengan Dharma, siapa yang setelah mendapatkan pemahaman sejati tentang dirinya, akan menaatinya? Sungguh, dia yang karena kesenangan pernah tergoda untuk mengabaikan Dharma, akan merasa dirinya tidak memiliki pengendalian diri sama sekali untuk mendapatkan kesenangan itu.

Selain itu, mereka juga akan kehilangan reputasi baik, diikuti oleh kemalangan dan penyesalan. Karena alasan inilah, para bijaksana menghindari kehidupan seperti itu, yang mendatangkan kesenangan yang bertentangan dengan Dharma; mereka lebih melihatnya sebagai kemalangan.

Lebih jauh lagi aku harus berpikir, pernyataan bahwa hidup di dunia menghasilkan kebahagiaan hanyalah didukung oleh keyakinan (tidak didukung dengan bukti).

(17,18)
Rasa sakit yang disebabkan oleh mendapatkan kekayaan atau dengan menjaganya tidak pernah berhenti bagi perumah tangga. Dia lebih dari siapa pun rentan terhadap pembunuhan, penahanan, dan bencana lainnya. Bahkan jika seorang raja, dia tidak akan puas dengan kekayaannya, tidak lebih dari laut yang diguyur oleh hujan.

Bagaimana mungkin ada kebahagiaan dalam keadaan di mana seseorang terus-menerus merindukan objek-objek indra daripada menyempurnakan diri? Orang seperti itu dapat diibaratkan dengan seseorang yang mencoba menyembuhkan luka dengan menggosoknya.

Sesungguhnya, dalam kebenaran, aku berani mengatakan,

(19)
Biasanya, kemakmuran materi membuat perumah tangga menjadi sombong, keturunan sebagai bangsawan membuatnya angkuh, kekuatan membuatnya menjadi kasar. Kemarahannya dibangkitkan oleh kesedihan, dan kesulitan membuatnya sedih. Maka kapan kehidupan seperti itu dapat memberikan ketenangan?

Dan untuk alasan inilah aku akan membujuk Yang Mulia untuk tidak menentang tekadku.

(20)
Rumah adalah kediaman dari banyak penderitaan yang berat. Hal itu dihantui oleh ular bernama kesombongan, keangkuhan, dan hawa nafsu. Di dalamnya, kebahagiaan dari ketenangan yang indah pun hancur. Lalu siapa yang akan memilih tempat tinggal yang rapuh itu?

(21)
Sedangkan di hutan, rumah bagi orang yang tidak menginginkan apa pun, pikiran menjadi tenang, menikmati kebahagiaan dari ketidakmelekatan. Mungkinkah ada kepuasan yang sedemikian besarnya di surga milik Śakra?

(22)
Mengingat itu, aku senang berada di tengah-tengah hutan, meskipun tertutup oleh kain lusuh dan mendapatkan penghidupan melalui kebaikan hati dari orang asing. Aku tidak merindukan kebahagiaan yang dinodai oleh ketidakbenaran. Aku membencinya seperti makanan yang dilumuri racun; aku telah mendapatkan pencerahan tentang diriku.”

Kata-kata yang meyakinkan ini berhasil membuat teman ayahnya terkesan, yang kemudian menunjukkan rasa hormat yang tinggi kepada Bodhisattva dengan menjamunya makan dengan cara yang paling terhormat.

Maka, dengan cara ini, mereka yang hanya merindukan kebenaran meninggalkan kehidupan sebagai perumah tangga, memahami bahwa keadaan itu dipenuhi dengan kekhawatiran yang bertentangan dengan tujuan spiritual.

[Ketika membahas tentang kebajikan ketidakmelekatan, hal ini harus dikemukakan: “Mereka yang pernah merasakan ketidakmelekatan tidak akan kembali kepada kesenangan duniawi.”]

Versi Pāli dari cerita ini tidak ditemukan dalam Pāli Jātaka maupun dalam Cariyāpiṭaka. Keseluruhan kisah ini tidak lain adalah permohonan untuk kebajikan pelepasan keduniawian, naiṣkrama[ṇa], yang didandani dalam bentuk cerita, dan dapat berfungsi sebagai semacam pengantar untuk kisah-kisah berikutnya, di mana keadaan seorang petapa dimuliakan


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 17 – KUMBHA-JATAKA

Jātakamālā 17 – Kumbhajātakam
(Kisah Sebuah Kendi)

Jātakamālā 17 – Kumbhajātakam
(Kisah Sebuah Kendi)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Meminum minuman keras yang memabukkan adalah perbuatan yang sangat buruk, merupakan sumber dari banyak kejahatan. Mengetahui hal ini, orang-orang bajik akan menjauhkan sesama mereka dari hal buruk ini, terlebih lagi bagi diri mereka sendiri. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika Bodhisattva, dengan welas asihnya yang besar memurnikan pikirannya, yang selalu berniat membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain, mewujudkan praktik suci perilaku baik melalui perbuatan amal, kerendahan hati, pengendalian diri, dan sejenisnya; memperoleh kelahiran bermartabat sebagai Śakra, raja para dewa. Dalam kehidupan ini, meskipun dia menikmati kesenangan indria yang pantas dinikmati oleh para dewa, namun Sang Berwelas Asih dapat mengendalikan pikirannya sehingga dia tidak mengendurkan usahanya dalam menguntungkan dunia.

(1)
Mereka yang meminum anggur (minuman keras) tidak berwaspada terhadap kemakmurannya, bahkan tidak untuk kepentingan mereka sendiri. Śakra, sebaliknya, tidak hanya terbebas dari kemabukan yang berasal dari kenikmatan-kenikmatan tinggi yang dimiliki oleh dewa-dewa dengan peringkat tinggi, namun kewaspadaannya terhadap kepentingan makluk lain tetap besar seperti sebelumnya.

(2)
Ia dipenuhi dengan rasa kasih sayang terhadap para makhluk yang mengalami berbagai kemalangan, seolah-olah mereka adalah kerabatnya sendiri. Ia tidak pernah lupa untuk mengurus kepentingan orang lain, bertahan dalam tekad yang kuat dan menyadari sifatnya sendiri (yang luar biasa).

Suatu hari Bodhisattva sedang mengamati dunia manusia. Matanya, agung bagai wataknya dan tampak lembut sesuai dengan keramahannya, sambil membungkuk kepada umat manusia dengan welas asih, melihat seorang raja yang bernama Sarvamitra, yang karena pergaulan salahnya dengan teman-teman buruk yang memiliki kebiasaan minum minuman keras, dirinya bersama rakyat-rakyatnya, para warga kota dan tuan tanah. Sekarang, setelah memahami bahwa raja tidak mengetahui kesalahan dalam kebiasaan ini, dan mengetahui bahwa meminum minuman keras merupakan kesalahan besar, Sang Mahātmā, diliputi oleh welas asih yang besar, merenung, “Sungguh sayang sekali, betapa besar kesengsaraan yang telah menimpa orang ini!

(3)
Minum minuman keras, bagaikan jalan yang indah tetapi salah – karena itu adalah hal yang manis pada awalnya – menjauhkan orang-orang dari pencerahan karena gagal mengenali keburukan yang ditimbulkannya.

Lalu, apa cara yang tepat untuk bertindak pada kali ini? Aku telah menemukannya.

(4)
Orang-orang meniru perilaku seseorang yang paling utama di antara mereka; ini adalah sifat tetap mereka. Oleh karena itu, sang raja adalah orang yang harus disembuhkan, karena dari dia akan timbul kebaikan maupun keburukan bagi rakyat-rakyatnya.”

Setelah memutuskan demikian, Sang Mahāsattva mengambil wujud sebagai seorang brāhmana yang berpenampilan agung. Warnanya bersinar seperti emas murni; dia mengenakan rambutnya yang kusut dan terpilin, yang memberinya penampilan tegas; dia menutupi tubuhnya dengan pakaian kulit kayu dan kulit rusa.

Sebuah kendi berukuran sedang, penuh dengan surā, tergantung di sisi kirinya. Dalam wujud ini, dia berdiri di udara dan menampakkan dirinya kepada raja Sarvamitra, ketika dia sedang duduk bersama rombongannya di aula pertemuannya, dan pembicaraan mereka (raja dan rombongannya) berubah menjadi seperti menghadiri kegiatan meminum surā, āsava, maireya, rum, dan minuman keras yang dicampur madu. Saat melihatnya, orang-orang yang berkumpul, tergerak oleh keterkejutan dan rasa hormat, bangkit dari tempat duduk mereka, dan dengan hormat menangkupkan telapak tangan mereka kepadanya. Setelah itu, dia mulai berbicara dengan suara nyaring, menyerupai suara dalam dari awan yang besar karena hujan:

(5)
“Lihat, kendi ini terisi hingga penuh,
Bunga-bunga tertawa di lehernya;
Hiasannya yang indah diukir dengan tangan;
Siapakah yang akan membeli kendi ini dariku?

(6)
Aku memiliki kendi yang dihiasi dengan karangan bunga lebar bagai gelang, berkibar tertiup angin. Lihatlah betapa anggun penampilannya, dihiasi dengan deadunan yang lembut. Siapakah di antara kalian yang ingin memilikinya dengan cara membeli?”

Setelah itu, raja itu, yang rasa keingintahuannya bangkit dengan keheranan, dengan hormat menatap matanya dan mengangkat telapak tangannya yang tertangkup, mengucapkan kata-kata berikut ini:

(7)
“Bagaikan matahari pagi engkau menampakkan diri kepada kami dengan kilaumu, keanggunanmu yang bagaikan rembulan, dan sosokmu yang bagaikan beberapa Muni. Berkenanlah untuk memberi tahu kami, dengan apa namamu dikenal di dunia. Kualitas termasyhurmu yang berbeda membuat kami tidak yakin tentangmu.”

Śakra berkata:

(8)
“Setelah ini engkau akan mengenalku dan siapa diriku, tetapi sekarang niatkanlah untuk membeli kendi ini dariku – setidaknya jika engkau tidak takut terhadap penderitaan di kehidupan berikutnya atau bencana berat yang masih akan terjadi di sini.”

Raja menjawab: “Sungguh, perkenalan berupa tawar-menawar seperti yang dilakukan oleh Yang Mulia, belum pernah aku lihat sebelumnya.

(9, 10)
Cara yang biasa menawarkan benda untuk dijual di antara manusia adalah dengan memuji kualitas baik mereka dan menyembunyikan kesalahan mereka. Sungguh, sikap yang engkau lakukan itu mencerminkan orang-orang sepertimu, yang membenci kebatilan. Sebab orang yang berbudi luhur tidak akan pernah meninggalkan kejujuran, bahkan ketika dalam kesusahan sekalipun!

(11)
Beritahu kami, Yang Mulia, dengan apa guci ini diisi. Dan apakah yang diinginkan oleh makhluk perkasa seperti engkau dari kami, melalui pertukaran barang ini?”

Śakra berkata: “Dengarlah, penguasa yang perkasa.

(12)
Kendi itu tidak diisi dengan air, baik yang didapatkan dari awan atau diambil dari aliran suci; juga tidak dengan madu harum yang dikumpulkan dari tangkai sari bunga; atau dengan mentega yang sangat baik; juga dengan susu, yang warnanya sama dengan sinar rembulan yang membangunkan bunga lili di malam tak berawan. Kendi ini diisi dengan minuman keras yang tidak baik. Sekarang, pelajarilah kebajikan dari minuman keras ini.

(13)
Dia yang meminumnya akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri, sebagai akibat dari mabuk yang mengacaukan pikiran; karena perhatiannya akan mengendur, dia akan tersandung bahkan di atas tanah datar sekalipun; dia tidak akan mampu membedakan antara makanan yang diperbolehkan dan yang dilarang, dan akan memakan apa pun yang dia peroleh. Sifat seperti itulah, cairan di dalam kendi ini. Belilah kendi yang terburuk ini!

(14)
Minuman keras ini memiliki kekuatan untuk menghilangkan kesadaranmu, sehingga membuat engkau kehilangan kendali atas pikiranmu dan berperilaku bagai binatang buas, membuat musuh-musuhmu menertawakanmu. Sebab, engkau akan menari di tengah-tengah pertemuan, mengiringi dirimu dengan suara-suara dari mulutmu. Karena sifatnya seperti itu, engkau layak membeli minuman keras di dalam kendi ini, yang tidak mengandung kebaikan apa pun!

(15)
Bahkan orang yang tahu malu pun akan kehilangan rasa malu jika meminumnya, dan tidak lagi terkekang dalam berpakaian; telanjang seperti para Nirgrantha, mereka akan berjalan dengan berani di jalan besar yang penuh sesak dengan orang-orang. Sifat seperti itulah, minuman keras yang terkandung dalam kendi ini dan sekarang ditawarkan untuk dijual.

(16)
Meminumnya bahkan dapat menyebabkan seseorang terbaring lelap tanpa akal di atas jalan milik raja, tubuh mereka kotor dengan makanan yang mereka muntahkan dan wajah mereka dijilat oleh anjing-anjing dengan tanpa rasa malu. Demikianlah minuman ini, menyenangkan untuk dibeli, yang telah dituang ke dalam kendi ini!

(17)
Bahkan seorang wanita yang menikmatinya dapat terbawa mabuk ke dalam keadaan yang sedemikian rupa, sehingga dia akan mengikat orangtuanya ke pohon dan mengabaikan suaminya, berharap dia kaya raya bagai Kubera. Inilah yang diperdagangkan di dalam kendi ini!

(18)
Minuman keras itu, ketika diminum yang membuat para Vṛṣṇaya dan Andhakā kehilangan akal sehat mereka sampai tingkat ini, tanpa memedulikan hubungan mereka, mereka menghancurkan satu sama lain dengan tongkat mereka, minuman dengan efek menggilakan itu dimasukkan ke dalam kendi ini!

(19)
Kecanduan sehingga tempat tinggal seluruh keluarga yang berasal dari derajat tertinggi pun binasa, demikianlah minuman keras yang telah menyebabkan kehancuran bagi keluarga-keluarga yang kaya raya, berada di dalam kendi ini dan ditawarkan untuk dijual.

(20)
Di sini, di dalam kendi inilah yang membuat lidah dan kaki tidak terkendali, menangguhkan setiap tangis dan tawa; yang karenanya mata terlihat berat dan kusam seperti orang yang kerasukan roh jahat; sesuatu yang merusak pikiran seseorang, harus merendahkannya menjadi objek penghinaan.

(21)
Di dalam guci inilah dijual sesuatu yang mengganggu indra orang-orang yang berusia tua sekalipun dan membuat mereka malu untuk melanjutkan jalan yang menuju kebaikan mereka, mendorong mereka untuk banyak bicara tanpa tujuan dan gegabah.

(22)
Inilah kesalahan dari minuman ini, bahwa para dewa tua, menjadi ceroboh, kehilangan kemegahan mereka oleh raja para dewa, dan tenggelam di dalam samudra mencari pertolongan. Dengan minuman itulah kendi ini terisi. Maka, ambillah!

(23)
Bagai perwujudan dari kutukan, ia berada di dalam toples ini, ia dengan kekuatan kepalsuan yang diucapkan dengan kepercayaan diri, seolah-olah itu adalah kebenaran, dan tindakan terlarang dilakukan dengan gembira, seolah-olah itu seharusnya dilakukan. Ialah yang membuat seseorang berpegang baik pada apa yang buruk, dan bepegang buruk pada apa yang baik.

(24)
Maka, belilah penghasil kegilaan ini, tempat kediaman bencana ini, bencana yang menjelma ini, ibu dari perbuatan-perbuatan buruk ini, satu-satunya jalan salah yang tak tertandingi ini, kegelapan batin yang mengerikan ini.

(25)
Belilah dariku, oh baginda, minuman yang mampu menghilangkan indra manusia sepenuhnya, sehingga, tanpa mempedulikan kebahagiaan atau keadaannya di masa depan, dia dapat menyerang ayah atau ibunya yang tidak bersalah atau seorang pertapa suci.

(26)
Begitulah minuman keras ini, yang dikenal di antara manusia dengan nama surā, wahai penguasa manusia, yang dengan kemegahanmu menyamai para dewa (surā). Biarkanlah dia berusaha untuk membelinya, yang bukan pendukung kebajikan.

(27)
Orang-orang, karena kecanduan minuman keras ini, menjadi terbiasa dalam berperilaku buruk, dan akibatnya akan jatuh ke jurang neraka yang mengerikan, atau terlahir sebagai binatang maupun pretā yang menyedihkan. Kalau begitu, siapa yang akan memutuskan untuk melihat minuman keras ini?

(28)
Dan, sedikit meminum minuman keras yang memabukkan ini sekalipun, tetap saja sifat buruk itu menghancurkan perilaku baik dan pemahaman yang baik dari mereka yang melewati kelahiran sebagai manusia. Terlebih lagi, setelah itu akan mengarah pada kelahiran di neraka Avīci yang luar biasa, terbakar dengan api yang menyala-nyala, atau di alam para arwah, atau di dalam tubuh binatang buas yang keji.

(29)
Singkatnya, meminum ini menghancurkan setiap kebajikan; mematikan perilaku baik (śīla), secara paksa membunuh reputasi baik, menghilangkan rasa malu, dan mengotori batin. Bagaimana seharusnya engkau membiarkan dirimu meminum minuman keras yang memabukkan untuk seterusnya, wahai raja?

Melalui kata-kata Śakra yang meyakinkan dan penjelasannya yang kuat, sang raja menjadi sadar terhadap kesalahan meminum minuman keras yang memabukkan. Dia membuang keinginan untuk mengambilnya, dan berbicara kepada lawan bicaranya:

(30)
“Seperti seorang ayah yang penuh kasih sayang akan sudi untuk berbicara dengan putranya, atau seorang guru kepada muridnya sebagai imbalan atas kedisiplinan dan kepatuhannya, atau seorang Muni yang mengetahui perbedaan antara cara hidup yang baik dan yang buruk, makna semacam itu disampaikan dalam kata-kata baik yang telah engkau ucapkan kepadaku karena kebajikan. Untuk alasan inilah aku akan berusaha untuk menghormatimu sebagaimana mestinya, melalui suatu perbuatan.

Sebagai imbalan atas kalimat-kalimat yang diucapkan dengan baik, Yang Mulia setidaknya akan berkenan menerima penghormatan dari kami ini.

(31)
Aku memberimu lima desa yang luar biasa, seratus budak wanita, lima ratus sapi, dan sepuluh kereta dengan kuda terbaik yang digunakan untuk mereka. Sebagai pembicara kata-kata yang baik, engkau adalah seorang guru bagiku.

Atau, jika engkau menginginkan hal lain untuk dilakukan olehku, Yang Mulia dapat berbaik hati sekali lagi dengan memerintahkan demikian.”

Śakra menjawab:

(32, 33)
“Aku tidak menginginkan desa atau anugerah lainnya. Ketahuilah bahwa aku adalah raja para dewa, wahai raja. Tetapi penutur kata-kata kebajikan harus dihormati dengan menerima kata-katanya dan bertindak sesuai dengannya.

Karena inilah jalan yang menuju kepada kemuliaan dan kebahagiaan, dan setelah kematian menuju berbagai bentuk kebahagiaan. Oleh karena itu, buanglah kebiasaan meminum minuman yang memabukkan. Berpegang teguh pada Dharma, maka engkau akan mengambil bagian dari surgaku.”

Setelah berbicara demikian, Śakra menghilang di tempat, dan raja, dengan para penduduk kota dan penghuninya, berhenti dari kebiasaan meminum minuman keras.

Maka dengan cara ini, orang yang berbudi luhur, mengetahui penggunaan minuman keras yang memabukkan sebagai tindakan yang sangat buruk, disertai dengan banyak kejahatan, akan menjauhkan sesama mereka dari keburukan ini, terlebih lagi bagi diri mereka sendiri.

[Dan ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata, ini juga harus dikemukakan: “Dengan cara ini Sang Bhagavā berhati-hati terhadap kebaikan dunia yang sudah ada dalam kelahiran sebelumnya.”]


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 16 – VARTAKAPITAKA-JATAKA

Jātakamālā 16 – Vartakāpītakajātakam
(Kisah Anak Burung Puyuh)

Jātakamālā 16 – Vartakāpītakajātakam
( Kisah Anak Burung Puyuh )

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Bahkan api sekalipun tidak dapat menghancurkan kekuatan kata-kata yang dimurnikan dalam kebenaran. Dengan mengingat hal ini, seseorang hendaknya tergerak untuk mengucapkan kebenaran. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Pada suatu ketika, Sang Bodhisattva tinggal di sebuah bagian hutan sebagai seekor burung puyuh muda. Dia baru saja menetas dari telur beberapa malam sebelumnya dan tidak bisa terbang karena sayapnya yang lembut masih bertumbuh. Tubuhnya juga sangat kecil dan lemah, dengan beberapa anggota badan yang kecil sehingga hampir tidak terlihat. Dia tinggal bersama saudara-saudaranya di sarang yang dibangun oleh induknya dengan sangat hati-hati, yang mampu menahan air berkat lapisan rumput yang kuat. Sarang ini ditempatkan pada tanaman merambat di dalam semak belukar. Meskipun terlahir sebagai hewan, dia tidak kehilangan kesadarannya terhadap Dharma. Dia tidak akan memakan makhluk hidup yang diberikan oleh ayah dan ibunya kepada mereka. Secara khusus dia menyokong dirinya melalui makanan nabati yang dibawa oleh induknya seperti biji-bijian, buah ara dari pohon beringin, dan sebagainya. Sebagai akibat dari makanan yang kasar dan tidak mencukupi ini, tubuhnya tidak bertumbuh dan sayapnya tidak berkembang. Sebaliknya, burung puyuh muda lainnya yang memakan semua yang ditawarkan kepada mereka, tumbuh menjadi kuat dan memiliki sayap yang dewasa. Demikianlah aturan yang berlaku:

(1)
Dia yang tidak menghiraukan aturan-aturan Dharma akan memakan segala sesuatu dan akan berkembang dengan nyaman; tetapi mereka yang menghidupi diri sesuai dengan Dharma akan memilih makanannya dengan cermat dan menanggung kesukaran di kehidupan ini.

(2)
Sungguh mudah penghidupan burung gagak, binatang yang tidak tahu malu dan terbawa nafsu, yang melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Tetapi ini adalah kehidupan yang sangat salah.

(3)
Sedangkan makhluk yang rendah hati yang selalu mengejar kemurnian, yang tahu malu dan berhati-hati, dan yang mempertahankan dirinya hanya melalui cara hidup yang murni, memiliki penghidupan yang sulit.

Sementara mereka hidup seperti ini, kebakaran hutan besar terjadi di tempat yang tidak jauh dari mereka, dicirikan dengan suara besar yang tiada henti-hentinya, dengan munculnya awan asap yang mengepul, kemudian oleh percikan api yang terbang berserakan dari garis api. Kebakaran ini membuat para hewan ketakutan ― seolah menghantui hutan, merusak pepohonan dan semak belukar.

(4)
Api dibangkitkan oleh pusaran angin, yang seolah-olah mendorongnya untuk melakukan berbagai macam dan bentuk tarian, mengaduk-aduk lengan apinya yang merentang lebar, melompat menggoyangkan rambut asapnya yang berantakan dan berderak, menghilangkan keberanian dan kekuatan mereka (para hewan dan tumbuhan).

(5)
Ia melompat, seolah-olah sedang murka, ke atas rerumputan yang bergetar akibat sentuhan keras angin yang kencang, seolah-olah akan terbang; dan menginginkan mereka melalui percikannya yang berkilauan, membakar mereka.

(6)
Hutan itu, dengan gerombolan burung yang terbang menghambur dengan ketakutan dan kecemasan, dengan hewan berkaki empat yang ketakutan dan berkeliaran ke semua sisi, dengan asap tebal yang menyelimutinya, dan dengan suara derak api yang tajam, seolah-olah meraungkan kesakitan yang kuat.

Kobaran api itu, didorong ke depan seolah-olah ditekan oleh angin kencang, mengikuti rerumputan dan semak-semak, akhirnya mencapai sekitar sarang itu. Pada saat itu, burung-burung puyuh muda itu menjerit bingung dan ketakutan. Masing-masing memikirkan dirinya sendiri, bukan yang lain, dan tiba-tiba terbang secara bersama-sama. Hanya Bodhisattva, karena tubuhnya yang sangat lemah dan karena belum memiliki sayap, tidak melakukan upaya seperti itu. Namun Sang Mahāsattva mengetahui kekuatannya dan sama sekali tidak terganggu ketika api mendekat dengan cepat untuk melalap sarangnya, dia menyapanya dengan kata-kata yang lembut ini:

(7)
“Kakiku tidak cukup kuat untuk menyandang nama itu, demikian pula sayapku tidak bisa membuatku terbang. Kedua indukku juga telah terbang akibat gangguan yang disebabkan olehmu. Aku tidak menemukan apapun yang layak untuk ditawarkan kepada tamu sepertimu di sini. Untuk alasan inilah, engkau harus berbalik dari sini, wahai api.”

Ketika Sang Mahāsattva telah mengucapkan kata-kata ini, dimurnikan oleh kekuatan kebenaran,

(8)
Api itu, meskipun digerakkan oleh angin, meskipun mengamuk di bawah kayu kering yang bercampur dengan rerumputan gersang, tiba-tiba mereda, seolah-olah terhalang oleh sungai yang meluap setelah mendengar ucapannya.

(9)
Sampai hari ini, setiap kebakaran hutan yang mencapai tempat terkenal di Himalaya itu, betapapun tingginya nyala api, betapapun kuatnya angin, kebakaran itu akan mereda dan kehilangan kekuatannya seperti ular buas yang dipengaruhi oleh mantra.

Untuk alasan apa, kemudian, (kisah) ini dikemukakan? Ini akan dikatakan.

(10)
Bagai laut yang tidak dapat melampaui batasnya, atau bagai orang berbudi yang tidak dapat mengabaikan Dharma yang diajarkan oleh raja para Muni, demikian pula nyala api tidak dapat melanggar perintah orang-orang yang jujur. Mengetahui hal ini, seseorang hendaknya tidak meninggalkan kebenaran.

Maka, dengan cara inilah, bahkan api sekalipun tidak dapat kekuatan kata-kata yang dimurnikan dalam kebenaran. Mengingat hal ini, seseorang hendaknya tergerak untuk mengucapkan kebenaran.

[Kisah ini juga harus diceritakan, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata.]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 15 – MATSYAJATAKA

Jātakamālā 15 – Matsyajātakam
(Kisah Seekor Ikan)

Jātakamālā 15 – Matsyajātakam
(Kisah Seekor Ikan)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Mereka yang melakukan perbuatan baik akan berhasil mewujudukan cita-cita mereka pada kehidupan ini, dan terlebih lagi di kehidupan selanjutnya. Karena alasan inilah, perilaku yang murni harus diupayakan, seperti yang akan diajarkan berikut ini.

Konon, Bodhisattva terlahir sebagai pemimpin para ikan, tinggal di sebuah danau kecil yang airnya indah berhiaskan berbagai teratai dan lili air berwarna putih, merah, dan biru. Danau itu dihiasi dengan pasangan angsa dan bebek, dan ditutupi dengan bunga-bunga dari pohon yang tumbuh di perbatasannya. Berkat praktik (kebajikannya) dalam berbagai kelahiran sebelumnya, yang terus-menerus membantu makhluk lain, dia bertekad untuk bertindak hanya demi kebaikan dan kepentingan makhluk lain, sekalipun dia terlahir sebagai seekor ikan dalam kehidupan ini ini.

(1)
Melalui kebiasaan dalam waktu yang lama, perbuatan baik atau buruk melekat pada makhluk hidup sedemikian rupa sehingga mereka akan melakukannya kembali dalam kelahiran barunya tanpa usaha apa pun, seolah saat sedang tidur sekalipun.

Sang Mahāsattva menyayangi ikan-ikan di kolam itu seolah-olah mereka adalah keturunannya sendiri, menunjukkan kebaikan hatinya kepada mereka dengan berbagai cara: melalui pemberian, kata-kata yang baik, memperhatikan kepentingan mereka, dan sebagainya.

(2)
Dia mencegah mereka agar tidak berkeinginan untuk melukai satu sama lain, menumbuhkan kasih sayang satu sama lain. Berkat usaha dan kebijaksanaannya, Bodhisattva membuat mereka melupakan kebiasaan mereka untuk mencari makan dengan cara yang kejam.

(3)
Berada dalam perlindungannya, kawanan ikan itu menjadi makmur, bagaikan sebuah kota yang diperintah oleh seorang raja yang bertindak dengan cara yang benar, terbebas dari segala jenis kemalangan.

Suatu ketika, karena kurangnya nasib baik para makhluk dan kelalaian para dewa yang bertanggung jawab atas hujan, dewa tidak menurunkan hujan sesuai jumlah yang seharusnya. Akibat hujan jarang turun, danau itu tidak terisi seperti sebelumnya, yang biasanya diisi dengan air baru berwarna kuning oleh bunga-bunga pohon kadamba yang mengembang. Setelah itu, ketika musim panas tiba, sinar matahari yang semakin membara, meminum air dari danau itu hari demi hari, seolah-olah letih karena kelelahan; begitu pula bumi yang dipanaskan oleh sinar-sinar itu; demikian pula angin, yang seolah-olah ditemani oleh api, merindukan penyegaran. Ketiganya meredakan dahaga mereka di dalam danau, hingga pada akhirnya membuat (danau itu) berubah menjadi genangan kolam.

(4)
Di musim panas, matahari yang menyala-nyala, angin yang menyengat seolah sedang memancarkan api, dan bumi yang lelah karena demam, mengeringkan air, seolah-olah mereka akan meredakan amarah mereka.

Kawanan ikan tersebut telah berada dalam kondisi yang menyedihkan. Tidak hanya gerombolan burung yang terus menghantui dari tepi danau, bahkan gerombolan burung gagak mulai mengamati mereka sebagai mangsanya, karena mereka tidak bisa melakukan apa-apa selain berbaring dan bermegap-megap. Bodhisattva merasakan penderitaan dan kesedihan kelompoknya, dan tergerak oleh welas asih, merenungi: “Oh! Malapetaka telah menimpa ikan-ikan malang ini!

(5)
Air semakin berkurang setiap hari, seolah-olah sedang berlomba dengan sisa usia makhluk hidup, dan awan diperkirakan tidak akan datang sama sekali untuk waktu yang lama.

(6, 7)
Tidak ada kesempatan untuk melarikan diri; dan jika ada, siapa yang akan membawa kami ke tempat lain? Selain itu, musuh-musuh kami, diundang oleh bencana yang kami alami, sudah berkumpul untuk melawan kami. Tidak diragukan lagi, mereka sedang menunggu sisa air mengering untuk melahap ikan-ikan yang bersujud di bawah mataku ini.

Sekarang, tindakan apa yang tepat untuk dilakukan di sini?” Mengingat demikian, Sang Mahātmā hanya melihat satu cara untuk menolong, yakni dengan memanfaatkan kebenarannya. Oleh karena itu, sementara berduka oleh welas asih di dalam pikirannya dan menghela nafas yang panjang dan dalam, dia melihat ke atas ke langit dan berbicara:

(8)
“Sejujurnya aku tidak mengingat, betapapun aku sudah merenungkannya, bahwa aku pernah menyakiti makhluk hidup mana pun, bahkan dalam keadaan tersulit sekalipun. Dengan kekuatan kebenaran ini, semoga raja para dewa mengisi wadah-wadah air dengan hujannya.”

Ketika Sang Mahātmā mengucapkan kata-kata ini, terjadilah keajaiban yang disebabkan oleh kekuatan kebenarannya yang digabungkan dengan simpanan jasa kebajikannya, beserta bantuan para dewa, naga, dan yakṣa yang menggunakan kekuatan mereka. Di seluruh bagian langit tampak awan hujan, muncul pada waktu yang tepat meskipun bukan pada musimnya. Mereka melayang rendah, dipenuhi oleh air hujan; suara guntur yang dalam dan lembut terdengar dari mereka; sementara kilatan petir menghiasi puncaknya yang besar dan berwarna biru tua, menyebar di langit, seolah-olah sedang saling berpelukan dengan kepala dan tangan mereka secara perlahan mendekat.

(9)
Seperti bayangan gunung yang dipantulkan oleh langit, awan hitam muncul, mengelilingi cakrawala dan menimbulkan kegelapan dari atas.

(10)
Suara gemuruh petir kini bergema di sekitar, mendorong burung merak untuk mengucapkan teriakan kegembiraan dan melakukan berbagai gerakan tarian, seolah mereka memuji awan gemawan. Hiasannya ini, bersama dengan kilatan petir yang tak henti-hentinya memberikan kegembiraan dan tawa yang luar biasa yang menyorot gumpalan awan itu.

(11)
Kemudian awan melepaskan aliran hujan, yang jatuh seperti mutiara yang terlepas dari cangkangnya. Debu mereda, dan bau yang kuat menyebar dengan sendirinya, terbawa oleh angin yang mengiringi hujan petir.

(12)
Sinar matahari, meskipun kekuatannya telah mencapai tingkat tertingginya di musim panas, sekarang tersembunyi, dan arus air mengalir dari pegunungan, meluapi tepiannya dengan deretan buih yang mereka simpan.

(13)
Dan kilatan petir tipis, yang menyinari cakrawala lagi dan lagi dengan cahaya berwarna kuning keemasannya, menampilkan tariannya, bergembira dengan musik instrumen awan.

Sekarang, sementara arus air bening yang mengalir ke danau dari semua sisi dan memenuhinya, burung-burung gagak dan burung-burung lainnya telah terbang menjauh sejak awal munculnya badai petir. Kawanan ikan itu memulihkan harapan mereka untuk hidup, merasa sangat bersukacita. Namun Bodhisattva, meski hatinya diliputi kegembiraan, takut bahwa hujan akan berhenti, kemudian berbicara kepada Parjanya berulang-ulang:

(14)
“Mengaumlah, Parjanya, mengaumlah, dengan nyaring dan dalam! hilangkan kegembiraan burung gagak, curahkan airmu seperti permata yang diberkahi dengan kecemerlangan kilat yang menyala-nyala, pendamping mereka.”

Ketika Śakra, raja para dewa, mendengar hal ini, dia menjadi sangat heran dan pergi menemuinya secara pribadi. Memujinya dan berbicara:

(15)
“Sungguh, ini adalah kekuatanmu, efek dari kebenaranmu yang mendalam, wahai raja para ikan yang perkasa, yang membuat awan hujan ini mencurahkan airnya dengan suara guntur yang indah, seolah-olah mereka adalah wadah air yang dituang.

(16)
Sungguh aku harus dipersalahkan – atas kurangnya perhatianku – jika aku lalai mematuhi tindakan makhluk sepertmu, yang bertindak demi kepentingan para makhluk.

(17)
Karena itu, mulai sekarang engkau tidak perlu cemas lagi. Aku berkewajiban untuk membantu orang yang berbudi luhur dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Maka wilayah ini, yang adalah tempat tinggal dari kebajikanmu, tidak akan pernah lagi didatangi oleh wabah yang sama di kemudian waktu.”

Setelah memujinya dengan baik, dia menghilang dari tempat itu. Dan danau itu memperoleh peningkatan jumlah air yang sangat besar.

Dengan cara ini, mereka yang melakukan perbuatan baik akan berhasil mewujudukan cita-cita mereka pada kehidupan ini, dan terlebih lagi di kehidupan selanjutnya. Karena alasan inilah, perilaku yang murni harus diupayakan.


[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 14 – SUPARAGAJATAKA

Jātakamālā 14 – Supāragajātakam
(Kisah tentang Suparaga)

Jātakamālā 14 – Supāragajātakam
(Kisah tentang Suparaga)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Ketika berdiam dalam Dharma, mengucapkan kebenaran sudah cukup untuk menghilangkan malapetaka. Maka apa lagi yang perlu dikatakan untuk menjelaskan kebaikan dari menjalankan Dharma? Mengetahui hal ini, seseorang harus menaati Dharma. Inilah yang akan diajarkan sekarang.

Dalam salah satu kelahiran lampaunya, Bodhisattva merupakan seorang nahkoda yang sangat terampil. Sebagai sifat para Bodhisattva yang tidak berubah, berkat ketajaman alamiah dari pikiran mereka, apapun cabang ilmu pengetahuan atau jenis seni yang ingin mereka ketahui, mereka akan melampaui yang paling bijaksana di dunia.

Oleh karena itu, Sang Mahatman memiliki setiap kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi nahkoda andal. Mengetahui jalan gemilang para dewata, dia tidak pernah bingung dengan wilayah langit karena mengenal tanda-tanga langit yang berbeda, yang permanen, yang sesekali, dan yang ajaib dengan sempurna. Ia terampil dalam menetapkan waktu tertentu adalah tepat atau tidak tepat. Melalui berbagai pertanda, mengamati ikan, warna air, jenis tanah, burung, bebatuan, dan sebagainya, dia tahu bagaimana memastikan bagian laut dengan benar. Lebih jauh lagi, ia adalah seseorang yang waspada, tidak mudah mengantuk dan tertidur; mampu menahan kelelahan akibat dingin, panas, hujan, dan sejenisnya. Ia berhati-hati dan sabar.

Dia terampil dalam seni mengemudikan kapal dan membawanya pulang, menjalankan profesinya sebagai orang yang mengantar para pedagang menuju tujuan mereka melalui laut. Dan karena pelayarannya sangat berhasil, dia diberi nama Supāraga. Pelabuhan tempat dia tinggal memiliki nama yang sama dengannya, yang sekarang dikenal sebagai Sūpāraga. Bahkan di masa tuanya, para pedagang yang menginginkan perjalanan lancar akan meminta bantuannnya, yang terkenal sebagai orang yang beruntung. Mereka memohon dengan sangat hormat, mengajaknya ikut di kapal mereka.

Maka, suatu kali terjadi bahwa para pedagang yang berdagang dengan Tanah Emas, yang datang dari Bharukaccha, merindukan perjalanan yang makmur, tiba di kota Supāraga dan meminta Bodhisattva untuk berangkat bersama mereka. Dia menjawab mereka:

(1)
“Bantuan apa yang kalian harapkan dari dalam diriku?
Usia tua telah menguasaiku, membuat penglihatanku berkurang;
dan sebagai akibat dari banyaknya kerja keras yang telah aku tanggung, perhatianku menjadi lemah.
Bahkan dalam pekerjaan fisik, aku merasa kekuatanku telah hampir habis.”

Para pedagang berkata: “Kami sangat mengenal kondisi tubuh Yang Mulia. Tetapi kami mengetahui bahwa engkau sudah tidak mampu untuk bekerja, sehingga kami tidak akan menyusahkanmu atau memberikan tugas apa pun sebagai tanggung jawabmu. Kami mencarimu karena alasan lain.

(2)
Debu yang disentuh dan disucikan oleh kakimu ― yang bagai teratai itu ―
akan membawa keberuntungan bagi kapal kami, sehingga perjalanan di atas laut akan menjadi nyaman,
bahkan jika diserang oleh bahaya besar sekalipun.
Dengan pemikiran inilah kami datang untuk mencarimu.”

Sang Mahātmā, meskipun tunduk pada lemahnya usia tua, naik ke atas kapal itu karena berwelas asih kepada mereka. Keikutsertaannya membangkitkan kegembiraan bagi seluruh pedagang itu, karena mereka merasa yakin bahwa perjalanan ini akan berhasil. Kemudian, dalam perjalanan, mereka tersesat di tempat kediaman para ular yang merupakan pasukan Asura. Pātāla yang sulit untuk ditembus, wadah air yang sangat besar, samudera besar yang dihantui oleh berbagai jenis ikan dan menggemakan suara ombak yang tidak pernah tenang, sedangkan angin terus mendorong sehingga mereka terbawa olehnya. Di bagian dasarnya terbentang berbagai jenis tanah yang menyembunyikan bermacam-macam batu mulia dan permukaannya dihiasi oleh berbagai buih seolah membentuk rangkaian bunga.

(3)
Rona biru tua yang seperti tumpukan batu safir terhampar di atas permukaan air,
seolah-olah langit meleleh oleh panasnya pancaran sinar matahari.
Mereka kehilangan pandangan terhadap garis pantai
dan berlari di atas lautan dalam yang mengelilingi mereka di semua sisi.

Setelah mereka berada di laut lepas, pada sore hari saat sinar matahari mulai kehilangan terangnya, suatu peristiwa besar dan sangat menakutkan muncul kepada mereka.

(4)
Tiba-tiba laut menjadi mengerikan. Angin kencang muncul,
menyebabkan suara air yang menakutkan, mencambuk permukaannya
sehingga tertutupi oleh buih yang tersebar oleh ombak yang pecah
Seluruh laut dibuat gaduh dari dasarnya.

(5)
Terguncang oleh badai, massa air yang sangat besar diaduk
dan digulung dengan kecepatan yang luar biasa.
Lautan menjadi tampak mengerikan,
seperti bumi dengan pegunungannya yang bergetar pada saat akhir dunia.

(6)
Seperti ular berkepala banyak yang mendesis,
awan berwarna hitam kebiruan dengan lidah api petirnya menutupi matahari,
tanpa henti menghasilkan suara gemuruh yang mengerikan.

(7)
Matahari, yang pancaran sinarnya disembunyikan oleh awan tebal, terbenam secara perlahan.
Kemudian kegelapan memunculkan dirinya, memanfaatkan waktu malam, dan meningkat.

(8, 9)
Dihujani oleh pancuran anak panah air hujan, ketinggian laut meningkat seolah-olah sedang marah,
dan kapal yang malang itu sangat terguncang seolah-olah sedang merasa takut,
membuat para penumpangnya merasa ketakutan, yang memunculkan sifat asli mereka
yang berbeda-beda sesuai dengan kualitas yang melekat pada mereka.

Beberapa diliputi oleh penderitaan dan tidak bisa berkata-kata karena ketakutan,
beberapa berperilaku berani dan sibuk bekerja untuk menghindari bahaya,
dan beberapa tenggelam dalam doa kepada dewa pelindung mereka.

Sekarang, angin kencang membuat air laut naik dan kapal melaju mengikuti arus. Para pedagang tidak menemukan daratan selama berhari-hari, mereka juga tidak mengamati pertanda-pertanda laut yang menguntungkan. Pertanda-pertanda yang mereka lihat, karena adalah hal baru bagi mereka, membuat mereka menjadi semakin sedih dan bingung karena ketakutan dan keputusasaan. Tetapi Supāraga, Sang Bodhisattva, menghibur mereka dengan mengatakan: “Kalian tidak boleh bingung dengan laut yang terombang-ambing dalam keadaan kacau; bukankah kita sedang menyeberangi samudra besar? Tidak ada alasan yang masuk akal bagi Yang Mulia untuk menikmati penderitaan. Mengapa?

(10, 11)
Kejahatan tidak dapat disingkirkan oleh kesedihan; oleh karena itu janganlah berkecil hati.
Tetapi dengan keberanian, mereka yang bijaksana melakukan apa yang harus dilakukan
untuk mengatasi berbagai kesulitan tanpa kesulitan.

Maka, singkirkanlah kesedihan dan kekesalan itu, mulailah bekerja,
manfaatkanlah kesempatan untuk bekerja.
Energi dari orang bijak, yang dikobarkan oleh keteguhan pikiran,
adalah tangan yang menggenggam keberhasilan dalam berbagai hal.

Hendaknya kalian masing-masing bertekad untuk melakukan tugas khusus.” Dan para pedagang, dengan cara ini dikuatkan oleh Sang Mahātmā, merindukan pemandangan daratan dan melihat ke bawah laut, melihat makhluk-makhluk yang memiliki sosok manusia dan tampak seolah-olah mengenakan baju zirah perak; mereka melihat makhluk-makhluk itu menyelam ke atas dan ke bawah permukaan air. Ketika mereka telah mempertimbangkan dengan baik sosok dan pertanda makhluk-makhluk tersebut, mereka memberi tahu Supāraga tentang fenomena itu, mengungkapkan keheranan mereka. “Sesungguhnya, di sini kita bertemu di lautan luas dengan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini sebenarnya adalah

(12)
Beberapa makhluk yang tidak seperti prajurit para asura, mengenakan baju zirah perak,
dengan penampilan garang dan hidung buruk rupa yang menyerupai kuku berkaki empat;
sepertinya mereka sedang berolahraga di air laut,
tanpa henti menembak dan menyelam ke atas dan ke bawah permukaannya.”

Supāraga berkata: “Mereka bukan manusia maupun asura, melainkan ikan, pastinya. Janganlah takut pada mereka. Lagipula,

(13)
Kita terdorong jauh dari kedua pelabuhan. Ini adalah laut yang disebut Khuramālin.
Karena itu, kalian harus mencoba untuk berputar kembali.”

Tetapi mereka tidak dapat berbelok karena derasnya arus laut dan angin kencang yang terus berhembus mengejar mereka, mendorong kapal ke arah yang sama. Dan saat mereka maju lebih jauh ke laut, mereka melihat laut lainnya yang bersinar dengan kilau perak dan tampak cerah dengan kumpulan busa putih pada ombaknya. Melihat pemandangan yang menakjubkan ini, mereka bertanya kepada Supāraga:

(14)
“Laut besar apakah ini, yang seolah-olah mengenakan kain linen putih halus
dan menyelubungi perairannya dengan buihnya?
Terlihat menampung sinar bulan yang cair di permukaannya,
dan seolah-olah menunjukkan wajah tertawa di sekelilingnya.”

Supāraga berkata: “Aduh! kita menembus terlalu jauh.

(15)
Itu adalah laut Dadhimālin, yang disebut sebagai ‘samudra-susu’.
Tidaklah bijaksana untuk melangkah lebih jauh,
setidaknya jika masih mungkin untuk kembali.”

Para pedagang berkata: “Sudah tidak mungkin mengurangi kecepatan kapal, apalagi mengubah arahnya. Kapal didorong terlalu cepat oleh arus, dan angin bertiup berlawanan.”

Sekarang, setelah menyeberangi lautan itu, para pedagang melihat laut lain, yang ombaknya bergulung-gulung diwarnai dengan kemegahan emas yang menyerupai warna api merah kecoklatan. Dipenuhi dengan keheranan dan keingintahuan, mereka memberitahukannya kepada Supāraga.

(16)
“Sekarang terlihat seolah-olah ombak yang tinggi dan cerah
yang telah diwarnai dengan rona cerah matahari terbit.
Bagi kami mereka tampak seperti api yang besar dan menyala-nyala.
Katakanlah, laut apakah ini dan apa namanya?”

Supāraga menjawab:

(17)
“Agnimālin adalah nama terkenal dari laut ini.
Akan sangat bijaksana, sungguh, jika kita berputar balik sekarang.”

Demikianlah, Sang Bodhisattva, yang berwawasan luas, hanya memberi tahu mereka nama laut itu, tetapi menyembunyikan penyebab perubahan warna airnya. Setelah menyeberangi laut itu, para pedagang melihat bahwa warna laut berubah lagi; sekarang warnanya mirip dengan belukar rumput kuśa yang matang, dan airnya diterangi oleh kilau batu topas dan safir; dan didorong oleh rasa ingin tahu, mereka bertanya kepada Supāraga:

(18)
“Laut apa yang berada di depan pandangan kami saat ini?
Perairannya berwarna bilah rumput kuśa yang matang.
Pecahnya ombak yang ditiup angin memahkotainya dengan ornamen buih beraneka warna,
dan membuatnya tampak seperti ditumbuhi bunga.”

Supāraga berkata: “Para pedagang, kalian harus berusaha untuk kembali sekarang. Sangat tidak disarankan untuk pergi lebih jauh.

(19)
Ini adalah laut bernama Kuśamālin.
Seperti gajah yang tidak mengindahkan tongkat,
ia akan menyeret kapal dengan paksa bersama dengan ombaknya yang tak tertahankan,
dan akan mengambil kesenangan kita.

Dan para pedagang, karena tidak mampu memutar balik kapal, betapapun beraninya mereka mengerahkan diri, pada akhirnya menyeberangi laut itu. Kemudian mereka melihat laut lain, yang airnya berwarna kehijauan seperti berasal dari perpaduan kemilau zamrud dan beril, dan mereka bertanya kepada Supāraga:

(20)
“Laut yang kita lihat sekarang memiliki penampakan lain.
Perairannya memiliki kilau hijau zamrud dan menyerupai padang rumput yang indah;
mereka dihiasi dengan buih yang indah seperti bunga lili air. Laut yang mana lagi ini?”

Atas hal ini Sang Mahātmā, yang hatinya sakit saat melihat malapetaka yang akan menimpa para pedagang, menghela napas panjang dan dalam, dan berkata dengan nada rendah:

(21)
“Kalian sudah pergi terlalu jauh. Akan sulit untuk kembali dari sana.
Laut ini, Nalamālin, sudah dekat dengan ujung dunia.”

Ketika mereka mendengar jawaban itu, para pedagang malang itu benar-benar menderita. Pikiran mereka kehilangan tenaga, anggota tubuh mereka menjadi tidak berdaya, dan duduk dalam kesedihan yang mendalam. Mereka tidak melakukan apa-apa selain menghela nafas. Dan setelah menyeberangi laut itu juga, pada sore hari, ketika matahari dengan lingkaran sinarnya yang semakin redup seolah akan memasuki samudra, terdengar suara yang membingungkan dan sangat besar, menusuk telinga dan hati para pedagang. Kebisingan yang naik dari dalam laut ini seperti suara laut yang mengamuk, atau suara guntur yang muncul bersamaan, atau rumpun bambu yang terbakar dan berderak.

Mendengarnya, mereka tiba-tiba melompat dari tempat duduk mereka, gemetar ketakutan dan merasa sangat gelisah. Mereka memeriksa lautan di sekitar, merasakan massa air yang sangat besar jatuh ke bawah seolah-olah melewati tebing atau jurang. Pemandangan yang mengkhawatirkan itu memenuhi mereka dengan ketakutan, kesedihan, dan keputusasaan yang luar biasa. Mereka pergi kepada Supāraga, berkata:

(22)
“Kami mendengar suara yang besar sekali dari jauh,
hampir menusuk telinga kami dan menghancurkan pikiran kami,
seolah-olah Sang Penguasa Sungai sedang marah,
dan seluruh massa air laut ini tampaknya jatuh ke dalam jurang yang mengerikan.
Maka katakanlah, laut apakah itu, dan menurutmu apa yang sebaiknya dilakukan sekarang?”

Kemudian Bodhisattva berkata dengan gelisah: “Aduh! Sayang sekali!” dan melihat ke bawah ke laut, berbicara:

(23)
“Kalian telah datang ke tempat yang mengerikan itu, di mana tidak ada yang pernah kembali,
pintu masuk kematiannya yang seperti mulut, adalah mulut Mare yang terkenal itu.”

Mendengar hal ini para pedagang malang, yang memahami bahwa telah mencapai mulut Mare, harus melepaskan seluruh harapan hidup mereka, merasa tertekan oleh ketakutan akan kematian.

(24-26)
Beberapa dari mereka menangis dengan keras atau meratap dan berteriak.
Yang lain tidak melakukan apa-apa, mematung dalam kekhawatiran.
Beberapa dengan pikiran sedih memuja para dewa, terutama raja para dewa,
yang lain meminta tolong kepada para Āditya, Rudra, Marut, Vasu, dan kepada sāgara [laut] itu sendiri.

Yang lainnya menggumamkan berbagai doa,
dan ada juga yang memberikan penghormatan yang pantas kepada Devī.
Beberapa lagi pergi kepada Supāraga, dan dalam berbagai cara meratap dengan menyedihkan.

(27-29)
“Terlatih dalam kebajikan berwelas asih kepada orang lain,
engkau memiliki kebiasaan membebaskan rasa takut dari mereka yang berada dalam kesulitan.
Sekarang telah tiba waktunya untuk menggunakan kekuatanmu yang berlebihan itu.

Maka, putuskankah, wahai orang bijak, setelah menyelamatkan kami yang tertekan,
yang tak berdaya, yang telah berlindung kepadamu.
Lautan dalam murkanya akan menelan kita dengan mulut Mare-nya sekarang,
seperti suapan makanan.

Ini bukan seperti dirimu jika
mengabaikan penumpang malang ini binasa dalam gelombang yang bergulir.
Samudera besar mematuhi perintahmu.
Karena itu, hentikanlah amarahnya.”

Tetapi Sang Mahātmā merasa hatinya tertekan oleh rasa welas asih yang besar dan menghibur para pedagang malang dengan mengatakan ini: “Masih ada cara untuk menyelamatkan kita pada saat ini. Itu muncul di pikiranku. Aku akan menggunakannya. Tetapi kalian harus menunjukkan keberanian sejenak.”

Ketika para pedagang mendengar ini, harapan bahwa masih ada pertolongan, setelah itu, menghidupkan kembali keberanian mereka, dan memusatkan seluruh perhatian mereka padanya, mereka menjadi diam. Tetapi Supāraga, sang Bodhisattva, setelah melemparkan pakaian atasnya di satu bahu dan menekuk lutut kanannya di geladak kapal, melakukan penghormatannya kepada para Tathāgata, dengan sepenuh hatinya terserap oleh perbuatan bakti itu; setelahnya dia berkata kepada rombongan: “Jadilah kalian, pedagang laut yang terhormat, dan kalian, dewa-dewa yang berbeda, yang memiliki tempat tinggalmu di langit, saksi-saksiku.

(30)
Sejak aku mengingat diriku, sejak saat aku menyadari perbuatanku,
aku tidak mengingat pernah menyakiti makhluk hidup apapun.

(31)
Semoga dengan kekuatan ucapan kebenaran ini, beserta dengan kekuatan simpanan jasa kebajikanku,
semoga kapal berlayar dengan aman tanpa mencapai mulut Mare!”

Dan begitu besar kekuatan kebenaran Sang Mahātmā, begitu besar juga kemegahan jasa kebajikannya, sehingga arus dan angin berubah ke arah yang berlawanan dan membuat kapal mundur. Para pedagang yang melihat kapal itu berputar kembali, bergembira dengan kekaguman dan kegembiraan tertinggi, dan mengungkapkan penghormatan mereka kepada Supāraga dengan membungkuk hormat, mengatakan kepadanya bahwa kapal itu berputar kembali. Kemudian Bodhisattva memerintahkan mereka untuk tenang dan mengangkat layar dengan cepat. Dan karena diperintahkan demikian, mereka yang bertanggung jawab atas pekerjaan itu, setelah mendapatkan kembali dengan gembira kemampuan dan energi mereka, melakukan apa yang dia katakan.

(32)
Kemudian, gemerlap dengan sayap terbentang indah dari layar putihnya,
dan dipenuhi dengan suara ceria dan tawa awak kapal, kapal melaju di atas laut,
bagai flamingo di langit yang jernih dan tak berawan.

Sekarang ketika kapal, yang disukai oleh arus dan angin, pulang kembali dengan mudah seperti kereta-kereta surgawi yang bergerak di udara, dan dapat dikatakan sedang terbang sesuai keinginannya, pada waktu itu, ketika kegelapan yang berkumpul meluas jauh dan lebar, dan langit, tidak lagi dihiasi oleh cahaya senja yang redup, mulai memunculkan ornamen konstelasinya di cakrawala, di mana masih tersisa cahaya redup, pada saat itu, kemudian, dari dimulainya kuasa malam, Supāraga berbicara kepada para pedagang seperti ini: “Baiklah, para pedagang, saat menyeberangi laut Nalamālin dan yang lainnya, kalian harus menarik pasir dan batu dari dasar laut dan membebankan kapal kalian sebanyak mungkin yang bisa ditampung. Dengan latihan ini dia akan menjaga sisinya tetap kukuh jika diserang oleh badai yang ganas; selain itu, pasir dan kerikil yang diucapkan sebagai keberuntungan, pasti akan menguntungkanmu.” Dan para pedagang, setelah ditunjukkan tempat yang cocok selama ini oleh para dewa, yang melakukannya karena kasih sayang dan penghormatan kepada Supāraga, dari sana menyusun apa yang mereka maksud dengan pasir dan batu, dan memuat kapal mereka dengan beban itu. Tapi, sebenarnya, pasir dan batu-batu itu adalah beril dan permata lainnya. Dan dalam perjalanan satu malam itu mereka mencapai Bharukaccha.

(33)
Saat fajar tiba, mereka melihat dengan gembira kapal mereka penuh dengan harta karun:
perak, emas, safir, beril, dan pada saat yang sama mereka melihat bahwa mereka telah tiba di negara mereka;
dan bergembira dalam sukacita mereka memuji penyelamat mereka.

Dengan cara inilah mengucapkan kebenaran berlandaskan Dharma sudah cukup untuk menghilangkan bencana, apa yang bisa dikatakan lebih untuk menegaskan hasil yang baik dari menjalankan Dharma? Mengingat demikian, seseorang harus menaati Dharma.[Demikian pula, ketika berkhotbah atas bantuan seorang teman yang berbudi, dikatakan: “Dengan cara ini mereka yang bersandar pada seorang teman yang berbudi mencapai kebahagiaan.”]

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 11 – SAKRA-JATAKA

Jātakamālā 11 – Śakrajātakam
(Kisah tentang Sakra)

Jātakamālā 11 – Śakrajātakam
(Kisah tentang Sakra)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Tiada kesulitan maupun kesulitan dari sebuah kekuasaan yang dapat mengendurkan kebajikan welas asih Sang Mahātmā terhadap para makhluk hidup. Ini akan diajarkan sekarang.

Pada masa ketika Bodhisattva, yang telah lama mempraktikkan perbuatan baik dengan baik; dan mengembangkan kemurahan hati, pengendalian diri, pengawasan diri dan welas asih, mengarahkan tindakannya yang luar biasa untuk kepentingan orang lain. Suatu ketika dikisahkan bahwa ia terlahir sebagai Śakra, raja para dewa,

(1)
Keagungan Pemimpin Surgawi bersinar di tingkatan yang lebih tinggi
dan menunjukkan keagungan yang lebih besar, karena posisi itu telah jatuh menjadi bagiannya.
Seperti sebuah istana yang dihiasi selubung dinding indah yang digemerlapkan oleh sinar rembulan.

(2)
Demikianlah kemilau dari negara yang perkasa itu, menaklukkan putra-putra Diti
yang berani melawan serbuan gajah-gajah dunia dan menghadapi gading-gadingnya.
Kecemerlangan itu adalah miliknya.
Tetapi meskipun dia dengan mudah menikmati kebahagiaan itu, atas kehendaknya sendiri,
kebahagiaan itu tidak menodai hatinya dengan kesombongan.

Memimpin langit dan bumi dengan cara yang benar, dia memperoleh kemuliaan yang luar biasa, yang meliputi seluruh alam semesta. Para Asura tidak mampu menahan kemasyhuran atau kebahagiaan sangat indah yang dia nikmati, dan berperang melawannya. Mereka berbaris untuk bertemu dan melawannya dengan pasukan gajah, kereta perang, pasukan berkuda, dan pasukan infanteri yang sangat besar, dan suasana menjadi lebih mengerikan, karena mereka terseret dalam barisan pertempuran yang penuh kesombongan dan membuat suara yang menakutkan bagai di samudra lepas. Melalui kobaran api dari berbagai jenis senjata mereka untuk menyerang dan bertahan, mereka terlihat menakutkan.

(3)
Meskipun dia terikat pada moralitas yang benar,
namun di dalam hatinya merasakan keinginan untuk terlibat dalam hiruk-pikuk pertempuran.
Dia terdorong untuk melakukannya karena kesombongan musuh-musuhnya,
merasa bahwa rakyat-rakyatnya berada dalam bahaya,
yang kedamaiannya sudah terganggu secara tidak menyenangkan,
juga oleh kepatuhannya terhadap tradisi kerajaan dan ajaran tata negaranya.

Maka dia menaiki kereta emas unggulannya, tempat seribu kuda unggul ditugaskan. Depan kereta ini dihias dengan sebuah panji indah yang melayang tinggi dengan gambar Arhat sebagai lambangnya. Tampilan luarnya sangat cemerlang berkat kilau yang dipantulkan oleh bermacam-macam batu dan permata berharga yang menghiasinya, disertai dengan kecerahan yang menyinari sisi-sisinya dan yang berasal dari berbagai senjata api yang beragam jenis, berujung tajam, dan siap untuk digunakan di kedua sisi kereta. Di bagian dalamnya ditutupi dengan selimut putih halus. Berdiri di atasnya dan dikelilingi oleh pasukan surgawinya yang besar dengan berbagai pasukan, gajah, kereta, kuda dan infanteri, Bodhisattva bertemu dengan kekuatan Asura tepat di garis perbatasan samudera.

(4)
Maka pertempuran besar pun terjadi, merusak ketegangan rasa takut
seperti perisai dan baju besi yang ditembus oleh pukulan senjata
yang mereka gunakan untuk bertarung satu sama lain.

(5, 6)
Berbagai teriakan terdengar dalam riuh pergulatan itu.
“Diam! Tidak dengan cara ini! Lihat! Di mana kau sekarang?
Kau tidak akan bisa melarikan diri dariku! Kau adalah orang mati!”

(7)
Gajah-gajah dari kedua sisi saling menyerbu
dengan amarah yang meningkat
karena bau sari yang mengalir,
seperti gunung yang terguncang oleh angin di akhir zaman.

(8)
Bagai awan hitam yang menakutkan, kereta-kereta itu menyapu medan tempur;
panji-panji mereka melayang seperti kilat, dengan suara gemerincing
seperti gemuruh guntur yang mereka timbulkan.

(9)
Anak panah yang tajam berterbangan di antara kedua pasukan,
terjatuh di tengah-tengah prajurit baik para dewa dan asura,
mengenai panji dan payung kerajaan, busur dan tombak,
perisai dan baju tempur, dan kepala manusia.

(10)
Pada akhirnya pasukan Śakra melarikan diri karena ketakutan
oleh pedang dan anak panah yang berapi-api dari para asura.
Raja para dewa bertahan sendirian di medan pertempuran,
menghalangi para musuh dengan kereta perangnya.

Ketika Matali, kusir kereta paja para dewa, menyadari bahwa pasukan asura dengan semangat tinggi dan gembira sedang mendekati mereka dengan suara teriakan perang dan kemenangan yang keras, sedangkan pasukan para dewa telah bersiap untuk terbang pergi, dia berpikir bahwa sekarang adalah waktu yang tepat untuk mundur. Matali memutar balik kereta raja para dewa. Saat mereka mulai terbang naik, Śakra, raja para dewa, melihat beberapa sarang elang di atas pohon yang berada tepat segaris dengan tiang kereta, sehingga mereka harus dihancurkan. Tidak lama setelah melihatnya, diliputi oleh welas asih, dia berkata kepada Matali, kusirnya:

(11)
“Sarang burung di pohon ini dipenuhi dengan anak-anak burung yang belum bersayap.
Bawalah keretaku sedemikian rupa sehingga sarang-sarang ini tidak akan rusak karena tertimpa tiang kereta.”

Matali menjawab: “Namun kumpulan asura itu akan menyusul kita, tuan.”

Śakra berkata: “Tidak apa-apa. Lakukanlah dengan berhati-hati untuk menghindari sarang burung elang ini.” Kemudan Matali menjawab:

(12)
“Saya tidak mungkin memutar kereta untuk menyelamatkan burung-burung, wahai yang bermata teratai.
Di belakang kita ada segerombolan musuh yang dalam waktu tertentu dapat mengalahkan para dewa.”

Pada saat ini Śakra, raja para dewa, digerakkan oleh welas asihnya yang terdalam, menunjukkan kebaikan hatinya yang luar biasa dan niatnya yang teguh.

(13)
“Baiklah,” katanya, “putar keretanya.
Aku lebih baik mati karena pukulan tongkat yang mengerikan dari para pemimpin asura
daripada hidup dengan rasa bersalah dan tidak terhormat,
jika aku harus membunuh makhluk malang yang sedang ketakutan itu.”

Matali berjanji untuk melakukannya, dan membalikkan keretanya, yang ditarik oleh seribu kuda.

(14)
Para musuh yang telah menyaksikan kepahlawanannya dalam pertempuran,
melihat bahwa kereta itu berputar ke arah mereka, menjadi bingung dan ketakutan.
Barisan mereka tersisih seperti awan hujan gelap yang terbawa oleh angin.

(15)
Di tengah kekalahan, jika seorang pria memalingkan wajahnya
ke arah musuh dan menghalangi jalan pasukan musuh,
kadang-kadang akan menaklukan kesombongan dan keangkuhan pihak yang menang
dengan keberanian heroiknya yang tidak terduga.

(16)
Pemandangan barisan pasukan musuh yang hancur
membangkitkan semangat para dewa, membuat mereka kembali.
Para asura, yang ketakutan dan melarikan diri,
tidak berpikir lagi untuk bersatu dan melawan.

(17)
Para dewa, yang kegembiraannya bercampur dengan rasa malu,
memberi penghormatan kepada raja mereka yang cemerlang dan
indah oleh pancaran cahaya kemenangan.
Kemudian dia kembali diam-diam dari medan pertempuran ke kotanya,
di mana istrinya sudah menunggu dengan tidak sabar.

Dengan cara inilah kemenangan diperoleh dalam pertempuran itu. Dan karena alasan inilah pepatah mengatakan:

(18)
Orang yang berpikiran rendah melakukan perbuatan jahat sebagai akibat dari kekejaman mereka.
Pria biasa, meskipun menyedihkan, akan melakukannya ketika mengalami kesulitan.
Tetapi yang bajik, bahkan ketika hidupnya dalam bahaya,
tidak dapat melanggar batas pantas perilaku mereka seolah samudera menjadi pembatasnya.

[Dengan cara ini Sang Bhagavā telah lama melindungi kehidupan para binatang bahkan dengan mengorbankan dirinya sendiri dan harus kehilangan kekuasaan surgawi. Dengan mengingat bahwa orang bijak sungguh tidak pantas untuk menyakiti makhluk hidup, apalagi berbuat kejahatan kepada mereka, orang yang bajik harus berniat mempraktikkan welas asih terhadap para makhluk hidup.

Dan ungkapan bahwa Dharma sesungguhnya menjaga dia yang berjalan dalam kebenaran (dharma), harus dikemukakan di sini juga.

Demikian pula (cerita) ini dapat ditambahkan ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata, dan ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan perhatian.

[Kembali ke daftar isi]

JATAKAMALA 9 – VISVANTARA-JATAKA

Jātakamālā 9 – Viśvantarajātakam
(Kisah tentang Visvantara)

Jātakamālā 9 – Viśvantarajātakam
(Kisah tentang Visvantara)

Ditulis oleh:
Ācārya Āryaśūra

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh:
J. S. Speyer

Suntingan Bahasa Inggris oleh:
Bhikkhu Anandajoti

Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh:
Garvin Goei


Orang yang tidak bajik tidak akan mampu membenarkan perilaku sang Bodhisattva, apalagi meneladaninya. Ini akan diajarkan sebagai berikut.

Suatu ketika para Śibi diperintah oleh seorang raja bernama Saṁjaya, yang menjalankan tugas kerajaannya dengan cara yang benar. Setelah sepenuhnya mengendalikan pancaindranya, dan memiliki tingkat kebajikan yang tinggi dalam keberanian, kebijaksanaan, dan kerendahan hati, dia berjaya dan berkuasa. Berkat ketaatan yang konstan dan ketat terhadap para tetua, dia telah menguasai isi penting dari tiga Veda (trayi) dan metafisika. Kemampuan tata aturan peradilannya yang baik dipuji oleh rakyat-rakyatnya yang penuh cinta kasih, yang menyukai pelaksanaan perdagangan dan tugas mereka yang berbeda, dan menikmati manfaat dari keamanan serta perdamaian.

(1)
Dengan kemajuannya dalam kebajikan, dia telah memperoleh berbagai bakat dalam memerintah kerajaan yang setia padanya, bagaikan wanita yang jujur, tidak menjadi milik raja-raja lain; sama seperti sarang singa yang tidak dapat dimasuki oleh hewan lain.

(2)
Semua orang yang menghabiskan pekerjaan mereka dalam berbagai jenis pertapaan, ilmu pengetahuan atau seni, biasa mendatanginya, dan jika mereka menunjukkan jasa kebajikan mereka, mereka memperoleh penghormatan yang unggul darinya.

Penerusnya dalam hal kemuliaan, namun tidak kalah dalam hal kebajikan, adalah putranya Viśvantara sang pewaris takhta.

(3)
Meskipun masih muda, ia memiliki ketenangan pikiran yang indah layaknya seorang tetua. Meskipun dia penuh semangat, tetapi sifatnya sabar. Meskipun terpelajar, tetapi dia terbebas dari kesombongan akan pengetahuan. Meskipun perkasa dan termasyhur, tetapi dia tidak memiliki keangkuhan.

(4)
Karena tingkat dari kebajikannya terkemuka di segala wilayah dan ketenarannya menembus tiga dunia, tidak ada ruang bagi reputasi orang lain yang lemah dan remeh; sepertinya mereka tidak berani menunjukkan diri.

(5)
Dia tidak tahan dengan banyaknya malapetaka dan penyebab penderitaan lainnya di antara umat manusia. Dia mengobarkan perang dan pertempuran terhadap musuh-musuh seperti itu, menembakkan anak panah pemberian dari busur welas asihnya yang besar tanpa terhitung jumlahnya.

Setiap hari ia terbiasa menyenangkan orang miskin yang kebetulan datang kepadanya dengan pemberiannya, yang diberikan tanpa kesulitan dan lebih dari yang mereka harapkan, yang diberikan dengan rasa hormat dan ucapan-ucapan yang menyenangkan. Tetapi pada hari poṣadha, karena ia taat terhadap pengendalian diri dan ketenangan di hari poṣadha, setelah memandikan kepalanya dan mengenakan pakaian linen putih, ia menunggangi gajahnya yang unggul, terlatih dengan baik, cepat, dan kuat, yang (menurut warna dan ukurannya) dapat dibandingkan dengan puncak Gunung Salju, yang wajahnya dihiasi dengan jejak air mengalir pada musim kawin, dan yang di tubuhnya ditemukan tanda-tanda keberuntungan. Ia duduk di atas gajah tunggangan kerajaan yang wangi dan sangat terkenal itu. Ia memiliki kebiasaan membangun ruang derma, yang telah dia dirikan di semua bagian kota bagai sumur yang menyegarkan untuk para fakir miskin. Dan ketika pergi ke sana, dia mengalami kegembiraan yang meluap.

(6)
Sesungguhnya, tiada kemewahan yang dapat memberikan kegembiraan kepada orang dermawan seperti yang dihasilkannya ketika dia berdana kepada fakir miskin.

Para fakir miskin yang bersukacita menceritakan kemurahan hati sang raja ke mana-mana. Beberapa raja tetangga yang telah mendengarnya kemudian berpikir untuk menjebak pangeran muda melalui kegemarannya dalam berdana, kemudian mengerahkan beberapa Brāhmana utusannya untuk merampok gajah yang luar biasa itu. Sehingga, pada suatu hari, ketika Viśvantara sedang memeriksa aula derma ― dengan raut wajahnya yang indah memancarkan kebahagiaan yang muncul di dalam pikirannya, ― para Brāhmana tersebut menghadang jalannya, mengucapkan doa dengan tangan kanan mereka yang terangkat dan terulur. Dia menghentikan gajah unggulannya, dan dengan hormat menanyakan alasan kedatangan mereka; mereka harus mengungkapkan keinginan mereka, ucapnya. Para Brāhmana berbicara:

(7, 8)
“Baik itu kualitas yang sangat baik dari gajah milikmu ini, yang berjalan dengan anggun, maupun kesenanganmu dalam memberi, membuat kami tampak seperti pengemis.

Berikanlah kami gajah (putih) ini, yang indah bagai puncak gunung Kailāsa, dan engkau akan memenuhi dunia dengan kekaguman.”

Sang Bodhisattva, mendengarkan permintaan itu, pikirannya dipenuhi dengan kegembiraan yang tulus dan merenungi ini:

“Sungguh, setelah sekian lama kini aku melihat pengemis yang meminta hadiah besar. Tetapi, bagaimanapun juga, untuk apa para Brāhmana ini menginginkan gajahku? Tidak diragukan lagi, ini pasti tipu daya menyedihkan dari beberapa raja, yang pikirannya diliputi oleh ketamakan, kecemburuan, dan kebencian.

(9)
Tetapi raja itu, yang mengabaikan nama baiknya sendiri dan ajaran kebenaran, memberikan kesempatan untuk meningkatkan kebaikanku, [dia] tidak boleh bersedih karena merasa kecewa.”

Setelah mempertimbangkan demikian, Sang Mahātman turun dari punggung gajah yang luar biasa itu dan berdiri di depan mereka dengan kendi emas yang terangkat; lalu dia mengucapkan (dengan serius) “Terimalah.”

(10)
Setelah itu, meskipun mengetahui bahwa pengetahuan politik tidak selaras jalan kebenaran (Dharma) dan hanya sesuai dengan kepentingan material (artha), ia menyerahkan gajah utamanya. Kesenangannya pada kebenaran tidak membuatnya takut dengan kebohongan ajaran politik.

(11)
Setelah memberikan gajah itu, yang dihiasi dengan kisi-kisi kursi emas yang indah di punggungnya, menyerupai awan musim gugur yang lebat, bersinar dengan kilatan cahaya, pangeran kerajaan memperoleh kegembiraan yang luar biasa ― tetapi penduduk dilanda oleh ketakutan, karena mereka adalah pengikut ajaran politik.

Ketika para Śibi mendengar tentang pemberian gajah besar itu, menjadi marah dan murka. Para tetua Brāhmana, para menteri, para ksatria dan para kepala desa, membuat kegemparan dan pergi menghadap raja Saṁjaya.

Karena kegelisahan, kebencian, dan amarah mereka, mereka mengabaikan tata krama untuk menghormat kepada raja mereka, dan berbicara: “Mengapa Anda mengabaikan hal ini, Yang Mulia, ketika kekayaan kerajaan Anda dibawa? Yang Mulia tidak boleh mengabaikan bahwa dengan cara ini Anda memupuk kemalangan di wilayah Anda.” Ketika sang raja dengan khawatir bertanya kepada mereka apa yang mereka maksud dengan ini, mereka menjawab: “Mengapa, apakah Anda tidak mengetahui apa yang telah terjadi, Yang Mulia?

(12, 13)
Binatang yang luar biasa itu, yang wajahnya harum dengan aroma sari buah yang mengalir, memabukkan kerumunan lebah yang berkeliaran di sekitarnya, dan juga meresapi angin teduh dengan wewangiannya, sehingga mendorongnya untuk dengan senang dan mudah membersihkan bau cairan gajah angkuh lainnya; gajah perang itu, yang kekuatan cemerlangnya menundukkan daya dan kekuatan musuh-musuhmu, dan merendahkan harga diri mereka hingga tertidur tanpa bergerak ― lihat, kemenangan yang diwujudkan itu telah dilepaskan oleh Viśvantara dan sedang dibawa ke negeri luar.

(14)
Gandum, emas, pakaian, barang-barang yang dapat dimakan, itulah barang-barang yang pantas untuk diberikan kepada para Brāhmana, tetapi berpisah dengan gajah utama kita, ikrar kemenangan yang mulia, adalah sebuah pemberian yang berlebihan dan terlalu jauh.

(15)
Bagaimana mungkin keberhasilan dan kekuasaan dapat bergabung dengan pangeran yang bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip kebijakan negara? Dalam hal ini kesabaran dari pihak Anda tidak pada tempatnya, Yang Mulia, jangan sampai dia membuat musuh-musuh Anda bersukacita.”

Mendengar hal ini, sang raja yang menyayangi putranya tidak terlalu senang kepada mereka: tetapi ia menunjukkan tata krama dan dengan cepat berkata kepada mereka bahwa mereka benar; setelah itu dia mencoba menenangkan para Śibi. “Aku tahu,” katanya, “bahwa Viśvantara menuruti keinginannya yang tidak sepadan untuk berdana sehingga mengabaikan aturan-aturan kebijaksanaan politik, yang perilakunya tidak sesuai sebagai seseorang yang ditunjuk sebagai pejabat kerajaan. Tetapi karena dia telah menyerahkan gajahnya sendiri, seolah itu adalah lendir, siapa yang akan membawa kembali hewan itu? Aku akan mengambil tindakan sedemikian rupa sehingga Viśvantara akan mengetahui batasan dalam perbuatan dananya. Ini mungkin cukup untuk meredakan amarah kalian.

Para Śibi menjawab: “Tidak, Yang Mulia, ini tidak akan berhasil. Dalam hal ini Viśvantara bukanlah orang yang dapat diyakinkan dengan kecaman sederhana.”

Saṁjaya berbicara: “Tapi apa lagi yang bisa aku lakukan?

(16)
Dia menjauhi perbuatan-perbuatan buruk, dia hanya terlalu terikat lepada praktik kebajikan sehingga menjadi sebuah hasrat. Apakah kalian menganggap bahwa pemenjaraan atau kematian putraku sendiri merupakan ganti rugi yang sepadan untuk gajah itu?

Meskipun demikian, para Śibi tetap bertahan dalam amarah mereka dan berkata:

(17, 18)
“Siapa yang akan senang, wahai raja, jika putra Anda mendapatkan rasa sakit karena kematian, atau penjara, atau cambukan sebagai hukumannya? Tetapi mengabdikan diri pada tugas-tugas agamanya, Viśvantara tidak pantas menjadi pemikul tugas-tugas kerajaan yang penuh dengan beban, karena kelembutan hati dan belas kasihnya.

Biarlah takhta ini ditempati oleh pangeran yang telah terkenal karena kemampuan berperangnya dan terampil dalam seni memberikan haknya kepada ketiga anggota trivarga. Sedangkan putra Anda, sebagai akibat dari kecintaannya pada kebenaran (Dharma), tidak mengindahkan kebijakan negara (naya), adalah orang yang pantas untuk tinggal di hutan pertapaan.

(19)
Tentunya, jika para pangeran menerapkan peraturan yang salah dan buruk, akibat dari kesalahan-kesalahan itu akan jatuh pada rakyatnya. Meskipun hal-hal itu dapat ditahan oleh mereka, seperti yang sudah pernah dialami; tetapi tidak demikian halnya bagi para raja yang akar kekuatannya sedang digerogoti.

(20)
Maka, kemudian, apa lagi yang harus diucapkan? Tidak mampu bersekutu dengan keadaan hal-hal yang akan menyebabkan kehancuran Anda, para Śibi telah mengambil keputusan ini. Pangeran kerajaan harus diasingkan ke Gunung Vaṅka, kediaman para Siddha; di sana ia dapat melakukan pertapaan.

Ditegur demi kebaikannnya dengan cara yang sangat kasar oleh para pejabat itu, ― yang berbicara dengan terus terang karena tergerak oleh hormat dan rasa sayang, meramalkan bencana yang dapat muncul akibat kebijakan yang buruk ― sang raja merasa malu dengan amarah para pemimpin rakyatnya, dan dengan mata tertunduk, diliputi oleh pikiran sedih tentang perpisahan dengan putranya, dia menghela napas yang dalam dan menyedihkan, berkata kepada para Śibi: “Jika ini adalah keputusan kalian, setidaknya izinkan dia dapat menunda selama satu siang dan malam. Besok saat fajar, Viśvantara akan mewujudkan keinginanmu.”

Jawaban ini memuaskan para Śibi. Kemudian raja berkata kepada pengurus rumah tangganya: “Pergi dan beri tahu Viśvantara tentang apa yang telah terjadi.” Pengurus rumah tangga berkata dia akan melakukannya, dan, dengan wajah berlinang air mata, pergi menemui Viśvantara,yang pada saat itu berada di istananya sendiri. Karena kesedihannya, utusan kerajaan menjatuhkan dirinya ke kaki pangeran, menangis keras-keras. Kemudian Viśvantara dengan cemas menanyakan kesehatan keluarga kerajaan, yang dijawab dengan suara yang agak tidak jelas karena kesedihan:

“Oh, keluarga kerajaan baik-baik saja.” “Tapi kenapa kamu begitu gelisah?” Viśvantara bertanya. Ditanya sekali lagi, utusan yang tenggorokannya masih tercekik oleh rasa sedih, mengucapkan kata-kata ini perlahan dengan nada tersendat-sendat dan isak tangis:

(21)
“Para Śibi, digerakkan oleh amarah, dengan kasar mengabaikan perintah kerajaan, meskipun mereka menyatakannya dengan niat baik, memerintahkanmu untuk diasingkan dari kerajaan, pangeranku.”

Viśvantara berkata: “Aku… oleh para Sibi… diperintahkan untuk dibuang, digerakkan oleh amarah! Apa yang engkau katakan itu tidak masuk akal.

(22)
Aku tidak pernah melanggar peraturan, juga tidak pernah melakukan tugas-tugasku dengan ceroboh. Tindakan jahat apa yang tidak aku ketahui, yang membuat para Śibi marah kepadaku?”

Pengurus rumah tangga berkata: “Mereka tersinggung atas keluhuran pikiran Anda.

(23, 24)
Kepuasan Anda dimurnikan oleh ketidakmelakatan yang Anda alami, tetapi peminta itu bermasalah oleh keserakahannya.

Ketika Anda memberikan gajah yang paling utama itu, wahai pangeran yang mulia, kemurkaan membuat para Śibi kehilangan kesabaran dan menyebabkan mereka melanggar batas tugas mereka. Mereka sangat marah terhadap Anda. Engkau harus pergi, sungguh, mengikuti cara hidup sebagai pertapa.”

Kemudian, Bodhisattva menunjukkan kasih sayangnya yang kepada para pengemis yang sudah mengakar dalam, yang dikukuhkan oleh praktik welas asihnya yang mendalam, dan kesabarannya yang agung dan luar biasa. dia berkata:

“Sifat para Śibi tidak dapat diandalkan, dan tampaknya mereka tidak bisa memahami sifatku.

(25)
Objek indria berada di luar diri kita, berlebihan untuk mengatakan bahwa aku akan memberikan mata atau kepalaku. Aku menyokong tubuh ini demi kepentingan para makhluuk, bukan demi kepemilikan pakaian dan kendaraan.

(26)
Aku ingin menghormati permintaan para pengemis, jika perlu, dengan anggota tubuhku sendiri, sedangkan para Śibi berusaha untuk menahan diri dari berdana karena ketakutan! Mempertimbangkan ini, mereka mengungkapkan ketidakstabilan pikiran mereka yang bodoh.

(27)
Biarkan semua Śibi membunuhku atau mengusirku, aku tidak akan berhenti dari berdana karena alasan itu. Dengan pikiran ini aku siap untuk pergi ke hutan pertapaan.”

Setelah ini, Bodhisattva berkata kepada istrinya, yang menjadi pucat saat mendengar berita sedih: “Yang Mulia telah mendengar keputusan para Śibi.” Madrī menjawab: “Aku sudah mendengarnya.” Viśvantara kemudian mengatakan:

(28)
“Sekarang simpanlah, wahai yang bermata cerah, seluruh kepemilikanmu, dengan mengambil apa yang engkau dapatkan dariku dan juga dari ayahmu.”

Madrī menjawab: “Di mana aku harus meletakkan simpanannya, pangeranku?” Viśvantara menjawab:

(29, 30)
“Engkau harus memberi dengan kerelaan hati kepada orang-orang yang berperilaku baik, menghiasi kemurahan hatimu dengan ketaatan yang baik. Barang yang disimpan dengan cara ini tidak akan binasa dan akan mengikuti kita setelah kematian.

Jadilah putri yang penuh kasih bagi mertuamu, wahai ibu yang penuh perhatian terhadap anak-anak kita. Teruslah bertingkah laku bajik, berwaspadalah terhadap kelalaian; tetapi janganlah bersedih atas kepergianku.”

Atas hal ini, Madrī, menghindari apa yang dapat merusak keteguhan pikiran suaminya, menahan kesedihan mendalam yang membuat hatinya sedih, dan berkata sambil berpura-pura tenang:

(31, 32)
“Tidak benar, Yang Mulia, bahwa engkau harus pergi ke hutan sendirian. Aku juga akan pergi bersamamu kemana pun engkau harus pergi. Saat menemanimu, bahkan kematian akan menjadi sebuah kegembiaraan bagiku; tetapi hidup tanpamu terasa lebih buruk dari kematian.

Aku juga tidak berpiki bahwa kehidupan hutan itu tidak menyenangkan sama sekali. Pertimbangkanlah dengan baik.

(33)
Dijauhkan dari orang-orang jahat, didatangi oleh rusa, bergema dengan burung-burung yang berkicau, hutan pertapaan dengan anak sungai dan pepohonan, keduanya lengkap, dengan petak-petak rumput bertatahkan lantai lapis lazuli yang indah, sejauh ini lebih menyenangkan daripada taman buatan milik kita.

Sungguh, pangeranku,

(34)
Ketika melihat anak-anak ini berpakaian rapi dan dihiasi dengan karangan bunga, bermain di semak-semak liar, engkau tidak akan memikirkan keluarga kerajaanmu.

(35)
Sungai-sungai pembawa air, dilintasi oleh gubuk alami dengan keindahan yang terus diperbarui, beragam sesuai dengan pergantian musim, akan menyenangkanmu di hutan.

(36, 37)
Suara merdu dari kicauan burung yang memdambakan cinta, tarian burung merak yang terbawa oleh musim kawin, dengungan manis dan bagai pujian dari lebah pencari madu: mereka membuat perpaduan suara hutan bersama itu yang akan menggembirakan pikiranmu.

(38, 39)
Lalu, bebatuan bertebaran di malam hari dengan kain sutra cahaya bulan; angin hutan yang lembut membelai dengan aroma pepohonan berbunga; suara gumaman anak sungai, mendorong air melewati kerikil yang bergerak sehingga meniru suara sejumlah ornamen wanita yang berderak – semua ini akan menyenangkan pikiranmu di hutan.”

Permohonan istri tercintanya ini membuatnya sangat ingin pergi ke hutan. Oleh karena itu, dia bersiap untuk melimpahkan pemberian yang besar kepada orang-orang yang mengemis.

Namun di istana raja, berita tentang pengusiran yang diucapkan kepada Viśvantara menyebabkan kekhawatiran dan ratapan besar. Demikian pula para pengemis, yang diganggu oleh kesedihan dan duka cita, menjadi hampir gila, berperilaku seolah-olah mereka sedang mabuk atau kehilangan akal, dan mengucapkan banyak serta berbagai ratapan semacam ini:

(40)
“Bagaimana mungkin bumi tidak merasa malu, membiarkan kapak menebang pohon yang rindang itu, sang pemberi buah yang begitu manis? Sekarang jelas dia telah kehilangan kesadaran.

(41)
Jika tidak ada yang mencegah mereka yang akan menghancurkan sumur berisi air yang dingin, murni, dan manis itu, maka sebenarnya penjaga perempat-dunia ini salah dinamai demikian, atau sebenarnya mereka tidak ada, atau mereka hanyalah sebutan belaka.

(42)
Oh! Sungguh ketidakadilan telah bangkit dan kebenaran entah sedang tidur atau mati, karena Pangeran Viśvantara diusir dari kekuasaannya.

(43)
Siapakah yang begitu mahir dalam menimbulkan kesusahan, sehingga memiliki kekejaman yang bertujuan untuk membuat kami kelaparan, yang tidak bersalah, yang hanya hidup dengan mengemis?”

Bodhisattva kemudian melepaskan kekayaannya. Kepada para pengemis, dia melimpahkan isi dari perbendaharaannya, yang hingga bagian paling atas terisi dengan batu-batu berharga, emas, dan perak, yang bernilai ratusan ribu; gudang-gudang senjata dan lumbung-lumbung, berisi berbagai jenis barang dan biji-bijian; semua miliknya yang lain, terdiri dari budak dari kedua jenis kelamin, binatang-binatang buas, kereta, pakaian dan sejenisnya. Semuanya ini dia bagikan sesuai dengan jasa kebajikan penerima.

Setelah selesai, dia memberi penghormatan kepada ayah dan ibunya, berpamitan dengan mereka, yang diliputi kesedihan dan duka cita. Kemudian dia menaiki kereta kerajaannya bersama istri dan anak-anaknya. Dia meninggalkan ibu kota, sementara sekelompok besar orang mengucapkan ratapan, jalanan menjadi ramai seperti sedang ada perayaan; dia juga tidak berhasil dengan mudah untuk membuat keramaian berbalik, yang mengikutinya karena kasih sayang, meneteskan air mata kesedihan.

Kemudian dirinya mengambil kendali, dia mengemudi ke arah Gunung Vaṅka. Dan tanpa sedikit pun pikiran gelisah, dia meninggalkan ibu kota, dimahkotai dengan taman dan rumpun yang menawan, dan mendekati hutan, yang ditandai oleh semakin jarangnya pepohonan rindang serta manusia, pemandangan sekawanan antelop berlarian di jarak yang jauh dan kicauan jangkrik.

Secara kebetulan beberapa Brāhmana datang menemuinya, meminta kuda-kuda yang menarik keretanya kepadanya.

(44)
Dan meskipun dia dalam perjalanan banyak yojana tanpa pengiring sambil menanggung istrinya, dia memberikan keempat kudanya kepada para Brāhmana ini, menjadi gembira atas kesempatan memberi , dan tidak memikirkan masa depan.

Sekarang, ketika Bodhisattva hendak meletakkan dirinya di bawah kuk, dan sedang mengencangkan lingkar pinggangnya dengan erat, di sana muncul empat Yakṣa muda, dalam bentuk rusa merah. Seperti kuda-kuda unggul yang terlatih dengan baik, mereka meletakkan bahu mereka sendiri di bawah kuk. Saat melihat mereka, Bodhisattva berkata kepada Madrī, yang menatap mereka dengan sukacita dan keterkejutan:

(45)
“Lihatlah kekuatan luar biasa dari hutan pertapaan yang dihormati oleh kediaman para pertapa. Kebaikan mereka terhadap para tamu dalam hal ini telah mengakar dalam dada rusa yang paling utama.”

Madrī menjawab:

(46)
“Menurutku, ini lebih merupakan karena kesaktianmu. Praktik kebajikan oleh orang baik, telah mengakar dalam, tidak sama bagi semua orang.

(47)
Ketika pantulan indah bintang-bintang di air dilampaui oleh kilau tawa bunga lili malam, penyebabnya dapat ditemukan dalam sinar yang diturunkan oleh sang dewa rembulan seolah-olah karena keingintahuannya.”

Sementara mereka pergi, mengucapkan kata-kata kasih sayang satu sama lain, seorang brāhmana lain mendekat, dan meminta kereta kerajaan Bodhisattva.

(48)
Dan Sang Bodhisattva tidak mempedulikan kenyamanannya sendiri, tetapi mengasihi para pengemis seperti kerabatnya sendiri, memenuhi keinginan Brāhmana itu.

Dia dengan senang hati meminta keluarganya turun dari kereta, mempersembahkannya kepada brāhmana itu, dan membawa Jālin ― putranya ― dalam pelukannya, melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki. Madrī, yang juga bebas dari kesedihan, mengangkat putrinya, Kṛṣṇājinā, dalam pelukannya dan berjalan mengejar suaminya.

(49)
Kepadanya, pohon-pohon menjulurkan dahan-dahan yang ujungnya dihiasi dengan buah-buahan yang menawan, seolah-olah mengundangnya untuk menikmati keramahan mereka, dan memberi penghormatan pada kemuliaan jasa kebajikannya, membungkuk kepadanya seperti murid yang taat ketika mereka melihatnya.

(50)
Dan, di mana ia merindukan air, di tempat-tempat itu kolam teratai muncul di hadapannya, menutupi permukaannya dengan serbuk sari putih dan coklat kemerahan yang jatuh dari kepala sari teratai yang diguncang oleh kepakan sayap para angsa.

(51)
Awan menutupi dirinya dengan kanopi yang indah; di sana bertiup angin yang menyenangkan dan harum; dan jalannya diperpendek karena para Yakṣa tidak tahan melihat kerja keras dan kelelahannya.

Dengan cara ini, Bodhisattva bersama istri dan anak-anaknya mengalami kesenangan dan kegembiraan saat berjalan, tanpa merasa kelelahan, seolah-olah sedang berada di suatu taman, dan akhirnya dia melihat gunung Vaṅka. Ditunjukkan jalannya oleh beberapa penjaga hutan, dia pergi ke hutan pertapaan yang ada di gunung itu.

Hutan ini diliputi oleh berbagai pohon yang menawan, berkulit halus, yang sangat bagus, dengan ornamen ranting, bunga, dan buah-buahan; burung-burung yang bersuka ria dengan nafsu menggemakan beragam nada mereka; kelompok burung merak yang menari meningkatkan keindahannya; banyak jenis rusa tinggal di dalamnya. Bagai ikat pinggang, hutan itu dikelilingi oleh sungai yang airnya berwarna biru murni dan angin yang sepoi-sepoi di sana, membawa serbuk bunga merah.

Di hutan ini berdiri sebuah gubuk dengan dedaunan, indah untuk dilihat, dan menyenangkan di setiap musim. Viśvakarman sendiri membangunnya atas perintah Śakra. Di sanalah Bodhisattva menempati kediamannya.

(52)
Ditemani oleh istri tercintanya, dia menikmati pembicaraan yang manis dan santai bersama anak-anaknya. Tidak memikirkan urusan kerajaannya, seperti orang yang tinggal di tamannya sendiri, dia berlatih di rerimbunan hutan pertapaan yang kuat selama setengah tahun.

Suatu hari, ketika sang putri pergi mencari akar dan buah-buahan, dan pangeran sedang berada di dalam pertapaan sambil mengawasi anak-anaknya, tibalah seorang Brāhmana yang kaki dan pergelangan kakinya sudah lelah akibat perjalanan jauh, matanya kaku dan pipinya cekung akibat bekerja keras; dia membawa tongkat kayu di atas bahunya, tempat wadah airnya digantung. Istrinya telah mengutusnya dengan tugas mendesak, untuk pergi dan mencarikan beberapa pembantu.

Ketika Bodhisattva melihat seorang pengemis mendatanginya setelah sekian lama, hatinya bersukacita, dan wajahnya mulai bersinar. Dia pergi menemuinya, dan menyambutnya dengan kata-kata yang ramah. Setelah percakapan yang biasa dia katakan padanya untuk memasuki pertapaan, di mana dia menghiburnya dengan kehormatan karena seorang tamu. Kemudian dia bertanya kepadanya tentang apa yang akan dia lakukan. Brāhmana, karena menyukai istrinya, telah membuang kebajikan dan rasa malu dan ingin sekali menerima pemberiannya, berkata secara jujur seperti ini:

(53)
“Di mana terdapat terang dan jalan yang rata, di situ mudah bagi manusia untuk pergi. Tetapi di dunia ini kegelapan mementingkan diri sendiri telah berlaku sedemikian rupa sehingga tidak ada orang lain yang akan mendukung kata-kata permintaanku.

(54)
Kemasyhuranmu yang cemerlang atas pemberian yang penuh pengorbanan telah merambah ke mana-mana. Untuk alasan ini aku datang untuk meminta darimu. Berilah aku kedua anakmu untuk menjadi pelayanku.”

Disapa seperti itu, Bodhisattva, Sang Mahāsattva itu,

(55)
Karena dia memiliki kebiasaan berdana dengan gembira kepada pengemis dan tidak pernah belajar untuk mengatakan tidak, dengan berani mengatakan bahwa dia akan memberi bahkan kedua kesayangannya sekalipun.

“Terberkatilah! Apa lagi yang masih engkau tunggu?” Demikian Brāhmana mendesak Bodhisattva. Anak-anak, setelah mendengar ayah mereka berkata bahwa dia akan memberikan mereka, menjadi menderita, dan mata mereka berlinang air mata. Kasih sayangnya kepada mereka membuatnya gelisah, dan membuat hatinya tenggelam. Maka Bodhisattva berbicara kepada Brāhmana itu:

(56, 57)
“Mereka adalah milikmu, yang diberikan olehku kepadamu. Tapi ibu mereka sedang tidak berada di rumah. Dia pergi ke hutan untuk mencari akar dan buah-buahan; dia akan kembali pada malam hari.

Biarkan ibu mereka melihat mereka, berpakaian rapi seperti sekarang dan membawa karangan bunga, dan mencium mereka sebagai perpisahan. Beristirahatlah malam ini di sini; engkau akan membawa mereka pergi besok.”

Brāhmana itu berkata: “Yang Mulia seharusnya tidak mendesakku.

(58)
Wanita memiliki kuasan ‘pemikat cantik,’ engkau tentu mengetahuinya. Dia akan menghalangimu untuk memenuhi janjimu. Oleh karena itu aku tidak ingin bermalam di sini.”

Bodhisattva menjawab: “Jangan pikirkan itu. Istriku tidak akan menghalangiku memenuhi janji. Dia sebenarnya adalah pendamping dari praktik kebajikanku. Bertindaklah sesuka hati Yang Mulia. Namun, Brāhmana yang agung, engkau harus mempertimbangkan ini:

(59-61)
Bagaimana mungkin anak-anak ini dapat memuaskan keinginanmu dengan kerja paksa? Mereka sangat muda dan lemah, tidak terbiasa dengan pekerjaan seperti itu.

Tetapi raja Śibi, kakek mereka, setelah melihat mereka jatuh ke dalam perbudakan, pasti akan memberimu uang sebanyak yang engkau minta sebagai tebusannya.

Maka, untuk alasan ini aku menyarankan kepadamu, bawalah mereka pergi ke kerajaannya. Ketika bertindak demikian, engkau akan memiliki kekayaan yang besar dan menjalankan kebajikan pada saat yang sama.”

“Tidak” (ucap Brāhmana), “Aku tidak berani datang kepada sang raja dengan tawaran yang akan membangkitkan amarahnya; dia tidak bisa didekati bagaikan seekor ular.

(62)
Dia akan memerintahkan agar anak-anak itu diambil paksa dariku, mungkin dia juga akan menjatuhkan hukuman kepadaku. Aku akan membawa mereka kepada Brāhmaṇī-ku agar dapat merawat mereka.”

Atas hal ini Bodhisattva tidak berkata apa-apa selain menjawab, “Bila demikian, terserah kepadamu,” tanpa menyelesaikan kalimatnya. Dia menginstruksikan anak-anak dengan kata-kata yang meyakinkan tentang bagaimana mereka harus bertindak sesuai dengan status baru mereka sebagai pelayan; setelah itu ia mengambil wadah air, membalikannya di atas tangan Brāhmana yang terulur, yang serakah untuk menerima pemberian.

(63)
Menyerah pada usahanya, air mengalir dari wadah, dan pada saat yang sama air mata jatuh tanpa usaha dari matanya yang menyerupai kelopak bunga teratai merah tua.

Gembira dengan keberhasilannya dan tidak tenang oleh kegembiraannya, tergesa-gesa untuk membawa anak-anak Bodhisattva, Brāhmana mengucapkan kalimat pemberkatan pendek, dan memberi tahu anak-anak dengan suara perintah yang kasar untuk pergi keluar. Dia bersiap untuk membuat mereka meninggalkan pertapaan. Namun, mereka tidak dapat menahan kesedihan karena perpisahan yang terlalu mendalam, hati mereka menciut bersama dan mereka memeluk kaki ayah mereka. Bermandikan air mata, mereka berseru:

(64)
“Ibu sedang keluar rumah saat engkau akan menyerahkan kami. Jangan relakan kami sebelum kami mengucapkan selamat tinggal kepada ibu juga.

Sekarang Brāhmana itu merenung: “Sang ibu akan kembali dalam waktu yang lama, atau kemungkinan cintanya sebagai seorang ayah akan membuatnya menyesal.” Dengan mempertimbangkan itu, dia mengikat tangan mereka seperti seikat teratai dengan tanaman menjalar, dan karena mereka enggan untuk pergi serta melihat kembali pada ayah mereka, dia mulai menyeret anak-anak yang kecil dan lembut itu bersamanya, mengancam mereka. Pada saat itu Kṛṣṇājinā, sang gadis, yang belum pernah mengalami bencana yang tiba-tiba, menangis dengan berlinang air mata sambil berucap kepada ayahnya:

(65, 66)
“Brāhmana yang kejam ini, ayah, melukaiku dengan tanaman menjalar. Orang ini pasti bukan Brāhmana. Para Brāhmana adalah orang-orang yang baik. Ini adalah raksasa yang berkedok seorang Brāhmana. Pasti dia membawa pergi kami untuk memakan kami. Mengapa engkau membuat kami menderita, ayah, untuk dibawa pergi oleh raksasa ini?”

Dan Jālin, sang anak laki-laki, meratap karena ibunya, berkata:

(67)
“Bukan tindakan kasar Brāhmana ini aku menderita, melainkan karena ketidakhadiran ibu. Hatiku seolah-olah tertusuk oleh kesedihan karena aku tidak dapat melihatnya.

(68)
Oh! Tentu saja, ibu akan menangisi kita untuk waktu yang lama di tempat pertapaan yang kosong, seperti burung cātaka yang anak-anaknya telah dibunuh.

(69)
Bagaimana sikap ibu, ketika kembali dengan banyak akar dan buah yang dia kumpulkan di hutan untuk kita, lalu dia menemukan tempat pertapaan yang kosong?

(70)
Ayah, ini adalah mainan kuda, gajah, dan kereta kami. Separuh dari itu harus engkau berikan kepada ibu, agar dia dapat meredakan kesedihannya.

(71)
Engkau juga harus menyampaikan salam hormat kami kepadanya dan menahannya agar tidak menyakiti dirinya sendiri; karena akan sulit bagi kami, ayah, untuk bertemu dengan kalian lagi.

(72)
Ayo, Kṛṣṇā, marilah kita mati. Apa gunanya kita hidup? Kita telah diserahkan oleh sang pangeran kepada seorang Brāhmana yang menginginkan uang.”

Setelah berbicara demikian, mereka berpisah. Tetapi Bodhisattva, meskipun pikirannya terguncang oleh ratapan yang sangat memilukan dari anak-anaknya, tidak beranjak dari tempat dia duduk. Sementara menyatakan kepada dirinya sendiri bahwa tidak benar untuk menyesal karena telah memberi, hatinya dibakar oleh api kesedihan yang tidak dapat disembuhkan, dan pikirannya menjadi kacau, seolah-olah dilumpuhkan oleh kelambanan yang disebabkan oleh racun. Angin yang berembus sejuk membuat akal sehatnya segera pulih, dan melihat pertapaan yang tak bersuara dan sunyi, tanpa anak-anaknya, dia berkata pada dirinya sendiri dengan suara yang tercekat dengan air mata:

(73)
“Bagaimana mungkin orang ini tidak segan-segan untuk menyerang hatiku di depan mataku pada anak-anakku? Oh, Brāhmana yang tak tahu malu itu!

(74)
Bagaimana mereka dapat melakukan perjalanan dengan bertelanjang kaki, tidak dapat menahan kelelahan karena usia mereka yang masih muda, dan menjadi pelayan bagi pria itu?

(75)
Siapa yang akan mengistirahatkan mereka, ketika mereka lelah dan tidak bertenaga? Kepada siapa mereka dapat bertanya, jika kesal dengan penderitaan kelaparan dan kehausan?

(76)
Jika kesedihan ini dapat menyerangku, yang berusaha sungguh-sungguh mengejar keteguhan pikiran, bagaimana dengan kondisi anak-anak kecil itu, yang dibesarkan dengan kenyamanan?

(77)
Oh! Perpisahan dengan anak-anakku bagaikan api yang membara di dalam pikiranku! Tapi apakah mereka yang telah berpegang pada jalan kebajikan akan menyesali pemberiannya?

Sementara itu, Madrī gelisah oleh pertanda-pertanda buruk, merasakan suatu petaka, sehingga ia ingin segera kembali dengan akar dan buahnya. Tetapi dalam perjalanan ia dihalangi oleh binatang buas sehingga dia terpaksa pulang ke tempat pertapaan dengan jalan memutar yang panjang. Dan ketika dia tidak melihat anak-anaknya di jalan, di mana mereka biasa datang untuk menemuinya, termasuk di tempat mereka bermain, dia semakin merasa gelisah.

(78)
Memahami pertanda buruk yang menakutkan ini, dia merasa gelisah dan cemas. Melihat ke sekeliling, dia berharap dapat melihat anak-anaknya, kemudian memanggil mereka. Tetapi setelah tidak menerima jawaban, dia mulai meratap, berduka karena kesedihan.

(79)
“Dulunya tempat pertapaan ini, yang bergema dengan teriakan anak-anakku, tampak seperti tempat yang ramai. Sekarang karena aku tidak melihat mereka, aku merasa diriku tidak berdaya di tempat ini yang kini seperti berada di hutang belantara.

(80)
Tapi mungkin mereka sudah tertidur dan terlelap karena kelelahan bermain. Atau mungkinkah mereka tersesat di semak belukar? Atau mungkinkah mereka menyembunyikan diri karena rasa kekanak-kanakan, merasa tidak senang karena aku terlalu lama pulang?

(81)
Tapi mengapa burung-burung di sana tidak berkicau? Apakah mungkin mereka bingung, setelah menyaksikan kemalangan yang terjadi pada anak-anak? Mungkinkah kesayanganku jatuh ke dalam sungai deras, terbawa oleh arusnya yang kuat?

Oh! Kecurigaanku mungkin tidak berdasar dan salah. Semoga pangeran serta anak-anak baik-baik saja! Oh! Semoga firasat ini hanya terjadi pada diriku sendiri! Tetapi mengapa hatiku terasa berat dengan kesedihan karena memikirkan mereka? Mengapa hatiku seolah terselimuti dalam malam yang kelam dan seperti akan tenggelam? Mengapa anggota tubuhku seperti melemah, aku tidak dapat lagi melihat benda-benda di sekitarku, sehingga hutan ini, yang kehilangan kilaunya, tampak berputar?”

Setelah memasuki tempat pertapaan dan menyisihkan akar dan buahnya, dia pergi menemui suaminya. Setelah melakukan salam seperti biasa, dia menanyakan anak-anak. Sekarang Bodhisattva, yang mengetahui kelembutan cinta seorang ibu dan juga menganggap bahwa kabar buruk sulit untuk diceritakan, tidak dapat memberikan jawaban apa pun.

(82)
Ini adalah masalah yang sangat sulit bagi seorang pria yang bersedih hati, sungguh, untuk menyiksa pikiran seseorang yang telah datang kepadanya dan pantas untuk mendengar kata-kata yang menyenangkan dengan sebuah kabar buruk.

Kemudian Madrī berpikir: “Pasti, beberapa penyakit telah menimpa anak-anak; keheningannya pasti karena dia diliputi oleh duka cita dan kesedihan,” dan dia hampir pingsan setelah menatap sekitar tempat pertapaan tetapi tidak melihat anak-anak. Dan sekali lagi dia berucap dengan suara yang agak tidak jelas karena isak tangis yang tidak tertahan:

(83)
“Aku tidak melihat anak-anak, dan engkau tidak berbicara apa-apa kepadaku! Sungguh disayangkan! Aku merasa sedih, putus asa. Keheningan ini menyampaikan sebuah hal buruk yang besar.

Tidak lama setelah dia mengucapkan kata-kata tersebut, terlalu larut oleh kesedihan yang menyiksa hatinya, dia terjatuh bagai tanaman merambat yang dipotong dengan keras. Bodhisattva mencegahnya jatuh ke tanah, memeluknya dengan tangan, dan membawanya ke atas rumput untuk dibaringkan dan dipercik dengan air dingin untuk memulihkan kesadarannya. Kemudian dia berusaha untuk menghiburnya, dengan mengatakan:

(84)
“Aku belum menyampaikan kabar duka ini secara langsung kepadamu, Madrī, karena tidak mungkin mengharapkan ketegaran dari seseorang yang pikirannya lemah oleh kasih sayang.

(85)
Jadi, seorang Brāhmana yang menderita karena usia tua dan kemiskinannya telah mendatangiku. Aku telah memberikan kedua anak itu kepadanya. Tenangkan dirimu dan jangan bersedih.

(86)
Lihatlah aku, Madrī, jangan mencari anak-anak ataupun tenggelam dalam ratapan. Jangan lagi menyerang hatiku, yang masih tertusuk oleh panah kesedihan karena anak-anak.

(87)
Ketika hidupku diminta, haruskah aku dapat menahannya? Pertimbangkan ini, cintaku, dan bergembiralah atas pemberian yang telah kulakukan bagi anak-anak.”

Madrī, yang mengalami kesedihan berat karena kecurigaan akan kematian anak-anaknya, sekarang mendengar bahwa mereka masih hidup, mulai pulih dari ketakutan dan penderitaannya. Dia menyeka air matanya dengan tujuan untuk menghibur dan menguatkan suaminya; lalu mendongak, dia melihat (sesuatu) yang membuatnya berbicara secara takjub kepada suaminya:

“Sungguh baik! Sungguh baik!

(88)
Sesungguhnya, bahkan para dewa sedang diliputi kekaguman kepada hatimu yang sampai saat ini tidak dapat disentuh oleh perasaan egois.

(89)
Ini terbukti dari suara genderang surgawi yang bergema ke segala arah. Untuk merayakan kemuliaanmu, alam surga telah menyusun pujian yang diucapkan dalam bahasa yang berbeda dari jauh.

(90)
Bumi berguncang, bergetar, berasal dari kegembiraan, seperti yang ditunjukkan oleh pegunungan besar yang terangkat. Bunga-bunga keemasan berjatuhan dari surga, membuat langit nampak seolah sedang diterangi oleh kilat.

(91)
Tinggalkan kesedihan dan ratapan. Engkau telah memberi dalam kemurahan hati yang akan mencerahkan batinmu. Kembali menjadi mata air yang memberi manfaat bagi para makhluk, dan menjadi seorang pemberi seperti sebelumnya!”

Permukaan bumi terguncang, Sumeru, raja di antara gunung, bersinar dengan kilauan permatanya, mulai bergoyang. Śakra, raja para dewa, mencari tahu penyebab dari gempa bumi, dan diberitahu tentang oleh pengawas penjuru dunia, yang dengan mata membesar karena keheranan, mengatakan kepadanya bahwa hal itu disebabkan oleh Viśvantara memberikan anak-anaknya.

Bersemangat dengan kegembiraan dan keheranan, keesokan harinya saat fajar menyingsing dia pergi ke hadapan Viśvantara, berpura-pura menjadi seorang Brāhmana yang datang kepadanya sebagai seorang pengemis. Bodhisattva menunjukkan kepadanya keramahan yang harus dia berikan kepada seorang tamu, setelah itu dia memintanya untuk menyampaikan permintaannya. Kemudian Śakra meminta istrinya.

(92)
“Praktik berdana pada orang-orang yang bajik,” katanya, “Orang yang bajik tidak pernah berhenti memberi sampai lautan mengering. Untuk alasan ini aku memohon kepadamu untuk wanita di sana yang berpenampilan seperti seorang dewi. Dia, istrimu, kumohon, berikanlah kepadaku!

Bagaimanapun juga, Bodhisattva tetap tidak kehilangan keteguhan pikirannya, dan berjanji untuk memberikannya.

(93)
Kemudian memegang Madrī dengan tangan kiri dan wadah air dengan tangan kanannya, dia menuangkan air ke tangan Brāhmana, juga api kesedihan ke dalam pikiran sang dewa cinta nafsu.

(94)
Tidak ada kemarahan yang muncul di dalam dada Madrī, dia juga tidak menangis, karena dia telah mengetahui sifat suaminya. Dengan hanya menjaga matanya tetap tertuju padanya, dia berdiri seperti bayangan, tertegun oleh beban besar dari penderitaan baru itu.

Saat melihat ini, Śakra, raja para dewa, tersentuh oleh kekaguman yang luar biasa, mengagungkan sang Bodhisattva:

(95)
“Oh! Begitu lebar jarak antara tingkah laku orang yang bajik dan jahat! Bagaimana mereka yang belum memurnikan hati mereka akan mampu mempercayai tindakan yang luar biasa ini?

(96)
Menyayangi istri yang penuh kasih sayang dan anak-anak yang sangat dicintai, namun tetap melepaskan mereka, mematuhi sumpah ketidakmelekatan yang ditetapkan sendiri ― apakah mungkin untuk memahami kemuliaan seperti ini?

(97)
Ketika kemuliaanmu akan disebar ke seluruh dunia melalui kisah-kisah dari perbagai orang yang terinspirasi dengan kebajikanmu, nama baik yang cemerlang orang lain akan memudar dibandingkan dengan dirimu, tanpa perlu diragukan lagi, layaknya cahaya bintang-bintang yang lenyap oleh kecemerlangan cahaya matahari.

(98)
Bahkan sekarang kualitas-kualitas seorang manusia agungmu ini telah disetujui dengan pujian oleh para Yakṣa, para Gandharwa, para naga, dan oleh para dewaa, termasuk Vāsava.”

Setelah berbicara demikian, Śakra memunculkan sosoknya yang cemerlang dan membuat dirinya dikenali oleh Bodhisattva. Setelah itu dilakukan, dia berkata:

(99)
“Sekarang kukembalikan kepadamu Madrī, istrimu. Di mana lagi seharusnya sinar rembulan berada selain bersama dengan bulan?

100. Engkau juga tidak perlu khawatir tentang perpisahan dari putra dan putrimu, atau bersedih hati karena kehilangan kemuliaan kerajaanmu. Tak lama kemudian ayahmu akan datang kepadamu, ditemani oleh kedua anakmu, dan menempatkan kerajaannya di dalam perlindungan, menegakkanmu kembali dalam tingkatan yang tinggi.”

Setelah mengucapkan kata-kata ini, Śakra menghilang di tempat.

Dan Brāhmana itu, sebagai akibat dari kekuatan Śakra, membawa anak-anak Bodhisattva ke tanah Śibi. Dan ketika para Śibi beserta Saṁjaya, raja mereka, mendengar tentang tindakan Bodhisattva yang paling berwelas-asih, yang sulit dilakukan oleh orang lain, hati mereka melunak dengan kelembutan. Mereka menebus anak-anak dari tangan Brāhmana, dan setelah memperoleh pengampunan dari Viśvantara, membawanya kembali dan mengembalikannya dalam kemuliaan kerajaannya.

[Dengan cara ini, kemudian, perilaku seorang Bodhisattva sangatlah luar biasa. Untuk alasan ini makhluk-makhluk terhormat yang berjuang untuk keadaan itu, tidak boleh diremehkan atau dihalangi.

Cerita ini juga untuk disampaikan, ketika berkhotbah tentang Sang Tathāgata dan ketika mendengarkan khotbah Dharma dengan penuh perhatian.]

[Kembali ke daftar isi]